Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Imunisasi adalah suatu usaha untuk memberikan kekebalan pada bayi dan anak
terhadap penyakit tertentu. Guna terwujudnya derajat kesehatan yang tinggi, pemerintah
telah menempatkan fasilitas pelayanan.1
Angka kesakitan bayi di Indonesia relatif masih cukup tinggi, meskipun
menunjukkan penurunan dalam satu dekade terakhir. Program imunisasi bisa
didapatkan tidak hanya di puskesmas atau di rumah sakit saja, akan tetapi juga
diberikan di posyandu yang dibentuk masyarakat dengan dukungan oleh petugas
kesehatan dan diberikan secara gratis kepada masyarakat dengan maksud program
imunisasi dapat berjalan sesuai dengan harapan. Program imunisasi di posyandu telah
menargetkan sasaran yang ingin dicapai yakni pemberian imunisasi pada bayi secara
lengkap. Imunisasi dikatakan lengkap apabila mendapat BCG 1 kali, DPT 3 kali,
Hepatitis 4 kali, Campak 1 kali, dan Polio 4 kali. Bayi yang tidak mendapat imunisasi
secara lengkap dapat mengalami berbagai penyakit, misalnya difteri, tetanus, campak,
polio, dan sebagainya. Oleh karena itu, imunisasi harus diberikan dengan lengkap
sesuai jadwal untuk mencegah terjadinya penyakit tersebut.2
Pemerintah telah memberikan berbagai upaya dan kebijakan dalam bidang
kesehatan untuk menekan angka kesakitan, namun masyarakat belum bisa
memanfaatkannya secara optimal karena ada sebagian ibu yang memiliki persepsi
bahwa tanpa imunisasi anaknya juga dapat tumbuh dengan sehat.3
Dalam lingkup pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas utama.
Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam
upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi merupakan hal mutlak
yang perlu diberikan pada bayi. Imunisasi adalah sarana untuk mencegah penyakit
berbahaya, yang dapat menimbulkan kematian pada bayi. Penurunan insiden penyakit
menular telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lampau di negara-negara maju yang
telah melakukan imunisasi dengan teratur dengan cakupan yang luas.
Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar diperlukan
pengetahuan dan keterampilan tentang vaksin (vaksinologi), ilmu kekebalan

1
(imunologi), dan cara atau prosedur pemberian vaksin yang benar. Dengan melakukan
imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan perlindungan pada anak
tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi tingkat imunitas
umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi. Banyak penyakit menular
yang bisa menyebabkan gangguan serius pada perkembangan fisik dan mental anak.
Imunisasi bisa melindungi anak-anak dari penyakit melalui vaksinasi yang bisa berupa
suntikan atau melalui mulut.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
1.2.1.1 Mengetahui dan memahami tentang imunisasi
1.2.1.2 Mengetahui dan memahami tentang vaksin
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Mengetahui dan memahami definisi imunisasi
1.2.2.2 Mengetahui dan memahami tujuan imunisasi
1.2.2.3 Mengetahui dan memahami keberhasilan imunisasi
1.2.2.4 Mengetahui dan memahami cara pemberian imunisasi
1.2.2.5 Mengetahui dan memahami kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI)
1.2.2.6 Mengetahui dan memahami jadwal imunisasi
1.2.2.7 Mengetahui dan memahami tentang jenis vaksin
1.2.2.8 Mengetahui dan memahami tentang vaksin yang dianjurkan

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Imunisasi adalah suatu cara meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak
terjadi penyakit. Imunisasi berasal dari kata immune yang berarti kebal atau resisten.
Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan kekebalan atau resistensi
pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit yang lain diperlukan
imunisasi lainnya.3
Imunisasi biasanya terutama diberikan pada anak-anak karena sistem kekebalan
tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan terhadap serangan
penyakit infeksi yang berbahaya. Beberapa imunisasi tidak cukup diberikan hanya satu
kali, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan lengkap untuk mendapatkan kekebalan
dari berbagai penyakit yang sangat membahayakan kesehatan dan hidup anak.1
Imunisasi merupakan suatu proses transfer antibodi secara pasif dengan
memberikan imunoglobulin.
Vaksinasi merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan
pada suatu antigen berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat
demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun memproduksi limfosit yang
peka, antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan infeksi alamiah yang tidak
menimbulkan sakit namun cukup memberikan kekebalan. Tujuannya adalah
memberikan “infeksi ringan” yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan
respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya dikemudian hari
anak tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan
mematikan antigen / penyakit yang masuk tersebut. Vaksinasi memiliki keuntungan:
 Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya.
 Vaksinasi cost-effective karena murah dan efektif.
 Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh lebih
jarang daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut
secara alamiah.

3
Vaksin adalah mikroorganisme bakteri, virus atau riketsia, atau toksoid yang
diubah (dilemahkan atau diamtikan) sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau
toksisitasnya hilang, tetapi tetap mengandung sifat antigenisitas. Bila vaksin diberikan
kepada manusia maka akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap
penyakit tertentu.
Vaksinasi merupakan upaya pencegahan primer. Secara konvensional, upaya
pencegahan penyakit dan keadaan apa saja yang akan menghambat tumbuh kembang
anak dapat dilakukan dalam tiga tingkatan yaitu pencegahan primer, pencegahan
sekunder dan pencegahan tersier.
Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari terjadinya sakit atau
kejadian yang dapat mengakibatkan seseorang sakit atau menderita cedera dan cacat.
Pencegahan sekunder adalah upaya kesehatan agar tidak terjadi komplikasi yang tidak
diinginkan, yaitu meninggal atau meninggalkan gejala sisa, cacat fisik maupun mental.
Pencegahan tersier adalah membatasi berlanjutnya gejala sisa tersebut dengan upaya
pemulihan seseorang penderita agar dapat hidup mandiri tanpa bantuan orang lain.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan laporan WHO tahun 2002, setiap tahun terjadi kematian sebanyak
2,5 juta balita, yang disebabkan penyakit yang dapat dicegah melalui vaksinasi. Radang
paru yang disebabkan oleh pneumokokus menduduki peringkat utama (716.000
kematian), diikuti penyakit campak (525.000 kematian), rotavirus (diare), Haemophilus
influenza tipe B, pertusis dan tetanus. Dari jumlah semua kematian tersebut, 76%
kematian balita terjadi dinegara-negara sedang berkembang, khususnya Afrika dan Asia
Tenggara (termasuk Indonesia).1
WHO mengatakan bahwa penyakit infeksi yang dapat dicegah melalui vaksinasi
akan dapat diatasi bilamana sasaran imunisasi global tercapai. Dalam hal ini bisa
tercapai bila lebih dari > 90% populasi telah mendapatkan vaksinasi terhadap penyakit
tersebut.1
Sementara, saat ini di Indonesia masih ada anak-anak yang belum mendapatkan
imunisasi secara lengkap bahkan tidak pernah mendapatkan imunisasi sedari lahir. Hal
itu menyebabkan mereka mudah tertular penyakit berbahaya karena tidak adanya
kekebalan terhadap penyakit tersebut.

4
Data dari Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) RI menunjukkan sejak 2014-2016, terhitung sekitar 1,7 juta
anak belum mendapatkan imunisasi atau belum lengkap status imunisasinya.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengubah konsep imunisasi dasar lengkap
menjadi imunisasi rutin lengkap. Imunisasi rutin lengkap itu terdiri dari imunisasi dasar
dan lanjutan. Imunisasi dasar saja tidak cukup, diperlukan imunisasi lanjutan untuk
mempertahankan tingkat kekebalan yang optimal.
Pemberian imunisasi disesuaikan dengan usia anak. Untuk imunisasi dasar lengkap,
bayi berusia kurang dari 24 jam diberikan imunisasi Hepatitis B (HB-0), usia 1 bulan
diberikan (BCG dan Polio 1), usia 2 bulan diberikan (DPT-HB-Hib 1 dan Polio 2), usia
3 bulan diberikan (DPT-HB-Hib 2 dan Polio 3), usia 4 bulan diberikan (DPT-HB-Hib 3,
Polio 4 dan IPV atau Polio suntik), dan usia 9 bulan diberikan (Campak atau MR).
Untuk imunisasi lanjutan, bayi bawah dua tahun (Baduta) usia 18 bulan diberikan
imunisasi (DPT-HB-Hib dan Campak/MR), kelas 1 SD/madrasah/sederajat diberikan
(DT dan Campak/MR), kelas 2 dan 5 SD/madrasah/sederajat diberikan (Td).
Vaksin Hepatitis B (HB) diberikan untuk mencegah penyakit Hepatitis B yang
dapat menyebabkan pengerasan hati yang berujung pada kegagalan fungsi hati dan
kanker hati. Imunisasi BCG diberikan guna mencegah penyakit tuberkulosis.
Imunisasi Polio tetes diberikan 4 kali pada usia 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan dan 4
bulan untuk mencegah lumpuh layu. Imunisasi polio suntik pun diberikan 1 kali pada
usia 4 bulan agar kekebalan yang terbentuk semakin sempurna.
Imunisasi Campak diberikan untuk mencegah penyakit campak yang dapat
mengakibatkan radang paru berat (pneumonia), diare atau menyerang otak. Imunisasi
MR diberikan untuk mencegah penyakit campak sekaligus rubella.
Rubella pada anak merupakan penyakit ringan, namun apabila menular ke ibu hamil,
terutama pada periode awal kehamilannya, dapat berakibat pada keguguran atau bayi
yang dilahirkan menderita cacat bawaan, seperti tuli, katarak, dan gangguan jantung
bawaan.
Vaksin DPT-HB-HIB diberikan guna mencegah 6 penyakit, yakni Difteri, Pertusis,
Tetanus, Hepatitis B, serta Pneumonia (radang paru) dan Meningitis (radang selaput
otak) yang disebabkan infeksi kuman Hib.

5
Terkait capaian imunisasi, cakupan imunisasi dasar lengkap pada 2017 mencapai
92,04%, melebihi target yang telah ditetapkan yakni 92% dan imunisasi DPT-HB-Hib
Baduta mencapai 63,7%, juga melebihi target 45%.
Sementara tahun ini terhitung Januari hingga Maret imunisasi dasar lengkap
mencapai 13,9%, dan imunisasi DPT-HB-Hib Baduta mencapai 10,8%. Target cakupan
imunisasi dasar lengkap 2018 sebesar 92,5% dan imunisasi DPT-HB-Hib Baduta 70%.7

2.3 TUJUAN
Untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan
penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat atau bahkan menghilangkan penyakit
tertentu dari dunia.3
Sasaran dari pemberian imunisasi tidak hanya pada anak-anak, tetapi juga
mencakup wanita hamil (dari awal kehamilan hingga usia kehamilan 8 bulan) dan
wanita usia subur (calon mempelai). Pada anak-anak, imunisasi diberikan dimulai sejak
bayi dibawah umur 1 tahun (0 – 11 bulan) sampai anak sekolah dasar
(kelas 1 – kelas 6).

