Anda di halaman 1dari 5

TeknikFIV pada manusia pertama kali dikembangkan oleh deKretzer pada tahun

1973, kemudian disusul oleh Edwards (ahli embriologi) dan Steptoe (ahli ginekologi) pada
tahun 1976, yang sukses dengan bayi tabung pertama Louise Brown pada tanggal 25 Juli
1978 di Brisbol-Inggris (Cohen dan Jones, 2007).
Keberhasilan ini diikuti oleh peneliti–peneliti lain di seluruh penjuru dunia, termasuk
Indonesia. Di Indonesia sendiri, FIV mulai dilakukan pada tahun 1985, yang diprakarsai oleh
Prof. DR. Dr. Sudraji Sumapraja, SpOG (disebut Bapak Bayi Tabung Indonesia) merupakan
teknologi reproduksi manusia tercanggih saat itu. Bayi tabung pertama di Indonesia bernama
Nugroho Karyantolahir pada tanggal 2 Mei 1988 di RS Harapan Kita, Jakarta(Angsar, 2004).
Sejak saat itu, berbagai teknik telah diteliti dan diperluas. Metode FIV meliputi
langkah-langkah yang sangat terkoordinasi, dimulai dengan hiperstimulasi ovarium terkontrol
dengan gonadotropin eksogen, pengambilan oosit dari ovarium dengan bimbingan
Transvaginal Sonographi (TVS), pembuahan di laboratorium, dan transfer transervikal
embrio ke dalam rahim (Speroff dan Fritz, 2005c).

https://ofwmoney.org/wp-content/uploads/2017/09/IVF_Treatment_Dubai.jpg

1. Stimulasi Ovarium
Pada program FIV, stimulasi ovarium menggunakan metode hiperstimulasi ovarium.
Hiperstimulasi ovarium bertujuan untuk memperoleh cukup folikel (10 - 20 folikel) dalam
satu siklus pengobatan sehingga keberhasilan kehamilan lebih besar dan petik ovum bisa
dijadwalkan dengan lebih baik dan terencana (Anwar, et al., 2006).
Stimulasi ovarium dimulai pada hari ketiga siklus haid, yaitu sebelum terbentuknya
folikel dominan yang terjadi pada hari kelima siklus haid. Stimulasi ovarium memperlebar
jendela FSH sehingga FSH yang pada keadaan fisiologis mulai turun pada hari kelima siklus,
tidak turun karena ada masukan FSH dari luar. Masukan FSH dari luar menyebabkan
sekelompok folikel yang seharusnya mengalami atresia pada hari kelima siklus haid, tidak
mengalami atresia, terus tumbuh membesar menjadi matur dan mengalami ovulasi bersama,
ovulasi ganda.
Stimulasi ovarium dapat menggunakan obat yang sederhana (Clomifen Citrate / CC)
sampai obat yang mahal dan beresiko tinggi (gonadotropin). Stimulasi ovarium mempunyai
resiko terjadinya stimulasi berlebih, sehingga muncul SHSO mulai dari yang ringan yang
dapat membaik spontan sampai berat yang fatal. Oleh karena itu stimulasi ovarium terutama
bila menggunakan gonadotropin harus dipantau dengan baik (ultrasonografi atau bersama
estradiol serum). Pemantauan saat stimulasi ovarium selain untuk memantau kemungkinan
timbulnya SHSO, juga diperlukan untuk menentukan saat folikel matur / saat ovulasi. Pada
FIV stimulasi ovarium pada umumnya diberikan bersama GnRH agonis atau antagonis
untuk menekan sekresi gonadotropin endogen agar tidak terjadi lonjakan LH dini yang
merugikan (Samsulhadi dan Hendarto, 2009). Salah satu keuntungan GnRH antagonis adalah
durasi stimulasi lebih pendek dibanding GnRH agonis dan lebih sedikit gonadotropin yang
diperlukan (Permadi, 2009).
Tujuan stimulasi ovarium dalam teknik FIV (Soebijanto dan Muharam, 2009):
1. Mendapatkan pertumbuhan beberapa folikel secara bersamaan.
2. Meningkatkan jumlah telur masak, oosit yang didapat, dan angka kehamilan.
3. Pertumbuhan endometrium yang baik untuk implantasi dan perkembangan
embrio.
4. Menekan angka pembatalan terkait respon perkembangan folikel yang kurang
baik.
5. Hasil pengobatan yang efektif dan efisien.

2. Tahap pengambilan sel telur /Ovum Pick-Up (OPU)


Tahap ini dilakukan dengan operasi petik ovum/Ovum Pick-Up (OPU).
Operasi ini bisa dilakukan ketika sudah terdapat tiga folikel atau lebih yang
berdiameter 18 mm pada pagi hari dan pertumbuhan folikelnya seragam. Selain itu
kadar E2 juga harus mencapai 200pg/ml/folikel matang. Pengambilan ovum dilakukan
dengan dua cara yaitu memegang indung telur dengan penjepit dan dilakukan
pengisapan. Cairan folikel yang berisi sel telur diperiksa dengan mikroskop untuk
ditemukan sel telur. Cara kedua dengan menggunakan tehnik Transvaginal Directed
Oocyte Recavery, Folikel yang tampak di layar ultrasonografi transvaginal ditusuk
dengan jarum melalui vagina kemudian dilakukan pengisapan folikel yang berisi sel
telur seperti pengisapan laparoskopi.
Proses operasi petik ovum dilakukan bukan layaknya operasi pembedahan, namun
menggunakan tuntunan alat ultrasonografi transvaginal (melalui vagina) (Sabighoh,
2016)

