Anda di halaman 1dari 12

Henk Schulte Nordholt |

Masa-Depan Cerah, Bahaya Menunggu. Negara-Bangsa Baru dan kerasan Massal di Asia Tenggara
109

Masa-Depan Cerah, Bahaya Menunggu:


Negara-Bangsa Baru dan Kekerasan Massal di Asia Tenggara1

Henk Schulte Nordholt


KITLV, Leiden

Abstract
In this article the impact of the Cold War in Southeast Asia is evaluated. The region was
turned into the hottest battlefields of this conflict which costed the lives of about seven million
people. The Cold War also terminated fragile attempts to turn newly independent nation-states
into democracies. Instead every country in Southeast Asia experienced authoritarian rule by
either capitalist of socialist regimes. In the capitalist countries middle classes emerged which
profited from economic growth under authoritarian rule. Since democracy was associated with
instability and mass violence and economic growth with authoritarian rule, middle classes
were very late in supporting new attempts to democratize their political systems.
Keywords: Cold War, Southeast Asia, mass violence, developmental state

Abstract
Dalam artikel ini, pengaruh Perang Dingin di Asia Tenggara dievaluasi. Kawasan ini berubah
menjadi kawasan perang paling panas dalam konflik ini yang mengakibatkan kematian tujuh
juta jiwa. Perang Dingin juga menghentikan usaha-usaha dalam mengembangkan negara-
bangsa yang baru merdeka ini menjadi demokrasi. Sebaliknya, setiap negara di Asia Tenggara
mengalami pemerintahan otoriter baik lewat rezim kapitalis maupun sosialis. Dalam negara-
negara kapitalis, kelas menengah muncul sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi dibawah
pemerintahan otoriter. Karena demokrasi dihubungkan dengan imaji ketidakstabilan,
kekerasan massal dan kekuasaan otoriter dengan imaji pertumbuhan ekonomi, kelas menengah
yang muncul sangat lamban dalam mendukung usaha-usaha demokratisasi baru sistem
politik mereka.
Kata kunci: Perang Dingin, Asia Tenggara, kekerasan massal, negara pembangunan

1
Artikel ini mencerminkan beberapa tema yang dijelaskan lebih mendetail dalam buku saya yang akan terbut
berjudul Südost Asien yang merupakan bagian dari seri publikasi Neue Fischer Weltgeschichte (vol. 12), yang
diterbitkan oleh S. Fischer Verlag di Frankfurt am Main. Ringkasan buku telah dipresentasikan di Seoul
National University di bulan Mei 2014. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kolega saya Dr. Keng
We Koh yang memungkinkan kunjungan yang menggugah ini.
110 Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 11, No. 2, Oktober 2014

Apabila fokus penelitian sejarah hanya dan Timor Leste yang miskin yang tetap
ditunjukkan pada peristiwa politik menjelang bertahan sebagai titik-titik kolonial dibawah
pembentukkan negara-bangsa baru di Asia kontrol kolonial Inggris dan Portugis. Pada
Tenggara pada akhir masa Perang Dunia tahun 1984, Inggris mengabulkan kedaulatan
Kedua, kita kadang lupa akan akibat jangka utuh kepada kesultanan toriter di Brunei.
panjang dekolonisasi. Termasuk didalamnya Pada tahun 1975, Portugis yang semenjak
hubungan yang bermasalah antara negara tahun 1511 merupakan penakluk Eropa di
lama dengan bangsa baru, dan perbedaan Asia Tenggara pertama ketika menguasai
kontras antara optimisme yang terpancar Malaka, adalah kekuatan kolonial terakhir
dari bangsa baru dan ledakan kekerasan yang meninggalkan kawasan ini. Daripada
masal yang terjadi dimana-mana. Dalam memperoleh kemerdekaan, Timor Leste di-
tulisan ringkas ini, saya bertujuan untuk jajah (ditaklukkan?) oleh Indonesia. Setelah
meraba hubungan-hubungan ini dalam perang gerilya yang berkepanjangan, Timor
konteks Perang Dingin, yang mengubah Leste mendapatkan kemerdekaannya pada
kawasan ini menjadi kancah perang yang tahun 2002 setelah Indonesia mengacaukan
‘panas.’ negara itu pada tahun 1999 dan PBB
mendirikan pemerintahan sementara.
Dekolonisasi politik di Asia Tenggara
punya jalur yang berbeda, mengakibatkan Kerajaan Thailand merupakan satu
hasil yang beragam dan meliputi periode satunya daerah di kawasan ini yang tidak
yang lama. Pada tahun 1946 Filipina menjadi pernah dijadikan wilayah jajahan Barat.
republik merdeka setelah negosiasi dengan Walaupun mendapatkan tekanan yang
Amerika Serikat, Birma mengikutinya besar dari Perancis dan Inggris dan dengan
pada tahun 1947 setelah tawar-menawar bayaran konsesi kawasan, ekonomi dan
dengan Inggris; pada tahun 1945 nasionalis politik, Thailand berhasil mempertahankan
Indonesia dan Vietnam memproklamirkan kedaulatan formalnya. Pada 1946, Thailand
kemerdekaan daripada republik masing- secara resmi dimasukkan dalam ‘keluarga
masing, walaupun kedaulatan secara formal bangsa-bangsa’ ketika menjadi anggota dari
diberikan oleh Belanda dan Perancis baru PBB.
pada tahun 1949 dan 1954 setelah revolusi
Persamaan yang menonjol diantara bera-
yang berat. Kemerdekaan kerajaan Kamboja
gam negara-bangsa di Asia Tenggara adalah
dan Laos dari Perancis dinegosiasikan
keberlanjutan dari perbatasan kolonial lama
pada tahun 1954, dan Malaya – sebuah
yang diarsir pada awal abad ke-20. Ketika
republik federal hibrid dibawah kedaulatan
Asia Selatan mengalami pemisahan berda-
kesultanan masing-masing – menyusul pada
rah pada tahun 1947, negara-negara baru di
tahun 1957 setelah proses negosiasi yang
Asia Tenggara tetap melanjutkan kerangka
panjang dan bermasalah dengan Inggris.
perbatasan negara kolonial masing-masing.
Pada tahun 1963, setelah serangkaian
Dalam batas-batas ini ada keberagaman
pembicaraan, Malaya berubah menjadi
etnis dan agama yang besar. Khususnya
Federasi Malaysia ketika Serawak, Borneo
di kepulauan Indonesia dan Filipina dan
Utara dan Singapura bergabung dalam
di Federasi Malaysia dimana kesatuan itu
negara-bangsa merdeka itu. Setelah muncul
dipaksakan oleh negara kolonial. Berbeda
konflik mengenai posisi dominan elit Melayu,
dengan di kepulauan Asia Tenggara, di ka-
Singapura meninggalkan Federasi pada
wasan benua Asia Tenggara, kesatuan politik
tahun 1965 dan menjadi kota-negara yang
dibangun berdasarkan grup etnis inti (etnis
merdeka. Hanya negara kaya minyak Brunei
Henk Schulte Nordholt |
Masa-Depan Cerah, Bahaya Menunggu. Negara-Bangsa Baru dan kerasan Massal di Asia Tenggara
111

