TINJAUAN PUSTAKA
8. Desiminasi hasil
Tahap akhir adalah desiminasi hasil kepada seluruh unsure yag terlibat dalam
penerapan EBN (Dharma,2011).
2.3 Konsep Teori Terkait
2.3.1 Konsep Post operasi
Tahap post operatif merupakan tahap lanjutan dari perawatan pre operatif
yang dimulai ketika klien diterima di ruang pemulihan (recovery room) atau pasca
anastesi dan berakir pada tatanan klinik atau di rumah (Maryunani, 2014). Menurut
Wals (2008) pada pasien post operasi seringkali mengalami nyeri hebat meskipun
tersedia obat-obat analgesik yang efektif, namun nyeri post operasi tidak dapat diatasi
dengan baik, sekitar 50% pasien tetap mengalami nyeri sehingga dapat mengganggu
kenyamanan pasien.
Lama waktu pemulihan pasien post operasi normalnya terjadi hanya dalam satu
sampai dua jam (Potter dan Perry, 2005). Menurut Mulyono (2008) pemulihan pasien
post operasi membutuhkan waktu rata-rata 45 menit, sehingga pasien akan merasakan
nyeri yang hebat rata-rata pada dua jam pertama sesudah operasi karena pengaruh
obat anestesi sudah hilang, dan pasien sudah keluar dari kamar sadar.
C. Fisiologi Nyeri
Nyeri selalu di kaitkan dengan adanya stimulus (rangsang nyeri) dan
receptor. Reseptor yang di maksud adalah nosiceptor,yaitu ujung-ujung saraf
bebas pada kulit yang berespon terhadap stimulus yang kuat. Munculnya nyeri
dimulai dengan adanya stimulus nyeri. Stimulu-stimulus tersebut dapat berupa
biologis, zat kimia, panas, listrik serta mekanik (Prasetyo, 2010).
Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf bebas
mengalami kerusakan akibat benturan, gesekan, ataupun luka. Trauma termis
menimbulkan nyeri karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan akibat
panas, dingin.
Neoplasma menyebabkan nyeri karena terjadinya tekanan atau kerusakan
jaringan yang mengandung reseptor nyeri dan juga karena tarikan,jepitan,atau
metastase. Nyeri pada peradangan terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf
reseptor akibat adanya peradangan atau terjepit oleh pembengkakan.
Dapat disimpulkan bahwa nyeri yang disebabkan oleh faktor fisik berkaitan
dengan terganggunya serabut saraf reseptor nyeri. Serabut saraf ini terletak dan
tersebar pada lapisan kulit dan pada jaringan tertentu. Nyeri yang disebabkan
faktor psikologis merupakan nyeri yang dirasakan bukan karena penyebab
organik, melainkan akibat trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik
(Asmadi, 2008).
D. Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan dalam beberapa golongan, yaitu berdasarkan pada
tempat, sifat, berat ringannya, dan waktu (Asmadi, 2008).
1. Nyeri berdasarkan tempatnya
a) Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh misalnya
pada kulit, mukosa.
b) Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih
dalam atau pada organ-organ tubuh visceral.
d) Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada sistem
saraf pusat, spinal cord, batang otak, talamus, dan lain-lain.
b) Stedy pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam
waktu yang lama.
c) Paroxymal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat
sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap ± 10-15 menit, lalu menghilang,
kemudian timbul lagi.
b) Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan. Nyeri
kronis ini polanya beragam dan berlangsung berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Ragam pola tersebut ada yang nyeri timbul dengan
periode yang diselingi interval bebas dari nyeri lalu timbul kembali lagi
nyeri, dan begitu seterusnya. Ada pula pola nyeri kronis yang konstan,
artinya rasa nyeri tersebut terus-menerus tersa makin lama semakin
meningkat intensitasnya walaupun telah diberikan pengobatan (Asmadi,
2010).
