oleh:
Nikmatus Sholihah
2061210013
Pembimbing
RSUD DR.MOEWARDI
2012
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Anamne
Anamnesa
sa
2.1.
2.1.1
1 Iden
Identi
tita
tass Pen
Pende
deri
rita
ta
Nama : Ny.T
Umur : 37 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Juwangi Boyolali
Tang
anggal
gal Mas
Masuk
uk : 06
06 Juli
Juli 2012
012
Tang
Tangga
gall Per
Perik
iksa
sa : 07
07 Jul
Julii 201
2012
2
No. RM : 01094829
2.1.2 Keluhan Utama
Sesak nafas dan tungkai lemah
2.1.
2.1.3
3 Riwa
Riwaya
yatt Peny
Penyak
akit
it Seka
Sekara
rang
ng
6 bulan
bulan yang
yang lalu
lalu pasien
pasien mulai
mulai sering
sering mengel
mengeluh
uh nyeri
nyeri punggu
punggung
ng
belakang yang hilang timbul. Nyeri tersebut bertambah ketika pasien
membungkuk dan bergerak ke samping, dan berkurang bila pasien
berbaring. Semakin hari nyeri tersebut semakin memberat dan pasien
mulai merasa kedua kakinya lemah dan terasa tebal sehingga pasien
tidak kuat berjalan. Selain itu pasien juga mengeluh kadang-kadang
batuk disertai dahak berwarna putih, tidak berdarah. Pasien juga
mengaku nafsu makannya mulai menurun sehingga berat badannnya
berkurang dan tampak semakin
s emakin kurus. Pasien kadang-kadang merasa
demam tetapi tidak sampai menggigil, tidak kejang, tidak sesak, tidak
mual, tidak muntah, tidak mencret, buang air kecil dan buang air besar
tidak ada keluhan.
keluhan. Pasien berobat
berobat ke RS Dr. Moewardi,
Moewardi, didiagno
didiagnosa
sa
TBC
TBC tula
tulang
ng,, kemu
kemudi
dian
an pasie
pasien
n dibe
diberi
ri obat
obat dan
dan disa
disaran
ranka
kan
n untu
untuk
k
kontrol setiap bulan. Setelah 1 bulan minum obat, pasien merasa tidak
ada perubahan sehingga pasien tidak kontrol lagi dan memutuskan
untuk berobat di pengobatan alternatif. Setelah beberapa bulan berobat
pasien merasa kakinya sedikit lebih kuat tetapi tetap tidak kuat jalan.
timbul, dan 3 hari ini sesak semakin memberat dan terus menerus.
Pasien juga mengeluh sering demam dan berkeringat malam. Kadang-
kadang batuk berdahak, tidak berdarah dan nafsu makan semakin
menurun. BAK tidak ada keluhan, BAB tidak ada keluhan.
2.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat TB tualng : (+)
2. Riwayat sakit jantung : disangkal
3. Riwayat hipertensi : disangkal
4. Riwayat asma : disangkal
5. Riwayat sakit gula : disangkal
6. Riwayat alergi : disangkal
7. Riwayat trauma sebelumnya : disangkal
2.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat sakit jantung : disangkal
2. Riwayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat sakit paru : (+) ayah
4. Riwayat sakit gula : disangkal
5. Riwayat alergi : disangkal
2.1.6 Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga dari seorang suami dengan 2
orang anak. Pada saat ini pasien menggunakan pembayaran melalui
Jamkesmas.
2.1.7 Riwayat Kebiasaan
1. Riwayat merokok : disangkal
2. Riwayat minum jamu : disangkal
3. Riwayat minum obat-obatan : Pengobatan herbal selama 4 bulan
4. Riwayat minum minuman keras : disangkal
5. Riwayat olah raga teratur : disangkal
2.2 Pemeriksaan Fisik
2.2.1 Status Generalis
1. Keadaan Umum : lemah, compos mentis GCS E4V5M6, gizi kesan
kurang
2. Tanda Vital :
a. Tensi : 110/70 mmHg
b. Respirasi : 28x /menit
c. Nadi : 100 x/menit, reguler
d. Suhu : 36,9 ° C (per axiller)
3. Kulit
Warna kuning, ikterik (-), turgor kurang (-), hiperpigmentasi (-).
4. Kepala
Bentuk mesocephal, rambut hitam, uban (-), lurus, mudah rontok (-),
mudah dicabut (-), moon face (-).
5. Mata
Conjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), katarak (-/-),
perdarahan palpebra (-/-), pupil isokor dengan diameter (3mm/3mm),
reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-).
6. Telinga
Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoideus (-).
7. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-),deformitas (-).
8. Mulut
Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), pucat (-), lidah kotor (-),
papil lidah atrofi (-), stomatitis (-), luka pada sudut bibir (-).
9. Leher
JVP tidak meningkat , trachea ditengah, simetris, pembesaran tiroid
(-), pembesaran limfonodi cervical (-).
10. Limfonodi
Kelenjar limfe retroaurikuler, submandibuler, servikalis,
supraklavikularis, aksilaris dan inguinalis tidak membesar
11. Thorax
Bentuk simetris, retraksi intercostal (-), spider nevi (-), pernafasan
toracoabdominal, sela iga melebar (-), muskulus pektoralis atrofi (-),
pembesaran KGB axilla (-/-).
12. Jantung
a. Inspeksi : ictus cordis tidak
tampak
b. Palpasi : ictus cordis
tidak kuat angkat
c. Perkusi : batas jantung
kesan tidak melebar
d. Auskultasi : Bunyi
jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-).
13. Pulmo
a. Inspeksi : pengembangan dada kanan=kiri
b. Palpasi : fremitus raba kanan=kiri
c. Perkusi : sonor/sonor
d. Auskultasi : SDV(+/+), Suara tambahan Ronkhi (+/+)
14. Trunk
a. Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis(-)
b. Palpasi : massa (-), nyeri tekan (+), oedem (-)
c. Perkusi : nyeri ketok kostovertebra (-)
d. Tanda Patrick/Fabere: (-/-)
e. Tanda Anti Patrick: (-/-)
f. Tanda Laseque/SLR: (-/-)
15. Abdomen
a. Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
b. Auskultasi : bising usus (+) normal
c. Perkusi : timpani, pekak alih (-)
d. Palpasi : supel, nyeri tekan (-). Hepar dan lien tidak
membesar.
16. Genitourinaria : terpasang kateter, ulkus (-), sekret (-), tanda-
tanda radang (-).
17. Ekstremitas
Extensi 0o 0o 0o 0o
M.biceps brachii 5 5
M.teres major 5 5
Abduktor M.deltoideus 5 5
M.biceps brachii 5 5
M.pectoralis major 5 5
M.pectoralis major 5 5
M.pronator teres 5 5
M.brachialis 5 5
Supinator M.supinator 5 5
Extensor M.soleus 2 2
2.2.2 Status Ambulasi : Dependent
2.2.3 Status Psikiatri
1. Emosi : stabil
2. Afeksi : dalam batas normal
3. Proses berfikir : koheren
4. Kecerdasan : dalam batas normal
2.2.4 Status Neurologis
1. Kesadaran : GCS E4V5M6
2. Fungsi luhur : dalam batas normal
3. Fungsi vegetatif : IV line, DC
4. Fungsi sensorik :
N N
b. Tonu
N N
s
N N
c. Ref
+2 +2
lek
+3 +3
fisiologis
d. Reflek patologis
Babinsky +/+
6. Nervi craniales
a. N.VII : dalam batas normal
b. N.XII : dalam batas normal
2.3 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium Darah tanggal 06/07/2012
Hb : 11.2 g/dl
Hct : 33 %
AL : 28.000/ul
AT : 357.000/ul
AE : 4.5/ul
GDS : 124 mg/dl
Ureum : 25 mg/dl
Kreatinin: 0.6 mg/dl
Natrium :127 mmol/L
Kalium :4.4 mmol/L
Clorida :97 mmol/ L
2. Pemeriksaan Sputum
BTA (-), Gram (+) Coccus
3. Pemeriksaan Radiologi
MRI tanggal 6 Desember 2011
- Alignment vertebra thoracal normal
- Fraktur kompresi korpus VTh 8 dengan posisi posterior margin
bulging dan menekan pada spinal cord (ada canal stenosis)
- Tampak gambaran abses soft tissue pre-paravertebra yang meluas dan
mendesak neural canal VTh 7-8
- Diskus intervertebralis normal
- Lamina-pedikel tak tampak massa tumor
- Facet joint-ligamentum flavum normal
Kesan : Stenosis spinal canal e.c fraktur kompresi korpus VTh 8 dengan
posisi posterior margin bulging dengan gambaran abses soft tissue pre-
paravertebra yang meluas dan mendesak neural canal VTh 7-8 sesuai
gambaran spondilitis TB
Foto Thorax AP/Lat (tanggal 06 Juli 2012)
- Cor : Besar dan bentuk kesan normal
- Pulmo : Tampak infiltrat tersebar di kedua lapang paru
- Sinus costophrenicus kanan kiri anterior posterior tajam
Kesan : Pneumonia
2.4 Assesment
Klinis : Pneumonia, Paraparese inferior tipe spastik, hipestesi setinggi
dermatom VTh X
atropi otot-otot.