Burma, Thai, Khmer, Lao dan Vietnam) dan dicirikan dari sikap keterbukaan yang
akibat dari sejarah panjang pembentukan luas. Terbebaskan dari ikatan rezim-rezim
negara berdasarkan kerajaan dinastik yang kolonial lama, elit-elit nasional memperluas
menyebabkan proses perlahan asimilasi garis pandang pada saat ketika ide-ide baru
dan homogenisasi etnis, agama dan budaya dibawa oleh koran, radio, musik, teater dan
(Lieberman, 2003 dan 2009). Penjajahan mewujudkan dirinya dalam arsitektur ur-
Jepang, revolusi dan efek berdarah dari Pe- ban, pakaian dan bahasa (Lindsay dan Liem,
rang Dingin menciptakan persamaan lain di 2012; Day dan Liem, 2004). Contoh kuat dari
kawasan ini. Ia mengajarkan kepada aktor- sikap ini dialami oleh kru film dari Amerika
aktor politik bahwa konflik bisa diselesaikan pada tahun 1953 di Bali. Ketika mereka
lewat cara-cara yang penuh kekerasan dan bertanya akan lokasi terbaik guna merekam
mengakibatkan terjalinnya kekerasan men- budaya tradisional Bali yang asli, jawaban
jadi bagian dari sistem politik di Asia Teng- orang Bali: “kenapa tidak rekam saja gedung
gara. pos kantor, rumah sakit dan sekolah-sekolah
baru kami?” (Chegary, 1955: 129).
Bangsa Baru dan Negara Lama
Negara telah memenangkan Perang
Setelah kekacauan yang diakibatkan
Dunia Kedua dan dalam dunia sosialis dan
oleh penjajahan Jepang, yang menghentikan
kapitalis, negara dianggap sebagai motor
periode kolonial dan menyebabkan perluasan
utama untuk mewujudkan perubahan (Fa-
peperangan di seantero Asia Tenggara,
rabi Fakih, 2014). Di Asia Tenggara, negara
bangsa-bangsa baru ini muncul sebagai
merupakan lembaga-lembaga utama guna
alat guna mendorong modernitas. Mereka
menstimulir proses pembentukkan bangsa,
berfikiran ke masa depan dan menjanjikan
memperluas pendidikan dan bahasa nasio-
perubahan, pembangunan dan perbaikan.
nal, menulis kembali sejarah nasional dan
Ada periode singkat semasa tahun 1950an
menciptakan simbol-simbol persatuan yang
dimana elit-elit nasional menunjukkan ke-
baru. Pemimpin-pemimpin nasionalis yang
tertarikan yang tinggi akan perkembangan
kharismatis seperti Presiden Sukarno di In-
baru diberagam tempat di dunia, yang
donesia, Perdana Menteri U Nu di Birma,
Raja Sihanouk di Kamboja,
Presiden Ho Chi Minh di
Vietnam, Perdana menteri
Tunku Abdul Rahman di Ma-
lay dan Presiden Magsasay di
Filipina, mengejawantahkan
optimisme baru, menjanjikan
kemajuan dan mengarahkan
warga mantan-koloni ini un-
tuk menjadi partisipan aktif
dalam bangsa mereka.

