Anda di halaman 1dari 7

HUBUNGAN LOGIKA

TERHADAP PENALARAN HUKUM

NAMA : DEYBI SANTI WURI

NIM : 1604551173

KELAS :A

MATA KULIAH : PENALARAN DAN ARGUMENTASI


BJAJSHSHDVSHAJSHVHUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR
2018

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam mempelajari pola berpikir yang luas, logika dibutuhkan untuk memahami secara luas
dan mendalam mengenai suatu masalah. Mengingat pentingnya logika tersebut, maka perlu
terlebih dahulu diketahui mengenai apa itu logika dan ruang lingkupnya untuk membantu dasar
pemikiran yang berdasarkan penalaran yang logis dan kritis. Selain berguna bagi sarana ilmu,
penalaran yang logis dan kritis ini juga yang nantinya akan mambantu pemahaman bagi semua
ilmu, karena penalaran yang logis, kritis, dan sistematis inilah yang menjadi salah satu syarat sifat
ilmiah.

Mengenai kaitannya dengan ilmu hukum, pemahaman dan pengetahuan atas logika hukum
serta penalaran hukum semakin dibutuhkan tidak hanya bagi kalangan akademisi dalam bidang
filsafat dan hukum melainkan terutama bagi para praktisi hukum seperti polisi, hakim, jaksa,
pengacara, bahkan seluruh anggota masyarakat yang setiap hari berhadapan dengan persoalan-
persoalan hukum. Sehingga pentingnya pmeahaman atas logika hukum maupun penalaran hukum
untuk membekali para mahasiswa hukum, pekerja hukum, dan praktisi hukum dengan kemampuan
berpikir kritis dan argumentatif dalam memahami prinsip, asumsi, aturan, proposisi, dan praktik
hukum. Hanson menyatakan bahwa studi hukum secara kritis dari sudut pandang logika, penalaran
hukum, dan argumentasi hukum dibutuhkan karena pemahaman hukum dari perspektif semacam
ini berusaha menemukan, mengungkap, menguji akurasi, dan menjustifikasi asumsi-asumsi atau
makna-makna yang tersembunyi dalam peraturan atau ketentun hukum yang ada berdasarkan
kemampuan rasio (akal budi) manusia. Kemampuan semacam ini tidak hanya dibutuhkan bagi
mereka yang berkecimpung dalam bidang hukum melainkan juga dalam seluruh bidang ilmu dan
pengetahuan lain di luar hukum.

1.2 Rumusan Masalah


Melalui latar belakang tersebut, maka masalah yang akan dibahas berkaitan dengan tulisan
ini , yaitu :

1. Bagaimana konsep logika hukum?

2. Bagaimana penerapan logika hukum dalam hubungannya dengan penalaran hukum?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Logika Hukum

Secara etimologis, logika berasal dari kata Yunani “logos” yang berarti ucapan, kata, akal budi,
dan ilmu. Sebagai sebuah ilmu, logika disebut dengan logike episteme (bahasa Latin: logica
scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara
lurus, tepat, dan teratur. Aristoteles sendiri mendefinisikan logika sebagai ajaran tentang berpikir
yang secara ilmiah membicarakan bentuk pikiran itu sendiri dan hukum-hukum yang menguasai
pikiran. Sedangkan, menurut William Alston logika adalah studi tentang penyimpulan, secara
lebih ceramat usaha untuk mennetapkan ukuran-ukuran guna memisahkan penyimpulan yang sah
dan tidak sah.

Dalam kaitannya dengan ilmu hukum, logika menjadi sebuah cabang keilmuan yakni logika
hukum. Logika hukum sendiri mempunyai dua arti, yakni arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas,
logika hukum berhubungan dengan aspek psikologis yang dialami hakim dalam membuat suatu
penalaran dan putusan hukum. Logika hukum dalam arti sempit, berhubungan dengan kajian
logika terhadap suatu putusan hukum, yakni dengan melakukan penelaahan terhadap model
argumentasi, ketepatan dan kesahihan alasan pendukung putusan. Menurut R. G. Soekadijo, logika Commented [s1]:

sebagai istilah berati metoda atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran.
Logika hukum memang dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang
terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum ataupun yang
merupakan kasus pelanggaran hukum dan memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada.
Dapat dilihat bahwa logika hukum sangat berkaitan erat dengan konsep penalaran hukum, dimana
logika hukum berfungsi sebagai suatu metode untuk meneliti kebenaran atau ketepatan dari suatu
penalaran, sedangkan penalaran adalah suatu bentuk dari pemikiran. Penalaran tersebut bergerak
dari suatu proses yang dimulai dari penciptaan konsep (conceptus), diikuti oleh pembuatan
pernyataan (propositio),kemudian diikuti oleh penalaran (ratio cinium, reasoning).

