PENDAHULUAN
RUMUSAN MASALAH
1. Al-Wadi’ah
a. Pengertian al-wadi’ah
b. Landasan hukum
2. Al-Wakalah
a. Pengertian al-wakalah
b. Landasan hukum
3. Al-Kafalah
a. Pengertian al-kafalah
b. Landasan hukum
c. Rukun
d. Jenis al-kafalah
PEMBAHASAN
A. Al-Wadi’ah
1. Pengertian al-Wadi’ah
Dalam fiqih, prinsip titipan atau simpanan disebut dengan prinsip al-
wadi’ah. Al-wadi’ah bisa diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak
lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja si penitip menghendaki.
2. Landasan hukum
a. Al-Qur’an
ان هللا ياء مركم ان تؤ دوا االء منت الى اهلها
b. Al-Hadits
خا من تخن وال ائتمنك من الى نة ما اال اد وسلم عليه هللا صلى النبي قال هريرة ابي عن
نك
c. Ijma
Dengan konsep al-wadi’ah yad al-amanah, pihak yang menerima tidak boleh
menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tatapi harus
benar-benar menjaganya. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya
kepada penitip sebagai biaya penitipan.
Menurut Hanafiyah rukun wadi’ah terdiri atas ijab qabul. Yakni, pemilik aset
berkata, “Aku titipkan barangku ini kepada engkau atau jagalah barang ini, atau
ambillah barang ini dan jagalah”. Kemudian pihak yang lain menerimanya. Orang
yang melakukan kontrak disyaratkan orang yang berakal. Anak kecil yang tidak
berakal (mumayyiz) yang telah diizinkan oleh walinya, boleh melakukan akad
wadi’ah, mereka tidak mensyaratkan baligh dalam soal wadi’ah. Sedangkan orang
gila tidak dibenarkan melakukan akad wadi’ah.
Menurut jumhur ulama’ rukun akad wadi’ah terdiri atas ‘aqidan (orang yang
berakad meliputi penitip dan penerima), wadi’ah (barang yang dititipkan), dan
sighat (ijab qabul). Adapun syarat dari ‘aqidan (orang yang melakukan akad
wadi’ah) adalah baligh, berakal dan cerdas (dapat bertindak secara hukum),
karena akad wadi’ah merupakan akad yang banyak mengandung resiko penipuan.
Oleh sebab itu, anak kecil meskipun sudah berakal, tidak dapat melakukan akad
wadi’ah baik sebagai orang yang menitipkan maupun sebagai orang yang
menerima titipan. Disamping itu, jumhur ulama’ juga mensyaratkan, bahwa orang
yang berakad itu harus cerdas, walaupun ia sudah baligh dan berakal. Sebab,
orang baligh dan berakal belum tentu dapat bertindak secara hukum, terutama
sekali apabila terjadi persengketaan. Untuk wadi’ah (barang titipan) disyaratkan
harus jelas, dapat dipegang dan dikuasai. Maksudnya barang titipan itu dapat
diketahui jenisnya atau identitasnya dan dikuasai untuk dipelihara atau dijaga.
Meskipun demikian, bank sebagai penerima titipan, sekaligus juga pihak yang
telah memanfaatkan dana tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam
insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan
jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau presentase secara advance,
tetapi betul-betul merupakan kebijaksanaan dari manajemen bank. Hal ini sejalan
dengan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah
saw. pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta.
Diberikannya unta kurban berumur sekitar dua tahun. Setelah beberapa waktu,
Rasulullah saw. memerintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut
kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie bertanya kepada Rasullullah saw., “Ya
Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang
lebih besar dan berumur empat tahun.” Rasulullah saw. berkata, “Berikanlah itu
karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.”
Dari hadits tersebut, bahwa bonus sama sekali berbeda dari bunga baik dalam
prinsip maupun sumber pengambilan. Dalam praktiknya, nilai nominalnya
mungkin akan lebih kecil, sama, atau lebih besar dari nilai suku bunga.
Dalam dunia perbankan modern yang penuh dengan kompetisi, insentif semacam
ini dapat dijadikan sebagai banking policy dalam upaya pemicu semangat
masyarakat dalam menabung, sekaligus sebagai indikator kesehatan bank terkait.
Hal ini karena semakin besar nilai keuntungan yang diberikan kepada penabung
dalam bentuk bonus, semakin efisien pula pemanfaatan dana tersebut dalam
investasi yang produktif dan menguntungkan.
Sekarang ini banyak bank Islam di luar negeri yang telah berhasil
mengkombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Dalam
kombinasi ini, dewan redaksi menentukan besarnya bonus dengan menetapkan
presentase dari keuntungan yang dihasilkan oleh dana al-wadi’ah tersebut dalam
suatu periode tertentu.
Nasabah menitipkan dana kepada bank atau penyimpan lalu nasabah diberi
bonus. Di lain pihak, titipan dana dimanfaatkan untuk dunia usaha (user of fund)
dimana dunia usaha akan memberikan bagi hasil kepada bank. Sehingga ada
timbal balik dalam siklus perbankan yang saling menguntungkan antara nasabah,
bank, dan peminjam modal modal (user of fund).