Negara kolonial yang


diwariskan oleh pemimpin
ini merupakan rezim-rezim
Sukarno, U Nu, Sihanouk, Ho Chi Minh, Magsaysay dan Tunku
terpusat yang dikuasai oleh
Abdul Rahman
orang asing yang dicurigai
Sumber: Disarikan dari Google Images.
112 Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 11, No. 2, Oktober 2014

oleh pribumi dan bersekutu dengan elit Perekonomian dilemahkan dan infra-
lokal dan kelas kota terpelajar yang kecil. struktur rusak parah sebagai akibat dari
Fokus utama rezim-rezim ini ada pada krisis ekonomi tahun 1930an, penjajahan
eksploitasi sumber daya dan pengarahan Jepang, revolusi dan pergantian rezim. Di
tenaga kerja murah. Infrastruktur dibangun Birma dan Indonesia, pabrik pengolahan
utamanya guna mendukung ekonomi minyak rusak, kota-kota seperti Manila dan
kolonial, sementara investasi di bidang Singapura hancur dan sektor ekspor eko-
pendidikan dan kesehatan sangat terbatas. nomi kolonial lumpuh. Walaupun ada per-
Kelompok minoritas pedagang asing tumbuhan yang singkat pada awal tahun
menikmati hak istimewa ekonomi guna 1950an yang dirangsang oleh Perang Korea
menghambat kemunculan borjuis pribumi. (1950-1953) tidak ada investasi ekonomi
Tantangan utama yang dihadapi pemimpin skala besar ataupun inovasi ekonomi lain-
nasionalis baru ada pada tiga bidang: (1) nya. Usaha menjalankan kebijakan industri-
mengubah negara kolonial yang mereka alisasi nasioinal lewat substitusi impor yang
wariskan dari alat represi menjadi lembaga bertujuan mendorong produksi domestik ba-
yang bisa mendorong partisipasi populer; rang-barang tertentu lewat penerapan tarif
(2) mengubah ekonomi kolonial dari sifat tinggi atas impor barang murah, berhasil
eksploitasi menjadi mesin pembangunan, sampai taraf tertentu di Filipina tapi gagal
dan (3) mengubah masyarakat kolonial di Indonesia. Ekonomi Indonesia menjadi
yang diwarnai pembatasan etnis dan agama korban ketidak-efisiensi birokratis dan pe-
menjadi bangsa yang satu. nyelundupan sementara diseluruh kawasan
Asia Tenggara, jumlah populasi naik pesat
Karena banyak birokrat tingkat
ke level yang mengkhawatirkan, dari 177
menengah dan tinggi dididik dibawah
juta pada tahun 1950 menjadi 295 juta pada
kekuasaan kolonial, mereka melanjutkan
tahun 1979.
sikap-sikap negara kolonial lama dalam
negara-bangsa baru dan membentuk inti Walaupun ada usaha memobilisasi
dari kelompok konservatif dalam negara- populasi, sebagian besar politisi tidak pu-
bangsa baru ini. Lebih lanjut, militer dalam nya banyak pengalaman dengan demokrasi
negara bangsa baru juga memperlihatkan dan mereka juga tidak tertarik untuk mem-
kontinuitas yang sangat besar. Karena batas- perkuat partisipasi populer dalam proses
batas koloinal tidak pernah dipermasalah- pengambilan keputusan dan kontrol politik.
kan sebagai akibat dari kesepakatan bersama Semenjak 1930an, Birma dan Filipina telah
antara pemegang kekuasan Barat, tentara membatasi sistem pemerintahan dan pemilu,
kolonial punya tugas utama sebagai polisi yang di Birma didominasi oleh elit terpelajar
yang menjamin keamanan internal negara urban, sementara di Filipina dikontrol oleh
terhadap pemberontak dan nasionalis. Di elit mestizo pemilik lahan. Sebelum merde-
Vietnam dan terutama Birma dan Indonesia ka, demokrasi juga diperkenalkan di Mala-
tentara nasional baru memiliki peranan ya walaupun dipisah sesuai garis etnisitas
penting dalam menggapai kemerdekaan dan dalam sebuah sistem yang didominasi oleh
akibatnya mereka mengklaim peran seba- elit Melayu. Pemilu beguna untuk melegiti-
gai pelindung persatuan nasional. Setelah masi kekuasaan elit. Sebagian besar politisi
kemerdekaan mereka tetap melayani ke- dikawasan ini berbagi kekuasaan dengan bi-
pentingan negara dengan menekan segala rokrat gaya lama dan generasi baru pejabat
tanda-tanda ketidaksetiaan (Anderson pemerintahan modern yang punya keyaki-
1983). nan kuat bahwa populasi harus diarahkan
Henk Schulte Nordholt |
Masa-Depan Cerah, Bahaya Menunggu. Negara-Bangsa Baru dan kerasan Massal di Asia Tenggara
113

