Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Berlakang

Sebelum sekitar tahun 1950, definisi atas kematian cukup jelas, yakni saatdetak
jantung dan pernapasan berhenti terjadi. Namun kemudian berbagai teknik ditemukan
untuk mempertahankan detak jantung dan pernapasan walaupun pasientelah mati,
sehingga muncul persepsi baru. Kematian didefinisikan sebagaihilangnya fungsi otak
dan bukan fungsi jantung dan paru. Ilmuwan, pemukaagama, pekerja kesehatan, bahkan
masyarakat umum secara luas telah menyetujui bahwa seseorang dapat dikatakan
meninggal apabila terjadi kematian otak. DiAmerika Serikat, kematian dapat ditentukan
berdasarkan kriteria neurologis1.

Pada orang dewasa di Hongkong, kematian otak yang diakibatkan olehcedera


kepala berat meliputi hingga sekitar 50% dari semua kasus, dan 30%lainnya diakibatkan
oleh perdarahan intrakranial. Sisanya disebabkan oleh tumor dan infeksi. Di Amerika,
penyebab utama kematian otak adalah cedera kepala dan perdarahan subarachnoid .
Batang otak dapat mengalami cedera oleh lesi primer ataupun karena peningkatan
tekanan pada kompartemen supratentorial atauinfratentorial yang mempengaruhi suplai
darah atau integritas struktur otak.Cedera hipoksia lebih mempengaruhi korteks
daripada batang otak2,3.
Menurut Peraturan Pemerintah RI No.18 tahun 1981 tentang bedah mayatklinis
dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau organ tubuh manusia,meninggal
dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli-ahli kedokteranyang berwenang
bahwa fungsi otak, pernapasan dan denyut jantung seseorangtelah berhenti. Batasan
mati mengandung 2 kelemahan yang pertama pada henti jantung (cardiac arrest ), fungsi
otak, pernapasan dan jantung telah berhenti namun sebetulnya kita belum dapat
menyatakan mati karena pasien masih mungkin hidup kembali bila dilakukan resusitasi.
Yang kedua dengan adanya kata-kata “denyut jantung telah berhenti“ maka ini justru
kurang menguntungkan untuk transplantasi, karena perfusi ke organ-organ telah

1
berhenti pula, yang tentunyaakan mengurangi viabilitas jaringan atau organ. Diagnosis
mati batang otak (MBO) dan petunjuknya dapat dilihat pada fatwa IDI tentang MBO.
Diagnosa MBO mempunyai 2 komponen utama. Komponen pertama terdiri dari
pemenuhan prasyarat-prasyarat dan komponen kedua adalah tes klinis fungsi batang
otak.7

B. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat yang berjudul “Kematian Batang Otak” ini adalah untuk
memberikan informasi ilmiah mengenai penyakit mati batang otak, baik definisi,
etiologi, patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan fisik dan penanganan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Mati

Mati klinis adalah henti napas (tidak ada gerakan napas spontan) ditambahhenti
sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak ireversibel.
Pada masa sekarang kematian inilah, permulaan resusitasi dapatdiikuti dengan
pemulihan semua fungsi organ vital termasuk fungsi otak nomal,asal diberikan terapi
yang optimal1,2.

Mati biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti mati klinis bilatidak
dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi dihentikan.Mati
biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan, dimulai denganneuron otak yang
menjadi nekrotik setelah kira-kira 1 jam tanpa sikulasi, diikutioleh jantung, ginjal, paru,
dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jamatau hari3.
Mati serebral (kematian korteks) adalah kerusakan ireversibel serebrum,terutama
neokorteks. Mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebralditambah dengan
nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah, dan batang otak2,3.
Mati sosial (status vegetatif yang menetatap, sidroma apalika)
merupakankerusakan berat ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak
responsif,tetapi mempunyai elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa reflek yang
utuh. Ini harus dibedakan dari mati serebral yang hasil EEG nya tenang dan darimati
otak, dengan tambahan ketiadaan semua reflek saraf otak dan upaya napasspontan. Pada
keadaan vegetatif mungkin terdapat siklus sadar – tidur3.