Tabel 1 Perbedaan Nyeri Akut Dan Nyeri Kronis
2. Faktor Sosial
Faktor sosial yang mempengaruhi nyeri terdiri dari perhatian, pengalaman
nyeri sebelumnya, serta keluarga dan dukungan keluarga.
a) Perhatian
Seseorang yang memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan
dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan (distraksi)
dihubungkan dengan respons nyeri yang menurun (Gil, 1990). Konsep
ini merupakan salah satu konsep yang perawat terapkan diberbagai
terapi untuk menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, teknik imajinasi
terbimbing (guided imagery), dan masase (Potter & Perry, 2005).
b) Pengalaman nyeri sebelumnya
Hal ini juga berpengaruh terhadap persepsi nyeri individu dan
kepekaannya terhadap nyeri. Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu
berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih
mudah pada masa yang akan datang. Apabila individu sejak lama sering
mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh dan
menderita nyeri yang berat, maka ansietas dan bahkan rasa takut dapat
muncul. Sebaliknya apabila individu mengalami nyeri dengan jenis yang
berulang-ulang, tetapi kemudian nyeri tersebut dengan berhasil
dihilangkan, akan lebih mudah bagi individu tersebut untuk
menginterpretasikan sensasi nyeri. Akibatnya, klien akan lebih siap
untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk
menghilangkan nyeri (Potter & Perry, 2005).
c) Keluarga dan dukungan keluarga
Seorang yang merasakan nyeri sering bergantung kepada anggota
keluarga atau teman dekat untuk mendukung, menemani, atau
melindunginya. Walaupun nyeri masih ada, kehadiran keluarga atau
teman-teman dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan (Prasetyo,
2010). Misalnya, individu yang sendirian, tanpa keluarga atau teman-
teman yang mendukungnya, cenderung merasakan nyeri yang lebih berat
dibandingkan dengan individu yang mendapat dukungan dari keluarga
dan orang-orang terdekatnya (Mubarak & Chayatin, 2007).
d) Faktor Spiritual
Spiritual membuat seseorang mencari tahu makna atau arti dari nyeri
yang dirasakannya, seperti mengapa nyeri ini terjadi pada dirinya, apa
yang telah dia lakukan selama ini, dan lain-lain (Potter & Perry, 2009).
3. Faktor Psikologis
Faktor psikologis yang mempengaruhi nyeri terdiri dari kecemasan dan
koping individu.
a) Kecemasan
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas
seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat
menimbulkan suatu perasaan ansietas (Prasetyo, 2010).
b) Koping individu
Koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memperlakukan
nyeri. Seseorang yang mengontrol nyeri dengan lokus internal merasa
bahwa diri mereka sendiri mempunyai kemampuan untuk mengatasi
nyeri. Sebaliknya, seseorang yang mengontrol nyeri dengan lokus
eksternal lebih merasa bahwa faktor-faktor lain di dalam hidupnya
seperti perawat merupakan orang yang bertanggung jawab terhadap
nyeri yang dirasakanya. Oleh karena itu, koping apsien sangat penting
untuk diperhatikan (Potter & Perry, 2009).
4. Faktor Budaya
Faktor budaya yang mempengaruhi nyeri terdiri dari makna nyeri dan suku.
a) Makna Nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi
pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini
juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu
tersebut. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan berbeda-beda,
apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan,
hukuman, dan tantangan. Misalnya seorang wanita yang sedang bersalin
akan mempersepsikan nyeri berbeda dengan seorang wanita yang
mengalami nyeri akibat cedera karena pukulan pasangannya (Prasetyo,
2010).
b) Kebudayaan
Begitu juga dengan kebudayaan, keyakinan dan nilai-nilai budaya
mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa
yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini
meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Prasetyo, 2010).