3. Fertilisasi sel telur


Pada tahap ketiga, setelah berhasil mengeluarkan beberapa sel telur, maka dokter akan
meminta sperma dari suami baik dikeluarkan dengan masturbasi atau dengan
prosedur pengambilan khusus oleh dokter di ruang operasi. Akan tetapi cara yang
paling aman tentunya dengan cara masturbasi. Pada kasus cairan air mani tanpa
sperma, mungkin akibat penyumbatan atau gangguan saluran sperma, bisa dilakukan
dengan teknik operasi langsung pada testis. Tekniknya ada dua, yaitu Microsurgical
Sperm Aspiration (MESA)11 dan Testicular Sperm Extraction (TESE)12 (Sabighoh -
2016)

Sebanyak kurang lebih 20.000 spermatozoa pria ditempatkan bersama-sama dengan 1


sel telur matang wanita dalam sebuah cawan khusus. Dengan melakukan hal ini, para
ahli medis mengharapkan terjadinya proses fertilisasi sel telur oleh spermatozoa
dalam waktu 17-20 jam pasca pengambilan sel telur dari ovarium. Sel telur yang
terbuahi normal, ditandai dengan adanya dua sel inti, segera membelah menjadi
embrio. (Sabighoh , 2016)

4. Pemindahan embrio
Tahap keempat post OPU. Tahap ini meliputi dua fase, yaitu transfer embrio dan
terapi obat penunjang kehamilan. Setelah terjadinya fertilisasi, embriologis dan dokter
ahli kesuburan akan melakukan pengawasan khusus terhadap perkembangan embrio.
Embrio yang dinilai berkembang baik akan ditanamkan dalam rahim. Biasanya,
embrio yang baik akan terlihat sejumlah 8-10 sel pada saat akan ditanamkan dalam
rahim. Embrio ini akan dipindahkan melalui vagina ke dalam rongga rahim ibunya 2-
3 hari kemudian. (Sabighoh ,2016)

Setelah proses ini selesai lalu dilanjutkan dengan terapi obat penunjang kehamilan.
Tujuan dari terapi ini untuk mempersiapkan rahim agar bisa menerima implantasi
embrio sehingga embrio bisa berkembang normal. Apabila semua tahapan itu sudah
dilakukan oleh isteri dan ternyata terjadi kehamilan, maka kita hanya menunggu
proses kelahirannya, yang memerlukan waktu 9 bulan 10 hari. Pada saat kehamilan itu
sang isteri tidak diperkenankan untuk bekerja berat karena rentan terjadi keguguran.
(Sabighoh , 2016)

Anwar, I. 2006. Seleksi Pasien Menuju Fertilisasi In Vitro. In : Darmasetiawan, S., Anwar, I.,
Djuwamtono, T., Adenin, I., Jamaan, T., Editors. Fertilisasi In Vitro Dalam Praktek
Klinik. 1st. Ed. Jakarta : Puspa Swara. P. 2 – 37.

Cohen, J., Jones, H. W. 2007. In Vitro Fertilization: The First Three Decades. In : Gardner,
D. K., Editor. Textbook Of Assisted Reproductive Technologies Laboratory And
Clinical Perspective. 3rd. Ed. New York : Informa Healthcare. P. 1 – 12.

Permadi, W. 2009. Gonadotropin. In : Samsulhadi, Hendarto. H., Editors. Aplikasi Klinis


Induksi Ovulasi &Stimulasi Ovarium. 1st. Ed. Jakarta : Sagung Seto. P. 56 – 59.

Sabighoh - 2016. Fertilisasi In Vitro Bab III eprints.walisongo.ac.id/6784/4/BAB%20III.pdf

Samsulhadi.,Hendarto, H. 2009. Selayang Pandang Induksi Ovulasi Dan Stimulasi Ovarium.


In : Samsulhadi, Hendarto. H., Editors. Aplikasi Klinis Induksi Ovulasi &Stimulasi
Ovarium. 1st. Ed. Jakarta : Sagung Seto. P. 1-5.

Soebijanto, S., Muharam, R. 2009. Fertilisasi In Vitro Dan Transfer Embrio. In : Samsulhadi,
Hendarto, H., Editors. Aplikasi Klinis Induksi Ovulasi & Stimulasi Ovarium. 1st.
Ed. Jakarta : Sagung Seto. P. 111 - 122
Speroff, L., Fritz, M. 2005a. Regulation Of The Menstrual Cycle. In : Speroff, L., Fritz, M.,
Editors. Clinical Gynecologic Endocrinology &Infertility. 7th. Ed. Philadelphia :
Lippincott Williams &Wilkins. P. 188 – 224.

Speroff, L., Fritz, M. 2005b. Female Infertility. In : Speroff, L., Fritz, M., Editors. Clinical
Gynecologic Endocrinology &Infertility. 7th. Ed. Philadelphia :Lippincott
Williams &Wilkins. P. 1014 - 1055.

Speroff, L., Fritz, M. 2005c. Assisted Reproductive Technologies. In : Speroff, L., Fritz, M.,
Editors. Clinical Gynecologic Endocrinology &Infertility. 7th. Ed. Philadelphia :
Lippincott Williams &Wilkins. P. 1216 – 1234

1.

Anda mungkin juga menyukai