B. Definisi Mati Batang Otak

Pada panduan Australian and New Zealand Intensive Care Society (ANZICS) yang
dipublikasikan pada tahun 1993,kematian otak didefinisikan sebagai berikut: “Istilah
kematian otak harus digunakan untuk merujuk pada berhentinya semua fungsi otak

3
secara ireversibel. Kematian otak terjadi saat terjadi hilangnya kesadaran yang
ireversibel, dan hilangnya respon refleks batang otak dan fungsi pernapasan pusat
secaraireversibel, atau berhentinya aliran darah intrakranial secara ireversibel”.8

Menurut kriteria komite ad hoc Harvard tahun 1968, kematian otak didefinisikan
oleh beberapa hal. Yang pertama, adanya otak yang tidak berfungsilagi secara
permanen, yang ditentukan dengan tidak adanya resepsi dan responterhadap rangsang,
tidak adanya pergerakan napas, dan tidak adanya refleks-refleks, yakni respon pupil
terhadap cahaya terang, pergerakan okuler pada uji penggelengan kepala dan uji kalori,
refleks berkedip, aktivitas postural (misalnyadeserebrasi), refleks menelan, menguap,
dan bersuara, refleks kornea, refleksfaring, refleks tendon dalam, dan respon terhadap
rangsang plantar. Yang keduaadalah data konfirmasi yakni EEG yang isoelektris.
Kedua tes tersebut diulang 24 jam setelah tes pertama, tanpa adanya hipotermia (suhu
< 32,2oC) atau pemberian depresan sistem saraf pusat seperti barbiturat. Penentuan
tersebut harus dilakukanoleh seorang dokter.2,5
Menurut panduan yang digunakan di Amerika Serikat, kematian otak
didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara ireversibel, termasuk batang
otak. Tiga temuan penting dalam kematian otak adalah koma, hilangnyarefleks batang
otak, dan apnea.6,7
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan
pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan refleks batang otak
dan tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Apabila temuan klinis yang sesuai
dengan kriteria kematian batang otak atau pemeriksaan konfirmatif yang mendukung
diagnosis kematian batang otak tidak dapat diperoleh, diagnosis kematian batang otak
tidak dapat ditegakkan.8

C. Etiologi

Kematian otak ditandai dengan koma, apneu dan hilangnya semua refleks batang
otak. Diagnosis klinis ini pertama kali disampaikan dalam kepustakaan kedokteran pada
tahun 1959 dan kemudian digunakan dalam praktik kedokteran pada dekade berikutnya

4
pada bidang trauma klinis yang spesifik. Kebanyakankasus kematian dapat didiagnosis
di tempat tidur pasien.2,4,9

Penyebab umum kematian otak termasuk trauma, perdarahan


intrakranial,hipoksia, overdosis obat, tenggelam, tumor otak primer, meningitis,
pembunuhandan bunuh diri. Dalam kepustakaan lain, hipoglikemia jangka panjang
disebutsebagai penyebab kematian otak.9

D. Patofisiologi

Patofisiologi penting terjadinya kematian otak adalah peningkatan hebat tekanan


intrakranial (TIK) yang disebabkan perdarahan atau edema otak. Jika TIK meningkat
mendekati tekanan darah arterial, kemudian tekanan perfusi serebral (TPS) mendekati
nol, maka perfusi serebral akan terhenti dan kematian otak terjadi.6

Aliran darah normal yang melalui jaringan otak pada orang dewasa rata-rata
sekitar 50 sampai 60 mililiter per 100 gram otak per menit. Untuk seluruh otak, yang
kira-kira beratnya 1200 – 1400 gram terdapat 700 sampai 840 ml/menit. Penghentian
aliran darah ke otak secara total akan menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu
5 sampai 10 detik. Hal ini dapat terjadi karena tidak ada pengiriman oksigen ke selsel
otak yang kemudian langsung menghentikan sebagian metabolismenya. Aliran darah
ke otak yang terhenti untuk tiga menit dapat menimbulkan perubahan- perubahan yang
bersifat irreversibel. Sedikitnya terdapat tiga faktor metabolik yang memberi pengaruh
kuat terhadap pengaturan aliran darah serebral. Ketiga faktor tersebut adalah
konsentrasi karbon dioksida, konsentrasi ion hidrogen dan konsentrasi oksigen.
Peningkatan konsentrasi karbon dioksida maupun ion hidrogen akan meningkatkan
aliran darah serebral, sedangkan penurunan konsentrasi oksigen akan meningkatkan
aliran.6
Faktor-faktor iskemia dan nekrotik pada otak oleh karena kurangnya aliran
oksigen ke otak menyebabkan terganggunya fungsi dan struktur otak, baik itu secara
reversible dan ireversibel. Percobaan pada binatang menunjukkan aliran darah otak
dikatakan kritis apabila aliran darah otak 23/ml/100mg/menit (Normal 55