Keterangan :
a) Skala 0 dideskripsikan sebagai tidak ada nyeri
b) Skala 1 -3 dideskripsikan nyeri ringan (mulai terasa tapi masih dapat
ditahan)
c) Skala 4 – 6 dideskripsikan sebagai nyeri sedang yaitu ada rasa nyeri,
terasa mengganggu dengan usaha yang cukup kuat untuk menahannya
d) Skala 7 – 9 dideskripsikan sebagai nyeri berat terkontrol, yaitu ada nyeri,
terasa sangat mengganggu sehingga harus meringis atau menjerit tetapi
masih dapat dikontrol
e) Skala nyeri 10 dideskripsikan sebagai nyeri berat tak terkontrol
3. Skala Wajah Wong-Baker / Wong-Baker Faces Ratting Scale
Skala waja biasanya digunakan ole anak-anak yang berusia kurang
dari 7 tahun. Pasien diminta untuk memilih nyerinya. Pilian ini kemudian
diberi skor angka, skala waja Wong-Baker menggunakan 6 kartun wajah
yang menggunakan wajah tersenyum, wajah sedih, sampai menangis. Dan
pada setiap wajah ditandai dengan skor 0 sampai 5. Skala wajah Wong-
Baker bisa dilihat pada gambar dibawah ini :
G. Penatalaksanaan Nyeri
Penatalaksanaan nyeri berarti menentukan jenis nyeri yang dialami,
kemudian menentukan jenis pengobatan yang cocok, ini proses yang seharusnya
melibatkan pasien yang menderita nyeri beserta tenaga medis. Tujuan
penatalaksanaan rasa nyeri adalah agar memberdayakan orang untuk menangani
nyerinya sendiri. Metode penatalaksanaan nyeri mencakup pendekatan
farmakologi dan non-farmakologi. Pendekatan farmakologi lebih mahal, dan
berpotensi mempunyai efek yang kurang baik. Sedangkan metode
nonfarmakologi lebih murah, simple, efektif dan tanpa efek yang merugikan.
Relaksasi, pergerakan dan perubahan posisi, massage, hidroterapi, terapi
panas/dingin, musik akupresur, aromaterapi merupakan beberapa teknik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri (Arifin, 2008).
Metode nonfarmakologi dibagi menjadi tiga komponen yang saling
berinteraksi sehingga mempengaruhi respon terhadap nyeri menurut Melzack,
yaitu strategi motivasi-afektif (interpretasi setral dari pesan yang berada diotak
yang dipengaruhi oleh perasaan, memori, pengalaman dan kultur seseorang),
kognitif-evaluatif (interpretasi dari pesan nyeri yang dipengaruhi oleh
pengetahuan, perhatian seseorang, penggunaan strategi kognitif dan evaluasi
kognitif dari situasi) dan sensori-dikriminatif (pemberitahuan informasi keotak
menurut sensasi fisik) (Gadysa, 2009).
C. Distraksi Pendengaran
1. Definisi Terapi Musik
Terapi musik adalah keahlian menggunakan musik atau elemen musik ,
seseorang terapis untuk meningkatkan, mempertahankan dan mengembalikan
kesehatan mental, fisik, emosional dan spiritual (Potter, 2005). Dalam
kedokteran, terapi musik disebut sebagai terapi pelengkap (Complementary
Medicine), Potter juga mendefinisikan terapi musik sebagai teknik yang
digunakan untuk penyembuhan suatu penyakit dengan menggunakan bunyi
atau irama tertentu. Jenis musik yang digunakan dalam terapi musik dapat
disesuaikan dengan keinginan, seperti musik klasik, instrumentalia, dan slow
musik (Young dan Koopsen, 2007).
Musik merupakan salah satu teknik distraksi yang dapat menjadikan
nyaman dan tenang, memiliki tempo 60-80 beats per menit dan sangat tepat
digunakan karena selaras dengan detak jantung manusia yaitu musik klasik
(Suherman, 2010). Menurut Potter & Perry, (2006) salah satu teknik distraksi
yang efektif adalah mendengarkan musik, yang dapat menurunkan nyeri
fisiologis, stres, dan kecemasan dengan mengalihkan perhatian seseorang dari
nyeri.
Musbikin (2009) mengatakan bahwa musik mempunyai pengaruh besar
khususnya dalam proses pemulihan dan perilaku pada umumnya. Musik dapat
memancing emosi yang kuat kemudian mempengaruhi sistem otonom untuk
mengeluarkan hormon dan endorphin tertentu sebagai penahan rasa sakit
alamiah dari tubuh (Potter & Perry 2006).