Tugas Sejarah Kesmay
Tugas Sejarah Kesmay
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
BAB II
PEMBAHASAN
Namun demikian di bidang kesehatan masyarakat yang lain pada tahun 1807 pada waktu
pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, telah dilakukan pelatihan dukun bayi dalam
praktek persalinan. Upaya ini dilakukan dalam rangka penurunan angka kematian bayi yang
tinggi pada waktu itu.
Akan tetapi upaya ini tidak berlangsung lama karena langkanya tenaga pelatih kebidanan
kemudian pada tahun 1930 dimulai lagi dengan didaftarnya para dukun bayi sebagai
penolong dan perawatan persalinan. Selanjutnya baru pada tahun 1952 pada zaman
kemerdekaan pelatihan secara cermat dukun bayi tersebut dilaksanakan lagi.
Pada tahun 1851 sekolah dokter Jawa didirikan oleh dr. Bosch, kepala pelayanan kesehatan
sipil dan militer dan dr. Bleeker di Indonesia. Kemudian sekolah ini terkenal dengan nama
STOVIA (School Tot Oplelding Van Indiche Arsten) atau sekolah untuk pendidikan dokter
pribumi. Setelah itu pada tahun 1913 didirikan sekolah dokter yang kedua di Surabaya
dengan nama NIAS (Nederland Indische Arsten School).
Pada tahun 1927, STOVIA berubah menjadi sekolah kedokteran dan akhirnya sejak
berdirinya Universitas Indonesia tahun 1947 berubah menjadi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Kedua sekolah tersebut mempunyai andil yang sangat besar dalam
menghasilkan tenaga-tenaga (dokter-dokter) yang mengembangkan kesehatan masyarakat
Indonesia.
Pada tahun 1922 pes masuk Indonesia dan pada tahun 1933, 1934 dan 1935 terjadi epidemi
di beberapa tempat, terutama di pulau Jawa. Kemudian mulai tahun 1935 dilakukan program
pemberantasan pes ini dengan melakukan penyemprotan DDT terhadap rumah-rumah
penduduk dan juga vaksinasi massal. Tercatat pada tahun 1941, 15.000.000 orang telah
memperoleh suntikan vaksinasi.
Pada tahun 1925, Hydrich, seorang petugas kesehatan pemerintah Belanda melakukan
pengamatan terhadap masalah tingginya angka kematian dan kesakitan di Banyumas-
Purwokerto pada waktu itu. Dari hasil pengamatan dan analisisnya tersebut ini
menyimpulkan bahwa penyebab tingginya angka kematian dan kesakitan ini adalah karena
jeleknya kondisi sanitasi lingkungan.
Masyarakat pada waktu itu membuang kotorannya di sembarang tempat, di kebun, selokan,
kali bahkan di pinggir jalan padahal mereka mengambil air minum juga dari kali. Selanjutnya
ia berkesimpulan bahwa kondisi sanitasi lingkungan ini disebabkan karena perilaku
penduduk.
Oleh sebab itu, untuk memulai upaya kesehatan masyarakat, Hydrich mengembangkan
daerah percontohan dengan melakukan propaganda (pendidikan) penyuluhan kesehatan.
Sampai sekarang usaha Hydrich ini dianggap sebagai awal kesehatan masyarakat di
Indonesia.
Dalam konsep ini mulai diperkenalkan bahwa dalam pelayanan kesehatan masyarakat, aspek
kuratif dan preventif tidak dapat dipisahkan. Hal ini berarti dalam mengembangkan sistem
pelayanan kesehatan di Indonesia kedua aspek ini tidak boleh dipisahkan, baik di rumah sakit
maupun di puskesmas.
Selanjutnya pada tahun 1956 dimulai kegiatan pengembangan kesehatan sebagai bagian dari
upaya pengembangan kesehatan masyarakat. Pada tahun 1956 ini oleh dr. Y. Sulianti
didirikan Proyek Bekasi (tepatnya Lemah Abang) sebagai proyek percontohan atau model
pelayanan bagi pengembangan kesehatan masyarakat pedesaan di Indonesia dan sebagai
pusat pelatihan tenaga kesehatan.
Proyek ini disamping sebagai model atau konsep keterpaduan antara pelayanan kesehatan
pedesaan dan pelayanan medis, juga menekankan pada pendekatan tim dalam pengelolaan
program kesehatan.
Untuk melancarkan penerapan konsep pelayanan terpadu ini terpilih 8 desa wilayah
pengembangan masyarakat yaitu Inderapura (Sumatera Utara), Lampung, Bojong Loa (Jawa
Barat), Sleman (Jawa Tengah), Godean (Yogyakarta), Mojosari (Jawa Timur), Kesiman
(Bali) dan Barabai (Kalimantan Selatan). Kedelapan wilayah tersebut merupakan cikal bakal
sistem puskesmas sekarang ini.
Pada bulan November 1967, dilakukan seminar yang membahas dan merumuskan program
kesehatan masyarakat terpadu sesuai dengan kondisi dan kemampuan rakyat Indonesia. Pada
waktu itu dibahas konsep puskesmas yang dibawakan oleh dr. Achmad Dipodilogo yang
mengacu kepada konsep Bandung dan Proyek Bekasi. Kesimpulan seminar ini adalah
disepakatinya sistem puskesmas yang terdiri dari tipe A, B, dan C.
Puskesmas disepakati sebagai suatu unit pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan
kuratif dan preventif secara terpadu, menyeluruh dan mudah dijangkau dalam wilayah kerja
kecamatan atau sebagian kecamatan, di kotamadya atau kabupaten.
Pada tahun 1969, sistem puskesmas hanya disepakati 2 saja, yakni tipe A dan B dimana tipe
A dikelola oleh dokter sedangkan tipe B hanya dikelola oleh paramedis. Dengan adanya
perkembangan tenaga medis maka akhirnya pada tahun 1979 tidak diadakan perbedaan
puskesmas tipe A atau tipe B, hanya ada satu tipe puskesmas yang dikepalai oleh seorang
dokter.
Pada tahun 1979 juga dikembangkan 1 piranti manajerial guna penilaian puskesmas yakni
stratifikasi puskesmas sehingga dibedakan adanya :
1. Strata 1 : puskesmas dengan prestasi sangat baik
2. Strata 2 : puskesmas dengan prestasi rata-rata atau standar
3. Strata 3 : puskesmas dengan prestasi dibawah rata-rata
Selanjutnya puskesmas juga dilengkapi dengan 2 piranti manajerial yang lain, yakni micro
planning untuk perencanaan dan lokakarya mini (Lokmin) untuk pengorganisasian kegiatan
dan pengembangan kerjasama tim. Akhirnya pada tahun 1984 tanggung jawab puskesmas
ditingkatkan lagi dengan berkembangnya program paket terpadu kesehatan dan keluarga
berencana (Posyandu).