5
ml/100mg/menit). Jika dalam waktu singkat aliran darah otak ditambahkan di atas 23
ml, maka kerusakan fungsi otak dapat diperbaiki. Pengurangan aliran darah otak di
bawah 8-9 ml/100 mg/menit akan menyebabkan infark, tergantung lamanya. Dikatakan
hipoperfusi jika aliran darah otak di antara 8 dan 23 ml/100 mg/menit.6
Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak regional tersumbat secara parsial,
maka daerah yang bersangkutan langsung menderita karena kekurangan oksigen.
Daerah tersebut dinamakan daerah iskemik. Di wilayah itu didapati: 1) tekanan perfusi
yang rendah, 2) PO2 turun, 3) CO2 dan asam laktat tertimbun. Autoregulasi dan kelola
vasomotor dalam daerah tersebut bekerja sama untuk menanggulangi keadaan iskemik
itu dengan mengadakan vasodilatasi maksimal. Pada umumnya, hanya pada perbatasan
daerah iskemik saja bisa dihasilkan vasodilatasi kolateral, sehingga daerah perbatasan
tersebut dapat diselamatkan dari kematian. Tetapi pusat dari daerah iskemik tersebut
tidak dapat teratasi oleh mekanisme autoregulasi dan kelola vasomotor. Di situ akan
berkembang proses degenerasi yang ireversibel. Semua pembuluh darah dibagian pusat
daerah iskemik itu kehilangan tonus, sehinga berada dalam keadaan vasoparalisis.
Keadaan ini masih bisa diperbaiki, oleh karena sel-sel otot polos pembuluh darah bisa
bertahan dalam keadaan anoksik yang cukup lama. Tetapi sel-sel saraf daerah iskemik
itu tidak bisa tahan lama. Pembengkakan sel dengan pembengkakan serabut saraf dan
selubung mielinnya (udem serebri) merupakan reaksi degeneratif dini. Kemudian
disusul dengan diapedesis eritosit dan leukosit. Akhirnya sel-sel saraf akan musnah.
Yang pertama adalah gambaran yang sesuai dengan keadaan iskemik dan yang terakhir
adalah gambaran infark.6

E. Kriteria Mati Batang Otak

Pada tahun 1959 Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah coma de passé
(koma irreversibel) dalam menggambarkan 23 pasien koma dengan hilangnya
kesadaran, refleks batang otak, respirasi dan dengan hasil elektroensefalogram (EEG)
yang mendatar.

Pada tahun 1968, sebuah komite Ad hoc pada Fakultas Kedokteran Harvard
meninjau kembali defenisi kematian otak dan kemudian diartikan sebagai koma

6
ireversibel atau kematian otak adalah tidak adanya respon terhadap stimulus, tidak ada
gerakan napas, tidak adanya refleks batang otak dan koma yang penyebabnya sudah
diketahui, kondisi tersebutmenetap sekurang-kurangnya 6 sampai 24 jam.2,6,10