Positioning dan turning (rubah posisi tiap 2 jam) untuk cegah ulkus
decubitus.
2. Terapi okupasi
Latihan mobility (berjalan) secara bertahap, meningkatkan kemandirian
pasien, melatih keterampilan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
3. Sosiomedik
TLSO
5. Psikologi
a. Memberikan dukungan mental dan konseling pada pasien untuk
tidak menyerah dan putus asa dalam menghadapi penyakitnya.
b. Memberi motivasi pasien untuk konsisten melaksanakan program
rehabilitasi.
c. Edukasi pada pasien dan keluarga tentang penyakitnya.
2.7 Impairment, Disability, dan Handicap
Impairment : Paraparese
Disability : Berkurangnya fungsi kedua tungkai
Handicap : Keterbatasan dalam aktifitas sehari-hari, keterbatasan
dalam menjalankan pekerjaan, kegiatan sosial terhambat
2.8 Tujuan
2.9 Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu Mycobacterium
Tuberculosa yang mengenai tulang vertebra. Spondilitis TB disebut juga penyakit
Pott bila disertai paraplegi atau defisit neurologis. Spondilitis ini paling sering
ditemukan pada vertebra Th8-L3 dan paling jarang pada vertebra C2. Spondilitis
TB biasanya mengenai korpus vertebra, sehingga jarang menyerang arkus
vertebra.
Spondilitis tuberkulosa merupakan bentuk paling berbahaya dari
tuberculosis muskuloskeletal karena dapat menyebabkan destruksi tulang,
deformitas dan paraplegia. Kondisi umumnya melibatkan vertebra thorakal dan
lumbosakral. Vertebra thorakal bawah merupakan daerah paling banyak terlibat
(40-50%), dengan vertebra lumbal merupakan tempat kedua terbanyak (35-45%).
Sekitar 10% kasus melibatkan vertebra servikal (Rasjad, 2003).
3.2 Etiologi
Derajat I
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat
melakukan pekerjaannya
Derajat III
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitasi penderita serta hipestesia/anestesia
Derajat IV
Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defefekasi dan
miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini
atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih
aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses
paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh
adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak
aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis
spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan
granulasi tuberkulosa.Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan
dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler
vertebra. Derajat 1-111 disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut
sebagai paraplegia.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 35 tahun setelah timbulnya stadium
implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan
vertebra yang masif di sebelah depan (Erlangga, 2011).
2.5 Penegakan Diagnosis
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada
banyak faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan
berevolusi lambat. Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu
diagnosa pasti bervariasi dari bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa
sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.
Anamnesa dan inspeksi :
1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat
malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam
hari serta cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya
keinginan bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang
cukup gizi sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam
(terkadang demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu
makan akan terlihat dengan jelas.
2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah
disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari
nodus limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di
daerah telingan atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan
menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian
torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa
nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri
pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku.
4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah
kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam
posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di
oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan
timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa
nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan
di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong
trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan
adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang
dewasa akan menyebabkan tetraparesis (Hsu dan Leong 1984). Dislokasi
atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu
penyebab kompresi cervicomedullary di negara yang sedang berkembang.
Hal ini perlu diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan
tuberkulosa di regio servikal (Lal et al. 1992).
6. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku.
Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi
panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya
sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test). Jika
terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan
mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding
dada. Jika menekan abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat
menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis.
7. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang
terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui
fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul.
Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan
menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha.
Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi
panggul.
8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang
belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan
dislokasi.
9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis).
Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis
lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul
paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks
tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan
motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih
dan anorektal.
10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri
akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang
ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.
Palpasi
1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit
diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan
dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat
paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot
sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di
sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran
lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang
terkena.
Perkusi
Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus
vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness.
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium :
- Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam.
- Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative
(PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu
maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini
dikatakan positif jika tampak area berindurasi, kemerahan dengan diameter ³
10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan. Hasil yang
negatif tampak pada ± 20% kasus (Tandon and Pathak 1973; Kocen 1977)
dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang
immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau
disertai penyakit lain)
- Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum
dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru-paru yang
aktif)
- Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat
relatif.
- Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins,
typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada
pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan
diagnosa banding.
- Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan
kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial
akan memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal akan tampak:
1. Xantokrom
2. Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
3. Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut
responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik (Kocen
and Parsons 1970; Traub et al 1984).