dari sebuah tradisi kenegaraan yang statis Tetapi, baik lembaga negara dan klien – yang
menuju modernitas dan mereka percaya karena sifatnya tidak memberi akses kepada
bahwa mereka dapat melakukan modernisa- non-klien – tidak mampu menghilangkan
si kepada masyarakat hanya lewat cara yang perasaan kekecewaan rakyat karena janji-
top-down. Walaupun kenyataan bahwa nega- janji bangsa baru tidak berhasil diwujudkan.
ra-bangsa baru ini punya struktur adminis- Perasaan tidak puas populer meningkat dan
tratif yang lemah, jaringan patronase politik membiakkan ketegangan-ketegangan etnis,
sangat berakar dalam masyarakat. Di zaman agama dan kelas baru.
pra-kolonial, penguasa dan pengikut mem-
Ekonomi kolonial telah meningkatkan
pertahankan hubungan-hubungan patron-
perbedaan antar kelas dan, sebagai
klien. Dimasa periode kolonial, sistem ini
akibat dari kekuasaan kolonial, kelompok
dipertahankan dalam pola penguasaan tidak
dalam masyarakat dikategorisasi dan
langsung (indirect rule) yang menghubung-
dipisahkan berdasarkan garis-garis etnis
kan penguasa Barat dan elit lokal. Setelah
dan agama. Kelas, etnisitas
dan agama menentukan batas
ketegangan (fault lines) politik
dalam masyarakat pasca-kolonial.
Tidak lagi dibatasi oleh monopoli
kekuasaan negara kolonial dan
didorong oleh konflik-konflik
baru, sentimen agama dan etnis
dapat meledak dengan gampang
ketika pemimpin baru memobilisir
dukungan guna membuka akses
mereka terhadap sumber daya ne-
gara yang terbatas pada saat ada
ketidakpastian dan kekurangan.
Secara bersamaan, ketidakpuasan
Karikatur yang satirikal menggambarkan perilaku penguasa terkait dengan eksploitasi dan
dan perubahan rezim. pengucilan mendorong mereka
Sumber: Pemuda, 11 November 1954 yang miskin untuk mengorganisir
diri mereka di bawah ideologi
komunisme. Segera setelah Burma meraih
merdeka, politisi mengambil alih peran dan
kemerdekaannya pada tahun 1947, Burma
membangun partai politik lewat jaringan
mengalami serangkaian konflik etnis yang
klien baru yang dengan cepat menginfiltrasi
berlangsung hingga beberapa dekade. Pe-
ke birokrasi. (Schulte Nordholt, 2015).
muka suku Karen, Kachin, Chin, dan Shan
Patronase, bukan demokrasi, yang berbalik melawan pemerintah pusat di
menjadi ciri dari politik pasca-kolonial Rangoon. Agama dan kelas juga memainkan
Asia Tenggara karena negara-bangsa baru peranan ketika kelompok muslim di
tidak hanya dipersatukan lewat lembaga Arakan dan faksi partai komunis melawan
administratif formal tetapi bahkan lebih pemerintah pusat. Ketika komandan militer
lewat jaringan patronase informal yang justru berubah menjadi pimpinan militer
mengikat ibukota sampai ke desa-desa. lokal, pemerintahan pusat hampir saja
kolaps.
114 Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 11, No. 2, Oktober 2014

