Anda di halaman 1dari 24

Rasionalitas Manusia dan Media Massa,

Analisis Manusia Komunikatif Jurgen Habermas


Terhadap Proses Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) 2010

Makalah disampaikan Dalam


Seminar Nasional Ilmu Komunikasi
Magister Ilmu Komunikasi
Program Pascsarjana Universitas Mercu Buana

Oleh :

Dr. Umaimah Wahid


Email : NYAKMAH@yahoo.com

1. Pendahuluan

Reformasi, bisa jadi merupakan pintu gerbang yang membawa perubahan dalam sistem,
pola pikir, maupun prilaku kehidupan sosial dan politik bagi masyarakat Indonesia. Era yang
berawal pada tahun 1998 dan terus berlangsung hingga saat ini, secara langsung ikut memberi
dampak bagi perkembangan sistem komunikasi media massa yang ada di Indonesia. Salah satu
indicator perubahan dalam konteks media adalah menjamurnya beragam jenis media dengan
segmentasi pasar yang juga beragam disertai sistem pengelolaan yang lebih independent dari
masa sebelumnya.
Pilkada atau Pemilihan Umum Daerah Indonesia sudah berlangsung selama era reformasi
sebagai representasi dari sistem politik di era baru demokrasi sekarang ini. Pilkada yang
merupakan pemilihan langsung yang konsekuensinya melibatkan peran masyarakat dalam proses
politik tersebut. Proses pilkada yang berlangsung selama pasca reformasi, khususnya pilkada
tahun 2010 disamping sebagai perwujudan sistem demokrasi langsung, sekaligus sebagai pesta
politik yang membuka kesempatan berpartisipasi maksimal bagi banyak pihak, terutama mereka
yang berorientasi pada kekuasan.
Proses pelaksanaan pilkada semakin semarak di era kekuatan media. Media massa
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses demokrasi. Peristiwa pilkada 2010 yang
mengalami banyak kerursuhan dan pelanggaran menjadi berita utama di berabagi media massa.
Media menyajikan konflik pilkada dengan sangat terbuka dan vulgar kepada khalayak. Media
massa di era reformasi telah mengubah dinamika masyarakat Indonesia kearah keterbukaan
dalam sistem informasi, sekaligus menempatkan media sebagai kekuatan baru di tengah

