Anda di halaman 1dari 13

Pembahasan mengenai Wadi’ah, wakalah, kafalah

Fiqh Muamalah (wadi'ah, wakalah, kafalah)

PENDAHULUAN

Krisis global yang menghantam perekonomian nasional, ternyata tidak


membuat lembaga keuangan syariah menurun yang justru semakin diminati
masyarakat. Data dari Bank Indonesia menyebutkan, rata-rata pertumbuhan
penyerapan pegawai bank syariah per tahun 22,8 persen. Jumlah kantor bank
syariah pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 1430 dengan 16.516 pegawai.
Kesempatan bagi sumber daya manusia (SDM) yang mengerti mengenai sistem
keuangan syariah sangat terbuka lebar. Begitu pesatnya permintaan masyarakat
terhadap layanan syariah sudah sepatutnya kita sebagai generasi sumber daya
manusia harus siap menghadapi persoalan-persoalan yang akan kita hadapi dalam
problematika syariah di masyarakat, terutama dalam bidang muamalah.

Di antara masalah-masalah yang banyak melibatkan anggota masyarakat


dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah muamalah. Karena masalah
muamalah ini langsung melibatkan manusia dalam masyarakat, maka pedoman
dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak
terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan
hubungan sesama manusia. Dari sekian banyak transaksi atau akad yang ada,
salah tiga diantarannya adalah akad Al-Wadi’ah, akad Al-Wakalah, dan Al-Kafalah.

RUMUSAN MASALAH

1. Al-Wadi’ah

a. Pengertian al-wadi’ah

b. Landasan hukum

c. Rukun dan syarat


d. Relevansinya dalam muamalah modern (aplikasi perbankan)

2. Al-Wakalah

a. Pengertian al-wakalah

b. Landasan hukum

c. Rukun dan syarat

3. Al-Kafalah

a. Pengertian al-kafalah

b. Landasan hukum

c. Rukun

d. Jenis al-kafalah

PEMBAHASAN

A. Al-Wadi’ah

1. Pengertian al-Wadi’ah

Dalam fiqih, prinsip titipan atau simpanan disebut dengan prinsip al-
wadi’ah. Al-wadi’ah bisa diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak
lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja si penitip menghendaki.

2. Landasan hukum

a. Al-Qur’an
‫ان هللا ياء مركم ان تؤ دوا االء منت الى اهلها‬

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan),


kepada yang berhak menerimanya…” (an-Nisaa’: 58)
‫فاء امن بعضكم بعضا فليؤد الذى اؤتمن امنته وليتق هللا ربه‬

“…jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang


dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya…” (al-Baqarah: 283)

b. Al-Hadits
‫خا‬ ‫من‬ ‫تخن‬ ‫وال‬ ‫ائتمنك‬ ‫من‬ ‫الى‬ ‫نة‬ ‫ما‬ ‫اال‬ ‫اد‬ ‫وسلم‬ ‫عليه‬ ‫هللا‬ ‫صلى‬ ‫النبي‬ ‫قال‬ ‫هريرة‬ ‫ابي‬ ‫عن‬
‫نك‬

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Sampaikanlah


(tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas
khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.” (HR Abu Dawud, menurut
Tirmidzi hadits ini hasan, sedangkan menurut Imam Hakim mengkategorikannya
sahih).

c. Ijma

Tokoh-tokoh ulama sepanjang zaman telah melakukan konsensus atau lebih


lumrah kita kenal sebagai ijma. Ijma tersebut adalah diantaranya legitimasi al-
wadi’ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat seperti yang
dikutip oleh Dr. Azzuhaily dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu dari kitab al-
Mughni wa Syarh Kabir li Ibni Qudhamah dan Mubsuth li Imam Sarakhsy.

Bahwa pada dasarnya penerima simpanan adalah yad al-amanah (tangan


amanah). Artinya, ia tidak bertanggungjawab atas kehilangan atau kerusakan yang
terjadi pada aset titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau
kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan (karena faktor-
faktor di luar batas kemampuan). Hal ini telah dikemukakan oleh Rasulullah dalam
suatu hadits, “Jaminan pertanggungjawaban tidak diminta dari peminjam yang
tidak menyalahgunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai
terhadap titipan tersebut.”

