Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Warga Negara merupakan sekumpulan manusia yang menempati suatu
wilayah tertentu yang memiliki pengakuan terhadap kewarganegaraannya.
Pengertian warga negara adakalanya dicampur adukan dengan penduduk,
masyarakat dan rakyat sehingga menimbukan kerancuan. Dalam
penempatannya, warga negara dikaitkan dengan kehidupan bernegara yang
mempunyai peraturan perundangan tentang pengakuan terhadap status
kewargaan seseorang.
Dalam pengertian umum, warga negara adalah individu-individu yang
diakui menjadi warga negara berdasarkan undang-undang yang tidak hanya
terikat dengan aturan bernegara tetapi juga bermasyarakat. Sehingga
keseluruhan kompleksitas hubungan manusia sebagai individu yang luas, terpola
dan khas dinamakan masyarakat.
Dalam komitmen kita sebagai warga negara dan bangsa Indonesia,
maka sudah jelas kita mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban. Kewajiban
yang kita terima sebagai warga negara diimbangi dengan hak-hak yang
diberikan oleh negara. Namun dalam kehidupan sehari-hari antara hak dan
kewajiban sering terjadi salah kaprah dan terkadang individu sebagai warga
negara sering mengutamakan hak yang didasari ego masing-masing
dibandingkan dengan pelaksanaan kewajibannya sebagai warga negara yang
baik.
Seiring dengan era globalisasi dan perkembangan zaman, banyak hal
yang mempengaruhi pemikiran setiap warga negara sehingga terkadang
menimbulkan fenomena-fenomena menjadi individualis dan egosentris terhadap
hal-hal disekitarnya. Globalisasi ini membawa angin perubahan baru dalam
kehidupan kita baik sebagai individu maupun dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Angin perubahan sebagai dampak globalisasi
tersebut di satu sisi dapat membawa kemajuan namun di sisi lain dikhawatirkan
akan menghancurkan atau sekurang-kurangnya mengikis rasa nasionalisme dan
kegotongroyongan dalam bernegara. Disinilah peran kita sebagai
individu-individu dan warga negara yang baik untuk mampu menghadapi segala
perubahan dan globalisasi agar mampu menjadi warga negara yang baik.
Berdasarkan uraian di atas dan melihat kondisi yang ada serta betapa
pentingnya mengetahui dan memahami serta mengimplementasikan diri kita
agar menjadi warga negara yang baik, maka kami tertarik untuk melakukan
penulisan buku tentang Warga Negara.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan pada latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka
rumusan masalah yang didapat adalah “ Bagaimanakah Warga Negara yang
baik? ”

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan dari latar belakang dan rumusan masalah, maka penulisan
buku ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisa Warga Negara yang baik.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat yang diharapkan dengan adanya penulisan buku ini adalah
sebagai berikut :
a. Menambah khasanah dan wawasan bagi mahasiswa mengenai warga
negara yang baik.
b. Sebagai bahan bagi mahasiswa dalam melaksanakan hak dan kewajiban
sebagai warga negara.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Warga Negara Yang Baik

Warga negara yang baik pada dasarnya dilihat dari warga negara yang
berhasil dalam menjalankan perannya masing-masing disetiap bidang yang
ditekuni dan juga harus selalu respon terhadap kuputusan-keputusan
pemerintah dan selalu peduli terhadap negaranya sendiri dengan memakai
prinsip demokrasi. Tidak hanya itu saja, warga negara yang baik juga harus
memiliki sikap rasa hormat dan bertanggung jawab selain itu selalu bersikap
jujur, terbuka dan kritis dalam setiap apa yang dia lakukan.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Bangsa adalah


orang–orang yang memiliki kesamaan asal keturunan, adat, bahasa dan sejarah
serta berpemerintahan sendiri atau bisa diartikan sebagai kumpulan manusia
yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan wilayah tertentu dimuka
bumi. Jadi Bangsa Indonesia atau warga indonesia sendiri adalah sekelompok
manusia yang mempunyai kepentingan yang sama dan menyatakan dirinya
sebagai satu bangsa serta berproses di dalam satu wilayah Nusantara.

Hak dan kewajiban warga negara yang baik terutama kesadaran bela
negara akan terwujud dalam sikap dan perilakunya bila ia dapat merasakan
bahwa konsepsi demokrasi dan hak asasi manusia sungguh–sungguh
merupakan sesuatu yang paling sesuai dengan kehidupannya sehari–hari.
Pembelaan negara merupakan sebuah tekad, sikap dan tindakan warga negara
yang teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan
terhadap tanah air serta kesadaran hidup berbangsa dan bernegara. Warga
negara yang baik seharus memiliki ciri-ciri taat kepada Hukum, tanggung jawab,
cinta tanah air, sopan, santun dan ramah tamah. Dalam gambaran warga
negara yang baik sendiri merupakan pemberdayaan warga negara optimalisasi
pengembangan peranan warga negara akan menunjang proses menjadi
demokrasi, jika mampu meningkatkan efektifitas masyarakat politik sehingga
mampu melakukan kontrol da menguasai negara. Itu sebabnya warga negara
yang baik harus mampu membangkitnya negaranya dan menjaga nama baik
bangsa dan negara.