Umaimah Wahid Page 1


masyarakat ( the power of media ). Pada beberapa realitas tertentu, media massa bahkan telah
menjadi sistem sosial baru yang sangat dominan dan menjadi kebutuhan masyarakat dalam
mengkonstruksi realitas dalam beragam bidang.
Peristiwa politik, seperti pemilu presiden, pemilu legislatif, pilkada maupun peristiwa
politik pemerintahan menjadi sangat dinamis dan terbuka serta dapat dinikmati oleh banyak
pihak dengan cepat karena diantarkan oleh media massa dengan beragam cara. Begitu juga
dengan peristiwa ekonomi, sosial budaya, gaya hidup, dan bahkan agama telah mengalami
perubahan yang signifikan dan menciptakan metode dan genre baru bagi masyarakat. Media
massa dengan beragam jenis yang ada, telah menciptakan transformasi informasi dengan begitu
efektif, sehingga seakan tak ada lagi jarak antara ruang dan waktu bagi masyarakat dalam
memperoleh informasi yang mereka kehendaki.
Namun dilain pihak, dengan memanfaatkan kekuatan yang mereka miliki, beberapa
media massa menempatkan diri sebagai ‘agent’ bagi kekuatan politik tertentu, sehingga
terjadilah apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai ‘ketidakseimbangan rasionalitas’ yang
berlangsung ditengah masyarakat Indonesia. Peristiwa ini, dengan segala efek yang dibawanya,
pada akhirnya membawa masyarakat pada suatu peristiwa yang disebut Jurgen Habermas ‘anti
masyarakat komunikatif‘ (uncommunicative society )
Pengertian masyarakat komunikatif menurut Jurgen Habermas, adalah masyarakat yang
bertindak atas dasar intersubjektifitas yang mereka miliki sebagai kekuatan akal budi dalam
tindakan mereka, untuk menghasilkan consensus/kesepakatan atas dasar pertimbangan
kepentingan masyarakat secara umum. Masyarakat komunikatif menurut Habermas, sangat
berbeda dengan masyarakat rasionalitas tradisonal. Kelompok masyarakat yang terakhir ini,
dianggap hanya mendasarkan keputusan pada kepentingan dan pertimbangan seseorang atau
kelompok. Suatu masyarakat yang berada dibawah kunggungan, dominasi penguasa atau
kelompok dominan. Dalam masyarakat ini, individu tidak memiliki otonomi subjekyif sehingga
kecil kemungkinan memiliki kekuatan (power) melakukan tindakan komunikasi senbagai bentuk
dari emansipasi dalam diskursus menghasilkan konsensus.
Kebebasan media, yang hingga saat ini masih berlangsung di Indonesia, masih belum
mampu menciptakan rasionalitas sebagian besar masyarakat Indonesia. Kebebasan media justru
mengekalkan rasionalitas tradisional dan modern, seperti yang dikemukakan oleh Immanuel
Kant dan Hegel. F. Budi Hardiman (hal.6-7) menjelaskan dalam artikelnya “Teori Diskursus dan
Demokrasi, Peralihan Habermas ke Dalam Filsafat Politik” bahwa rasio praktis Filsul Kant
mengacu pada otonomi individu, yaitu pada hakekat yang universal atautidak tergantung pada
konteks sosial dan historis tertentu. Sedangkan Filsuf Hegel, menerapkan kemmapuan subyektif
ini pada arus sejarah dengan mengadaikan bahwa kemampuan subjektif individu itu identik
dengan kemmapuan subjektif suatu bangsa.
Kondisi ini dapat dilihat dari beragam peristiwa politik, sosial budaya, maupun agama
yang disajikan secara terbuka dan terkadang vulgar oleh media massa, baik itu menyangkut
berbagai peristiwa kerusuhan social, demonstrasi, maupun tayangan-tayangan hiburan berbentuk
sinetron ataupun reality show, yang seringkali lebih mengutamakan sisi hiburannya daripada
pengembangan rasionalitas masyarakat dengan alur cerita yang ada. Demikian juga film-film
Indonesia yang banyak mengumbar ‘syahwat’ dan ‘horor atau hantu-hantuan’, yang seakan
menjelaskan bagaimana tingkat rasionalitas masyarakat Indonesia pada umumnya.