Namun dalam aktivitas perekonomian modern, si penerima simpanan tidak


mungkin akan meng-idle-kan aset tersebut tetapi menggunakannya dalam
aktivitas perekonomian tertentu. Karenanya, ia harus meminta izin dari si
pemberi titipan untuk kemudian menggunakan hartanya tersebut dengan catatan
ia menjamin akan mengembalikan aset tersebut secara utuh. Dengan demikian, ia
bukan lagi yad al-amanah tetapi yad adh-dhamanah (tangan penanggung) yang
bertanggungjawab atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada
barang tersebut. Mudahnya dalam suatu skema timbal balik al-wadi’ah yad al-
amanah, nasabah (muaddi’ atau penitip) menitipkan barang bank (mustawda’
atau penyimpan) yang kemudian biaya penitipan dibebankan kepada nasabah.

Dengan konsep al-wadi’ah yad al-amanah, pihak yang menerima tidak boleh
menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tatapi harus
benar-benar menjaganya. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya
kepada penitip sebagai biaya penitipan.

3. Rukun dan syarat

Menurut Hanafiyah rukun wadi’ah terdiri atas ijab qabul. Yakni, pemilik aset
berkata, “Aku titipkan barangku ini kepada engkau atau jagalah barang ini, atau
ambillah barang ini dan jagalah”. Kemudian pihak yang lain menerimanya. Orang
yang melakukan kontrak disyaratkan orang yang berakal. Anak kecil yang tidak
berakal (mumayyiz) yang telah diizinkan oleh walinya, boleh melakukan akad
wadi’ah, mereka tidak mensyaratkan baligh dalam soal wadi’ah. Sedangkan orang
gila tidak dibenarkan melakukan akad wadi’ah.

Menurut jumhur ulama’ rukun akad wadi’ah terdiri atas ‘aqidan (orang yang
berakad meliputi penitip dan penerima), wadi’ah (barang yang dititipkan), dan
sighat (ijab qabul). Adapun syarat dari ‘aqidan (orang yang melakukan akad
wadi’ah) adalah baligh, berakal dan cerdas (dapat bertindak secara hukum),
karena akad wadi’ah merupakan akad yang banyak mengandung resiko penipuan.
Oleh sebab itu, anak kecil meskipun sudah berakal, tidak dapat melakukan akad
wadi’ah baik sebagai orang yang menitipkan maupun sebagai orang yang
menerima titipan. Disamping itu, jumhur ulama’ juga mensyaratkan, bahwa orang
yang berakad itu harus cerdas, walaupun ia sudah baligh dan berakal. Sebab,
orang baligh dan berakal belum tentu dapat bertindak secara hukum, terutama
sekali apabila terjadi persengketaan. Untuk wadi’ah (barang titipan) disyaratkan
harus jelas, dapat dipegang dan dikuasai. Maksudnya barang titipan itu dapat
diketahui jenisnya atau identitasnya dan dikuasai untuk dipelihara atau dijaga.

4. Relevansinya dalam muamalah modern (aplikasi perbankan)

Mendasarkan pada pengertian yad adh-dhamanah, bank sebagai penerima


simpanan dapat memanfaatkan al-wadi’ah untuk tujuan giro (current account)
dan tabungan berjangka (saving account).

Konsekuensi dari yad adh-dhamamah, semua keuntungan yang dihasilkan dari


dana titipan tersebut menjadi milik bank, demikian juga bank adalah penanggung
seluruh kemungkinan kerugian. Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan
keamanan terhadap hartanya, demikian juga fasilitas-fasilitas giro lainnya.

Meskipun demikian, bank sebagai penerima titipan, sekaligus juga pihak yang
telah memanfaatkan dana tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam
insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan
jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau presentase secara advance,
tetapi betul-betul merupakan kebijaksanaan dari manajemen bank. Hal ini sejalan
dengan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah
saw. pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta.
Diberikannya unta kurban berumur sekitar dua tahun. Setelah beberapa waktu,
Rasulullah saw. memerintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut
kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie bertanya kepada Rasullullah saw., “Ya
Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang
lebih besar dan berumur empat tahun.” Rasulullah saw. berkata, “Berikanlah itu
karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.”
Dari hadits tersebut, bahwa bonus sama sekali berbeda dari bunga baik dalam
prinsip maupun sumber pengambilan. Dalam praktiknya, nilai nominalnya
mungkin akan lebih kecil, sama, atau lebih besar dari nilai suku bunga.