2.4 RESPON IMUN


Respon imun adalah respon tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks
terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua macam pertahanan
tubuh, yaitu:
1) Mekanisme pertahanan nonspesifiik disebut juga komponen nonadaptif atau innate
artinya tidak ditujukan hanya untuk satu macam antigen, tetapi untuk berbagai
macam antigen
2) Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan khusus
terhadap satu jenis antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak
pada pemberian antigen berikutnya. Hal ini disebabkan telah terbentuknya sel
memori pada pengenalan antigen pertama kali.
Bila pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka
imunitas spesifik akan terangsang. Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh
sistem imun akan dipresentasikan oleh sel makrofag (APC = antigen presenting cel)

6
pada sel T untuk antigen TD (T-dependent), sedangkan antigen TI (T-independent)
akan langsung diperoleh oleh sel B.
Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas humoral.
Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh antigen. Semua
antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut imunoglobulin (Ig)
yang dapat dipindahkan secara pasif kepada individu yang lain dengan cara
penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas selular hanya dapat dipindahkan melalui
sel, contohnya pada reaksi penolakan organ transplantasi oleh sel limfosit dan pada
graft versus-host-disease.
Proses imun terdiri dari dua fase:
 Fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen
(APC = antigen presenting cells), sel limfosit B, limfosit T.
 Fase efektor, diperankan oleh antibodi dan limfosit T efektor

2.5 KEBERHASILAN IMUNISASI


Keberhasilan imunisasi tergantung dari beberapa faktor, yaitu dari status imun
pejamu, faktor genetik pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.
a. Status imun pejamu
Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan akan
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa fetus
mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campak, bila vaksinasi campak
diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi maka akan
memberikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI) yang
mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio dapat mempengaruhi
keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral. Namun pada umumnya
kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur
beberapa bulan.
Pada penelitian di Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/RSCM,
Jakarta ternyata sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi
berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena itu bila
vaksinasi polio diberikan pada masa pemberian kolostrum (kurang atau sama

7
dengan 3 hari setelah bayi lahir) hendaknya ASI (kolostrum) jangan diberikan
dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi.
Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi neonatus
fungsi makrofag masih kurang. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen
tertentu masih kurang. Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus akan
memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada anak. Maka, apabila imunisasi
diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, jangan lupa memberikan imunisasi
ulangan.
Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat obat
imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit
yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit keganasan juga
akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi imun
merupakan kontraindikasi pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan
penyakit pada individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada individu yang
menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis milier akan
mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun, seperti
makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral
spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin normal atau bahkan meninggi,
imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena
terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar
komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya respon
terhadap vaksin atau toksoid berkurang.
b. Faktor genetik pejamu
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik.
Secara genetik, respon imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan
rendah terhadap antigen tertentu. Respon imun manusia dapat memberikan respon
rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi.
Karena itu tidak heran bila menemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%.
c. Kualitas dan kuantitas vaksin
Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa
sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung

8
sifat antigenisitas. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan
keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian ajuvan
yang dipergunakan, dan jenis vaksin.
 Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respon imun yang timbul.
Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal dan sistemik,
sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas sistemik saja.
 Dosis vaksin yang terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi
respon imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respon
imun yang diharapkan, sedangkan dosis terlalu rendah tidak merangsang
sel-sel imunokompeten. Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji
klinis, karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang
direkomendasikan.
 Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respon imun yang terjadi. Selain
frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respon imun yang
terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi
spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh
antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut sehingga tidak sempat
merangsang sel imunkompaten. Bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan
reaksi arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat
pembentukan kompleks antigen antibodi lokal sehingga terjadi peradangan
lokal. Karena itu pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang
dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.
 Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respon imun
terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respon imun dengan
mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan
mengaktivasi APC (antigen presenting cells) untuk memproses antigen
secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel
imunokompeten lainnya.
 Jenis Vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respon imun lebih baik
dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi (killed atau inactivated) atau
bagian (komponen) dari mikroorganisme. Vaksin hidup diperoleh dengan
cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah untuk menghasilkan organisme yang

9
hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh
dengan memodifikasi kondisi tempat tubuh mikroorganisme, misalnya suhu
yang tinggi atau rendah, kondisi anerob, atau menambah empedu pada
media kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanam
selama 13 tahun. Dapat pula dipakai mikroorganisme yang virulen untuk
spesies lain tetapi untuk manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.

2.6 PERSYARATAN VAKSIN


Vaksin yang dapat memenuhi ke empat syarat berikut adalah vaksin virus hidup,
dengan syarat yaitu sebagai berikut:
1. Mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan memproduksi interleukin.
2. Mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori
3. Mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk mengatasi variasi
respons imun yang ada dalam populasi karena adanya polimorfisme MHC.
4. Memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular dendrit jaringan
limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-
waktu menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus-menerus sehingga
kadarnya tetap tinggi.

2.7 JENIS VAKSIN


Pada dasarnya, vaksin dibagi menjadi dua jenis, yaitu live attenuated (bakteri atau virus
hidup yang dilemahkan) dan inactivated (bakteri, virus, atau komponennya dibuat tidak
aktif).

2.7.1 Vaksin hidup attenuated


Diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau
bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih
memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan
menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit.
Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (wild) penyebab penyakit.
Virus atau bakteri liar ini dilemahkan (attinuated) di laboratorium, biasanya
dengan cara pembiakan berulang-ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai

10
sampai sekarang, diisolasi untuk mengubah virus liar campak menjadi virus
vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara melakukan penanaman pada jaringan
media pembiakan secara serial dari seorang anak yang menderita penyakit
campak pada tahun 1954.
 Agar dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup atteuated harus
berkembang biak (mengadakan replikasi) di dalam tubuh resipien.
 Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol (misalnya panas atau
cahaya) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh (antibodi
yang beredar) dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif.
 Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama dengan
yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak membedakan
antara suatu infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan
virus liar.
 Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk
patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup.
 Antibodi dari sumber apapun (misalnya transplasental dan transfusi) dapat
mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak
adanya respons (non-response). Vaksin campak merupakan mikroorganisme
yang paling sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin
polio dan rotavirus paling sedikit terkena pengaruh.
 Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila
kena panas dan sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan
dengan baik dan hati-hati.
Vaksin hidup attenuated yang tersedia
o Berasal dari virus hidu : Vaksin campak, gondongan (parotitis), rubela, polio,
rotavirus, demam kuning (yellow fever).
o Berasal dari bakteri: Vaksin BCG dan demam tifoid oral.

2.7.2 Vaksin inactivated


 Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara mambiakkan bakteri atau virus
dalam media pembiakan (persemaian), kemudian dibuat tidak aktif dengan
penambahan bahan kimia (biasanya formalin).

11
 Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis
antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit
(walaupun pada orang dengan defisiensi imun) dan tidak dapat mengalami
mutasi menjadi bentuk patogenik. Antigen inactivated tidak dipengaruhi oleh
antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi berada
di dalam sirkulasi darah.
 Vaksin inactivated selalu memerlukan dosis ganda. Pada umumnya pada dosis
pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau
menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah dosis
kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai
respons imun yang mirip atau sama dengan infeksi alami, respons imun
terhadap vaksin inactivated sebagian besar humoral, hanya sedikit atau tak
menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap antigen inactivated
menurun setelah beberapa waktu.
 Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit
masih memerlukan vaksin seluruh sel (whole cell), namun vaksin bakterial
seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi
ikutan atau efek samping. Ini disebabkan respons terhadap komponen-
komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk perlindungan (contoh:
antigen pertusis dalam vaksin DPT).
Vaksin Inactivated yang tersedia saat ini berasal dari:
o Seluruh sel virus yang inactivated, contoh: influenza, polio, rabies, hepatitis A.
o Seluruh bakteri yang inactivated, contoh: pertusis, tifoid, kolera, lepra.
o Vaksin fraksional yang masuk subunit, contoh: hepatitis B, influenza, pertusis
a-seluler, tifoid Vi, lyme disease.
o Toksoid, contoh: difteria, tetanus, botulinum.
o Polisakarida murni, contoh: pneumokokus, meningokokus, dan haemophilus
influenzae tipe b.
o Gabungan polisakarida (haemophillus influenzae tipe B dan pneumokokus).

12
2.8 VAKSIN DAN SISTEM KEKEBALAN
Sebelum membahas bagaimana pemberian vaksin dapat memberikan perlindungan
terhadap seseorang, terlebih dahulu perlu kita perlu mengetahui mengenai cara sistem
kekebalan tubuh bekerja melawan mikroorganisme (virus, bakteri, parasit, dsb).1

Gambar 1. Cara Sistem Kekebalan Tubuh Bekerja

Manusia dapat terhindar atau sembuh dari serangan penyakit infeksi karena telah
dilengkapi dengan dua sistem kekebalan tubuh, yaitu:1
1. Kekebalan tidak spesifik (Non Spesific Resistance)
Disebut sebagai sistem imun non spesifik karena sistem kekebalan tubuh kita tidak
ditujukan terhadap mikroorganisme atau zat asing tertentu. Contoh bentuk kekebalan
non-spesifik :
 Pertahanan fisis dan mekanis, misalnya silia atau bulu getar hidung yang
berfungsi untuk menyaring kotoran yang akan masuk ke saluran nafas bagian
bawah.
 Pertahanan biokimiawi - ASI yang mengandung laktoferin - berperan sebagai
antibakteri
 Interferon - pada saat tubuh kemasukan virus, maka sel darah putih akan
memproduksi interferon untuk melawan virus tersebut.

