Anda di halaman 1dari 3

ANAK BELAJAR

DARI KEHIDUPANNYA

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.


Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah.
Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian.
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri.
Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan.
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Jika anak dibesarkan dengan ketenteraman, ia belajar berdamai dengan pikiran.

 Pertengahan abad ke-19, Friedrich Froebel dari Jerman mengambil gagasan Rousseau dan
Pestallozi, lalu memadukannya dengan gagasannya sendiri, untuk mendirikan sekolah bagi anak-
anak yang sangat muda. Dia menyebutnya Taman Kanak-Kanak, berdasarkan konsep bahwa anak
kecil berkembang seperti bunga (di taman).
Pada awal abad ini, dokter wanita pertama asal Italia, Maria Montessori, mempraktikkan teori-
teori ini untuk menunjukkan bahwa tahun-tahun antara kelahiran dan usia 6 tahun adalah sangat
penting. Dia menambahkan ide-ide revolusionernya sendiri: bahwa menciptakan lingkungan yang
tepat, pada “periode sensitif ” yang kritis pada awal pertumbuhan, akan membuat anak- anak
“melejit” menjadi pelajar yang mandiri. Hasil yang dicapainya juga revolusioner: anak-anak
“terbelakang” dapat belajar mengeja, membaca, inenulis, dan mengerjakan soal matematika yang
rumit. Hal ini akan kita bahas kemudian.
Dirintis di Amerika, namun segera menyebar cepat ke seluruh negara, suatu konsep menjadi
gagasan-tanding atas tradisi Inggris dan Eropa Barat. Beberapa kalangan menyebutnya kurikulum
pragmatis, atau konsep pendidikan yang berpusat pada anak.
Herbert Spencer, pada awal abad ini, melontarkan pertanyaan: “Pengetahuan apa yang paling
berharga?” Jawabannya: “Pengetahuan yang memam- pukan kaum muda untuk menangani
berbagai masalah dan menyiapkan mereka untuk menyelesaikan berbagai masalah yang kelak
akan mereka temui sebagai orang dewasa di tengah masyarakat demokratis.”
John Dewey, profesor pendidikan asal Amerika, menerapkan jawaban tersebut dan mengubahnya
menjadi gerakan yang sangat populer.
Di dalam teori progresif tersebut, bagaimanapun, berkembang dua aliran. Yang pertama
mengatakan bahwa pendidikan harus berpusat pada anak dan kurikulumnya harus dirancang
berdasarkan kebutuhan pribadi setiap anak.
Yang kedua adalah “berpusat pada masyarakat”—diusulkan oleh para pendidik seperti Paulo
Freire dari Amerika Latin yang menganggap tujuan utama pendidikan adalah merekonstruksi
masyarakat.
Selandia Baru juga merintis kelanjutan SD dan TK yang umumnya sesuai dengan pendekatan
“berpusat pada anak”, tetapi isinya lebih terstruktur daripada gagasan “progresif” Amerika.
Sebagai reaksi balik atas hasil mengejutkan yang dicapai di banyak sekolah Amerika, muncullah
sebuah gerakan bernama Cultural Literacy13 yang dicetuskan oleh Profesor 11.D. Hirschjr.
Dalam bukunyayangbeijudul sama, dia menyatakan bahwa ada inti informasi yang sangat penting
bagi siapa pun agar mampu membaca dan memahami dunia ini secara bijaksana. Dia dan dua
rekannya, Joseph I Kell dan James Trefil, menerbitkan The Dictionary of Cultural Limit, dengan
subjudul What livery American Needs to Know.

1. BELAJAR DENGAN EMPAT TINGKAT


Mata pelajaran apa pun yang diambil para siswa,tolak ukur sesungguhnya dalam sistem
pendidikan masa depan adalah seberapa besar kemampuan dalam membangkitkan gairah
belajar secara menyenangkan .pendekatan ini akan mendorong setiap siswa untuk
membangun citra positif yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Dalam setiap sistem terbukti berhasil yang kami pelajari di selurh dunia citra diri
ternyata lebih penting dari pada mata pelajaran.
Yang juga sma –sama pentingnya bagi mereka yang putus sekolah adalah kebutuhan untuk
mempelajari keterampilan hidup .ini berarti kita memerlukan kurikulum emapt tingkat yang
menekankan :
1. Citra diri dan perkembangan pribadi
2. Pelatihan keterampilan hidup
3. Belajar tentang cara belajar dan berpikir
4. Kemampuan –kemampuan akademik ,fisik dan artistik yang spesifik.
Untungnya setiap aspek dapat disatupadukan untuk saling mendukung dan melengkapi.