Di Indonesia, agama, kelas, dan etnisitas hoa dan Melayu. Negara harus mengatasi
turut memicu konflik politik selama periode konflik-konflik tersebut dengan tujuan
revolusi dan tahun 1950an. Kristen Ambon untuk mencapai kesatuan nasional yang
dan kelompok muslim radikal di Jawa Barat baru. Namun seringkali tindakan-tindakan
mencoba untuk mendirikan negaranya represif yang menjadi ciri khas negara
sendiri, sementara pemberontakan PKI di kolonial, masih diterapkan oleh negara
Madiun berniat untuk mengubah ideologi merdeka tersebut.
Indonesia ke arah kiri, meskipun kemudian
berakhir dengan kegagalan. Selama tahun Ketika Perang Dingin Memanas: Keke-
1950an, ketidakpuasan banyak pihak rasan Massal dan Pembantaian
terhadap dominasi Jawa dan Suku Jawa
Berbeda dengan pembentukan negara,
dalam kancah perpolitikan Indonesia
proses urbanisasi, industrialisasi, dan de-
semakin meruncing, yang berimbas kepada
mokratisasi di Eropa yang memakan waktu
meletusnya pemberontakan di Sumatra dan
1,5 abad bahkan hingga dewasa ini, seluruh
Sulawesi. Pada saat bersamaan pemerintah
fenomena tersebut berlangsung di Asia Teng-
Indonesia menetapkan kebijakan untuk
gara dibawah tekanan kuat dalam jangka
membatasi posisi ekonomi para pengusaha
waktu beberapa dekade. Sebagian besar ne-
serta pedagang Tionghoa di Indonesia.
gara di Asia Tenggara hanya mengalami fase
Orang-orang gunung yang tinggal di daratan
pemerintahan demokratis singkat setelah
Asia Tenggara, serta suku-suku lokal yang
kemerdekaan. Pada tahun 1947 kudeta mi-
tinggal di pedalaman Kalimantan, Pa-
liter membatalkan pemerintahan demokra-
pua, dan Semenanjung Malaya, semakin
tis di Thailand yang rentan; di tahun 1959
termarginalisasi. Para elit negara melihat
Soekarno dengan dukungan militer memu-
rendang mereka dan bahkan mengkategori-
tuskan untuk membubarkan parlemen dan
kan mereka sebagai kelompok terbelakang
memperkenalkan konsep ‘Demokrasi Ter-
yang akan sangat sulit untuk dimodernisasi.
pimpin’ yang kelak turut memuluskan rezim
Di Fi-lipina konflik antar kelas di tingkat
pemerintahan otoriter Soeharto, pengganti
desa mendorong terjadinya pemberontakan
Soekarno; di tahun 1962 Jenderal Ne Win
Hukbalahap di tahun 1940an. Pasca periode
mendirikan rezim militer di Burma; setahun
kolonial, minoritas Kristen di Asia Tenggara
kemudian kudeta militer mengakhiri kekua-
semakin terkucil; Orang-orang Katolik di
saan presiden Ngo Dinh Diem di Vietnam
Vietnam semakin terpinggirkan oleh rezim
Selatan; di tahun 1970 Jenderal Lon Nol
sosialis di Hanoi, sehingga mendorong
menggantikan konsep ‘one party kingdom’
terjadinya migrasi dalam jumlah besar ke
Sihanouk dengan rezim militer di Kamboja;
Vietnam Selatan, dimana mereka bersekutu
Laos sudah telanjur masuk ke dalam pepe-
dengan pemerintahan Diem; namun
rangan permanen sebagai akibat dari pemili-
setelah kemenangan rezim komunis pada
han umum dan matinya parlemen; di tahun
tahun 1975, kembali mereka teralienasi.
1972 Presiden Marcos mengakhiri sistem de-
Para perantau yang berasal dari India dan
mokrasi parlementer di Filipina dan mendiri-
Tiongkok yang sudah menetap sejak periode
kan sebuah rezim otoriter. Hanya Federasi
kolonial, semakin dibatasi pergerakannya
Malaysia dan Singapura – dan juga Indone-
dan menjadi ‘orphans of empire’ (Cribb dan
sia ketika berada dibawah rezim Soeharto
Narangoa, 2004). Terbentuknya Malaya dan
mulai tahun 1971 – yang mempertahankan
Federasi Malaysia jelas dipengaruhi oleh
demokrasi elektoral di bawah kebijakan oto-
jurang perbedaan antara orang-orang Tiong-
riter ‘satu partai’ (UMNO – Malaysia; PAP
Henk Schulte Nordholt |
Masa-Depan Cerah, Bahaya Menunggu. Negara-Bangsa Baru dan kerasan Massal di Asia Tenggara
115