Dalam dunia perbankan modern yang penuh dengan kompetisi, insentif semacam
ini dapat dijadikan sebagai banking policy dalam upaya pemicu semangat
masyarakat dalam menabung, sekaligus sebagai indikator kesehatan bank terkait.
Hal ini karena semakin besar nilai keuntungan yang diberikan kepada penabung
dalam bentuk bonus, semakin efisien pula pemanfaatan dana tersebut dalam
investasi yang produktif dan menguntungkan.

Sekarang ini banyak bank Islam di luar negeri yang telah berhasil
mengkombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Dalam
kombinasi ini, dewan redaksi menentukan besarnya bonus dengan menetapkan
presentase dari keuntungan yang dihasilkan oleh dana al-wadi’ah tersebut dalam
suatu periode tertentu.

Nasabah menitipkan dana kepada bank atau penyimpan lalu nasabah diberi
bonus. Di lain pihak, titipan dana dimanfaatkan untuk dunia usaha (user of fund)
dimana dunia usaha akan memberikan bagi hasil kepada bank. Sehingga ada
timbal balik dalam siklus perbankan yang saling menguntungkan antara nasabah,
bank, dan peminjam modal modal (user of fund).

B. Al-Wakalah

1. Pengertian al-wakalah

Wakalah atau wikalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian


mandat. Dalam bahasa Arab, hal ini dapat dipahami sebagai at-tafwidh. Contoh
kalimat “aku serahkan urusanku kepada Allah” mewakili pengertian istilah
tersebut. Namun dalam hal ini yang dimaksud al-wakalah adalah pelimpahan
kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.

2. Landasan hukum

Islam mensyari’atkan al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap


orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala
urusan sendiri. Pada suatu kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan suatu
pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya.

a. Al-Qur’an

Salah satu dasar dibolehkannya al-wakalah adalah sebagaimana dalam firman


Allah SWT berikut:
‫قا ل اجعلنى على خزا ئن االء رض انى حفيظ عليم‬
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang
yang pandai menjaga lagi berpengalaman.” (Yusuf: 55)

Dalam hal ini, nabi Yusuf siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah
menjaga Federal Reserve negeri Mesir.

Dalam surat al-Kahfi juga menjadi dasar al-wakalah yang artinya berikut:

“Dan demikianlah Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di antara mereka
sendiri. Berkata salah seorang diantara mereka agar saling bertanya, ‘Sudah
berapa lamakah kamu berdiri di sini?’ Mereka menjawab, ‘Kita sudah berada di
sini satu atau setengah hari.’ Berkata yang lain, ‘Tuhan kamu lebih mengetahui
berapa lamanya kamu berada di sini. Maka, suruhlah salah seorang di antara
kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini dan hendaklah ia lihat
manakah makanan yang lebih baik dan hendaklah ia membawa makanan itu
untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali
menceritakan halmu kepada seorang pun.” (al-Kahfi: 19).

Ayat di atas menggambarkan perginya salah seorang ash-habul kahfi yang


bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam
memilih dan membeli makanan.

b. Al-Hadits
‫بنت‬ ‫نة‬ ‫ميمو‬ ‫جاه‬ ‫فزو‬ ‫نصار‬ ‫اال‬ ‫من‬ ‫ورجال‬ ‫رافع‬ ‫اب‬ ‫بعث‬ ‫وسلم‬ ‫عليه‬ ‫هللا‬ ‫صلى‬ ‫هللا‬ ‫رسول‬ ‫ان‬
‫الحارث‬

“Bahwasanya Rasulullah saw. mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar
untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti Harits.”

Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada orang lain


untuk berbagai urusan. Diantaranya membayar utang, mewakilkan penetapan
had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan,
dan lain-lain.

c. Ijma
Para ulama sepakat dengan ijma dibolehkannya wakalah, bahkan mereka
cenderung mensunnahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis
ta’awun atau tolong-menolong atas kebaikan dan taqwa.