13
 Apabila mikroorganisme masuk ke tubuh, maka sistem kekebalan non-spesifik
yang diperankan oleh pertahanan selular (monosit dan makrofag) akan
menangkap, mencerna, dan membunuh mikroorganisme tersebut.
2. Kekebalan Spesifik (Spesific Resistance)
Sistem kekebalan spesifik dimainkan oleh dua komponen utama, yaitu sel T dan
sel B. Sistem kekebalan spesifik tidak mengenali seluruh struktur utuh
mikroorganisme, melainkan sebagai prrotein saja yang akan merangsang sistem
kekebalan. Bagian dari struktur protein mikroorganisme yang dapat merangsang
sistem kekebalan spesifik ini disebut antigen. Adanya antigen akan merangsang
diaktifkannya sel T atau sistem kekebalan selular. Selanjutnya sel T ini akan
memacu sel B atau sel humoral untuk mengubah bentuk dan fungsi menjadi sel
plasma yang selanjutnya akan memproduksi antibodi.
Kelebihan dari sistem kekebalan spesifik adalah dilengkapi dengan sel memori.
Semakin sering tubuh kita kontak dengan antigen dari luar, maka semakin tinggi
pula peningkatan kadar antibodi tubuh karena sel-sel memori telah mengenali
antigen tersebut.

Yang membangkitkan sistem kekebalan spesifik kita adalah antigen yang merupakan
bagian dari mikroorganisme (virus atau bakteri). Antigen ini selanjutnya akan
ditanggapi oleh sistem kekebalan tubuh dengan memproduksi antibodi. Berdasarkan
cara memperoleh kekebalan, maka kekebalan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:1,3
1. Kekebalan pasif
Kekebalan yang diperoleh dari luar, yang berarti bahwa tubuh mendapat bantuan dari
luar antibodi yang sudah jadi. Sifat kekebalan pasif tidak berlangsung lama,
umumnya tidak kurang dari 6 bulan. Misalnya bayi yang secara alami telah memiliki
kekebalan pasif dari ibunya.
2. Kekebalan aktif
Yang umum disebut dengan imunisasi, diperoleh melalui pemberian vaksinasi dan
berlangsung bertahun tahun, karena tubuh memiliki sel memori terhadap antigen
tertentu. Dalam rangka memacu sistem kekebalan spesifik tubuh, maka vaksin dapat
dibuat dari:2
 Live attenuated (vaksin hidup yang dilemahkan)

14
 Inactivated (bakteri, virus atau komponennya dibuat tidak aktif)
 Vaksin rekombinan
 Virus – like particle vaccine.
Vaksin hidup attenuated atau Live attenuated diproduksi di laboratorium dengan
cara memodifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme
yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak
(replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit. Supaya
dapat menimbulkan respon imun, vaksin hidup attenuated harus berkembang biak
(mengadakan replikasi) di dalam tubuh resipien. Suatu dosis kecil virus atau bakteri
yang diberikan, yang kemudian mengadakan replikasi di dalam tubuh dan meningkat
jumlahnya sampai cukup besar untuk memberi rangsangan suatu respons imun.
Vaksin hidup attenuated yang tersedia berasal dari virus hidup yaitu vaksin campak,
gondongan (parotitis), rubela, polio, rotavirus, demam kuning (yellow fever) dan
yang berasal dari bakteri yaitu vaksin BCG dan demam tifoid.
Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakan bakteri atau virus dalam
media pembiakan, kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan penambahan
bahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin fraksional, organisme tersebut dibuat
murni dan hanya komponen-komponennya yang dimaksukkan dalam vaksin
(misalnya kapsul polisakarida dari kuman pneumokokus). Vaksin inactivated tidak
hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigen dimasukan dalam
suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit dan tidak dapat mengalami mutasi
menjadi bentuk patogenik. Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari
seluruh sel virus yang inactivated contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A.
Kemudian dari seluruh bakteri yang inactivated contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.
Juga dari toksoid misalnya difteria, tetanus dapat juga dari polisakarida murni
misalnya pneumokokus, meningokokus dan haemophilus influenza tipe B.
Vaksin rekombinan. Jenis vaksin demikian diperoleh melalui proses rekayasa
genetik, misalnya vaksin hepatitis B, vaksin tifoid, dan rotavirus. Vaksin hepatitis B
dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen vius hepatitis B ke dalam sel
ragi. Sela ragi yang telah diubah ini kemudian menghasilkan antigen permukaan
hepatitis B murni.

15
Virus – like particle vaccine atau vaksin yang dibuat dari partikel yang mirip
dengan virus, contohnya adalah vaksin human papillomavirus (HPV) tipe 16 untuk
mencegah kanker leher rahim. Atigen diperoleh melalui protein virus HPV yang
diolah sedimikian rupa sehingga menghasilkan struktur mirip dengan seluruh
struktur HPV (atau dikenal sebagai pseudo – particles of HPV tipe 16).

2.9 PEMBERIAN IMUNISASI


2.9.1 Tata cara pemberian imunisasi
Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai berikut:
1. Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila
tidak divaksinasi.
2. Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila
terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
3. Baca dengan teliti informasi tentang produk (vaksin) yang akan diberikan
dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab
dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.
4. Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan.
5. Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.
6. Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan
baik.
7. Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan.
Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya
perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.
8. Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula
vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal (catch up vaccination)
bila diperlukan.
9. Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan
jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi bayi/anak
penerima vaksin.
10. Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut:

16
 Berilah petunjuk (sebaiknya tertulis) kepada orang tua atau pengasuh
mengenai yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau
reaksi ikutan yang lebih berat.
 Catat imunsiasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis.
 Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan
bidang Pemberantasan Penyakit Menular.
 Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi
untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.

2.9.2 Penyimpanan
Aturan umum untuk sebagian besar vaksin bahwa vaksin harus didinginkan pada
temperatur 2-8°C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT, Hib, hepatitis B,
dan hepatitis A) menjadi tidak aktif bila beku.

2.9.3 Arah sudut jarum pada suntikan intramuskular


Jarum suntik harus disuntikan dengan sudut 450 – 600 ke dalam otot vastus
lateralis atau otot deltoid. Untuk suntikan otot vastus lateralis, jarum diarahkan
ke arah lutut sedangkan untuk suntikan pada deltoid jarum diarahkan ke pundak.
Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan
pada sudut 900.

2.9.4 Tempat suntikan yang dianjurkan


Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi
pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan. Vaksin harus disuntikkan ke dalam
batas antara sepertiga otot bagian tengah yang merupakan bagian yang paling
tebal dan padat. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak yang
lebih besar (mereka yang telah dapat berjalan) dan orang dewasa.
Alasan memilih otot castus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah
12 bulan adalah:
a. Menghindari risiko kerusakan saraf iskiadika pada suntikan daerah gluteal.
b. Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap
suntikan secara adekuat.

17
c. Imunogenitas vaksin hepatitis B dan rabies akan berkurang apabila
disuntikkan di daerah gluteal
d. Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat
suntikan yang menahun.
e. Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.

Gambar 2. Lokasi penyuntikan intramuskular pada (a) Bayi dan (b) Anak Besar

2.9.5 Keadaan Bayi atau Anak Sebelum Imunisasi


Orangtua atau pengantar bayi / anak dianjurkan mengingat dan memberitahukan
secara lisan atau melalui dafatr isian tentang hal-hal yang berkaitan dengan
indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan pascaimunisasi tersebut di bawah ini:
 Pernah mengalami kejadian ikutan pascaimunisasi yang berat (memerlukan
pengobatan khusus atau perlu perawatan di rumah sakit).

18
 Alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin (misalnya
neomisin).
 Sedang mendapat pengobatan steroid jangka panjang, radioterapi, atau
kemoterapi.
 Tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun (leukimia,
kanker, HIV/AIDS).
 Tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan
imunitas (radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid).
 Pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup (vaksin
campak, poliomielitis, rubela).
 Pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau tranfusi darah.
 Menderita penyakit susunan saraf pusat.

2.9.6 Pencatatan Imunisasi dan Kartu Imunisasi


Setiap bayi / anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi seperti kartu
imunisasi yang dipegang oleh orangtua atau pengasuhnya. Setiap dokter atau
tenaga paramedis yang memberikan imunisasi harus mencatat semua data-data
yang relevan pada kartu imunisasi tersebut. Orangtua / pengasuh yang
membawa anak ke tenaga medis atau paramedis untuk imunisasi diharapkan
senantiasa membawa kartu imunisasi tersebut.
Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi adalah sebagai berikut:
 Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan nama dagang.
 Tanggal melakukan vaksinasi.
 Efek samping bila ada.
 Tanggal vaksinasi berikutnya.
 Nama tenaga medis / paramedis yang memberikan vaksin.

2.10 CARA PENYUNTIKAN VAKSIN


SUBKUTAN
Perhatian
 Penyuntikan subkutan digunakan untuk imunisasi MMR, varisela, meningitis.
 Perhatikan rekomendasi untuk umur anak.

19
Umur Tempat Ukuran jarum Insersi jarum
Bayi (lahir s/d Paha anterolateral Jarum 5/8"–3/4" Arah jarum 45°
12 bulan) Spuit nomor 23–25 terhadap kulit
Anak Paha anterolateral / Jarum 5/8"–3/4"  Cubit tebal untuk
1 – 3 tahun Lateral lengan atas Spuit nomor 23–25 suntikan subkutan.
Anak Lateral lengan atas Jarum 5/8"–3/4"  Aspirasi spuit
> 3 tahun Spuit nomor 23–25 sebelum disuntikan.
 Untuk suntikan
multiple diberikan
pada ekstremitas
berbeda.

20
INTRAMUSKULAR
Perhatian
 Digunakan untuk imunisasi DPT, DT, TT, Hib, Hepatitis A dan Hepatitis B,
Influenza.
 Perhatikan rekomendasi untuk umur anak.

Umur Tempat Ukuran jarum Insersi jarum


Bayi Otot vastus lateralis Jarum 7/8"–1" 1. Pakai jarum yang cukup
(lahir s/d pada paha daerah Spuit nomor 22– panjang untuk mencapai
12 bulan) anterolateral 25 otot.
2. Suntik dengan arah jarum
80°–90o. lakukan dengan
cepat.
Anak Otot vastus lateralis Jarum 5/8"–1¼" 1. Tekan kulit sekitar tepat
1-3 tahun pada paha daerah (5/8 untuk suntikan dengan ibu jari
anterolateral sampai suntikan di deltoid dan telunjuk saat jarum
masa otot deltoid umur 12–15 bulan) ditusukan.
cukup besar (pada Spuit nomor 22– 2. Aspirasi spuit sblm
umumnya umur 25 vaksin disuntikan, untuk
3 tahun meyakinkan tidak masuk
Anak Otot deltoid, di Jarum 1"–1¼" ke dalam vena. Apabila
> 3 tahun bawah akromion Spuit nomor 22– terdapat darah, buang
25 dan ulangi dengan suntik
yang baru.
3. Untuk suntikan multipel
diberikan pada bagian
sekstremitas berbeda.