– Singapura; dan Golkar – Indonesia). Viet- pemerintah kolonial Inggris dan elit-elit
nam Utara, dan sejak 1975 seluruh Vietnam, Melayu. Karena para pemberontak gagal
Kamboja, dan Laos, menerapkan ‘one party untuk menjangkau kelompok lainnya, kon-
states’ yang berlandaskan sosialisme. flik tersebut kemudian kerap dikerucutkan
sebagai konflik kelas antara Tionghoa-
Kemunduran demokrasi di Asia Tenggara
Melayu. Di Singapura Lee Kuan Yuew
berbarengan dengan kemunculan Perang
memutuskan untuk menjalin kerjasama
Dingin di Asia Tenggara. Kawasan ini
dengan Malaya guna menangkal infiltrasi
berubah menjadi arena peperangan terbesar
komunis di Singapura. Aliansi itu sendiri
dari Perang Dingin, yang kemudian terma-
kemudian berakhir di tahun 1965 karena
nifestasikan dalam perang yang ‘panas’ dan
konflik dengan Federasi Malaysia (Cheah
berdarah antara Amerika, Uni Soviet, dan
Boon Kheng, 2008). Juga di tahun 1948
RRT, yang berupaya untuk memperluas dan
ketika pimpinan PKI, Musso, diinstruksikan
menjaga pengaruh mereka dalam perpoli-
oleh Moskow untuk mengambilalih revolusi
tikan dunia. Sebagai konsekuensi dari
Indonesia. Pemberontakan pun pecah di
artikulasi dan ketegangan internasional
Madiun, yang kemudian berhasil ditumpas
dalam negara-negara pasca kolonial, rang-
oleh Tentara Republik dengan bantuan
kaian konflik kemudian berkembang dan
Amerika. Sejak 1949 hingga sekarang revo-
memasuki arena kekerasan yang lebih luas.
lusi yang terjadi di Vietnam diatur dengan
Terhitung sejak tahun 1945 Amerika ketat oleh partai komunis, dimana golongan
berupaya mengidentifikasi ancaman komu- non-komunis dipinggirkan. Sementara itu di
nis di Asia Tenggara. Untuk alasan itu, Laos, pergerakan oposisi Pathet Lao berubah
pemberontakan Hukbalahap di Filipina menjadi pasukan gerilya yang berideologi
segera dilabeli sebagai pemberontakan ko- ‘kiri’. Pathet Lao memutuskan untuk ber-
munis. Menjelang akhir 1960an, the Maoist sekutu dengan Vietnam Utara, sementara
New People’s Army terus melanjutkan pe- pada saat bersamaan Amerika berupaya
rang gerilya dalam lingkup kecil yang juga untuk mengontrol pusat pemerintahan Laos
diikuti dengan pemerasan. Kudeta militer dari Vientiane.
di Thailand pada tahun 1947 mendapat
Kemunculan kembali Partai Komunis
dukungan penuh dari Amerika karena
Indonesia di panggung politik Indonesia
pemegang tampuk kekuasaan yang baru
pada awal tahun 1950an, membuat golongan
di Thailand dinilai sebagai pendukung
Muslim dan juga militer Indonesia bersikap
anti-komunis. Pasukan bersenjata Burma
waspada. Presiden Soekarno melalui Kon-
menerima dukungan penuh dari negara-
ferensi Asia-Afrika di Bandung di tahun
negara Barat dalam upaya mereka untuk
1955, menyatakan keinginannya untuk
memerangi pasukan gerilya komunis dan
membentuk ‘Third Way’ sebagai alternatif
mencegah invasi dari komunis Tiongkok.
dan solusi netral dari Perang Dingin yang
Titik tolak yang mempercepat Perang memecah politik dunia ke dalam Blok
Dingin adalah Konferensi Pemuda Asia Barat dan Blok Timur. Konferensi tersebut
Tenggara yang dihelat di Calcutta di tahun ternyata tetap tidak mampu mencegah
1948, setelah rangkaian pemberontakan penyebaran kekerasan politik dan massal di
komunis yang meletus di berbagai negara. Asia Tenggara.
Situasi darurat pecah pada tahun 1948 di
Perang di kawasan Indochina yang ber-
Malaya ketika orang-orang Tionghoa yang
langsung sejak tahun 1954 hingga 1975
berhaluan komunis memberontak melawan
116 Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 11, No. 2, Oktober 2014

merupakan peperangan terbesar dan terke- pungkiri bahwa pimpinan Khmer Rouge,
jam yang pernah terjadi di kawasan daratan Pol Pot, mengetahui nasib partai komunis di
Asia Tenggara. Vietnam Utara melancarkan Indonesia dekade sebelumnya –PKI saat itu
perang gerilya melawan Vietnam Selatan merupakan partai komunis terbesar di dunia
yang disokong oleh sekitar 500.000 tentara di luar blok komunis- yang mungkin sema-
Amerika di tahun 1969. Peperangan juga kin mendorong Pol Pot untuk memusnah-
menjalar ke negara tetangga seperti Laos kan segala macam hal yang berpotensi un-
dan Kamboja, dimana konflik lokal kemu- tuk mengganjal pemerintahannya, sebagai
dian berkembang menjadi perang dalam langkah untuk menghindari serangan balik
skala besar. Untuk menghentikan infiltrasi (Fein, 1993).
Vietnam Utara ke Vietnam Selatan, Ameri-
Jatuhnya Saigon pada bulan April 1975
ka membombardir jalur gerilya Ho Chi Minh
memunculkan dua akibat. Kudeta militer
yang terbentang dari Vietnam Utara mele-
di Thailand pada bulan Oktober 1976
wati Laos dan Kamboja. Tindakan Amerika
membawa Thailand kepada fase demokrasi
tersebut ternyata membawa malapetaka. Se-
yang singkat dengan pemilihan umum yang
bagai perbandingan, Amerika menjatuhkan
tidak jelas dan koalisi yang rentan (1973-
lebih banyak bom di Laos dibandingkan de-
1976). Instabilitas ekonomi dan ketakukan
ngan Sekutu ketika membombardir Jerman
akan invasi komunis, turun berperan
selama Perang Dunia II. Konflik itu juga
dalam menciptakan aliansi antara militer,
berimbas terhadap situasi politik di Indone-
kelas menengah, dan juga monarki. Hal ini
sia, dimana meletus sebuah peristiwa yang
meresmikan sebuah periode baru dari rezim
dinamakan ‘Gerakan 30 September 1965’,
pemerintahan otoriter, dimana banyak
yang diikuti dengan pembantaian besar-
kelompok kiri pindah ke daerah pegunungan
besaran oleh militer dan milisi Muslim ter-
dan memulai perjuangan bersenjata. Pada
hadap mereka yang dituduh sebagai komu-
bulan Desember 1975 Tentara Indonesia,
nis. Pembantaian tersebut – meskipun latar-
dengan dukungan Amerika, menginvasi
belakangnya berkebalikan dengan peristiwa
Timor Leste sesudah Portugal memutuskan
1965 di Indonesia – mirip dengan apa yang
untuk mengakhiri kolonialismenya di sana.
terjadi di Kamboja setelah Khmer Rouge
Karena ketakutan bahwa Timor Leste akan
me-ngambil alih kekuasaan di tahun 1975.
berkembang sebagai pos strategis dari
Dalam kedua kasus tersebut rezim kekua-
komunisme Tiongkok. Pertempuran sipil
saan lama sudah kolaps, sehingga rezim
pun pecah dan meluas ke dalam arena geo-
baru kemudian mendirikan rezimnya sendiri
politikal, dengan konsekuensi yang tragis
yang ditandai dengan pembasmian lawan-
bagi para penduduk lokal.
lawan politiknya dengan cara yang sadis,
di Indonesia adalah komunis, sementara di Jumlah korban Perang Dingin di Asia
Kamboja adalah kaum intelektual dan ke- Tenggara tidak pernah diketahui secara
las menengah. Pembersihan tersebut bisa rinci. Namun berdasarkan perhitungan ka-
terwujud berkat persetujuan dan dukungan sar, sekitar 5-7 juta orang menjadi korban,
dari negara superpower, yang mendukung sebanding dengan jumlah korban Holocaust
rezim baru tersebut (Amerika di Indonesia di Eropa selama Perang Dunia II.2
dan Tiongkok di Kamboja). Tidak bisa di-