B. Al-Wakalah
1. Pengertian al-wakalah
2. Landasan hukum
a. Al-Qur’an
Dalam hal ini, nabi Yusuf siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah
menjaga Federal Reserve negeri Mesir.
Dalam surat al-Kahfi juga menjadi dasar al-wakalah yang artinya berikut:
“Dan demikianlah Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di antara mereka
sendiri. Berkata salah seorang diantara mereka agar saling bertanya, ‘Sudah
berapa lamakah kamu berdiri di sini?’ Mereka menjawab, ‘Kita sudah berada di
sini satu atau setengah hari.’ Berkata yang lain, ‘Tuhan kamu lebih mengetahui
berapa lamanya kamu berada di sini. Maka, suruhlah salah seorang di antara
kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini dan hendaklah ia lihat
manakah makanan yang lebih baik dan hendaklah ia membawa makanan itu
untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali
menceritakan halmu kepada seorang pun.” (al-Kahfi: 19).
b. Al-Hadits
بنت نة ميمو جاه فزو نصار اال من ورجال رافع اب بعث وسلم عليه هللا صلى هللا رسول ان
الحارث
“Bahwasanya Rasulullah saw. mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar
untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti Harits.”
c. Ijma
Para ulama sepakat dengan ijma dibolehkannya wakalah, bahkan mereka
cenderung mensunnahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis
ta’awun atau tolong-menolong atas kebaikan dan taqwa.
a. Rukun wakalah
Rukun wakalah terdiri atas ijab dari muwakil (pihak yang mewakilkan), dan qabul
dari wakil. Ijab harus di ucapkan secara jelas oleh muwakil, sedangkan qabul tidak
harus di ungkapkan, namun bisa di wujudkan dalam tindakan. Jika wakil
mengetahui jenis pekerjaan yang diwakilkan, kemudian ia secara langsung
melakanakannya, maka hal ini dianggap sebuah qabul, cukup mengetahui adanya
wakalah dan diwujudkan dalam tindakan.
b. Syarat wakalah
C. Al-Kafalah
1. Pengertian
2. Landasan hukum
a. Al-Qur’an
Dasar hukum untuk akad memberi kepercayaan ini dapat ditemukan dalam Al-
Qur’an pada bagian yang mengisahkan Nabi Yusuf:
قا لوا نفقد صواع الملك ولمن جاء به حمل بعير وانا به زعيم
“Penyeru-penyeru itu berseru, ‘Kami kehilangan piala raja dan barangsiapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan
aku akan menjamin terhadapnya.” (Yusuf: 72)
Kata za’im yang berarti penjamin dalam surah Yusuf tersebut adalah gharim,
orang yang bertanggung jawab atas pembayaran.
b. Al-Hadits
Landasan syariah dari pemberian fasilitas dalam bentuk jaminan kafalah pada
ayat di atas dipertegas dalam hadits Rasulullah:
فقال هل ترك شيئا قالوا ال قال فهل عليه دين قا لوا ثال ثة دنا نيرقال صلوا على صا حبكم قال ان النبي صلى هللا عليه وسلم اتي بجنا زة
Telah dihadapkan kepada Rasulullah
ابو قتادة صلى عليه يا رسول هللا وعلي دينه فصلى عليه
saw. (mayat seorang laki-laki untuk dishalatkan)… Rasulullah saw. bertanya,
“Apakah dia mempunyai warisan?” Para sahabat menjawab, “Tidak.” Rasulullah
bertanya lagi, “Apakah dia mempunyai utang?” Sahabat menjawab, “Ya, sejumlah
tiga dinar.” Rasulullah pun menyuruh para sahabat untuk menshalatkannya
(tetapi beliau sendiri tidak). Abu Qatadah lalu berkata, “Saya menjamin utangnya,
ya Rasulullah.” Maka Rasulullah pun menshalatkan mayat tersebut. (HR Bukhari
no. 2127, kitab al-Hawalah).
3. rukun
4. Jenis Al-Kafalah
a. Kafalah bin-nafs
Adalah akad memberikan jaminan atas diri (personal guarantee). Sebagai contoh,
dalam praktik perbankan untuk bentuk kafalah bin-nafs adalah seorang nasabah
yang mendapat pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang
atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang
apa pun, tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran
ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan.
b. Kafalah bil-maal
Adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.
c. Kafalah bit-Taslim
Jenis kafalah ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang
disewa pada waktu masa sewa berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat
melaksanakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerja sama
dengan perusahaan penyewaan (leasing company). Jaminan pembayaran bagi
bank dapat berupa deposito atau tabungan dan bank dapat membebankan uang
jasa (fee) kepada nasabah itu.
d. Kafalah al-Munjazah
Adalah jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu dan untuk
kepentingan atau tujuan tertentu. Salah satu bentuk kafalah al-munjazah adalah
pemberian jaminan dalam bentuk jaminan prestasi (performance bonds), suatu
hal yang lazim di kalangan perbankan dan hal ini sesuai dengan bentuk akad ini.
e. Kafalah al-Muallaqah
IV. KESIMPULAN
Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ke
tiga untuk memenuhi kewajiban pihak ke dua yang ditanggung.
V. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
· www.lispedia.blogspot.com