Umaimah Wahid Page 2


2. Rasionalitas Manusia dan Otonomi Masyarakat
Konsep rasionalitas sebenarnya bukanlah konsep baru dalam pemikiran ilmiah. Konsep
ini telah muncul semenjak zaman filofof Socrates, Plato serta Ariestoteles pada masa sebelum
masehi. Kemudian dilajutkan oleh para filosof Barat seperti Thomas Hume, Immanuel Kant,
Frederick Hegel, Marx Weber dll. Sedangkan Jurgen Habermas menjelaskan bahwa rasionalitas
merupakan inti dari manusia komunikatif. Rasionalitas menciptakan intersubyektif dan otonomi
manusia dalam berpikir dan bertindak, sekaligus mampu mengembangkan diskursus menuju
mansyarakat komunikatif. Ini berarti bahwa semua proses menuju masyarakat komunikatif
dimulai dengan rasionalitas manusia, yaitu kemampuan akal pikiran manusia dalam berpikir,
menciptakan realitas dalam diskursus dan menghasilkan konsensus bagi kepentingan manusia.
(baca Hardiaman, Menuju Masyarakat komunikatif, 1993)
Manusia adalah makhluk hidup yang memiliki akal pikiran. Dengan kemampuan akal
pikiran tersebut manusia mampu menghasilkan beragam bentuk sistem pemikiran. Pemikiran
adalah aksi (act) atau kerja akal, dan hanya manusia yang mampu memiliki pemikiran. Akal
manusia adalah peralatan manusia yang berfungsi untuk membedakan yang salah dan benar
serta menganalisis realitas yang ada.
Kemampuan akan pikiran sangat tergantung pada luasnya pengalaman serta pendidikan,
baik formal maupun informal. Oleh karenanya akal dapat didefinisikan sebagai salah satu
peralatan ‘kerohaniaan’ manusia yang berfungsi untuk mengingat, menyimpulkan, menganalisis,
menilai apakah sesuatu benar atau salah. Akal pikiran tertinggi manusia adalah akal budi yang
memegang pimpinan realitas akal pikiran manusia. Akal budi merupakan hasil dari proses
berpikir dan kesadaran manusia dalam memikirkan, memahami, menganalisis dan merefleksikan
realitas, termasuk realitas sosial politik.
Proses berpikir adalah suatu pergerakan mental dari satu hal menuju hal lain, dari
proposisi satu ke proposisi lainnya, dari apa yang sudah diketahui ke hal yang belum diketahui.
Karenanya pemikiran merupakan suatu gerak kemajuan, yang kemudian menciptakan momen-
momen urutan, sebelum dan sesudah. Akal dan kemampuan berpikir manusia memberi fungsi
lebih tinggi yaitu kebutuhan manusia terhadap pendidikan, aktualisasi diri, sosialisasi,
menciptakan aturan, sistem, norma dan budaya/peradaban. Hal itu sebagai implikasi bahwa
manusia merupakan makhluk intelek atau manusia adalah makhluk akal budi. (W. Poespoprodjo,
Logika Scientifika, Pengantar Dialektika dan Ilmu.)
Jika melihat realitas masyarakat Indonesia yang terus berkonflik dalam beragam
peristiwa politik pasca reformasi sekarang ini, seperti kehilangan rasionalitas dan akal intelek
mereka dalam menghadapi beragam fenomena, namun cenderung tidak memiliki landasan etis
yang memadai atau bahkan seperti masyarakat yang kurang mengalami perkembangan
rasionalitas akibat proses perkembangan rasionalitas yang tersendat. Masyarakat sangat mudah
melakukan kekerasan fisik dalam penyelesaian konflik dibandingkan berbicara secara otonom
dan rasional.
Aristoteles menyatakan, bahwa manusia telah kehilangan akal inteleknya dan telah
kehilangan ide sebagai bentuk dari kreativitas manusia disebabkan proses memahami dan
menyelesaikan masalah yang cenderung menafikan kemampuan akal pikiran dalam membimbing
tindakan mereka. Bahkan manusia yang lebih memilih tindakan kekerasan dibandingkan dialog
dalam menyelesaikan masalah seperti telah kehilangan akal intelek mereka. Dan kehilangan akal
intelek kerohaniahan tersebut menyebabkan manusia kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya.