Dalam perkembangan fiqih Islam, status wakalah sempat diperdebatkan: apakah


wakalah masuk dalam kategori niabah, yaitu sebatas mewakili atau kategori
wilayah atau wali. Hingga kini, dua pendapat itu masih terus berkembang.
Pendapat pertama menyatakan bahwa wakalah adalah niabah atau mewakili.
Menurut pendapat ini wakil tidak dapat menggantikan seluruh fungsi muwakkil.

Pendapat kedua menyatakan bahwa wakalah adalah wilayah karena khilafah


(menggantikan) dibolehkan untuk mengarah kepada yang lebih baik sebagaimana
dalam jual bel, melakukan pembayaran secara tunai lebih baik walaupun
diperkenankan secara kredit.

Dalam kehidupan perbankan, aktivitas wakalah adalah nasabah ataupun investor


(muwakil) berhubungan timbal balik dengan bank (wakil) yang terikat dengan
kontrak dan fee, sedangkan muwakil dimanfaatkan untuk taukil (agency,
administration, payment, co arranger, dan sebaginya).

3. Syarat dan rukun

a. Rukun wakalah
Rukun wakalah terdiri atas ijab dari muwakil (pihak yang mewakilkan), dan qabul
dari wakil. Ijab harus di ucapkan secara jelas oleh muwakil, sedangkan qabul tidak
harus di ungkapkan, namun bisa di wujudkan dalam tindakan. Jika wakil
mengetahui jenis pekerjaan yang diwakilkan, kemudian ia secara langsung
melakanakannya, maka hal ini dianggap sebuah qabul, cukup mengetahui adanya
wakalah dan diwujudkan dalam tindakan.

b. Syarat wakalah

· seorang muwakil, diisyaratkan harus memiliki otoritas penuh atas suatu


pekerjaan yang akan didelegasikan kepada orang lain. Dengan alasan orang yang
tidak memiliki otoritas tersebut kepada orang lain.

· Seorang wakil, disyaratkan haruslahorang yang berakal dan tamyiz.


· Obyek yang diwakilkan harus diketahui oleh wakil, wakil mengetahui secara
jelas apa yang harus dikerjakan dengan spesifikasi yang diinginkan. Obyek
tetrsebut memang bisa diwakilkan kepada orang lain.

C. Al-Kafalah

1. Pengertian

Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada


pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab
seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain
sebagai penjamin.

2. Landasan hukum

a. Al-Qur’an

Dasar hukum untuk akad memberi kepercayaan ini dapat ditemukan dalam Al-
Qur’an pada bagian yang mengisahkan Nabi Yusuf:
‫قا لوا نفقد صواع الملك ولمن جاء به حمل بعير وانا به زعيم‬

“Penyeru-penyeru itu berseru, ‘Kami kehilangan piala raja dan barangsiapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan
aku akan menjamin terhadapnya.” (Yusuf: 72)

Kata za’im yang berarti penjamin dalam surah Yusuf tersebut adalah gharim,
orang yang bertanggung jawab atas pembayaran.

b. Al-Hadits

Landasan syariah dari pemberian fasilitas dalam bentuk jaminan kafalah pada
ayat di atas dipertegas dalam hadits Rasulullah:
‫فقال هل ترك شيئا قالوا ال قال فهل عليه دين قا لوا ثال ثة دنا نيرقال صلوا على صا حبكم قال‬ ‫ان النبي صلى هللا عليه وسلم اتي بجنا زة‬
Telah dihadapkan kepada Rasulullah
‫ابو قتادة صلى عليه يا رسول هللا وعلي دينه فصلى عليه‬
saw. (mayat seorang laki-laki untuk dishalatkan)… Rasulullah saw. bertanya,
“Apakah dia mempunyai warisan?” Para sahabat menjawab, “Tidak.” Rasulullah
bertanya lagi, “Apakah dia mempunyai utang?” Sahabat menjawab, “Ya, sejumlah
tiga dinar.” Rasulullah pun menyuruh para sahabat untuk menshalatkannya
(tetapi beliau sendiri tidak). Abu Qatadah lalu berkata, “Saya menjamin utangnya,
ya Rasulullah.” Maka Rasulullah pun menshalatkan mayat tersebut. (HR Bukhari
no. 2127, kitab al-Hawalah).