21
CARA PEMBERIAN VAKSIN
Vaksin Volume Dosis Lokasi Pemberian
Difteri, Pertusis, dan Tetanus (DPT,
DpaT, TT, Td, dan yang
0,5 ml Intramuskular
dikombinasikan dengan Hib,
Hepatitis B, dan Polio suntik).
Haemophilus influenzae tipe B (Hib) 0,5 ml Intramuskular
≤ 18 tahun = 0,5 ml
Hepatitis A Intramuskular
≥ 19 tahun = 1 ml
≤ 19 tahun = 0,5 ml
Hepatitis B Intramuskular
≥ 20 tahun = 1 ml
0,5 ml
Human papilloma virus (HPV) Intramuskular

6 – 35 bulan = 0,25 ml
Infuenza (mati) (trivalen) Intramuskular
≥ 3 tahun = 0,5 ml
Campak, Gondongan, Rubella
0,5 ml Subkutan
(Campak tunggal maupun MMR)
Meningokokus konjugat (MCV) 0,5 ml Intramuskular
Meningokokus (polisakarida) (MPS) 0,5 ml Subkutan
Pneumokokus konjugat (PCV) 0,5 ml Intramuskular
Pneumokokus (polisakarida) (PPS) 0,5 ml Subkutan
Polio (hidup) (OPV) 2 tetes Intramuskular
Intramuskular
Polio (mati) (IPV) 0,5 ml
Subkutan
Rotarix = 1 ml
Rotavirus Oral
RotaTeq = 2 ml
Varisela (cacar air) 0,5 ml Subkutan
BCG 0,05 ml Intrakutan

22
2.11 KIPI (KEJADIAN IKUTAN PASCAIMUNISASI)1
Setiap tindakan medis apa pun bisa menimbulkan risiko bagi pasien si penerima
layanan baik dalam skala ringan maupun berat. Demikian halnya dengan pemberian
vaksinasi, reaksi yang timbul setelah pemberian vaksinasi disebut kejadian ikutan pasca
imunisasi (KIPI) atau adverse following immunization (AEFI). Dengan semakin
canggihnya teknologi pembuatan vaksin dan semakin meningkatnya teknik pemberian
vaksinasi, maka reaksi KIPI dapat diminimalisirkan. Meskipun risikonya sangat kecil,
reaksi KIPI berat dapat saja terjadi. Oleh karena itu, petugas imunisasi atau dokter
mempunyai kewajiban untuk menjelaskan kemungkinan reaksi KIPI apa saja yang
dapat terjadi. Dan bagi orang yang hendak menerima vaksinasi mempunyai hak untuk
bertanya dan mengetahui apa saja reaksi KIPI yang dapat terjadi.
Secara khusus, KIPI dapat didefinisikan sebagai kejadian medik yang berhubungan
dengan imunisasi, baik oleh karena efek vaksin maupun efek samping, toksisitas, reaksi
sensitivitas, efek farmakologis, kesalahan program, reaksi suntikan, atau penyebab lain
yang tidak dapat ditentukan. Secara umum, reaksi KIPI dapat dikategorikan sebagai
akibat kesalahan program, reaksi suntikan, dan reaksi vaksin.
1. Kesalahan program. Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan kesalahan
teknik pelaksanaan vaksinasi, misalnya kelebihan dosis, kesalahan memilih lokasi
dan cara menyuntik, sterilitas, dan penyimpanan vaksin. Dengan semakin
membaiknya pengelolaan vaksin, pengetahuan, dan keterampilan petugas pemberi
vaksinasi, maka kesalahan tersebut dapat diminimalisirkan.
2. Reaksi suntikan. Reaksi suntikan tidak berhubungan dengan kandungan vaksin,
tetapi lebih karena trauma akibat tusukan jarum, misalnya bengkak, nyeri, dan
kemerahan di tempat suntikan. Selain itu, reaksi suntikan dapat terjadi bukan akibat
dari trauma suntikan melainkan karena kecemasan, pusing, atau pingsan karena
takut terhadap jarum suntik. Reaksi suntikan dapat dihindari dengan melakukan
teknik penyuntikan secara benar.
3. Reaksi vaksin. Gejala yang muncul pada reaksi vaksin sudah bisa diprediksi
terlebih dahulu, karena umumnya perusahaan vaksin telah mencantumkan reaksi
efek samping yang terjadi setelah pemberian vaksinasi. Keluhan yang muncul
umumnya bersifat ringan (demam, bercak merah, nyeri sendi, pusing, nyeri otot).
Meskipun hal ini jarang terjadi, namun reaksi vaksin dapat bersifat berat, misalnya

23
reaksi anafilaksis dan kejang. Untunglah bahwa reaksi alergi serius relatif jarang
terjadi, misalnya reaksi alergi serius akibat campak kemungkinan kejadiannya
hanya 1/1000.000 dosis.
Mengingat hampir setiap vaksin mempunyai potensi memberikakn reaksi efek samping
atau KIPI, maka sebaiknya bertanya terlebih dahulu kepada petugas gejala apa saja
yang dapat terjadi setelah vaksinasi. Bila keluhan KIPI bersifat ringan, misalnya
demam, nyeri tempat suntikan, atau bengkak maka dapat dilakukan pengobatan
sederhana, misalnya dengan minum obat antipiretik saja. Tetapi, bila kejadian pasca
imunisasi bersifat serius, maka harus secepat mungkin dibawa kerumah sakit. Setiap
pelayanan kesehatan yang melakukan pemberian vaksinasi mempunyai kewajiban
untuk melaporkan KIPI ke Dinas Kesehatan Tingkat Kabupaten, dengan tembusan ke
Sekretariat KOMDA PP KIPI yang berkedudukan di setiap provinsi.

2.12 VAKSINASI YANG DIANJURKAN


Tidak semua negara menerapkan kebijaksanaan vaksinasi yang sama pada
masyarakatnya. Namun, biasanya rekomendasi vaksinasi lebih diutamakan bagi bayi
dan anak-anak, karena kelompok usia ini dianggap belum mempunyai sistem kekebalan
tubuh sempurna. Di Indonesia, pemerintah mengambil kebijakan dalam pemberian
vaksinasi menjadi dua, yaitu vaksin wajib (sebagai program imunisasi nasional) serta
vaksin yang dianjurkan (bukan merupakan program imunisasi nasional).

Vaksinasi yang dianjurkan Pemerintah 2010


- Tuberculosis - MMR (campak, gondong, rubella)
- Hepatitis B - Haemophilus influenza tipe B
- DPT (Difteri, tetanus, pertusis) - Demam tifoid
- Poliomielitis - Varisela
- Campak - Hepatitis A
- Influenza
- Pneumokokus
- Rotavirus
- Yellow fever
- Japannesse encephalitis
- Meningokokus
Tabel 1. Vaksinasi yang dianjurkan (Satgas Imunisasi – Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010)

24
1. Vaksinasi Tuberkulosis1,3,4
Adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis dibiak berulang
selama 1–3 tahun sehingga didapat basil yang tidak virulen tetapi masih
mempunyai imunogenitas. Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang memberi
perlindungan terhadap penyakit TB. Vaksin TB tidak mencegah infeksi TB, tetapi
mencegah infeksi TB berat (meningitis TB dan TB milier). Vaksin BCG
membutuhkan waktu 6–12 minggu untuk menghasilkan efek (perlindungan)
kekebalannya. Vaksinasi BCG memberikan proteksi yang bervariasi antara
50–80% terhadap tuberkulosis. Pemberian vaksinasi BCG sangat bermanfaat bagi
anak.
Di Indonesia, vaksin BCG merupakan vaksin yang diwajibkan pemerintah.
Vaksin ini diberikan pada bayi yang baru lahir dan sebaiknya diberikan pada umur
sebelum 2 bulan. Vaksin BCG juga diberikan pada anak usia 1–15 tahun yang
belum divaksinasi (tidak ada catatan atau tidak ada scar).
Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah untuk 0,05 ml dan untuk anak
0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersio M. deltoideus kanan. WHO
tetap menganjurkan pemberian vaksin BCG di insersio M. deltoid kanan dan tidak
di tempat lain (bokong, paha), penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid
lebih mudah dilakukan (tidak terdapat lemak subkutis yang tebal), ulkus yang
terbentuk tidak mengganggu struktur otot setempat (dibandingkan pemberian di
daerah gluteal lateral atau paha anterior) dan sebagai tanda baku untuk keperluan
diagnosis apabila diperlukan.
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien
imunokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang atau pada
infeksi HIV).
KIPI
Terdapat apul merah yang kecil timbul dalam waktu 1–3 minggu. Papul ini akan
semakin lunak, hancur, dan menimbulkan parut. Luka ini mungkin memakan waktu
sampai 3 bulan untuk sembuh. Biarkan vaksinasi sembuh sendiri dan pastikan agar
tetap bersih dan kering.

25
2. Vaksinasi Hepatitis B1,3
Di Indonesia, vaksinasi hepatitis B merupakan vaksinasi wajib bagi bayi dan
anak karena pola penularannya bersifat vertikal. Ada berbagai jenis pilihan vaksin
yang diproduksi oleh beberapa perusahaan farmasi dan dosis serta cara
pemberiannya sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2.

Nama Cara Interval


Produsen Dosis
Dagang Pemberian Pemberian
Anak : 10 mcg Bulan ke –
Engerix B GSK IM
Dewasa : 20 mcg 0, 1, 6
Sanofi Anak : 10 mcg Bulan ke –
Euvax IM
pasteur Dewasa : 20 mcg 0, 1, 6
Anak : 10 mcg Bulan ke –
HB VAX II MSD IM
Dewasa : 20 mcg 0, 1, 6
Hepavax Anak : 10 mcg Bulan ke –
Kalbuitech IM
Gene Dewasa : 20 mcg 0, 1, 6
Anak : 10 mcg Bulan ke –
Hepatitis B Bio Farma IM
Dewasa : 20 mcg 0, 1, 6
Tabel 2. Produsen, Jenis, Cara Pemberian, dan Interval Pemberian Vaksin Hepatitis B
(Ali Sulaiman dan J. Sundoro, 2007)

Secara umum, vaksin diberikan 3 kali pemberian, disuntikan secara dalam


(sampai ke otot). Vaksinasi diberikan dengan jadwal 0, 1, 6 bulan (kontak pertama,
1 bulan, dan 6 bulan kemudian). Khusus vaksinasi bayi baru lahir diberikan dengan
jadwal berikut :
a. Dosis pertama : sebelum umur 12 jam
b. Dosis kedua : umur 1–2 bulan
c. Dosis ketiga : umur 6 bulan
Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah meperoleh imunisasi
hepatitis B, maka secepatnya diberikan.
Untuk ibu dengan HbsAg positif, selain vaksin hepatitis B diberikan juga
hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml disisi tubuh yang berbeda dalam 12 jam

26
setelah lahir. Sebab, Hepatitis B imunoglobulin (HBIg) dalam waktu singkat segera
memberikan proteksi meskipun hanya jangka pendek (3-6 bulan).
KIPI
Yang sering terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan bersifat
sementara, terkadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1–2 hari. Sampai
saat ini tidak ada kontraindikasi absolut dari pemberian vaksin Hepatitis B.
Kehamilan dan laktasi bukan kontraindikasi vaksin Hepatitis B.