Umaimah Wahid Page 3


Dengan kehilangan akal inteleknya, manusia tidak mampu menjadi manusia komunikatif
dalam memahami dan menciptakan realitas sosial mereka dalam beragam bentuk sebagai
implikasi dari kemampuan akal. Kehilangan rasionalitas sekaligus akan mempengaruhi
perkembangan kekuatan-kekuatan produksi, kemajuan dan perluasan kontrol tehnis atau alam
serta proses-proses objektif pada kehidupan sosial. Marx Weber (Hardiaman, 1993),
menyatakan bahwa, rasionalisasi adalah proses perubahan yang dihasilkan oleh meluasnya
rasionalitas dalam masyarakat. Rasionalitas bukan milik komunitas atau masyarakat tertentu,
namun rasionalitas berkaitan dengan perubahan konsep tradisional masyarakat ke konsep modern
yang didasarkan oleh prilaku sosial masyarakat.
Dalam Pandangan Logika menurut Ariestoteles, manusia memiliki dictum
pembeda (differencia) dengan jenis makhluk hidup lainnya yaitu binantang dan tumbuh-
tumbuhan. Perbedaan mendasar tersebut adalah akal pikiran yang memberikan kemampuan
kepada manusia mampu mengembangkan diri sebagai masyarakat dalam sistem yang komplek
dengan cara-cara yang juga komplek. Perbedaan tersebut sekaligus berimplikasi bahwa manusia
mampu menciptakan kebudayaan dan peradaban, baik dalam bentuk material maupun inmaterial.
Sedangkan menurut Abraham Maslow dalam bukunya Motivation and persobality, 1954,
sebagaimana dikutip oleh Myaers and Mayers, 1982 :144, menjelakan ‘hierarchy Needs”
manusia. Hirarkii kebutuhan manusia sebagaimana dinyatakan oleh Maslow adalah a).
Physiological needs, b). Safety needs, c). Social needs, d). Esteem needs dan 5).Self-actuality
needs.
Kebutuhan dasar manusia dan binatang adalah sama, namun akal pikiran menjadi alasan
utama yang membuat kebutuhan manusia melebihi kebutuhan binatang yaitu bukan hanya
berkaitan dengan basic needs, melainkan manusia berkembang untuk memenuhi kebutuhan
lanjutannya sampai ke level tertinggi. Dalam bahasa yang ekstrim, Aristoteles menyebut manusia
sebagai “binatang yang berakal“. Akal pikiran memungkinkan manusia menciptakan rasionalitas
sepanjang sejarah peradabannya. Dan rasionalitas manusia mengalami perkembangan secara
terus menerus dalam proses menciptakan dan menjelaskan peradaban. Sebagaimna proses
pemikiran tokoh-tokoh filsafat/ilmuan yang berupaya menjelaskan rasionalitas manusia, mulai
dari Sorcrates, Arietoteles, Thomas Hume, Immanuel Kants, Hegel, Karl Marx, Tokoh-tokoh
Frankfrut School seperti Hoekheimer, Ardono, dan puncaknya Jurgen Habermas.
Ciri khas teori kriris Mazhab Frankfrurt adalah keyakinan pada kemampuan rasio
manusia untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di dalam kehidupan sosial.
Namun dalam realitasnya, konsep yang dibangun oleh Ardono dan Horkhemeir ini telah gagal
menjawab sebagian masalah sosial manusia. Penyebabnya adalah terjadinya penyempitan akal
budi manusia menjadi melulu soal-soal teknis dan instrumental, sekaligus berkurangnya
kemampuan kritis manusia. (watimena, hal 1) Menurut Jurgen Hebermas, konsep rasional
menjadi ciri hakiki sebuah tindakan sosial seperti tindakan manusia dalam dunia luar dirinya,
baik dalam alam dan masyarakat. Rasionalitas ini juga yang menghasilkan tindakan komunikatif
manusia. Tindakan komunikatif manusia yaitu tindakan manusia yang dilakukan dengan penuh
kesadaran dan tanggung jawab serta mempertimbangkan realitas secara keseluruhan sebagai
bagian dari penciptaan rasionalitas manusia, termasuk manusia Indonesia.
Berdasarkan pandangan Habermas ini, maka masyarakat Indonesia, masih sangat jauh
dari masyarakat rasional yang mampu menghasilkan akal intelek untuk menentukan proses
produksi, sosial dan perubahan masyarakat. Masyarakat Indonesia masih dapat dikatakan