2
Vietnam-Laos: 2-4 juta; Kamboja: 2 juta; Indonesia: 0,5-0,7 juta; Timor Leste: 0,1-0,15 juta; Malaysia, Fili-
pina, Burma, Thailand: sekitar 4 juta. Cf. Taylor, 2013, Kiernan, 2008, Crib, 1990, Van Klinken, 2012, Harper,
1999, Kerkvliet, 2002, Taylor, 2009, Baker dan Pasuk Phonghpaichit, 2014.
Henk Schulte Nordholt |
Masa-Depan Cerah, Bahaya Menunggu. Negara-Bangsa Baru dan kerasan Massal di Asia Tenggara
117

Rezim otoriter baru pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut.


Didukung oleh pinjaman dalam jumlah besar
Ketika tahun 1950 sebagian besar bangsa dari Amerika, Jepang, dan IMF, sehingga
muncul sebagai negara demokrasi baru, membuat aliansi para birokrat, politikus, dan
maka di pertengahan 1970-an sebagian besar pengusaha berkecimpung di dalam sebuah
dari negara-negara tersebut mengalami sistem yang disebut sebagai ‘authoritarian
kekerasan massal dan berada di bawah developmental states.’ Salah satu kunci
rezim pemerintahan otoriter. Thailand (sejak untuk menyeimbangkan pertumbuhan ter-
1976), Burma dan Vietnam Selatan (hingga sebut adalah dengan menerapkan sebuah
1975) merasakan rezim militer; Indonesia kebijakan yang dinamakan Revolusi Hijau.
mengalami fase pemerintahan otoriter yang Dengan dukungan dana dari Rockefeller dan
dikendalikan oleh militer; Filipina, Malaysia Ford Foundations, the International Rice
dan Singapura merasakan rezim otoriter Research Institute di Filipina mampu mem-
sipil; sedangkan dari 1975 sampai sekarang budidayakan varietas beras baru dengan
Vietnam, Kamboja, dan Laos dikendalikan hasil produksi yang lebih tinggi. Hasil dari
oleh rezim otoriter sosialis. riset tersebut ditujukan untuk menyuplai
makanan ter-hadap populasi yang
terus meningkat dan juga untuk
mencegah semakin meluasnya
‘Revolusi Merah’.

Pertumbuhan ekonomi juga


berbanding lurus dengan per-
kembangan kelas menengah yang
dibesarkan, disosialisasikan, dan
– sebagian besar – didanai oleh
negara. Sebagai gantinya, mere-
ka menunjukkan loyalitas mere-
ka terhadap pemegang tampuk
Suharto, Ne Win, Mahathir, Lee Kuan Yew, Marcos dan
istrinya bertemu dengan Presiden Johnson, Pol Pot kekuasaan. Berbanding terbalik
dengan sejarah Eropa dimana kelom-
Sumber: Disarikan dari Google Images
pok kelas menengah berperan sebagai
agen utama dalam proses demokratisasi,
Dengan berkiblat ke Soviet dan kelompok kelas menengah di Asia Teng-
Tiongkok, rezim sosialis menekankan pada gara cenderung menguntungkan dan men-
kolektivisme pertanian dan investasi di dukung rezim otoriter yang berkuasa. De-
sektor industri berat. Namun negara-negara ngan memori kekerasan yang masih segar
ini mengalami kemerosotan ekonomi yang dalam ingatan mereka, sebagian besar dari
disebabkan oleh mandeknya sistem birokrasi mereka merindukan stabilitas dan pertum-
dan juga keterbatasan untuk berinovasi. buhan ekonomi, yang menjadi pondasi so-
Faksionalisme dan hubungan patron-klien lid bagi rezim otoriter. Atau dalam bahasa
menjadi ciri utama bila melihat hubungan lain: selama rezim ini menguntungkan. Ke-
internal antar partai politik dan antara tika Marcos dan Suharto gagal memperta-
partai dengan militer. hankan kekuasaannya, demonstrasi besar-
Sejak tahun 1970an hingga sekarang besaran kemudian mengakhiri kekuasaan
para kapitalis berperan dalam mempercepat mereka masing-masing di tahun 1986 dan
118 Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 11, No. 2, Oktober 2014