2. TIGA TUJUAN BELAJAR


1. Pelajaran spesifik—dan Anda dapat melakukannya dengan lebih cepat, lebih baik, dan
lebih mudah.
2. Mengembangkan kemampuan konseptual umum—mampu belajar menerapkan konsep
yang sama atau yang berkaitan dengan bidang-bidang lain.
3. Mengembangkan kemampuan dan sikap pribadi yang secara mudah dapat digunakan
dalam segala tindakan kita.
3. DI MANA SEHARUSNYA KITA MENGAJAR ?
Dalam sejarah dunia, sekolah dengan ruang-ruang kelasnya adalah sebuah konsep yang
sangat barn. Dan inilah saatnya untuk mempertanyakan apakah ia merupakan yang terbaik
dan tetap dipertahankan menjadi forum utama pembelajaran.
Kami berpendapat bahwa sekolah perlu diubah menjadi pusat pembelajaran masyarakat
seumur hidup—dan mungkin juga pusat kesehatan dan pendidikan orangtua. Pemanfaatan
sekolah selama kurang dari 200 hari setahun dan beberapa jam sehari adalah sebuah penyia-
nyiaan besar atas aset berharga, dan menggunakan sekitar 15 persen dari seluruh waktu yang
tersedia. Dan menggunakan sebagian besar waktu tersebut untuk pengajaran satu arah adalah
kemubaziran yang lebih besar dari yang 15 persen tadi. Dalam bab-bab mendatang kita akan
membahas lebih jauh tentang kecenderungan bergabungnya “sekolah-sekolah” masa depan.
Namun, kini sangat perlu ditekankan bahwa sebagian besar orang paling baik belajar melalui
praktik dan seluruh indra. Bayangkan, betapa mengagumkan hasilnya jika semua warga
masyarakat memikirkan kembali kebutuhan belajamya dan mulai mendesain ulang bentuk
sekolah untuk memenuhi kebutuhan itu.

4. BERPIKIRLAH TERBUKA DAN KOMUNIKASIKAN DENGAN JERNIH


Kami juga meminta kepada siapa pun yang terlibat di dunia pendidikan, pembelajaran, dan
persekolahan agar selalu membuka pikiran, dan mengomunikasikan capaian-capaian
penelitian secara faktual, jujur, dan jelas.
Masa depan jutaan anak telah dirusak oleh penyebaran teori-teori pendidikan yang telah
terbukti kesalahannya.
Hitler dan Mussolini menutup TK Montessori yang brilian di Jerman dan Italia. Namun,
kekerasan yang nyaris sama juga dilakukan oleh pemfitnah akademisnya di Amerika,
dipimpin oleh Profesor William Kilpatrick, yang “berpendapat bahwa guru harus memegang
kendali sepenuhnya atas murid- muridnya”.
Mungkin teori perkembangan individu yang paling berpengaruh dalam abad ini adalah teori
Jean Piaget, ahli biologi dan psikologi asal Swiss. Setelah melakukan penelitian selama
bertahun-tahun secara teperinci, dia mengklaim.
bahwa setiap anak dalam setiap kebudayaan berkembang melalui tahap-laliap perkembangan
intelektual yang baku sejak kanak-kanak hingga dewasa. “Akan tetapi, banyak pemyataan
Piaget yang terbukti menyesatkan, simplistik, dan dalam beberapa kasus, terbukti keliru”. Hal
itu tidak tnenghentikan pengaruh teorinya dalam menghambat potensi anak-anak pada tahun-
tahun awal yang penting ketika pikiran mereka terbuka lebar untuk tumbuh berkembang
melalui pembelajaran.
Inti dari metode ilmiah adalah menguji teori dalarn praktik terhadap setiap altematif yang
mungkin. Riset yang baik, menurut kami, ditunjukkan dalam kemampuannya untuk
menyampaikan hasilnya dengan jelas, tidak mengklaim —dari satu aspek penelitian—
penyelesaian menyeluruh atas semua masalah pendidikan.
Dunia pendidikan masih menderita dua penyakit kembar: praktik buruk yang didasarkan pada
penelitian yang tidak sahih dan ketidakmampuan untuk mengomunikasikan secara jelas
terobosan yang menggugurkan mitos lama.
Kebanyakan metode belajar yang baik adalah yang dapat diterima pemikiran lazim (common
sense). Setiap anak belajar secara alami menggunakan sebagian besar metode ini. Akan
tetapi, banyak teori pendidikan yang ditutupi berbagai jargon sehingga orangtua dan siswa—
yang paling membutuhkan informasi tersebut—malah tidak memahaminya.
Kecenderungan ini tampaknya banyak terjadi di dunia pendidikan dibandingkan profesi lain,
kecuali mungkin di dunia kedokteran dan hukum.
Hampir setiap penulis profesional tahu tentang Fog Index—agar tulisannya mudah dibaca:
menulis dengan kata-kata yang sederhana dan aktif, serta kalimat-kalimat yang pendek, jelas,
dan padat.
Setiap pembicara publik yang baik berkembang dengan menjadikan mantan Perdana Menteri
Inggris, Winston Churchill, sebagai model. Dia “melemparkan kata-kata ke dalam
pertempuran”: “Kita akan bertempur sampai akhir. Kita akan melawan Prancis. Kita akan
bertempur di laut dan samudra. Kita akan bertarung di pantai-pantai, di sawah-sawah, di
jalan-jalan, dan di bukit-bukit. Kita tidak akan pemah menyerah.”
Oleh karena itu, kami memohon kepada mereka yang telah meneliti atau melakukan
perubahan yang dibutuhkan dalam pembelajaran: ingatlah Churchill, dan lemparkan kata-kata
Anda ke dalam tindakan dengan jelas untuk bersama-sama mengubah dunia.[]

Anda mungkin juga menyukai