3. Vaksinasi DTP1,3
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap Difteri,
Tetanus dan Pertusis. Biasanya vaksin DPT atau DT diberikan dalam bentuk
suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha secara intramuskular atau
subkutan sebanyak 0,5 ml.2
Imunisasi DPT diberikan 3 kali yaitu sejak umur 2 bulan (DPT I), umur
3 bulan (DPT II) dan pada umur 4 bulan (DPT III) dengan selang waktu tidak
kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulangan (DPT IV) diberikan 1 tahun setelah
DPT III yaitu pada umur 18–24 bulan dan DPT V diberikan pada saat usia
prasekolah (5–6 tahun).2
Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan booster
vaksin DT pada usia 14–16 tahun dan kemudian dilanjutkan setiap 10 tahun karena
vaksin memberikan perlindungan selama 10 tahun dan setelah 10 tahun diberikan
booster. Hampir 85% anak yang mendapatkan minimal 3 kali suntikan yang
mengandung vaksin difteri, akan memberikan perlindungan terhadap difteri selama
10 tahun.2
Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka sebaiknya
diberikan DT, bukan DPT. Jika anak menderita penyakit yang lebih serius dari flu
ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat. Jika ada riwayat kejang,
penyakit otak atau perkembangannya abnormal, penyuntikan DPT sering ditunda
sampai kondisinya membaik atau kejangnya bisa dikendalikan.2
Dosis vaksin DTP atau TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara intramuskular,
baik pada imunisasi dasar maupun ulangan.

27
3.1. Vaksinasi Difteri
Jenis vaksin difteri yang diberikan harus sesuai dengan usia saat
pemberian. Sebagai imunisasi dasar, vaksin difteri diberikan bersamaan
dengan imunisasi tetanus dan pertusis, dalam bentuk vaksin DPT. Pada
beberapa dekade terakhir, pemberian vaksin DPT telah menjadi imunisasi
yang diwajibkan oleh pemerintah. Vaksin DPT (DtaP atau DTwP) diberikan
untuk anak usia diatas 6 minggu sampai 7 tahun. Untuk anak usia 7-18 tahun
diberikan vaksin difteri dalam bentuk vaksin Td (Tetanus dan Difteri) atau
vaksin Tdap (tetanustoxoid, reduced diphteria toxoid, dan acellular pertusis
vaccine adsorbed). Vaksin Td diberikan juga pada anak dengan
kontraindikasi terhadap komponen pertusis dan dianjurkan pada anak usia
lebih dari 7 tahun untuk memperkecil kejadian ikutan pasca-imunisasi karena
toxoid difteri.
Jadwal vaksinasi yang dianjurkan saat ini dimulai pada usia 2 bulan,
melalui suntikan intramuskular. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dengan
selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan pertama dilakukan 1
tahun sesudahnya (usia 15-18 bulan) dan ulangan kedua diberikan 3 tahun
setelah ulangan yang pertama (4-6 tahun).
Dari laporan yang ada, daya proteksi vaksin difteri sebesar 98,45%
setelah suntikan yang ketiga, namun kekebalan yang terbentuk setelah
imunisasi dasar hanya bertahan selama 10 tahun, sehingga perlu diberikan
booster setiap 10 tahun sekali. Pemberian booster cukup dengan vaksin Td
(tetanus dan difteri).
Dianjurkan memberikan booster pada usia 11 sampai dengan 12 tahun
atau minimal 5 tahun setelah pemberian terakhir. Setelah itu
direkomendasikan untuk memberikan booster setiap 10 tahun.
Jadwal vaksinasi untuk usia 7–18 tahun sebagai imunisasi primer dengan
menggunakan vaksin Td, yaitu 3 dosis dengan jarak 4 minggu diantara dosis
pertama dan kedua, dan 6 bulan diantara dosis kedua dan ketiga. Ikuti dengan
dosis booster 6 bulan setelah dosis ketiga.
KIPI

28
Reaksi KIPI dari vaksin DPT adalah terjadinya demam ringan dan reaksi
lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi suntikan. Demam
yang timbul dapat mengakibatkan kejang demam (sekitar 0,06%).
Kontraindikasi
Vaksin DPT tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi dan
kejang pada pemberian vaksin yang pertama.

3.2. Vaksinasi Pertusis


Bayi baru lahir memiliki kekebalan terhadap pertusis yang didapat dari
ibu, namun kekebalan ini hanya bertahan sampai usia 4 bulan. Oleh karena itu,
sebaiknya anak usia kurang dari 1 tahun diberikan vaksin. Vaksin pertusis
diberikan dalam bentuk vaksin DPT (DTwP atau DtaP) dimulai pada saat bayi
berusia 2 bulan melalui suntikan ke dalam otot. Imunisasi dasar diberikan
sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6–8 minggu (usia 2–4–6 bulan). Ulangan
pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia 18 bulan) dan ulangan kedua
diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama (usia 4–6 tahun).
Pada awal pembuatan vaksin DPT, komponen pertusis yang digunakan
merupakan whole pertusis (DTwP), yaitu seluruh bakteri Bordetella pertusis
yang telah di non aktifkan. Namun, sejak tahun 1962 mulai beredear vaksin
dengan menggunakan fraksi sel/aselular (DtaP) yang mengandung satu atau
lebih protein Bordetella pertusis. Dengan penggunaan vaksin DtaP, ternyata
efek samping, baik lokal maupun sistemik yang ditimbulkan lebih rendah
(75%) jika dibandingkan dengan vaksin DTwP. Vaksin ini tidak dapat
mencegah pertusis seluruhnya, namun terbukti dapat meperingan durasi dan
tingkat keparahan pertusis.
KIPI
Demam ringan dengan reaksi lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri
pada lokasi suntikan. Demam yang timbul dapat mengakibatkan kejang demam
(0,06%), anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca
suntikan (inconsolable crying). KIPI yang berat dapat terjadi ensefalopati akut
atau reaksi alergi berat (anafilaksis).
Kontraindikasi

29
Vaksin tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi berat dan
ensefalopati pada pemberian vaksin sebelumnya. Keadaan lain yang perlu
mendapatkan perhatian khusus adalah bila pada pemberian pertama dijumpai
riwayat demam tinggi, respon dan gerak yang kurang (hipotonik-
hiporesponsif) dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 2 jam, dan
riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DPT.

3.3. Vaksinasi Tetanus


Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT.
DPT diberikan satu seri yang terdiri atas 5 suntikan pada usia 2 bulan, 4 bulan,
6 bulan, 15-18 bulan, dan terakhir saat sebelum masuk sekolah (4-6 tahun).
Pemberian vaksin DPT pada anak-anak harus ditunda jika anak mengalami
demam tinggi, memiliki kelainan saraf, atau mengalami gangguan
pertumbuhan.
KIPI
Biasanya bersifat ringan, berupa rasa nyeri, warna kemerahan dan bengkak di
tempat penyuntikan, dan demam.

4. Vaksinasi Polio1,3
Pada saat ini ada dua jenis vaksin polio yaitu OPV (oral polio vaccine) dan
IPV (inactivated polio vaccine). OPV diberikan 2 tetes melalui mulut, sedangkan
IPV diberikan melalui suntikan dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan
dalam 3 kali di lengan dengan jarak 2 bulan. Vaksin polio oral diberikan pada bayi
baru lahir kemudian dilanjutkan dengan imunisasi dasar, diberikan pada usia 2, 4,
dan 6 bulan. Pada PIN (pekan imunisasi nasional) semua balita harus mendapat
imunisasi tanpa memandang status imunisasi kecuali pada penyakit dengan daya
tahan tubuh menurun (imunokompromais). Bila pemberiannya terlambat, jangan
mengulang pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi sesuai
dengan jadwal. Bagi ibu yang anaknya diberikan OPV, diberikan 2 tetes dengan
jadwal seperti imunisasi dasar. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh terhadap
respons pembentukan daya tahan tubuh terhadap polio, jadi saat pemberian vaksin,
anak tetap bisa minum ASI.

30
Imunisasi polio ulangan diberikan saat masuk sekolah (5-6 tahun) dan dosis
berikutnya diberikan pada usia 15-19 tahun. Sejak tahun 2007, semua calon
jemaah haji dan umroh dibawah usia 15 tahun harus mendapat 2 tetes OPV.
KIPI
Pernah dilaporkan bahwa penyakit poliomielitis terjadi setelah pemberian vaksin
polio. Vaksin polio pada sebagian kecil orang dapat menimbulkan gejala pusing,
diare ringan, dan nyeri otot. Vaksinasi polio tidak dianjurkan diberikan ketika
seseoarang sedang demam, muntah, diare, sedang dalam pengobatan radioterapi
atau obat penurun daya tahan tubuh, kanker, penderita HIV, dan alergi pada vaksin
polio.
Kontraindikasi
OPV tidak diberikan pada bayi yang masih dirumah sakit karena OPV berisi virus
polio yang dilemahkan dan vaksin jenis ini bisa diekskresikan melalui tinja selama
6 minggu, sehingga bisa membahayakan bayi lain. Untuk bayi yang dirawat
dirumah sakit, disarankan pemberian IPV.