Pada tahun 1971 Mohandas dan Chou menggambarkan kerusakan batangotak


sebagai komponen penting dari kerusakan otak yang berat. Konferensi perguruan tinggi
Medical Royal dan fakultas-fakultas yang ada di dalamnya di Kerajaan Inggris pada
tahun 1976, menerbitkan sebuah pernyataan mengenaidiagnosis kematian otak dimana
kematian otak diartikan sebagai hilangnya fungsi batang otak secara lengkap dan
ireversibel. Pernyataan ini memberikan pedoman yang termasuk di dalamnya perbaikan
dalam uji apnea dan memusatkan perhatian pada batang otak sebagai pusat dari fungsi
otak. Tanpa batang otak ini, tidak adakehidupan. Pada tahun 1981 komisi presiden
untuk studi masalah etik dalamkedokteran biomedis juga penelitian tentang perilaku
menerbitkan pedomannya. Dokumen tersebut merekomendasikan kegunaan tes
konfirmasi untuk mengurangidurasi waktu yang dibutuhkan untuk observasi dan
merekomendasikan periode 24 jam bagi pasien dengan gangguan anoksia dan kemudian
menyingkirkan syok sebagai syarat untuk menentukan kematian otak. Akhir-akhir ini,
Akademi Neurologi Amerika memberikan kasus berdasarkan bukti dan
menyarankanadanya pemeriksaan-pemeriksaan dalam praktek. Laporan ini secara
spesifik mengarah kepada adanya peralatan-peralatan pemeriksaan klinis dan
teskonfirmasi validitas serta adanya deskripsi tentang uji apnea dalam praktek.11
Sehubungan dengan dibutuhkannya konsep kematian otak, maupun metode
terstruktur suatu diagnosis, beragam kriteria telah diterbitkan.
Beberapa diantaranya :1,2,3,9
a. Kriteria Harvard

Kunci perkembangan diagnosis kematian otak diterbitkan “Kriteria Harvard”,


kunci diagnosis tersebut adalah :2,9

 Tidak bereaksi terhadap stimulus noksius yang intensif


 Hilangnya kemampuan bernapas spontan.
 Hilangnya refleks batang otakdan spinal.

7
 Hilangnya aktivitas postural seperti deserebrasi.
 EEG datar.
Hipotermia dan pemakaian depresan seperti barbiturat harus disingkirkan.
Kemudian, temuan klinis dan EEG harus tetap saat evaluasi sekurangkurangnya 24 jam
kemudian.

b. Kriteria Minnesota
Pengalaman klinis dengan menggunakan kriteria Harvard yang
disarankanmungkin sangat terbatas. Hal ini menyebabkan Mohandes dan
Choumengusulkan “Kriteria Minnesota” untuk kematian otak. Yang dihilangkandari
kriteria ini adalah tidak dimasukkannya refleks spinalis dan aktivitas EEG karena masih
dipandang sebagai sebuah pilihan pemeriksaan untuk konfirmasi,elemen kunci kriteria
Minnesota adalah :3
 Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4 menit pemeriksaan.
 Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan: pupil dilatasi, hilangnya
refleks batuk, refleks kornea dan siliospinalis, hilangnya doll’s eyemovement,
hilangnya respon terhadap stimulus kalori dan hilangnyarefleks tonus leher.
 Status penderita tidak berubah sekurang-kurangnya dalam 12 jam
 Proses patologis yang berperan dan dianggap tidak dapat diperbaiki.

Pertimbangan utama dalam mendiagnosis kematian otak adalah sebagai berikut :12
1) Hilangnya fungsi serebral
2) Hilangnya fungsi batang otak termasuk respirasi spontan
3) Bersifat ireversibel.

Hilangnya fungsi serebral ditandai dengan berkurangnya pergerakan spontan dan


berkurangnya respon motorik dan vokal terhadap seluruh rangsang visual, pendengaran
dan kutaneus. Refleks-refleks spinalis mungkin saja ada.
EEG merupakan indikator berharga dalam kematian serebral dan banyak lembaga
kesehatan yang memerlukan pembuktian Electro Cerebral Silence(ECS), yang juga
disebut EEG datar atau isoelektrik. Dikatakan EEG datar apabila tidak ada perubahan

