DARI KEHIDUPANNYA
Pertengahan abad ke-19, Friedrich Froebel dari Jerman mengambil gagasan Rousseau dan
Pestallozi, lalu memadukannya dengan gagasannya sendiri, untuk mendirikan sekolah bagi anak-
anak yang sangat muda. Dia menyebutnya Taman Kanak-Kanak, berdasarkan konsep bahwa anak
kecil berkembang seperti bunga (di taman).
Pada awal abad ini, dokter wanita pertama asal Italia, Maria Montessori, mempraktikkan teori-
teori ini untuk menunjukkan bahwa tahun-tahun antara kelahiran dan usia 6 tahun adalah sangat
penting. Dia menambahkan ide-ide revolusionernya sendiri: bahwa menciptakan lingkungan yang
tepat, pada “periode sensitif ” yang kritis pada awal pertumbuhan, akan membuat anak- anak
“melejit” menjadi pelajar yang mandiri. Hasil yang dicapainya juga revolusioner: anak-anak
“terbelakang” dapat belajar mengeja, membaca, inenulis, dan mengerjakan soal matematika yang
rumit. Hal ini akan kita bahas kemudian.
Dirintis di Amerika, namun segera menyebar cepat ke seluruh negara, suatu konsep menjadi
gagasan-tanding atas tradisi Inggris dan Eropa Barat. Beberapa kalangan menyebutnya kurikulum
pragmatis, atau konsep pendidikan yang berpusat pada anak.
Herbert Spencer, pada awal abad ini, melontarkan pertanyaan: “Pengetahuan apa yang paling
berharga?” Jawabannya: “Pengetahuan yang memam- pukan kaum muda untuk menangani
berbagai masalah dan menyiapkan mereka untuk menyelesaikan berbagai masalah yang kelak
akan mereka temui sebagai orang dewasa di tengah masyarakat demokratis.”
John Dewey, profesor pendidikan asal Amerika, menerapkan jawaban tersebut dan mengubahnya
menjadi gerakan yang sangat populer.
Di dalam teori progresif tersebut, bagaimanapun, berkembang dua aliran. Yang pertama
mengatakan bahwa pendidikan harus berpusat pada anak dan kurikulumnya harus dirancang
berdasarkan kebutuhan pribadi setiap anak.
Yang kedua adalah “berpusat pada masyarakat”—diusulkan oleh para pendidik seperti Paulo
Freire dari Amerika Latin yang menganggap tujuan utama pendidikan adalah merekonstruksi
masyarakat.
Selandia Baru juga merintis kelanjutan SD dan TK yang umumnya sesuai dengan pendekatan
“berpusat pada anak”, tetapi isinya lebih terstruktur daripada gagasan “progresif” Amerika.
Sebagai reaksi balik atas hasil mengejutkan yang dicapai di banyak sekolah Amerika, muncullah
sebuah gerakan bernama Cultural Literacy13 yang dicetuskan oleh Profesor 11.D. Hirschjr.
Dalam bukunyayangbeijudul sama, dia menyatakan bahwa ada inti informasi yang sangat penting
bagi siapa pun agar mampu membaca dan memahami dunia ini secara bijaksana. Dia dan dua
rekannya, Joseph I Kell dan James Trefil, menerbitkan The Dictionary of Cultural Limit, dengan
subjudul What livery American Needs to Know.