Patterson berpendapat bahwa logika berperan sebagai alat untuk mengontrol emosi, perasaan,
prasangka, bahkan juga passionmanusia yang berkecamuk dalam perumusan, pelaksanaan, dan
penerapan hukum. Pertimbangan dan penalaran logis menjamin objektivitas dan imparsialitas
hukum. Karena dengan penalaran logika, hukum tak lagi mendasarkan diri pada kepentingan dan
pertimbangan lain di luar nalar dan akal sehat. Dengan logika, kepastian hukum pada akhirnya
didasarkan pada relasi antara keduanya dalam proposisi logis yang dirumuskan secara objektif.
Kemudian, menurut Munir Fuady logika dari ilmu hukum yang disusun oleh hukum mencakup
beberapa prinsip, yakni;

1. Prinsip eksklusi, adalah suatu teori yang memberikan anggapan bahwa sejumlah putusan
independen dari badan legislatif merupakan sumber bagi setiap orang, karenanya mereka
dapat mengidentifikasi sistem.
2. Prinsip subsumption, adalah prinsip di mana berdasarkan prisip tersebut ilmu hukum
membuat suatu hubungan hierarkhis antara aturan hukum yang bersumber dari legislatif
superior dengan yang inferior.
3. Prinsip derogasi, adalah prinsip-prinsip yang merupakan dasar penolakan dari teori
terhadap aturan-aturan yang bertentangan dengan aturan yang lain dengan sumber yang
lebih superior. Keempat, prinsip kontradiksi, adalah adalah prinsip-prinsip yang
merupakan dasar berpijak bagi teori hukum untuk menolak kemungkinan adanya
kontradiksi di antara peraturan yang ada.

B. Penerapan Logika dalam Penalaran Hukum

Penalaran adalah kegiatan akal budi dalam memahami makna setiap istilah dalam suatu
proposisi, menghubungkan suatu proposisi dengan proposisi lain dan menarik kesimpulan atas
dasar proposisi-proposisi tersebut. Sehingga dapat diartikan pula bahwa penalaran merupakan
sebuah bentuk pemikiran. Penalaran hukum dengan demikian harus dipahami dalam pengertian
penalaran (logika) dalam hukum. Lebih lanjut, penalaran hukum adalah penerapan prinsip-prinsip
berpikir lurus (logika) penalaran hukum, logika dipahami secara lebih sempit yakni sebagai ilmu
tentang penarikan kesimpulan secara valid dari berbagai data, fakta, persoalan, dan proposisi
hukum yang ada. Istilah penalaran hukum (legal reasoning) sejatinya tidak menunjukkan bentuk
penalaran lain di luar logika, melainkan penerapan asas-asas berpikir dari logika dalam bidang
hukum itu sendiri. Ini berarti ini tidak ada penalaran hukum tanpa logika (sebagai ilmu tentang
kaidah berpikir yang tepat dan valid); tidak ada penalaran hukum di luar logika.
Untuk menjadi bagian dari praktisi hukum, baik itu lawyer, hakim, jaksa, atau praktisi hukum yang
handal, pemahaman terhadap logika, penalaran hukum, dan argumentasi hukum merupakan syarat
mutlak yang tak bisa ditawar-tawar. Karena logika, penalaran hukum, dan argumentasi hukum
membekali para mahasiswa hukum, pekerja hukum, dan praktisi hukum dengan kemampuan
berpikir kritis dan argumentatif dalam memahami prinsip, asumsi, aturan, proposisi, dan praktik
hukum.