Umaimah Wahid Page 4


sebagai masyarakat tradisional dalam kemampuan akal dan intelek mereka, namun terbungkus
oleh perilaku “import” modern yang hakekatnya hanya menjadi duplikasi atas realitas yang ada,
namun sangat sedikit yang memiliki kemampuan rasional dengan kesadaran dan otonomi
komunikasi.
Habermas membedakan dunia dimensi dalam praktis hidup manusia yaitu: 1). Akal
rasional dan 2). Interaksi atau komunikasi. Rasionalitas adalah nilai normatif, nilai pada saat
orang menyelesaikan masalah, moral praktis, dan mengadakan sistematis pandangan-pendangan
dunia dan berkaitan dengan logika (sistematika bahasa-pemikiran). Moral praktis dan prinsip-
prinsip etis yang menurut Habermas) bersifat praktis berkaitan dengan tindakan. Sementara
Thomas Garret menyatakan bahwa seseorang menjadi lebih ‘sejati’ jika prilakunya lebih
berkesadaran dan reflektif. (Hardiaman, 2008:2)
Akal dan rasionalitas harus berkaitan dengan ekspresi sosial manusia, sementara prilaku
sosial modern berhubungan dengan rasionalitas manusia sebagai pelaku tindakan sosial.
Rasionalitas ini mempengaruhi konsep dan prilaku komunikasi seseorang atau sebuah
komunitas. Rasionalitas manusia menurut Habermas mampu menciptakan ”kompetensi
komunikasi” (Lihat Hardiaman, 1990). Kompetensi komunikasi adalah prasyarat bagi
masyarakat komunikatif yang merupakan masyarakat yang tidak mengalami kekakuan berpikir,
atau masyarakat yang memiliki otonomi intersubjektif.
Otonomi dan emansipasi dalam masyarakat komunikasi memerlukan kekuatan (power)
sebagai refleksi individual. Habermas menjelaskan (Littlejohn, 199:231) bahwa kekuasaan
membutuhkan rasionalitas, yaitu rasionalitas power. Rasionalitas power merupakan refleksi diri
(self-reflection). Refleksi diri yang berkaitan dengan kekuasaan ini, menurut penulis merupakan
otonomi individu ataupun group, dan juga masyarakat dalam berkomunikasi. Otonomi
diperlukan untuk melawan distorsi komunikasi yang sangat mungkin terjadi karena relasi
kekuasaan (power relation) yang tidak seimbang, karena alasan tersebut, maka rasio
komunikatif menjadi sangat penting untuk dikembangkan dalam masyarakat guna menghindari
klaim-klim kesahihan yang tidak fair dan penuh paksaan.
Media massa, terutama televisi, menurut aliran kritis telah menciptakan kebekuan
berpikir pada masyarakat. Hal sama terjadi dalam masyarakat Indonesia, yang cenderung
menjadikan tontonan sebagai satu-satunya sumber informasi tanpa menelaah ulang nilai-nilai
rasionalitas yang terkandung didalamnya. Kebekuan tersebut kemudian mematikan nilai
kreativitas, sebagai implikasi logis dari akal dan kemampuan pemikiran masyarakat. Hal ini pada
akhirnya menghilangkan otonomi komunikasi, yang berujumg pada hilangnya kompetensi
komunikasi masyarakat dalam proses memunculkan tindakan komunikasi dalam interaksi
sehari-hari. Kebekuan berpikir masyarakat memberi implikasi pada tidak adanya otonomi
intersubyektif. Hilangnya otonomi merupakan suatu yang sangata berbahaya dalam konsep
masyarakat komunikatif Habermas, karena pada dasarnya otonomi intersubyektif-lah yang
mampu melahirkan klaim-klaim kesahihan dalam diskursus yang berlangsung sebagai proses
untuk melahirkan konsensus.
Otonomi intersubjektif membutuhkan tindakan komunikasi guna menciptakan
diskursus/argumentatif dalam masyarakat berkaitan dengan interaksi politik, sosial budaya dll.
Perlu kritik mendasar dan menyeluruh untuk mengubah situasi kebekuan dalam masyarakat yang
salah satu caranya adalah dengan menumbuhkan konsep emansipasi. Sulaiman Djaya dalam
Habermas On Constitutional Democracy On Public Sphere”, (hal.1) menjelaskan bahwa
Habermas menggunakan spirit emansipasif dalam ihktiarnya memberikan kerangka institusi
ruang publik demokrasi yang didasarkan kesetiaan pada konstitusi. Hal ini merupakan hasil dari