5. Imunisasi Campak1,3
Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak. Vaksin
biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan campak jerman
(vaksin MMR). Jika hanya mengandung campak vaksin diberikan pada usia 9
bulan dalam 1 dosis 0,5 ml subkutan dalam. Terdapat 2 jenis vaksin campak, yaitu
vaksin yang berasal dari virus campak hidup dan dilemahkan (tipe Edmonston-B)
dan vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus campak yang
berada dalam larutan formalin yang dicampur dengan garam aluminium).
Imunisasi ulangan juga dianjurkan dalam situasi tertentu:1
a. Mereka yang memperoleh imunisasi sebelum umur 1 tahun dan terbukti bahwa
potensi vaksin yang digunakan kurang baik (tampak peningkatan insidens
kegagalan vaksinasi). Pada anak-anak yang memperoleh imunisasi ketika
berumur 12–14 bulan tidak disarankan mengulangi imunisasinya tetapi hal ini
bukan kontraindikasi
b. Apabila terdapat kejadian luar biasa peningkatan kasus campak, maka anak SD,
SLTP dan SLTA dapat diberikan imunisasi ulang

31
c. Setiap orang yang pernah memperoleh imunoglobulin
d. Seseorang yang tidak dapat menunjukkan catatan imunisasinya
KIPI
- Demam lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus, demam dijumpai
pada hari ke-5 sampai ke-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2 hari
- Kejang demam
- Ruam timbul pada hari ke-7 sampai ke-10 sesudah imunisasi dan berlangsung
selama 2-4 hari
- Reaksi KIPI yang berat dapat menyerang sistem saraf, yang reaksinya
diperkirakan muncul pada hari ke-30 sesudah imunisasi.
Kontraindikasi
Bagi mereka yang sedang menderita demam tinggi, sedang memperoleh
pengobatan imunosupresif, hamil, memiliki riwayat alergi, sedang memperoleh
pengobatan imunoglobulin atau bahan-bahan berasal dari darah, alergi terhadap
protein telur.

6. Vaksinasi MMR1,3
Vaksin MMR merupakan vaksin kering, mengandung virus hidup. Bagi Balita,
pada usia 12-15 bulan (jika tidak mendapatkan imunisasi campak) dapat diberikan
vaksinasi MMR untuk mencegah risiko tinggi yang membahayakan bagi kesehatan.
Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah penyakit campak,
gondongan, dan rubella. Pemberian vaksin biasanya dilakukan pada usia anak
12–15 bulan. Dosis tunggal 0,5 ml diberikan secara intramuskular atau subkutan
dalam. Terdapat 2 jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia, yaitu:

Galur virus yang dilemahkan


Campak Gondongan Rubella
Edmonston Jerryl lyn Wistar RA 27/3
Schawrz Urabe AM-9 Wistar RA 27/3
Tabel 3. Dua jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia

32
Daya lindung MMR sebesar 95%, namun kadar antibodi yang dibentuk melalui
vaksinasi lebih rendah dibandingkan dengan antibodi yang diperoleh setelah
menderita gondongan. Vaksinansi MMR tidak dianjurkan diberikan pada: anak
yang alergi terhadap telur/neomycin, yang sedang dalam pengobatan
imunosupresif, anak dengan alergi berat, anak dengan demam akut, setelah
pemberian imunoglobulin atau transfusi darah
KIPI
Reaksi sistemik, seperti malaise, demam, atau ruam yang sering terjadi 1 minggu
setelah imunisasi dan berlangsung selama 2–3 hari.

7. Vaksinasi Hib (Haemophilus influenzae tipe B)1,3


Vaksin Hib merupakan vaksin yang tidak aktif, dibuat dari kapsul Haemophilus
influenza Tipe B yang disebut polyribosribitol phospat (PRP).
Terdapat 2 jenis vaksin Hib di Indonesia yaitu PRP-T dan PRP-OMP. Kedua
vaksin ini termasuk vaksin konjugasi. Vaksin Hib PRP-T diberikan pada usia 2, 4
dan 6 bulan. Vaksin Hib PRP-OMP diberikan pada usia 2 dan 4 bulan. Dosis ketiga
tidak diperlukan. Vaksin ulangan, baik PRP-T maupun PRP-OMP diberikan pada
usia 15 - 18 bulan. Apabila anak datang pada usia 1-5 tahun, maka vaksin Hib
hanya diberikan 1 kali. Vaksin ini diberikan secara intramuskular sebanyak 0,5 ml
didaerah paha atas. Kekebalan tubuh akan mulai terbentuk setelah pemberian
suntikan yang pertama dengan vaksin jenis PRP-OMP dan setelah 2 kali suntikan
dengan vaksin jenis PRP-T.
Anak-anak usia diatas 6 bulan yang belum mendapat vaksin diberikan 2 kali
suntikan, sedangkan bagi anak diatas usia 1 tahun cukup mendapat 1 kali suntikan
saja tanpa perlu pemberian ulangan. Dengan pemberian vaksin ini diharapkan 95%
anak-anak terlindungi dari infeksi Hib setelah dosis kedua atau ketiga.
KIPI
Reaksi yang terjadi, 5%-30% anak memperoleh vaksinasi bisa mengalami demam,
bengkak kemerahan, dan nyeri pada tempat suntikan selama 1-3 hari.
Kontraindikasi
Vaksin Hib tidak direkomendasikan diberikan bila seseorang sedang demam,
mengalami infeksi akut, dan orang dengan riwayat alergi yang mengancam jiwa.

33
8. Vaksinasi Pneumokokus1,3
Saat ini telah tersedia 2 macam vaksin untuk mencegah penyakit yang
disebabkan bakteri pneumokokus, yaitu PPV23 dan PCV7. PPV23 adalah vaksin
pneumokokus yang berisi polisakarida murni dengan 23 serotipe, vaksin jenis ini
kurang bereaksi baik jika diberikan pada anak usia kurang dari 2 tahun karena
fungsi sel imun yang belum matang. Vaksin ini hanya memberikan kekebalan
dalam jangka pendek. Sedangkan PCV7 adalah vaksin pneumokokus generasi
kedua yang berisi polisakarida konjugasi. Vaksin ini dapat diberikan pada anak usia
kurang dari 2 tahun meskipun sel imun mereka belum matur. Vaksin ini mencakup
7 serotipe yang berbahaya yang banyak mengakibat kematian pada anak usia < 5
tahun.
Vaksin pneumokokus diberikan secara intramuskular atau subkutan di daerah
deltoid atau paha tengah lateral sebanyak 0,5 ml. Vaksin ini diberikan sejak usia 2
bulan dengan interval 2 bulan sebanyak 3 kali. Kemudian ulangan hanya dilakukan
pada anak yang memiliki risiko tinggi tertular pneumokokus pada usia 12-18 bulan.
PCV7 sebaiknya diberikan jika anak sudah berusia lebih dari 2 bulan, diberikan
pada bayi umur 12-15 bulan. Interval antara 2 dosis minimal 4-8 minggu. Anak
yang telah mendapat imunisasi PCV7 lengkap sebelum umur 2 tahun, pada umur 2
tahun diberi PPV23 1 dosis, dengan selang waktu suntik > 2 bulan setelah PCV7
terakhir.
Reaksi KIPI pada 30-50% resipien yang mendapatkan vaksin ini akan
mengalami eritema atau nyeri pada tempat suntikan, biasanya berlangsung kurang
dari 48 jam. Reaksi lain berupa demam, gelisah, pusing, nafsu makan menurun,
mialgia (pada anak <1%). Demam ringan sering timbul. Reaksi ikutan pasca
imunisasi ini biasanya terjadi setelah pemberian dosis kedua, namun berlangsung
tidak lama dan menghilang dalam 3 hari.
Kontraindikasi
Ada beberapa kondisi dimana imunisasi pneumokokus tidak dapat diberikan, yaitu:
a. Kontraindikasi absolut: bila timbul anafilaksis setelah pemberian vaksin.
b. Kontraindikasi relatif:
 Usia kurang dari 2 tahun, karena respon terhadap vaksin masih kurang baik

34
 Dalam pengobatan imunosupresif atau radiasi kelenjar limfe.

9. Vaksinasi Influenza1,3
Virus influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza virus).
Terdapat 2 macam vaksin, yaitu whole virus dan split-virus vaccine.
Dosis bagi anak berumur < 3 tahun adalah 0,25 ml dan dosis bagi anak berumur
> 3 tahun adalah 0,5 ml disuntikan di otot paha. Bila anak telah berusia > 9 tahun,
vaksin cukup diberikan satu dosis dan diulang setiap tahun.
KIPI dari penyuntikan vaksin yang mungkin terjadi adalah bengkak, nyeri,
kemerahan pada tempat suntikan, demam, dan pegal. Gejala-gejala tersebut dapat
terjadi setelah penyuntikan dan bertahan 1–2 hari.

10. Vaksinasi Tifoid1,3


Vaksin tifoid terdiri dari dua macam, yaitu:
a. Vaksin oral: berasal dari kuman Salmonella typhi yang dilemahkan.
Disimpan dalam suhu 2-8oC dan dikemas dalam bentuk kapsul. Vaksin oral
diberikan pada saat anak berusia 6 tahun atau lebih sebanyak 4 kapsul
dengan jarak setiap 1 hari (hari 1-3-5-7). Pemberiannya dapat diulang tiap
5 tahun. Respon imun akan terbentuk 10-14 hari setelah dosis terakhir.
Yang perlu diperhatikan dalam pemberian vaksin ini adalah tidak boleh
dilakukan saat sedang demam, tidak boleh dilakukan pada orang dengan
penurunan sistem kekebalan tubuh (HIV, keganasan, sedang kemoterapi
atau sedang terapi steroid) dan riwayat anafilaksis, tidak boleh kepada
orang yang alergi gelatin.
KIPI
Cukup ringan, yaitu muntah, diare, demam, dan sakit kepala. Dengan
efektivitas vaksin yang lebih tinggi dan disertai efek samping yang lebih
rendah daripada jenis vaksin tifoid lainnya, maka vaksin tifoid oral ini
merupakan pilihan utama. Sayangnya, vaksin oral belum tersedia di
Indonesia.
b. Vaksin parenteral: berasal dari polisakarida Vi dari kapsul salmonella
typhi, yang dimatikan. Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml

35
mengandung kuman Salmonella typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol dan
larutan bufer yang mengandung natrium klorida, disodium fosfat,
monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan. Disimpan dalam suhu 2-8oC
dan tidak boleh dibekukan. Diberikan pada anak berusia 2 tahun atau lebih.
Satu dosis dapat diberikan setiap 2-3 tahun. Dilakukan secara intramuskular
atau subkutan di deltoid atau paha atas. Respon imunitas akan terbentuk
dalam 15 hari sampai 3 minggu setelah imunisasi.
KIPI
Berupa demam, pusing, sakit kepala, nyeri sendi, nyeri otot tempat
suntikan.
Kontraindikasi
Jangan diberikan sewaktu demam, riwayat alergi, dan keadaan penyakit
akut.