1998. Kondisi serupa juga terjadi di bekas Chegary, Jacques. 1955. Bliss in Bali.
negara-negara sosialis (termasuk Burma), The Island of Taboos. London: Arthur
dimana rezim otoriter masih berkuasa, na- Barker.
mun kelas menengah yang masih loyal me-
Cribb, Robert (ed.). 1990. The Indonesian
manfaatkan kondisi tersebut untuk mem-
Killings 1965-1966: Studies from Java
buka market-market baru. Gelombang baru
and Bali. Clayton: Monash Centre of
demokratisasi yang muncul menjelang akhir
Southeast Asian Studies.
abad ke-20, dan berbarengan dengan runtuh-
nya tembok Berlin serta berakhirnya Perang Cribb, Robert, dan Narangoa, Li. 2004.
Dingin, tidak lagi menguntungkan rezim oto- “Orphans of Empire: Divided Peoples,
riter dan anti-komunis. Sebaliknya, proses Dilemmas of Identity, and Old Imperial
demokratisasi dan desentralisasi menandai Borders in East and Southeast Asia,”
hubungan-hubungan politik baru di antara Comparative Studies in Society and
negara-negara tersebut. History 46: 164-187.
Kekerasan massal yang dipicu oleh Day, Tony dan Liem, Maya. 2004. Cultures
perang dingin telah merubah pemikiran at War. The Cold War and Cultural
politik di Asia Tenggara menjadi lebih Expression in Southeast Asia. Ithaca:
fundamental. Negara-negara demokratis Southeast Asia Program.
baru, namun lemah digantikan oleh rezim
otoriter yang lebih kuat pada tahun 1950an. Farabi Fakih. 2014. The Rise of the Managerial
Mereka menggabungkan berbagai bentuk State in Indonesia. PhD thesis Leiden
kekerasan politik, merubah represi politik University.
menjadi milisi sipil. Intimidasi kekerasan Fein, Helen. 1993. “Revolutionary and
tetap menjadi bagian dari sistem politik. Antirevolutionary Genocides: A
Setelah tertunda selama beberapa dekade, Comparison of State Murders in
proses demokratisasi baru-baru ini diinisiasi. Democratic Kampuchea, 1975 to 1979,
Namun jalan dan upaya untuk mewujudkan and in Indonesia, 1965 to 1966,” 35: 796-
demokratisasi kelembagaan, termasuk juga 823. Comparative Studies in Society and
akuntabilitas dari pemegang kekuasaan, History
masih panjang dan berliku.
Harper, Tim. 1999. The End of Empire
and the Making of Malaya. Cambridge:
Bibliogra i Cambridge University Press.

Anderson, Benedict. 1983. “Old State, New Kerkvliet, Ben. 2002. The Huk
Society: Indonesia’s New Order in Rebellion: A Study of Peasant Revolt in
Comparative Historical Perspective,” The the Philippines. Lanham: Rowman and
Journal of Asian Studies 42: 477-496. Littlefield.

Baker, Chris dan Phonghpaichit, Pasuk. Kiernan, Ben. 2008. The Pol Pot Regime. Race,
2014. A History of Thailand. Cambridge: Power, and Genocide in Cambodia under
Cambridge University Press. Third the Khmer Rouge, 1975-79. New Haven:
Edition. Yale University Press. Third Edition.

Cheah Boon Kheng. 2002. Malaysia: The Klinken, Gerry van. 2012. “Death by
Making of a Nation. Singapore: ISEAS. Deprivation in East Timor 1975-
Henk Schulte Nordholt |
Masa-Depan Cerah, Bahaya Menunggu. Negara-Bangsa Baru dan kerasan Massal di Asia Tenggara
119

1980,” Reinventing Peace, World Peace Schulte Nordholt, Henk. 2015. “From
Foundation. http://sites.tufts.edu/ Contest State to Patronage Democracy:
reinventingpeace/2012/04/17/death-by- the Longue Durée of Clientelism in
deprivation-in-east-timor-1975-1980/. Indonesia’, David Henley dan Schulte
Nordholt, Henk (eds). Environment,
Lieberman, Victor. 2003 dan 2009. Strange
Trade and Society in Southeast Asia. A
Parallels. Southeast Asia in Global
Longue Durée Perspective. Leiden: Brill/
Context ca. 800 – 1830. 2 vols. Cambridge:
KITLV. hlm. 166-180
Cambridge University Press.
Taylor, Keith. 2013. A History of the
Lindsay, Jennifer dan Liem, Maya (eds). 2012.
Vietnamese. Cambridge: Cambridge
Heirs to World Culture. Being Indonesia
University Press.
1950-1965. Leiden: KITLV Press.
Taylor, Robert. 2009. The State in Myanmar.
London: Hurst.
120 Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 11, No. 2, Oktober 2014

Anda mungkin juga menyukai