3. rukun

Rukun kafalah terdiri atas :


a. Sighat, bisa diekspresikan dengan ungkapan yang menyatakan adanya
kesanggupan untuk menanggung sesuatu, sebuah kesanggupan untuk
menunaikan kewajiban.
b. Makful Biih (obyek tanggungan), harus bersifat mengikat terhadap diri
tertanggung dan tidak bisa dibatalkan tanpa adanya sebab syar’i.
c. Kafiil (penjamin), ulama fiqih mensyaratkan seorang kafiil haruslah orang yang
berjiwa filantropi, orang yang terbiasa berbuat baik demi kemaslahatan orang
lain, baligh dan berakal.
d. Makful ‘anhu (tertanggung), syarat utama yang harus melekat pada diri
tertanggung adalah kemampuannya untuk menerima objek pertanggungan baik
dilakukan oleh diri pribadinya atau orang lain yang mewakilinya.
e. Makful lahu, ulama mensyaratkan makful lahu harus dikenai oleh kafiil guna
meyakinkan pertanggung jawaban yang menjadi bebannya dan mudah untuk
memenuhinya.

4. Jenis Al-Kafalah

a. Kafalah bin-nafs

Adalah akad memberikan jaminan atas diri (personal guarantee). Sebagai contoh,
dalam praktik perbankan untuk bentuk kafalah bin-nafs adalah seorang nasabah
yang mendapat pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang
atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang
apa pun, tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran
ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan.

b. Kafalah bil-maal
Adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.

c. Kafalah bit-Taslim

Jenis kafalah ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang
disewa pada waktu masa sewa berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat
melaksanakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerja sama
dengan perusahaan penyewaan (leasing company). Jaminan pembayaran bagi
bank dapat berupa deposito atau tabungan dan bank dapat membebankan uang
jasa (fee) kepada nasabah itu.

d. Kafalah al-Munjazah

Adalah jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu dan untuk
kepentingan atau tujuan tertentu. Salah satu bentuk kafalah al-munjazah adalah
pemberian jaminan dalam bentuk jaminan prestasi (performance bonds), suatu
hal yang lazim di kalangan perbankan dan hal ini sesuai dengan bentuk akad ini.

e. Kafalah al-Muallaqah

Bentuk jaminan ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, baik


oleh industri perbankan maupun asuransi.

Dalam suatu aplikasi perbankan mengenai al-kafalah adalah bahwa


yang pertama penanggung (lembaga keuangan) memberi jaminan kepada
tertanggung (jasa atau obyek), sedangkan pihak ditanggung (nasabah) memberi
kewajiban kepada tertanggung (jasa atau obyek).

IV. KESIMPULAN

Wadi’ah diartikan meninggalkan atau titipan, sedangkan secara istilah wadi’ah


adalah sesuatu yang dititipkan oleh satu pihak (pemilik) kepada pihak lain dengan
tujuan untuk dijaga. Akad wadi’ah merupakan suatu akad yang bersifat tolong-
menolong antara sesama manusia.
Wakalah adalah menjaga atau mendelegasikan mandat, menyerahkan sesuatu.
Menurut Hanafiyah, wakalah adalah memposisikan orang lain sebagai pengganti
dirinya (wakil) untuk menyelesaikan suatu persoalan yang diperbolehkan secara
syar’i dan jelas jenis pekerjaannya. Sedangkan menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan
Hanabalah, wakalah adalah prosesi pendelegasian sebuah pekerjaan yang harus
dikerjakan kepada orang lain sebagai penggantinya untuk menyelesaikan
pekerjaan tersebut.

Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ke
tiga untuk memenuhi kewajiban pihak ke dua yang ditanggung.

V. PENUTUP

Demikian makalah yang dapat disajikan penulis dalam pembahasan Al-Wadi’ah,


Al-Wakalah, dan Al-Kafalah dalam mata kuliah Fiqih Muamalah yang diampu oleh
bapak Ali Murtadlo. Kritik dan saran yang membangun akan senantiasa penulis
harapkan, karena dirasa masih jauh dari sempurna. Akhirnya semoga makalah ini
memberi manfaat dan memperluas khasanah pengetahuan kita. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

· Abdurrahman al Gharyani. Fatwa-Fatwa Muamalah Kontemporer. Surabaya:


Pustaka Progresif. 2004

· Ilmi, makhalul. Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah.


Yogyakarta: UII Press. 2002
· Syafi’I Antonio, Muhammad. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. Jakarta:
Gema Insani Press. 2001

· www.lispedia.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai