A. PENGERTIAN AGAMA
Kata Agama berasal dari kata a dan gam. A berarti tidak dan gam berarti
pergi. Jadi kata agama berarti tidak pergi atau kekal abadi. Yang kekal dalam
hal ini adalah nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama yang sering
disebut dengan Dharma. Ajaran agama sangat bermanfaat bagi kehidupan
manusia karena dapat sebagai pedoman/pegangan bagi
manusia/masyarakat penganutnya dalam kehidupannya mencapai tujuan
yaitu Moksha. Tujuan hidup menurut agama Hindu adalah Mokshartam
Jagaditta Ya Ca Iti Dharma. Agama ibarat obor yang memberi penerangan
bagi manusia dalam kegelapan dalam menjalani kehidupan di masyarakat
Agama Hindu, dahulu juga dikenal dengan nama agama Tirtha, juga agama
Sanatana Dharma yang berarti agama yang kekal abadi (Ardhana, 2002:3)
D. MANUSIA HINDU
1. Konsepsi Manusia
Secara etimologi kata Manusia berasal dari kata Manu (berarti pikiran)
dan Sya (berarti milik atau sifat yang dimiliki kata benda yang dilekatinya).
Jadi kata Manusia berati ia yang memiliki pikiran atau ia yang senantiasa
berpikir dan menggunakan akal pikirannya.
Menurut Rene Descartes adalah Cogito ergosum, artinya saya berfikir,
maka saya ada
Menurut Prof Gunada dan juga Prof Gorda: Manusia adalah salah satu
aspek ciptaan Tuhan dengan tujuan akhirnya kembali kepada
penciptanya. Langkah untuk kembali kepada penciptanya adalah dengan
mengikuti ajaran kitab suci agama.
Menurut Adiputra: Manusia adalah manusapada yang artinya bahwa
sesungguhnya manusia itu adalah sama dalam berbagai bidang , sama
dalam hakekat dan sama dalam martabat, sama dalam hak dan
kewajiban.
Definisi ini sejalan dengan ajaran agama Hindu yaitu Tattwam Asi.
Menurut Sudiatmaka: Manusia adalah sebuah hakekat.
- Hakekat manusia sebagai individu adalah makhluk pribadi yang
memiliki hubungan langsung dengan Tuhan.
- Manusia sebagai makhluk social yang hidup bermasyarakat dengan
memelihara kewajiban-kewajiban dan mengembangkan nilai-nilai luhur
yang bersumber dari ajaran agama dengan konsep Mokshartam
Jagatdhita Ya Caiti Dharma.
Menurut Wiana: Menyatakan bahwa agama Hindu tidak melihat manusia
hanya dari sudut rohani semata, tetapi harus dilihat secara utuh dengan
segala totalitasnya.
- Badan diandaikan sebagai kereta
- Kuda yang menarik diandaikan sebagai indriya
- Tali kekang kuda diandaikan sebagai pikiran
- Kusir kuda diandaikan ibarat budhi
- Pemilik kuda diandaikan ibarat atman.
2. Hakekat Manusia Hindu
3. Martabat Manusia
Menurut Watra dkk, tinggi rendah martabat seseorang / manusia modern
tercermin dari:
- Tingkat pendidikan / pengetahuan
- Profesi / pekerjaan
- Pran & kedudukan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
- Keimanan dan ketaqwaan
5. Etika Hindu
Kata etika berasal dari kata yunani ”Ethos” atau ”La Ethos” yang berarti
watak, karakter, sikap, kepribadian, dan keyakinan atas sesuatu. Etos ini
dimiliki oleh manusia baik secara perorangan atau kelompok atau suatu
masyarakat. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan (adat), budaya dan
sitem nilai yang diyakininya. Dari kata ethos lahirlah etika (ethic) yang artinya
pedoman bagi seseorang atau kelompok masyarakat di dalam bersikap dan
berperilaku terhadap masalah dan tantangan dalam kehidupan
Menurut agama hindu etika sama dengan susila. Kata Susila berasal dari
Sanskerta ”Sila” yang berarti tingkah laku. Sedangkan ”Su” berarti baik.
Susila berarti sikap/tingkah laku yang baik dan benar. Tata Susila berarti
peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman
hidup manusia. Dengan demikian Etika menjelaskan dan mendefinisikan apa
yang benar dan apa yang salah, apa yang baik dan apa yang buruk dalam
perbuatan manusia, dengan ukuran-ukuran agama hindu.
Tujuan Etika:
Untuk membina hubungan yang selaras atau hubungan yang rukun antara
seseorang (jiwatma) dengan makhluk hidup disekitarnya, hubungan yang
selaras antara keluarga yang membentuk masyarakat dengan masyarakat
itu sendiri, antara satu bangsa dengan yang lain dan antara manusia dengan
alam sekitarnya.
1) Pengertian Suci
Suci menurut Gunadha (1990:4) adalah “suatu keadaan yang dapat
menyebabkan ketenangan, keharmonisan sehingga dapat menciptakan
suasana spiritual yang mantap dan magis”. Untuk menciptakan keadaan
menjadi suci dalam agama Hindu dilakukan dengan upacara agama. Sesuatu
dipandang tidak suci apabila tidak pernah disucikan dengan upacara
keagamaan. Sedangkan kesucian menurut Santeri (2000: 73) “merupakan
usaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan melalui perjalanan kedalam
bathin sendiri, mengenal sangkan paraning dumadi”. Dibia I Wayan ( dalam
Yudha Triguna. 2003) menyatakan Kesecian (shiwam) pada intinya
menyangkut nilai-nilai ketuhanan yang juga mencakup yadnya dan taksu.
Menurut Durkheim (dalam Pals, 2001: 167) hal-hal yang suci atau sakral (the
sacred) “selalu dianggap superior, sangat kuasa, terlarang dari hubungan
normal dan pantas mendapat penghormatan tinggi. Sesuatu yang suci
menurut Durkheim (dalam Ishomuddin: 2002: 5 ), memiliki tujuh macam
ciri yaitu
(1) diakui sebagai suatu kekuasaan atau kekuatan, (2) ambigius: fisik-
moral, human-cosmic, positif-negatif, menarik-menjijikkan, membantu-
membahayakan, (3) tidak utilitarian, (4) tidak empirik, (5) tidak melibatkan
pengetahuan, (6) memperkuat dan mendukung para pemuja (worshipper),
(7) membuat tuntutan moral bagi para pemujanya.
Dengan demikian suci dapat dikatakan sebagai suatu yang tidak dapat diukur
/ dinilai dari keadaan fisik, namun lebih menekankan pada perasaan dan
bersifat transendental maupun spiritual. Sesuatu benda yang keadaan
fisiknya sangat bersih dan higienes namun dalam hubungan transedental
tidak dapat memberikan perasaan tenang atau harmonis, maka benda
tersebut tidak dapat dikatakan suci. Jadi suci dapat diartikan sebagai sesuatu
keadaan yang mampu memberikan ketenangan atau keharmonisan dalam
kehidupan yang pada akhirnya diharapkan dapat mencapai Moksartham
Jagadhita Ya Caiti Darmah.
2) Orang Sadhu
Orang suci merupakan orang yang memiliki kesucian diri, dan menurut
Ganapati Tatwa sloka penjelasan 11 dinyatakan “svalinggam paralinggam va
svayam eva karoti yah, liyate sarvabhutanam svalinggam liyate dvijah” yang
artinya “nilai diri sendiri atau nilai diri orang lain, itulah yang dia laksanakan
hanya dengan mengurangi unsur nilai dirinya sendiri terhadap penilaian
segala makhluk, demikianlah orang suci (Dvija).(Mirsha, et all, 1994: 35).
Lebih lanjut sloka penjelasan 11 Ganapati Tatwa menyebutkan “matangnyam
sang dwija, ginawe nira swalingga lawan ikang paralingga, prihawak siran
pagawe, tan bhedahati ning waneh hana pwekang swalingga, sira ta kalinan
ing sarwabhuta nang Brahmadi, matangnyan pinralinaken ira swalingga nira”.
Artinya,
maka dari itu, bagi orang suci/Dwija dilakukanlah penyesuaian nilai diri
pribadi dengan nilai dirinya orang lain, diperlukan pula bahwa setiap dirinya
berbuat agar tidak menyimpang dari perasaan orang lain tentang status
pribadinya itu, hal inilah yang melepaskan segala pengaruhnya ciptaan
materiil didunia ini, maka dari itu kebutuhan nafsu pribadinya dipersempitnya
(Mirsha et. All, 1994: 35)
Dengan demikian orang suci atau Dwija adalah orang yang mampu
menyesuaikan nilai dirinya dengan nilai orang lain, mampu menjaga
perasaan orang lain serta mampu mengendalikan kebutuhan nafsu
pribadinya, sehingga mampu memberikan rasa tenang dan harmonis kepada
orang lain dan lingkungannya. Orang suci sering juga disebut dengan orang
sadhu (sang sadhu). Menurut Sarasamuscaya sloka 306 disebutkan ciri-ciri
sang sadhu yaitu “kuneng laksana sang sadhu, tan agirang yan inalem, tan
alara yan ininda, tan kataman krodha, pisaningun ujarakenang
parusawacana, langgeng dhirahning manah nira” yang artinya, “adapun ciri-
ciri sang sadhu (orang utama budi) adalah tidak gembira jika dipuji, tidak
sedih jika dicela, pun tidak kerasukan marah, tidak mungkin beliau
mengucapkan kata-kata kasar, sebaliknya selalu tetap teguh dan suci bersih
pikiran beliau” (Kadjeng dkk, 2000: 153).
2. Seni
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Senin mempunyai 2 arti
yaitu:
1). Halus kecil dan halus
2). Keaktifan membuat karya-karya bermutu dilihat dari segi
kehalusannya.
Seni merupakan hasil perenungan yang sangat mendalam yang mendapat
kekuatan budhi untuk dapat diwujudkan sebagai hasil cipta, karsa dan karya
yang dijiwai kekuatan agama Hindu berupa pancaran kesucian Tuhan yang
memancarkan Taksu. Dalam kehidupan masyarakat Hindu ungkapan rasa
seni dituangkan dalam bentuk kesenian. Menurut Dibia I Wayan (2003)
kesenian itu bukanlah ciptaan manusia, melainkan ciptaan Tuhan. Dalam
berkesenian tentu ada nilai Estetika. Estetika Hindu oleh Dibia I Wayan
(2003) disebutkan bahwa pada intinya merupakan cara pandang mengenai
rasa keindahan (lango0 yang diikat oleh nilai-nilai agama Hindu yang
didasarkan atas ajaran-ajaran kitab suci Weda. Estetika Hindu dilandasi 3
konsep yaitu Konsep Kesucia, Konsep kebenaran dan konsep
keseimbangan.
Menurut Yudha Triguna (2003) Seni berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu
dari kata Sani yang berarti pemujaan, pelayanan, donasi, permintaan atau
pencarian dengan hormat dan jujur. Lebih lanjut dikemukakan bahwa
berkesenian adalah salah satu ekspresi proses kebudayaan, maka ia terkait
dengan pandangan jagat/dunia orang-orang dari kebudayaan itu.
Menghasilkan karya seni yang penuh dengan rasa keindahan yang dapat
memberikan rasa lango, tidak lain adalah merupakan sarana (alat) untuk
melakukan Yoga. Yoga itu sendiri adalah suatu cara untuk menghubungkan
diri dengan Tuhan Yang Maha Esa.
3. Budaya
Menurut Suryani, I Gusti Ayu Putu, dkk (2009), Budaya merupakan kata
bentuk plural dari buddi, yaitu budhhaya yang berarti keluhuran dan
kecerdasan pikiran. Selanjutnya disebutkan bahwa Kebudayaan menurut
Antropologi Koentjaraningrat, adalah seluruh sistem gagasan dan rasa,
tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar.
Memperhatikan tentang seni dan budaya diatas maka dapat menyiratkan
bahwa Kesenian utamanya kesenian Bali merupakan produk budaya Bali
yang dijiwai oleh agama Hindu yang sangat sarat dengan muatan nilai-nilai
budaya luhur serta nilai-nilai estetika Hindu.
Penegakan Hukum yang adil dalam ajaran Hindu mempunyai konsep yang
jelas yang dijabarkan atau diaplikasikan dalam konsep sradha yaitu Karma
Phala.
Berdasarkan ajaran agama satya mempunyai nilai yang sangat tinggi seperti
disebutkan dalam Slokantara 2 bahwa Satya itu jauh lebih utama dari seratus
putra yang suputra. Seorang suputra jauh lebih utama dari seratus kali
baryadnya. Sebuah yadnya lebih utama dari seratus telaga untuk umum.
Sebuah telaga lebih tinggi mutunya dari membuat seratus sumur.
Dalam Sarasamuscaya 129 diterangkan bahwa Satya itu lebih tinggi nilainya
dalam membebaskan manusia dari samsara dari pada yadnya, dana dan
brata, meskipun yadnya, dana dan brata itu juga dapat membebaskan
manusia dari samsara.