2.2 Loyalitas

Loyalitas memiliki kata dasar loyal yang berasal dari bahasa Prancis
kuno loial. Menurut ​Oxford Dictionary​, pengertian loyalitas adalah ​the quality of
being loyal dimana loyal didefinisikan sebagai ​giving or showing firm and
constant support or allegiance to a person or institution​. Jika diartikan secara
bebas, pengertian loyalitas menurut ​Oxford Dictionary adalah mutu dari sikap
setia (loyal), sedangkan loyal didefinisikan sebagai tindakan memberi atau
menunjukkan dukungan dan kepatuhan yang teguh dan konstan kepada
seseorang atau institusi. Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia
menerangkan pengertian loyalitas sebagai kepatuhan atau kesetiaan. Selain itu
Loyalitas juga bisa dikatakan setia pada sesuatu dengan rasa cinta, sehingga
dengan rasa loyalitas yang tinggi seseorang merasa tidak perlu untuk
mendapatkan imbalan dalam melakukan sesuatu untuk orang lain/ organisasi
tempat dia meletakkan loyalitasnya. Secara ​etimologis kata loyalitas selain
mengandung unsur kepatuhan dan kesetiaan ternyata juga mengandung banyak
unsur dimana unsur-unsur tersebut saling bersinergy dalam membentuk loyalitas
seseorang.

● Tahapan Pembentukan Loyalitas

Loyalitas merupakan suatu hal yang bersifat emosional. Untuk bisa


mendapatkan sikap loyal seseorang, terdapat banyak faktor yang akan
memengaruhinya. Sikap loyal dapat diterapkan oleh setiap orang dalam
berbagai hal.
Loyalitas terkandung beberapa unsur diantaranya pengorbanan,
kepatuhan, komitmen, ketaatan dan kesetiaan. Hal ini menunjukkan bahwa
terbentuknya sikap loyal melalui proses yang sangat rumit karena
dipengaruhi interaksi dua belah pihak. Mengacu dari pengertian loyalitas
diatas dapat dikatakan bahwa seseorang dikatakan memiliki loyalitas jika
seseorang tersebut memiliki kepatuhan dan kesetiaan terhadap
organisasi/seseorang. Sikap atau orang sering menyebutnya dengan
attitude merupakan suatu pernyataan evaluatif baik menyenangkan maupun
tidak menyenangkan terhadap obyek, individu ataupun peristiwa. Hal ini
mencerminkan bagaimana perasaan seseorang terhadap sesuatu. Sikap
tersebut sangat rumit karena untuk memahaminya kita harus
mempertimbangkan karakteristik fundamental dari individu. Sikap memiliki
tiga komponen yaitu kesadaran (​cognitif component)​ , perasaan (​afektif
component​) dan perilaku (​behavioral component)​ . Adapun pembentukan
loyalitas menurut Oliver (1997:392) melalui empat tahapan yaitu :

1. Cognitive Loyalty​ (Kesediaan berdasarkan kesadaran ).


Pada tahapan pertama loyalitas ini, informasi yang tersedia mengenai
suatu yang diinginkan menjadi faktor utama. Tahapan ini didasarkan
pada kesadaran dan harapan seseorang.

2. Affective Loyalty (​ Kesetiaan berdasarkan pengaruh)


Tahapan loyalitas selanjutnya didasarkan pada pengaruh. Pada tahap ini
dapat dilihat bahwa pengaruh memiliki kedudukan yang kuat, baik dalam
perilaku maupun sebagai komponen yang mempengaruhi kepuasan.
Kondisi ini sangat sulit dihilangkan karena loyalitas sudah tertanam
dalam pikiran seseorang bukan hanya kesadaran maupun harapan.

3. Conative Loyalty​ ( Kesetiaan berdasarkan komitmen )


Tahapan loyalitas ini mengandung komitmen perilaku yang tinggi untuk
melakukan seluruh permintaan yang ada. Perbedaan dengan tahapan
sebelumnya adalah Affective Loyalty hanya terbatas pada motivasi,
sedangkan Behavioral Commitment memberikan hasrat untuk melakukan
suatu tindakan, hasrat untuk melakukan tindakan berulang atau bersikap
loyal merupakan tindakan yang dapat diantisipasi namun tidak dapat
disadari.

4. Action Loyalty​ ( Kesetiaan dalam bentuk tindakan )


Tahap ini merupakan tahap akhir dalam loyalitas. Tahap ini diawali
dengan suatu keinginan yang disertai motivasi, selanjutnya diikuti oleh
kesiapan untuk bertindak dan berkeinginan untuk mengatasi seluruh
hambatan untuk melakukan tindakan.

Dari tahapan-tahapan diatas semakin memperkuat betapa kompleks


pembentukan suatu loyalitas dalam diri seseorang. Para Psikolog
menganggap sikap merupakan konstruksi ​hipotetikal​, yaitu sesuatu yang
tidak dapat diobservasi secara langsung tetapi hanya dapat ditarik
kesimpulan dari perilaku. Karena dalam sikap terkandung perasaan,
kepercayaan, nilai-nilai serta cenderung berperilaku dengan cara tertentu.