Tak dapat disangkal bahwa logika murni (pure logic), logika formal, atau logika simbolik,
sangat boleh jadi cukup “abstrak-ideal” dan mungkin memiliki peran terbatas dalam merumuskan
atau menganalisis putusan-putusan pengadilan, mencermati aturan-aturan hukum, memetakan
opini dan pendapat hukum. Logika dasar seperti penyimpulan langsung, deduksi dan induksi,
kesesatan berpikir merupakan alat berpikir yang dapat digunakan untuk memperoleh kebenaran
hukum yang semakin bisa dipertanggungjawabkan secara rasional dan ilmiah. Pembelaan paling
persuasif atau pertimbangan hakim dalam menangani perkara di pengadilan sangat boleh jadi tidak
selalu merupakan argumen yang paling logis. Tetapi, apa pun alasannya, seorang pembela, jaksa,
atau hakim perlu mengungkapkan alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang rasional
tentang pilihan argumen, pendapat, atau putusan hukum tertentu. Maka berasumsi bahwa logika
tidak selalu merupakan basis primer bagi putusan hukum (legal decision) dan logika seharusnya
tidak boleh berperan sebagai sarana justifikasi (justification) kebenaran hukum, bukanlah sebuah
argumen yang memadai. Dalam konteks itulah studi dan penelitian literer terhadap logika dan
penalaran hukum tidak hanya semakin diperlukan melainkan juga selalu relevan. Pembelajaran
tentang logika dan penalaran hukum tidak lain dari upaya menjelaskan kriteria-kriteria logis mana
yang dapat digunakan untuk menentukan suatu aturan, argumen, pendapat, atau putusan hukum
baik atau buruk, benar atau salah, dapat diterima atau harus ditolak.

Bagi para praktisi hukum logika dalam penalaran hukum ini berguna untuk mencari dasar bagi suatu
peristiwa atau perbuatan hukum dengan tujuan untuk menghindari terjadinya pelanggaran hukum di
kemudian hari dan untuk menjadi bahan argumentasi apabila terjadi sengketa mengenai peristiwa ataupun
perbuatan hukum tersebut. Kemudian, bagi para penyusun undang-undang dan peraturan, logika dalam
penalaran hukum berguna untuk mencari dasar mengapa suatu undang-undang disusun dan mengapa suatu
peraturan perlu dikeluarkan. Sedangkan dalam pelaksanan, logika dan penalaran hukum berguna untuk
mencari pengertian yang mendalam tentang suatu undang-undang atau peraturan agar tidak hanya
menjalankan tanpa mengerti maksud dan tujuannya.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Logika hukum merupakan suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang terdapat di dalam
suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum ataupun yang merupakan kasus
pelanggaran hukum dan memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada. Logika hukum
sangat berkaitan erat dengan konsep penalaran hukum, dimana logika hukum berfungsi sebagai
suatu metode untuk meneliti kebenaran atau ketepatan dari suatu penalaran. penalaran hukum
adalah penerapan prinsip-prinsip berpikir lurus (logika) penalaran hukum, logika dipahami secara
lebih sempit yakni sebagai ilmu tentang penarikan kesimpulan secara valid dari berbagai data,
fakta, persoalan, dan proposisi hukum yang ada. Pembelajaran tentang logika dan penalaran
hukum tidak lain dari upaya menjelaskan kriteria-kriteria logis mana yang dapat digunakan untuk
menentukan suatu aturan, argumen, pendapat, atau putusan hukum baik atau buruk, benar atau
salah, dapat diterima atau harus ditolak.

3.2 Saran

Konsep, pemahaman, dan studi tentang logika serta penalaran hukum jarang dijelaskan,
dielaborasi, dan ditelaah secara memadai. Menjadi praktisi hukum tentunya dituntut untuk dapat
berpikir seperti seorang ahli hukum, Dimana mampu menganalisis kasus hukum dengan
menggunakan penalaran dan logika hukum dalam kasus-kasus hukum entah dalam wilayah publik,
akademik, atau pengadilan. Selain itu, praktisi hukum juga tentunya diharapkan mampu
memahami secara kritis, rasional, dan argumentatif mengenai teori, rumusan undang-undang,
opini, maupun pendapat hukum.

Anda mungkin juga menyukai