11. Imunisasi Hepatitis A1,3


Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa vaksinasi Hepatitis A dapat memberikan
perlindungan hampir 100% dan dapat bertahan sekitar 15–20 tahun. Vaksin
Hepatitis A berisi virus Hepatitis A yang dilemahkan dan tersedia dalam 2 kemasan
dosis, yaitu untuk anak-anak 2–18 tahun dan dewasa usia > 18 tahun. Vaksin
diberikan sebanyak 2 kali, suntikan kedua diberikan 6–12 bulan dari suntikan
pertama, dan selanjutnya tidak diperlukan pengulangan. Untuk pemberian yang
cepat dapat langsung diberikan suntikan 2 dosis sekaligus dengan daya
perlindungan > 90% dalam 2 minggu. Dosisnya bervariasi bergantung pada produk
dan usia, disuntik secara intramuskular di deltoid.

Jenis Usia Dosis Volume Jadwal


Vaksin (ml) (bulan ke-)
2 – 18 tahun 720 ELISA 0,5 Dua dosis : 0
Harvix (Glaxo units dan 6 – 12
SmithKline) > 18 tahun ELISA units 1 Dua dosis : 0
dan 6 – 12
Vaqta (Merck) 2 – 18 tahun 25 U 0,5 Dua dosis : 0

36
dan 6 – 18
> 18 tahun 50 U 1 Dua dosis : 0
dan 6 – 12
Twinx (Glaxo > 17 tahun 720 ELISA 1 Tiga dosis : 0,
SmithKline) units 1, dan 6
Tabel 4. Vaksinasi Hepatitis A dan Pemberian Imunoglobulin
(Craig & William S 2004)
KIPI
Umumnya aman dan KIPI yang sering ditemukan adalah reaksi lokal tetapi
umumnya ringan, kadang-kadang juga ada sedikit demam. Efek samping akibat
pemberian vaksinasi terbanyak 10 %-15% berupa nyeri dan bengkak di tempat
injeksi. Vaksin tidak boleh diberikan pada individu yang mengalami efek samping
berat sesudah pemberian dosis pertama.

12. Vaksinasi Varisela1,3


Vaksin berisi virus hidup varicella-zoster yang dilemahkan yang berasal dari
galur OKA. Vaksin ini berasal dari virus varicella zooster liar yang diisolasi dari
seorang anak yang bernama belakang oka berusia 3 tahun. Vaksin ini
dikembangkan pertama kali di Jepang oleh Takahashi dan di Amerika mendapat
lisensi untuk digunakan pada anaksejak tahun 1995.
Menurut rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak seluaruh Indonesia), vaksin
varisela dianjurkan pada anak dengan usia > 1 tahun, cukup 1 dosis. Namun
berdasarkan penelitian mengenai pencegahan dan penanganan wabah varisela maka
pada tahun 2006 The Advisory Commitee on Immunization Practices (ACIP) dan
America Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan 2 dosis untuk semua
anak. Hal ini disebabkan masih timbulnya wabah varisela terutama pada populasi
yang sebagian besar telah dievakuasi. Disimpan dalam suhu 2–8oC. Suntikan
pertama diberikan saat usia 12-15 bulan dan suntikan kedua pada usia 4-6 tahun
sebanyak 0,5 ml secara subkutan.1
KIPI
Jarang terjadi, tetapi bila terjadi reaksi yang muncul bersifat lokal (1%) yaitu
bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan yang terjadi beberapa jam sesudah

37
suntikan. Kadang-kadang didapatkan demam (1%) dan timbul bercak kemerahan
dan lenting ringan.
Kontraindikasi
Vaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi, gangguan
kekebalan karena pengobatan penyakit keganasan atai sesudah diradioterapi, pasien
yang mendapat pengobatan kortikosteroid tinggi dan alergi neomisin.

13. Vaksinasi Rotavirus1,3


Pada tahun 1998, vaksin Rotashield telah digunakan untuk mencegah diare
rotavirus. Namun, karena efek samping yang ditimbulkan (berupa gangguan usus),
maka vaksin tersebut ditarik dari peredaran. Saat ini terdapat 2 vaksin rotavirus,
yaitu ;
- Rotarix (GSK) yang merupakan vaksin monovalen karena hanya mengandung
strain manusia P(8)G1.
- Rotateg yang merupakan vaksin prevalen karena mengandung strain manusia-
sapi P(8)G1-G4.
Keduanya diberikan melalui mulut (oral). Kedua vaksin tersebut terbukti aman dari
risiko gangguan usus. Efektivitas vaksin berkurang apabila diberikan bersama
vaksin polio oral. Kejadian ikutan pasca pemberian vaksin dilaporkan adalah diare
7,5%; muntah 8,7%; dan demam 12,1%.

Nama Vaksin Rotavirus


Sasaran imunisasi Bayi sedini usia 4 minggu
Macam vaksin Rotarix, Rotateg
Dosis Rotarix, 3 dosis; Rotareg, 2 dosis
Jadwal Pemberian Rotarix : usia (4, 8) minggu; Rotateg :
usia (4,8,12) minggu
Cara Pemberian Oral
Efektivitas Belum diketahui secara pasti
Kontraindikasi - Sebaiknya tidak diberikan bersama-
sama dengan vaksin polio oral
- Adanya infeksi bakteri patogen di Usus
KIPI Diare, muntah, demam
Tabel 5. Vaksinasi Rotavirus

14. Vaksinasi Japanesse Envephalitis1

38
Pencegahan penyakit JE pada manusia bisa dilakukan dengan pemberian vaksin
JE. Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan pada hari
ke–0, hari ke–7 dan hari ke–28. Untuk anak berumur 1–3 tahun, dosis yang
diberikan masing-masing 0,5 ml dengan jadwal yang sama. Dosis penguat dapat
diberikan 3 tahun kemudian bagi mereka yang tinggal di daerah rawan terinfeksi
virus JE.
KIPI pemberian vaksin JE bias berupa kemerahan dan bengkak di tempat
penyuntikan, demam, sakit kepala, menggigil, mual dan muntah. Di Indonesia
pemberian vaksin JE pada manusia belum disosialisasikan, karena kebijakan
penggunaan vaksin masih belum diatur.

Nama Vaksin Vaksi Japannesse encephalitis


Indikasi Semua umur terutama yang tinggal di daerah rawan JE atau
yang akan mengadakan perjalanan ke dearah yang rawan
penyakit JE
Dosis dan jadwal 1 ml secara subkutan pada hari 0, 7, dan 28. Untuk anak
berumur sapai 1-3 tahun; dosis 0,5ml, dengan jadwal yang
sama
Efektivitas 90%
KIPI Kemerahan dan bengkak di temppat penyuntikan, demam,
sakit kepala, menggigil, mual dan muntah
Kontraindikasi Alergi
Tabl 6. Vaksinasi Japannesse encephalitis

15. Vaksinasi Meningitis1


Pencegahan secara khusus dilakukan dengan pemberian vaksin. Vaksin
meningococcus pertama diperkenalkan pada tahun 1978. Awalnya, vaksin ini
hanya mampu melindungi dari 2 subtipe bakteri moningococcus (A & C). Namun,
vaksin ini telah mengalami banyak perkembangan, sekarang dapat melindungi
4 subtipe dari bakteri meningococcus, yaitu subtype A, C, Y,dan W-135.
Vaksin ini disebut vaksin tetravalent, yaitu MPSV4 (meningococcal
polysacarida vaccine A, C, Y, W-135) dan yang terbaru MCV4 (Meningococcaal
conjugated vaccine A,C, Y, W-135).
Pemberian vaksin diutaman bagi anggota militer yang tinggal di barak
perkemahan, pegawai laboratorium yang kontak serta dengan bakteri Neisseria

39
meningitidis, siswa yang tinggal di daerah pesantren, dan bagi jemaah haji serta
turis yang hendak masuk ke daerah endemik.
15.1. Vaksin Polisakarida Meningococcus A, C, Y, W-135 (MPSV4)
Vaksin ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 1981, diberikan pada
anak usia 2–10 tahun dan usia di atas 55 tahun. Pemberian vaksin tidak
dianjurkan bagi anak usia kurang dari 2 tahun dan anak sekolah di atas 11
tahun. Yang lebih dianjurkan untuk usia ini adalah vaksin jenis MCV4,
namun jika tidak tersedia vaksin jenis MCV4, maka vaksin ini (MPSV4)
juga dapat digunakan.
Vaksin MPSV4 diberikan dengan satu kali suntikan secara subkutan (di
bawah kulit). Perlindungan yang didapatkan sekitar 85%–100% dan akan
bertahan selama 3–5 tahun. Kekebalan yang terbentuk akan menurun dalam
2-3 tahun, sehingga diperlukan imunisasi ulangan setiap 3–5 tahun.
KIPI
Relatif ringan, yakni hanya berupa nyeri dan kemerahan pada tempat
suntikan, dapat terjadi demam (5%). Reaksi alergi jarang terjadi (kurang
dari 0,1/100.000).
15.2. Vaksin Conjugasi Meningococcus (MCV 4)
MCV4 pertama kali dikeluarkan pada tahun 2005 dengan harapan dapat
lebh baik daripada vaksin sebelumnya dan dapat memberikan perlindungan
yang lebih lama. Vaksin ini diberikan bagi anak di atas usia 2 tahun,
terutama pada usia 11–12 tahun. Pertimbangan pemberian vaksin untuk
anak usia di atas 11 tahun adalah karena respon kekebalan yang terbentuk
terhadap vaksin ini tidak optimal, sehingga daya perlindungan yang
didapatkan tidak maksimal.
Pemberian vaksin dilakukan 1 kali melalui suntikan di otot lengan dan
boleh diberikan bersamaan dengan vaksin lainnya, asalkan pada tempat
yang berbeda.
Kekebalan mulai terbentuk dalam 10–14 hari setelah pemberian vaksin
dan dapat bertahan selama 10 tahun. Dengan demikian tidak perlu
pemberian ulangan, tetapi untuk yang menerima vaksin di bawah usia
4 tahun kekebalan tubuh yang terbentuk akan lebih cepat menurun dalam

40
3 tahun pertama. Pemberian ulangan diberikan jika ada risiko penularan
secara terus menerus.
Jadwal ulangan adalah 1 tahun untuk anak yang menerima vaksin pada
usia kurang dari 4 tahun. Bagi anak yang menerima vaksin pada usia di atas
4 tahun, maka ulangan diberikan setelah satu tahun.
KIPI
Lebih sering terjadi dibandingkan dengan vaksin jenis MPSV4. Namun,
biasanya sangat ringan, yakni berupa rasa sakit dan tibul kemerahan pada
tempat suntikan yang akan hilang dalam 1–2 hari. Efek lain yang dapat
timbul adalah kesemutan atau rasa seperti terbakar, tetapi angka
kejadiannya sangat jarang (kurang dari 1/10.000 orang). Guillain-Barre
Syndrome atau terjadi kelumpuhan merupakan efek samping yang
ditakutkan, namun risiko terjadinya efek ini sangat kecil.
Kontraindikasi
Vaksin ini tidak boleh diberikan pada seseorang dengan riwayat alergi
dengan bahan vaksin, alergi latex, dan pada orang dengan infeksi akut, serta
pada wanita hamil.

16. Vaksinasi Yellow Fever1


Orang (berumur > 1 tahun) yang hendak bepergian ke Amerika dan Amerika
Latin harus mendapatkan vaksinasi demam kuning. Aturannya adalah 10 hari
setelah mendapatkan vaksinasi, orang tersebut akan memperoleh International
Certificate of Vaccination yang berlaku sampai 10 tahun. Vaksin demam kuning
berupa virus hidup yang dilemahkan, dari galur 17 D. Vaksin disuntikkan di bawah
kulit sebanyak 0,5 ml berlaku untuk semua umur dan sangat efektif dalam
memberikan proteksi dalam kurun waktu 10 tahun.
KIPI
Pemberian vaksin demam kuning pada umumnya bersifat ringan. Sekitar 2%-5%
penerima vaksin ini merasa pusing, nyeri otot, dan demam yang terjadi 5-10 hari
setelah mendapatkan vaksinasi.
Kontraindikasi

41
Vaksin tidak direkomendasikan pada anak < 9 bulan, ibu hamil, alergi telur, dan
orang yang sedang mengalami penurunan daya tahan tubuh.

17. Vaksinasi HPV


Pengembangan vaksin pencegahan vaksin HPV menawarkan harapan baru untuk
mencegah kanker leher rahim. Uji klinis dari 2 generasi pertama vaksin, satu untuk
HPV tipe 16 dan 18, sedangkan yang lainnya untuk tipe 6, 11, 16, 18 telah
memperlihatkan proteksi yang cukup tinggi melawan insiden dan infeksi persisten.
Vaksin diberikan 3 dosis (bulan ke–0, ke–1, dan ke–6) secara intramuskular
lengan atas. Vaksin tidak akan memberikan proteksi maksimal jika tidak
menyeleseikan ke–3 dosis tersebut. Sampai saat ini, penelitian selama 5 tahun dan
masih berjalan bahwa vaksin ini tidak memerlukan booster, sehingga masih efektif
setidaknya untuk 5 tahun.
Vaksin HPV aman dan efektif jika diberikan pada wanita usia 9–26 tahun.
Namun panduan dari Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI)
menyarankan vaksin diberikan pada wanita usia 10–55 tahun. Vaksin pencegahan
terhadap infeksi HPV akan bekerja secara efisien bila vaksin ini diberikan sebelum
individu terpapar infeksi HPV. Vaksin HPV relatif aman.
KIPI
Relatif ringan dapat berupa nyeri pada lokasi penyuntikan, sakit kepala, demam,
mual, dan demam.

2.13 JADWAL IMUNISASI REKOMENDASI IKATAN DOKTER ANAK


INDONESIA (IDAI) TAHUN 2017
Jadwal Imunisasi IDAI 2008 secara garis besar sama dibandingkan dengan jadwal
2004. Perbedaannya terletak pada penambahan vaksin pneumokokus konjugasi
(PCV=pneumococcal conjugate vaccine), vaksin influenza pada program imunisasi
yang dianjurkan (non-PPI) serta jadwal imunisasi varisela yang dianjurkan diberikan
pada umur 5 tahun (jadwal tahun 2007). Pada jadwal 2008 ditambahkan vaksin
Rotavirus untuk diare pada anak dan HPV (Human Papilloma Virus). Pada tahun 2010,
berdasarkan rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) tidak adanya lagi
perbedaan program imunisasi yang diwajibkan dan dianjurkan serta ada perbedaan

42
waktu pemberian awal imunisasi seperti varisela atau imunisasi ulangan seperti
Hepatitis B.

Di triwulan I tahun 2017, Ikatan Dokter Anak Indonesia atau IDAI telah
menerbitkan jadwal rekomendasi pemberian imunisasi yang terbaru. Secara resmi,
vaksin baru yaitu dengue dan Japanese encephalitis (khusus daerah endemis) sudah
dimasukkan ke dalam jadwal tersebut. Kemudian, ada juga penjelasan alternatif
penyesuaian jadwal pemberian apabila vaksin Hepatitis B diberikan bersamaan dengan
pilihan vaksin DPT yang ada, apakah vaksin DTPw (yang vaksin pertusisnya whole cell
/ utuh dan sering disebut sebagai ‘yang panas’ padahal tidak selalu) atau vaksin DTPa
(vaksin pertusisnya aseluler, sering dibkatakan tidak menimbulkan KIPI, walaupun
kemungkinan untuk timbul KIPI sebenarnya tetap ada.

43
Juga dipaparkan saran terkait pemakaian vaksin polio tetes (oral/OPV) atau suntik
(inactivated/IPV). Paling sedikit, anak harus mendapat satu dosis IPV bersamaan
dengan pemberian OPV-3.
Yang baru juga adalah penyebutan adanya vaksin MR di bagian keterangan. Dahulu
yang dipakai di Indonesia hanya vaksin MMR. Kampanye imunisasi Measles Rubella
(MR) adalah suatu kegiatan imunisasi secara massal sebagai upaya untuk memutus
transmisi penularan virus campak dan rubella pada anak usia 9 bulan sampai dengan
< 15 tahun, tanpa mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya. Campak (measles)
dapat menyebabkan komplikasi yang serius, seperti radang paru (pneumonia), radang
otak (ensefalitis), kebutaan, gizi buruk, dan bahkan kematian. Rubella biasanya berupa
penyakit ringan pada anak, tetapi bila menulari ibu hamil pada trimester pertama atau
awal kehamilan dapat menyebabkan keguguran atau kecacatan pada bayi yang
dilahirkan. Kecacatan tersebut dikenal sebagai Sindroma Rubella Kongenital yang
meliputi kelainan pada jantung dan mata, ketulian, dan keterlambatan perkembangan.
Tidak ada pengobatan untuk penyakit campak dan rubella, tetapi penyakit ini dapat
dicegah, salah satunya dengan imunisasi. Di bulan Agustus 2017, imunisasi MR
diberikan untuk anak usia sekolah 7 tahun s.d <15 tahun (SD/MI/ Sederajat,
SMP/MTS/sederajat). Kalau ada yang berusia 15 tahun tetapi bersekolah di
SMU/sederajat juga harus diberi imunisasi MR.
Pada bulan September 2017, imunisasi MR diberikan untuk bayi usia 9 bulan s.d
anak usia < 7 tahun, dilaksanakan di Posyandu, Puskesmas, dan Sarana Pelayanan
Kesehatan lainnya.
Pelaksanaan kampanye vaksin MR akan menyasar anak usia 9 bulan < 15 tahun yang
kemudian diikuti dengan pengenalan (introduction) imunisasi Rubella ke dalam
program imunisasi nasional memakai vaksin MR menggantikan vaksin campak yang
selama ini dipakai. Introduksi vaksin MR ini diberikan pada anak umur 9 bulan, 18
bulan dan kelas 1 SD/sederajat. Pelaksanaan kegiatan ini dibagi dalam 2 fase yaitu fase
1 dilaksanakan tahun 2017 di semua Provinsi di Pulau Jawa dan fase 2 dilaksanakan di
seluruh provinsi di luar pulau Jawa.
Untuk vaksin JE, kampanye dan introduksi akan diawali di Provinsi Bali (tahun 2017
2018) dan Kota Manado (tahun 2019). Imunisasi JE akan menyasar bayi usia 9 bulan.
Sedangkan vaksin Pnemokukus diberikan untuk bayi usia 2, 3, dan 12 bulan. Pada 2017

44
Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Timur terpilih sebagai lokasi percontohan;
tahun 2018 akan diperluas ke Kota Mataram, Lombok Utara, Lombok Tengah, Pangkal
Pinang, Bangka dan Bangka Tengah; sementara tahun 2019 akan diperluas lagi ke
seluruh kabupaten/kota lainnya di Provinsi NTB, Kabupaten/Kota Bogor,
Kabupaten/Kota Bekasi, Kota Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo. Sementara untuk vaksin
HPV bagi anak usia 9 13 tahun, DKI Jakarta telah terpilih sebagai lokasi percontohan
pada tahun 2016 dan akan diperluas di Kab. Kulonprogo, Gunungkidul, dan Kota
Surabaya pada tahun 2017, Kota Manado dan Kota Makassar pada tahun 2018 dan
seluruh Kabupaten / Kota DI Yogyakarta pada tahun 2019.

45
BAB III
KESIMPULAN

Upaya pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan banyak cara, salah satunya adalah
dengan meningkatkan kekebalan atau imunitas tubuh dalam menghadapi ancaman penyakit
yang dilakukan dengan pemberian imunisasi. Imunisasi dasar pada anak usia dibawah 2 tahun
sangat penting untuk dilakukan oleh karena bisa menurunkan angka kesakitan dan kematian
yang seharusnya dapat dicegah walaupun imunisasi tidak menjamin 100% bahwa seseorang
tidak akan terjangkit penyakit tersebut.
Pada tahun 2018 ini berdasarkan rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia)
terdapat perbedaan program imunisasi yang diwajibkan dan dianjurkan serta ada penambahan
vaksinasi baru yang disediakan oleh pemerintah.
Dalam hal ini, maka harus terus digalakkan program imunisasi kepada masyarakat luas
sehingga masyarakat menyadari pentingnya imunisasi dan mau membawa anaknya untuk
melakukan imunisasi, khususnya imunisasi yang diwajibkan. Jika imunitas pada masyarakat
tinggi, maka risiko terjadinya penularan dan wabah juga akan berkurang.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Suharjo, JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Kanisius : 2010
2. Sri, Rezeki S Hadinegoro. Prof. Dr. dr. SpA(K), dkk. Pedoman imunisasi di
Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta 2005
3. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting. Pedoman
Imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2008.
4. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB, penyunting. Pedoman
Nasional Tuberkulosis Anak. Edisi kedua. Jakarta: UKK Respiratologi PP IDAI;
2007.
5. Lawrence M Tierney Jr MD, Stephen J McPhee MD, Maxine A Papadakis MD.
Current Medical Diagnosis and Treatment 2002. Page 1313-1319.
6. Eric AF Simoes MD DCH and Jessie R Groothius MD. Immunization. Page 235-258.
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. http://www.depkes.go.id
8. Jadwal Imunisasi Anak - Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2017
[image on the Internet]. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2017 Available from :
http://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-2017

47

Anda mungkin juga menyukai