2.3 Orang Yang Selalu Belajar

Belajar merupakan proses perubahan mental manusia yang didapatkan


melalui pendidikan formal maupun pengalaman. Dari sudut pandang agama
belajar merupakan kewajiban sebagai manusia. Seperti yang tertuan dalam ayat
Suci Al-Quran yang pertama kali diturukan kepada Nabi Muhammad saw Di Gua
Hira Allah memerintahkan manusia untuk Iqra yang artinya membaca (belajar).
Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Mencari ilmu itu kewajiban bagi setiap
muslim, baik laki-laki maupun perempuan. (Hr. Ibnu Majjah).
Seruan Sang Pencipta dan Utusannya (Nabi Muhammad SAW
menjelaskan kepada kita bahwa mencari ilmu atau belajar itu merupakan
kewajiban atau sesuatu keharusan yang harus dilakukan. Dalam hadis lain Nabi
Muhammad saw bersabda “Tuntutlah ilmu walaupun ke Negeri Cina” ini
meruapakn ungkapan motivasi dan bagaiman pentingnya menuntut ilmu atau
belajar yang tidak memandang waktu dan dimana saja.
Menurut Gagne (1984:.....) belajar didefinisikan sebagai suatu proses
dimana suatu organisme berubah perilakunya akibat suatu pengalaman.
Galloway dalam Toeti Soekamto (1992:27) mengatakan belajar merupakan
suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi,
emosi dan faktor-faktor lain berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Sedangkan Morgan menyebutkan bahwa suatu kegiatan dikatakan belajar
apabila memiliki 3 (tiga) ciri-ciri sebagai berikut :
1. Belajar adalah perubahan tingkah laku;
2. Perubahan terjadi karena latihan dan pengalaman, bukan karena
pertumbuhan;
3. Perubahan tersebut harus bersifat permanen dan tetap ada untuk waktu yang
cukup lama.

Adapun teori yang digunakan sebagai dasar pembelajaran adalah :


1. Teori ​behaviorisme bahwa belajar itu hanya dilihat dari jasmaninya saja dan
mengabaikan aspek mentalnya. Pada dasarnya teori behaviorisme cocok
untuk perolehan kemampuan yang berkaitan dengan kecepatan, spontanitas,
dsb; seperti dalam mata pelajaran mengetik, computer dll yang memang
memerlukan kecepatan berfikir. Teori Belajar Menurut Thorndik. Tokoh dari
teori ini antara lain Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie,dan Skinner.
2. Teori ​kognitivisme mengungkapkan bahwa belajar yang dilakukan individu
adalah hasil interaksi mentalnya dengan lingkungan sekitar sehingga
menghasilkan perubahan pengetahuan atau tingkah laku. Dalam
pembelajaran pada teori ini dianjurkan untuk menggunakan media yang
konkret karena anak-anak belum dapat berfikir secara abstrak. Tokoh dari
teori tersebut antara lain Jean Peaget, Bruner, dan Ausebel.
3. Teori ​kontruktivisme​. Kontruktivisme berarti membangun, sehingga dapat
diartikan bahwa teori ini berarti suatu pengetahuan (hasil belajar) didapatkan
oleh anak dari pengkontruksian sendiri pengetahuannya sedikit demi sedikit.
Agar pengkontruksian (pembangunan) pengetahuan lebih bermakna dapat
dilakukan dengan memberi pengalaman yang nyata pada diri anak sendiri.
4. Teori ​humanisme mengungkapkan belajar dapat dimulai dengan tujuan untuk
memanusiakan manusia. Oleh karena itu, individu akan mendapatkan
pengakuan dari masyarakat. Teori ini mementingkan nilai kerjasama dan
saling membantu yang diaplikasikan dalam pembelajaran dan akhirnya dapat
mencapai tujuan pembelajaran itu sendiri. Teori ini mengungkapkan pula
bahwa guru hanya sebagai fasilitator saja. Tokoh dari teori ini antara lain
Arthur Combs, Maslow, dan Carl Roger.
5. Teori ​Gestalt mengungkapkan bahwa belajar dengan keseluruhan itu lebih
bermakna dibandingkan dengan belajar parsial atau sebagian.
Jadi, dari paparan di atas berintikan bahwa berbagai teori mempunyai analisis
yang berbeda dari makna belajar itu sendiri dan aplikasi dalam pembelajaran.

Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja


dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu
yang bersangkutan menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan,
misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau keterampilannya semakin
meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar.
Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya
merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh
sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah
diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan
keterampilan berikutnya.
Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan hidup individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa
sekarang maupun masa mendatang. Perubahan perilaku yang terjadi bersifat
normatif dan menujukkan ke arah kemajuan. Untuk memperoleh perilaku baru,
individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan. Perubahan
perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi
bagian yang melekat dalam dirinya. Individu melakukan kegiatan belajar pasti
ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah
maupun jangka panjang. belajar bukan hanya sekedar memperoleh
pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap
dan keterampilannya

Anda mungkin juga menyukai