Bab 1 2 3
Bab 1 2 3
PENDAHULUAN
1
Cara penyebarannya melalui muntahan,urin, dan kotoran dari
penderita yang kemudian secara pasif terbawa oleh lalat (kaki lalat). Kotoran
dan urin penderita bisa mengandung kuman Salmonella typhi yang siap
menginfeksi manusia lain melalui makanan atau minuman yang dicemari.
Pada penderita yang tergolong carrier (pengidap kuman ini namun tidak
menampakkan gejala sakit), kuman Salmonella bisa ada terus menerus di
kotoran dan air seni sampai bertahun tahun. Salmonella thypi hanya berumah
di dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, demam tifoid sering ditemui di
tempat-tempat di mana penduduknya kurang menjaga kebersihan pribadi dan
lingkungan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSATAKA
2.2 Defenisi
Demam typhoid adalah penyakit infeksi bakteri yang disebabkan oleh
salmonella typhi. Penyakit ini ditularkan melalui konsumsi makanan atau minuman
yang terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terinfeksi.
2.3 Etiologi
Penyebab demam typhoid timbul akibat dari infeksi oleh bakteri golongan
salmonella yang memasuki tubuh penderita melalui saluran pencernaan. Sumber
utama yang terinfeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme
penyebab penyakit, baik ketika ia sedang sakit atau sedang dalam masa
penyembuhan.
2.4 Epidemiologi
Surveilans departemen kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan
frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah
penderita sekitar 35,8% yaitu 19.596 menjadi 26.606 kasus.
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan
sanitasi lingkungan di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk,
sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk, perbedaan
insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum
memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang
memenuhi syarat kesehatan lingkungan.
3
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam
tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi,
2.5 Patogenesis
4
Pada pemeriksaan fisik yang didapatkan yaitu suhu badan meningkat. Sifat
demam meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga malam hari.
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardia relative ( bradikardia relative adalah peningkatan suhu 1 derajat yang
tidak diikuti pengikatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di
tengah, tepid an ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismu,
gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium, psikosis
2.8 Diagnosis
Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan adanya penurunan kadar Hb,
trombositopenia, kenaikan LED, aneosinofilia, limfopenia, leucopenia, leukosit
normal, hingga leukositosis.
Gold standart untuk menegakkan diagnosi demam typhoid adalah
pemeriksaan kultur darah (biakan empedu) untuk salmonella typhi. Pemeriksaan
5
kultur darah biasanya akan memberikan hasil positif pada minggu pertama penyakit.
Hal ini bahkan dapat ditemukan pada 80% yang tidak diobati dengan antibiotic.
Pemeriksaan lain untuk demam typhoid adalah uji serologi widal dan deteksi
antibody IgM salmonella typhi dalam serum.
Uji serologi idal untuk mendeteksi adanya antibody aglutinasi terhadap
antigen O yang berasal dari somatic dan antigen H yang berasal dari flagella
salmonella typhi. Diagnosis demam typhoid dapat ditegakkan apabila ditemukan titer
O aglutinin sekali priksa mencapai kurang lebih 1/200 atau terdapat kenaikan 4 kali
pada titer sepasang apabila hasil tes idal menunjukkan hasil negative, maka hal
tersebut tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis demam typhoid.
2.10 Penatalaksanaan
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati dirumah dengan tirah
baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian
antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan
cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dan
dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan
utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi salmonella typhi berhubungan
dengan keadaan bakteriemia.
Obati dengan kloramfenikol (50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis per
oral atau intravena) selama 10-14 hari.
6
Jika tidak dapat diberikan kloramfenikol, dipakai amoksisilin 100
mg/kgBB/hari per oral atau ampisilin intravena selama 10 hari, atau
kotrimoksazol 48 mg/kgBB/hari (dibagi 2 dosis) peroral selama 10 hari.
Bila klinis tidak ada perbaikan digunakan generasi ketiga sefalosporin seperti
seftriakson (80 mg/kg IM atau IV, sekali sehari, selama 5-7 hari) atau
sefiksim oral (20 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari).
2.11 Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.Typhi, maka
setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka
konsumsi. Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanas setinggi 57 derajat
celcius untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57 derajat celcius beberapa menit
dan secara merata juga dapat mematikan kuman salmonella typhi. Penurunan
endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air
dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higine
pribadi.
Vaksinasi demam tifoid
Vaksinasi yang tersedia diberikan peroral Ty-21a dan Vi capsular yang
diberikan secara intramuskuler. Vaksin peroral diberikan pada usia >2 tahun,
sebanyak 3 dosis dan memberikan perlindungan 6 tahun. Vaksin Vi capsular
memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.
2.12 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang
tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita
7
mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat
perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam
tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran
kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya
adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.
Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.
2.13 Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan dan
pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
8
hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas tinggi
BAB III
KESIMPULAN
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas
berkepanjangan,disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa
gangguan kesadaran. Demam tifoid erat hubungannya dengan lingkungan, terutama
lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti penyediaan air minum
yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan sanitasi lingkungan yang buruk. Faktor-
faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit tersebut antara lain sanitasi umum,
temperatur, polusi udara, dan kualitas air. Faktor sosial ekonomi seperti kepadatan
penduduk, kepadatan hunian, dan kemiskinan juga mempengaruhi penyebarannya.
9
DAFTAR PUSTAKA
1. Eunike dkk. 2005. Hubungan Personal Hygiene Dengan Kejadian Demam
Tifoid Di Wilayah KErja Puskesmas Tumaratas.[Akses 15 Desember 2017]
2. Soedarmo dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua
Cetakan Ketiga. Jakarta : IDAI
3. Inawati. 2005. Demam Tifoid. Departemen Patologi Anatomi Dosen Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kesuma Surabaya [Akses 16 Desember 2017]
4. Venita & Kadim,M. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid I. Jakarta :
Media Aesculapius
10