4. Kandungan protein meningkat.
5. Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat
kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.
6. Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis), punksi lumbal
akan menunjukkan genuine dry tap. Pada pasien ini adanya peningkatan
bertahap kandungan protein menggambarkan suatu blok spinal yang
mengancam dan sering diikuti dengan kejadian paralisis. Pemberian
steroid akan mencegah timbulnya hal ini (Wadia 1973). Kandungan
protein cairan serebrospinal dalam kondisi spinal terblok spinal dapat
mencapai 1-4g/100ml.
7. Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan tes
konfirmasi yang absolut tetapi hal ini tergantung dari pengalaman
pemeriksa dan tahap infeksi.
2. Radiologis
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.
- Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang
abnormal).
- Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat
terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit.
- Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.
- Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut
inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut
sehingga tampak penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan,
serta erosi corpus vertebrae anterior yang berbentuk scalloping karena
penyebaran infeksi dari area subligamentous.
- Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus
transversus atau prosesus spinosus.
- Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya
deformita scoliosis (jarang)
- Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa
yang sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio
tinggi lebih besar dari lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio
lebar lebih besar terhadap tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama
long vertebra atau tall vertebra, terjadi karena adanya stress biomekanik
yang lama di bagian kaudal gibbus sehingga vertebra menjadi lebih tinggi.
Kondisi ini banyak terlihat pada kasus tuberkulosa dengan pusat
pertumbuhan korpus vertebra yang belum menutup saat terkena penyakit
tuberkulosa yang melibatkan vertebra torakal.
- Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan
psoas. Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular
dengan kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan
lunak yang mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi
pada saat penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural
sangatlah penting, oleh karena merupakan salah satu indikasi tindakan
operasi (tergantung ukuran abses).
3. Computed Tomography – Scan (CT)
Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan
iga yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf
posterior seperti pedikel tampak lebih baik dengan CT Scan.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat
kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang
belakang. Bermanfaat untuk :
Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat
2.7 Komplikasi
1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya
tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang,
sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia–prognosa
baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh
jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa
buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi
paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan
paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.
2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke
dalam pleura.
PNEUMONIA
Pneumonia adalah infeksi yang terjadi pada jaringan parenkim parudan
menyebabkan infiltrat pada paru yang tampak pada rontgen thoraks serta disertai
gejala klinis demam dan gejala gangguan pada respirasi.
Manifestasi klinis yang muncul bisa bervariasi, tidak serta mertamuncul
bersamaan. Di setiap pasien bisa muncul manifestasi klinis yang berbeda – beda
tetapi gejala yang muncul tetap merupakan ciri – ciri dari pneumonia.Adapun
beberapa gejala yang bisa muncul adalah
Demam yang muncul tiba – tiba
Batuk
Muntah
Nyeri dada
Nyeri perut
Pemeriksaan Fisik
Beberapa tanda bisa muncul pada pemeriksaan fisik pada pneumonia.
Misalnya seperti:
• Takipnea (>50x/m jika < usia 1th, > 40 jika usia > 1th)
• Sianosis
• Retraksi
• Ronkhi Basah Kasar
• Suara pernafasan Bronchial
• Egophony
• Bronchophony
• Whispered pectoriloquy
• Redup pada perkusi
• Tactile fremitus
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis thoraks merupakan pemeriksaan yang penting untuk
dilakukan pada pneumonia. Karena rongent thoraks sangat membantu dalam
mendiagnosis pneumonia. Pada pemeriksaan rongent thoraksakan ditemukan
alveolar atau lobar opasitas yang disertai dengan air bronchograms, unilobar atau
round infiltrat, pneumatoceles dengan necrotizing bacterial pneumonia serta efusi
pleura. Hal tersebut merupakan ciri pneumoniayang disebabkan oleh bakteri. Jika
disebabkan oleh karena virus akan muncul hiperekspansi,opasitas interstisial yang
difus dan atelektasis.
Terapi
Terapi yang dapat diberikan bisa farmakologis dan non farmakologis.
Terapi farmakologis salah satunya adalah pemberian antibiotik, kortikosteroid
yang bertujuan untuk meringankan infeksi dan proses inflamasi. Sedangkan terapi
non farmakologis atau terapi tambahan ada beberapa, misalnya fisioterapi dada.
Fisioterapi dada pada pneumonia anak merupakan terapi yang masih
kontroversial, karena banyak literatur yang mengatakan fisioterapi dada tidak
cocok untuk pneumonia (Windi, 2011).
DAFTAR PUSTAKA