8
potensial listrik melebihi 2 mikroVolt selama dua kali30 menit yang direkam setiap 6
jam. Perlu ditekankan bahwa tidak adanya responserebral dan EEG datar tidak selalu
berarti kematian otak. Akan tetapi, keduanyadapat terjadi dan bersifat reversible pada
keadaan hipotermia dan intoksikasi obat-obatan hipnotik-sedatif.13
Fungsi-fungsi batang otak dianggap tidak ada jika tidak terdapat reaksi pupil
terhadap cahaya, tidak terdapat refleks kornea, vestibulo-ocular, orofaringeal atau
trakea. Tidak ada respon deserebrasi terhadap stimulus noksiusdan tidak ada pernapasan
spontan. Untuk kepentingan dalam praktek, apneaabsolut dikatakan terjadi pada pasien,
jika pasien tersebut tidak melakukan usahauntuk menolak penggunaan alat respirasi
setidaknya selama 15 menit. Sebagai tesakhir, pasien dapat dilepaskan dari respirator
lebih lama beberapa menit untuk memastikan bahwa PCO2 arteri meningkat di atas
ambang untuk merangsang pernapasan spontan.14
Jika hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa semua fungsi otak hilang,maka
pemeriksaan harus diulang dalam waktu 6 jam untuk memastikan bahwakeadaan pasien
bersifat ireversibel. Jika riwayat dan pengamatan komprehensif yang sesuai terhadap
prosedur penggunaan obat-obatan tidak ada, maka observasiselama periode 72 jam
mungkin dibutuhkan untuk memperoleh reversibilitaswalaupun jarang terjadi dalam
praktek, studi perfusi serebral menunjukkanterhentinya sirkulasi intrakranial secara
sempurna menyebabkan terjadinyakematian otak.15

F. Langkah Diagnostik

Pemeriksaan neurologis klinis tetap menjadi standar untuk penentuan kematian


otak dan telah di terapkan oleh sebagian besar Negara. Pemeriksaan pasien yang di duga
telah mengalami mati otak harus dilakukan dengan teliti. Pernyataan tentang kematian
otak tidak hanya menuntut dilakukannya tes neurologis namun juga identifikasi
penyebab koma, untuk memastikan kondisi irreversible, penyingkiran tanda neurologis
yang salah ataupun faktor-faktor yang dapat membingungkan, interpretasi hasil
pencitraan neurologis dan hasil pemeriksaan tes laboratorium tambahan dianggap
perlu.16

9
Menurut panduan sertifikasi kematian otak yang diterapkan di Hong Kong yang
mengacu pada beberapa referensi seperti Medical Royal Colleges in United Kingdom
dan Austalian and New Zealand Intensive Care Society, sebelum mempertimbangkan
diagnosis kematian otak, harus di perhatikan kondisi-kondisi serta kriteria eksklusi.19
Pertama-tama, harus ditemukan kondisi cedera otak berat yang konsisten dengan
proses terjadinya kematian otak (yang biasanya dikonfirmasi dengan pencitraan otak).
Tidak boleh ada keraguan bahwa kondisi yang dialami pasien diakibatkan oleh
kerusakan struktural otak yang tidak dapat diperbaiki. Diagnosis dari kelainan yang
dapat menimbulkan kematian otak harus ditegakkan dengan jelas. Diagnosis tersebut
dapat jelas terlihat beberapa jam setelah kejadian intrakranial primer seperti cedera
kepala berat, perdarahan intrakranial spontan, atau setelah pembedahan otak. Namun,
saat kondisi pasien disebabkan oleh henti jantung, hipoksia, atau insufisiensi sirkulasi
yang berat tanpa periode anoksia serebri yang jelas, atau dicurigai mengalami
embolisme udara atau lemak otak maka penegakan diagnosis akan memakan waktu
lebih lama.20
Kondisi kedua yang dapat menjadi pertimbangan untuk menegakkan diagnosis
kematian otak adalah pasien yang apneu dan menggunakan bantuan ventilator. Pasien
tidak responsif, dan tidak bernafas secara spontan. Obat penyekat neuromuskuler atau
lainnya harus dieksklusi dari penyebab kondisi tersebut.20
Penyebab koma yang harus dieksklusi adalah obat depresan atau racun. Riwayat
penggunaan obat harus secara hati-hati diperiksa. Periode observasi tergantung pada
farmakokinetik dari obat yang digunakan, dosis yang digunakan, dan fungsi hepar serta
ginjal pasien. Apabila diperlukan, tes darah dan urin serta level serum dilakukan. Bila
ada keraguan tentang adanya efek dari opioid atau benzodiazepine, maka obat antagonis
yang tepat harus diberikan. Stimulator saraf tepi harus digunakan untuk
mengkonfirmasi intak tidaknya konduksi neuromuskuler apabila pasien menggunakan
obat pelemas otot.21
Langkah-langkah menetapkan kematian batang otak mencakup hal-hal berikut10 :
1. Evaluasi kasus koma
Penentuan kematian batang otak memerlukan identifikasi kasus koma ireversibel
beserta penyebab koma yang paling mungkin. Cedera kepala berat, perdarahan

10
intraserebral hipertensif, perdarahan subarachnoid, jejas otak hipoksikiskemik, dan
kegagalan hepatic fulminan adalah merupakan penyebab potensial hilangnya fungsi
otak yang bersifat ireversibel. Dokter perlu menilai tingkat dan reversibilitas koma, serta
potensi berbagai kerusakan organ. Dokter juga harus menyingkirkan berbagai factor
perancu, seperti intoksikasi obat, blockade neuromuskular, hipotermia, atau kelainan
metabolik lain yang dapat menyebabkan koma namun masih berpotensi reversible.21

2. Penilaian klinis refleks batang otak


Penentuan kematian batang otak memerlukan penilaian fungsi otak oleh minimal
dua orang klinisi dengan interval waktu pemeriksaan beberapa jam. Tiga temuan
penting pada kematian batang otak adalah koma dalam, hilangnya seluruh reflex batang
otak, dan apnea. Pemeriksaan apnea (tes apnea) secara khas dilakukan setelah evaluasi
reflex batang otak.22

a. Pupil asimetris
Pupil yang besar, unreactive, disebabkan oleh adanya lesi pada saraf okulomotor
ipsilateral, dapat pula karena pre-existing Adie’s pupil. Pupil yang kecil, lambat
berdilatasi terdapat pada Horner syndrome.
b. Reaksi pupil terhadap cahaya
Harus mempergunakan cahaya yang kuat karena respons pupil dapat lambat pada
pasien tidak sadar (cahaya oftalmoskop kurang adekuat). Pupil yang tidak mengalami
konttriksi jika diberikan stimulus cahaya menandakan adanya lesi pada N.II atau N.III.
Respon direct didapatkan ketika kita memberikan rangsang cahaya pada mata yang
ingin diperiksa, dan mendapatkan ketika kita melihat respon pada pupil mata yang tidak
diberi stimulus.
c. Posisi / pergerakan mata
Posisi dan pergerakan mata ditentukan oleh saraf III, IV dan VI. Pada posisi
primer, lesi yang mengenai saraf tertentu dapat menghasilkan posisi juling
(dysconjugate gaze). Aktivitas kejang dapat menimbulkan conjugate gaze yang simetris
intermitten dengan arah kontralateral lesi, sedangkan lesi destruksi lobus fronta dapat

11
menghasilkan conjugate gaze ke sisi lesi. Nistagmus jarang terlihat, namun gerakan
seperti nistagmus dapat timbul pada status epileptikus.
d. Roving eye movements
Merupakan gerakan bola mata berupa gerakan lambat dari satu sisi ke sisi yang
lain, kelopak mata tertutup, dan mungkin disertai posisi mata yang divergen ringan dari
aksis okuler. Gerakan ini biasanya terjadi pada tidur normal atau pada pasien koma
ringan, fungsi batang otak normal dan tidak menunjukkan suatu lokasi lesi tertentu.
e. Doll’s eye movements
Kepala digerakkan dari satu sisi ke sisi lainnya dan dari atas kebawah. Refleks
okulosefalik dan reflex vestibulosefalik secara normal seharusnya menjaga posisi mata
meskipun terdapat gerakan kepala, sehingga mata bergerak pada arah yang berbeda
dengan pergerakan kepala. Bila pergerakan kepala telah sempurna, mata bergerak
kembali ke posisi semula. Horizontal doll’head eye movements yang abnormal
menunjukkan adanya lesi yang mengenai N. Okulomotor (III), N. Abdusens (VI) dan
pons. Vertical doll’s head eye movements yang abnormal menunjukkan lesi yang
mengenai N. III, IV dan midbrain.
f. Tes kalorik
Merupakan test untuk memeriksa fungsi batang otak disebut juga test reflex
okulovestibuler. Cara: pasien dibaringkan dengan tubuh bagian atas dan kepala
membentuk sudut 30% dengan bidang horizontal, kemudian disuntukkan 50-100 cc air
dingin pada salah satu telinga, yang akan berefek sama jika kepala digerakkan ke sisi
yang berlawanan, mata pasien akan menghadap pada sisi dimana air dimasukkan. Posisi
mata ini akan bertahan beberapa waktu. Jika hasil pemeriksaan negatif, kemungkinan
terdapat lesi pada pons, medulla dan pada kasus yang jarang pada lesi N. III, N.IV,
N.VI, atau N. VIII.
g. Refleks kornea
Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menentukan prognosis dan lokasi lesi. Refleks
kornea yang negatif biasanya disebabkan lesi yang mengenai N. Trigeminus (V), pons
atau N. Fasialis (VII). Meringis terhadap nyeri trigeminal dilakukan dengan cara
menggosok dengan kuat anterior telinga atau pada supraorbital ridge. Timbulnya
meringis dapat bermanfaat untuk mendeteksi kelumpuhan upper motor saraf VII.

12
h. Gag Reflex
Dapat dilakukan pemeriksaan dengan melakukan tes reflex muntah dan batuk,
yang tergantung dari jalur N glosofaringeal (IX) dan N. Vagus (X) ke medulla dan
kemudian ke N. X.
i. Tes apnea
Secara umum, tes apnea dilakukan setelah pemeriksaan reflex batang otak. Tes
apnea dapat dilakukan apa bila kondisi prasyarat terpenuhi, yaitu:10,11
 Suhu tubuh ≥ 36,5 °C atau 97,7 °F
 Euvolemia (balans cairan positif dalam 6 jam sebelumnya)
 PaCO2 normal (PaCO2 arterial ≥ 40 mmHg)
 PaO2 normal (pre-oksigenasi arterial PaO2 arterial ≥ 200 mmHg)
Setelah syarat-syarat tersebut terpenuhi, dokter melakukan tes apnea dengan
langkah-langkah sebagai berikut :10,11
 Pasang pulse-oxymeter dan putuskan hubungan ventilator
 Berikan oksigen 100%, 6 L/menit kedalam trakea (tempatkan kanul setinggi
carina)
 Amati dengan seksama adanya gerakan pernafasan (gerakan dinding dada
atau abdomen yang menghasilkan volume tidal adekuat)
 Ukur PaO2, PaCO2, dan pH setelah kira-kira 8 menit, kemudian ventilator
disambungkan kembali.
 Apabila tidak terdapat gerakan pernafasan, dan PaCO2 ≥ 60 mmHg (atau
peningkatan PaCO2 Lebih atau sama dengan nilai dasar normal), hasil tes
apnea dinyatakan positif (mendukung kemungkinan klinis kematian batang
otak)
 Apabila terdapat gerakan pernafasan, tes apnea dinyatakan negatif (tidak
mendukung kemungkinan klinis kematian batang otak)
 Hubungkan ventilator selamates apnea apa bila tekanan darah sistolik turun
sampai < 90 mmHg (atau lebih rendah dari batas nilai normal sesuai usia
pada pasien < 18 tahun), atau pulse-oxymeter mengindikasikan adanya

13
desaturasi oksigen yang bermakna, atau terjadi aritmiakardial.

j. Pemeriksaan konfirmatif apabila ditemukan indikasi


Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan
pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan reflex batang otak
dan tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Beberapa pasien dengan kondisi
tertentu seperti cedera servikal atau kranium, instabilitas kardiovaskular, atau faktor lain
yang menyulitkan dilakukannya pemeriksaan klinis untuk menegakkan diagnosis
kematian batang otak, perlu dilakukan tes konfirmatif. Pemilihan tes konfirmatif yang
akan dilakukan sangat tergantung pada pertimbangan praktis, mencakup ketersediaan,
kemanfaatan, dan kerugian yang mungkin terjadi.
Beberapa tes konfirmatif yang biasa dilakukan antara lain :16,18
 Angiography (conventional, computerized tomographic, magnetic
resonance, and radionuclide) : kematian batang otak ditegakkan apabila tidak terdapat
pengisian intraserebral (intracerebral filling) setinggi bifurkasio karotis atau
 sirkulus willisi.
 Elektroensefalografi: kematian batang otak ditegakkan apabila tidak
terdapat aktivitas elektrik setidaknya selama 30 menit
 Transcranial Doppler ultrasonography :kematian batang otak ditegakkan
oleh adanya puncak sistolik kecil (small systolic peaks) pada awal sistolik tanpa aliran
diastolik (diastolic flow ) atau reverberating flow , mengindikasikan adanya resistensi
yang sangat tinggi (very high vascular resistance) terkait adanya peningkatan tekanan
intrakranial yang besar.

14
BAB III

KESIMPULAN

Kematian batang otak dapat di katakan hilangnya kesadaran yang ireversibel, dan
hilangnya respon refleks batang otak dan fungsi pernapasan pusat secara ireversibel,
atau berhentinya aliran darah intrakranial secara ireversibel.

Adapun penyebab terjadinya kematian batang otak adalah sebagai berikut seperti
trauma, perdarahan intrakranial, hipoksia, overdosis obat, tenggelam, tumor otak
primer, meningitis, pembunuhan dan bunuh diri. Dalam kepustakaan lain, hipoglikemia
jangka panjang disebut sebagai penyebab kematian otak.

Dan untuk menetapkan diagnosis kematian batang otak, pemeriksaan neurologi


menjadi standar yang diterapkan oleh sebagian besar negara. Adapun langkah – langkah
untuk menetapkan kematian batang otak seperti evaluasi kasus koma dan penilaian
klinis reflek batang otak.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Wijdicks. Current Concepts, The Diagnosis of Brain Death, N Engl J


Med,2001, 344 (16)
2. Guidelines On Certification Of Brain Death, The Hong Kong Society Of
Critical Care Medicine, journal of the Royal College of Physicians of
London 1995, 29:381-2.
3. RM, Schapiro R, eds. The definition of death: contemporary
controversies,Johns Hopkins University Press, Baltimore, 1999
4. New York State Department of Health. Guidelines for DeterminingBrain
Death, Department of Health, New York, 2005
5. Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang mati. Surat
KeputusanPengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia SK PB IDI
No.231/PB.A.4/07/90
6. So Hing-Yu, Fanzca Ficanzcafhkam, Update Article Brain Death,
HongKong Practitioner 16 (II) November 1994.
7. Neil M.Lazar. Sham Shemie et al. Bioethics For Clinicians 24.
BrainDeath. C MAJ Mar 20,2001;164 (6).
8. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian
Rakyat;2004.hal.280.
9. Guyton AC, Hall JE. Aliran darah serebral, cairan serebrospinal,
danmetabolisme otak. Dalam: Buku ajar fisiologi kedokteran.
Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1996.hal.975-83.
10. Eelco F. M. Wijdicks, The diagnosis of brain death , review articles,
NEngl J Med 2001;344 (16) : 1 - 10.
11. Christopher James Doig MD, Brain death: resoving inconsistencies
inethical declaration of death, Can J Anesth 2003;50(7):725-731.
12. Sunatrio S. Penentuan Mati . Bagian Anestesiologi :FKUI/RSCM ,2006.

16
13. Leonard Baron MD, et al. Neuroanestesia and Intensive Care. Brief
Review: History, Concept And Controversies In The
NeurologicalDetermination Of Death. Can J Anesth 2006;53(6):602-608.
14. G. Bryan Young MD FRCPC. Et al. Brief Review: The Role Of
AncillaryTests In The Neurological Determination Of Death. Can J
Anesth2006;53(6) : 620-627.
15. Taveras JM, Wood EH. Diagnostic neuroradiology volume II. 2nd
ed.Baltimore : The William & Wilkins Company; 1977.p.650-1.
16. Machado Celixto. Diagnosis of brain death. Neurology Internaional. 2010
17. Laureys Steven. Death, unconsiousness and the brain; Science and
Society; Nov 2005.
18. Mc Mahan Jeff. Brain death, cortical death and persistent vegetative state;
University of Carolina School of Medicine;
19. Quality Standards Subcommittee of the American Academy of
Neurology, Practice Parameters for Determining Brain Death Adults
(summary statement), neurology,1995,45(5)1012-4
20. Guidelines on Diagnosis of Brain Death, Hospital Authory Head Office
Operation Circular No 15. 2003.
21. New York State and New York State Task Force On Life & The Law.
Guidelines for determining brain death, Department of Health, New
York,2011.
22. Dian, Sofiati, dr. Sp.S. Pemeriksaan Fisisk Dasar Neurologi Berbasis
Ilustrai Kasus. Badung. 2013.

17

Anda mungkin juga menyukai