Umaimah Wahid Page 5


diskursus bersama dengan mekanisme komunikatif yang sejajar, bebas dan tanpa dominasi.
Habermas mengingatkan bahwa emansipasi mestinya dimengerti sebagai suatu pengalaman diri
yang terkait dengan suatu peningkatan otonomi, yaitu emansipasi yang dirangsang oleh situasi
demokratis dalam diri individu. Emansipasi bukan terbentuk dari pengalaman yg luar biasa,
namun merupakan pengalaman sehari-hari dari interaksi masyarakat komunikatif dalam upaya
memunculkan saling memahami guna menciptakan konsensus.
Rasionalitas hanya dimiliki oleh manusia, sebab hanya manusia yang memiliki akal
sehingga manusia dapat/mampu mengembangkan pikiran mereka menuju sebuah budaya dan
peradaban. Akal pikiran juga memberikan implikasi logis kepada manusia untuk menciptakan
sebuah tatanan baru yang kompleks secara kontinyu. Artinya sepanjang sejarah manusia, akal
rasionalitas terus berkembang, baik dari sisi ilmu pengetahuan, budaya, sosial kemasyarakatan,
sistem politik, maupun komunikasi serta media massa.
Rasionalitas manusia bagi Habermas tampak pada kemampuan dalam berkomunikasi
melalui bahasa. Bahasa adalah media rasionalitas yang memungkinkan manusia berkomunikasi
untuk mencapai saling pengertian bersama. Kelangsungan komunikasi sebagai bentuk praktis
rasionalitas manusia harus memenuhi syarat terlebih dahulu, yakni bahwa proses komunikasi
dilakukan di dalam suasana kebebasan dan kesetaraan antara subyek. (Watimena, 8) Suasana
kebebasan dan tanpa paksaan diperlukan untuk membangun masyarakat komunikatif. Menurut
Habermas, masyarakat tidak dapat dibangun dengan rasionalitas tradisional yang hanya
mementingkan pihak-pihak atau kelompok tertentu yang menempatkan masyarakat hanya
sebagai objek politik dan sosial, melainkan melalui rasionalitas komunikatif. Masyarakat
modern sebelumnya dianggap mampu mengubah peradaban manusia ke arah rasionalitas,
ditandai dengan berkembangnya sistem, struktur dan makanisme kehidupan sosial, budaya dan
politik secara teratur.
Tatanan yang menciptakan kapitalisme modern dalam semua sektor kehidupan tersebut
ternyata menurut Habermas tidak mampu menjawab masalah masyarakat terutama dalam politik.
Kemampuan masyarakat modern dalam menciptakan sistem dan struktur yang mapan bagi
sebuah peradaban manusia modern justru dipandang Habermas sebagai upaya membangun
kekakuan baru bagi rasionalitas manusia. Dalam uapaya mendobrak kekakuan yang dihasilkan
oleh rasionalitas tradisional menurut Habermas adalah dengan diskursus (Hardiaman,2008: 2).
Teori Diskursus menawarkan sebuah radikalisasi prosedur komunikasi politik untuk mencapai
konsensus dasar yang memperkokoh integritas masyarakat dan negara. Akal budi, moral dan
demokrasi harus berhubungan timbal balik secara setara di dalam komunikasi-komunikasi.
Teori Diskursus mengenai kehidupan bersama secara politis menghendaki radikalisasi pada
prosedur.
Dalam rangka mencapai konsensus, sebagaimana yang dijelaskan Habermas, memang
memerlukan sebuah proses argumentasi kritik terhadap persoalan-persoalan yang ada di dalam
masyarakat. Artinya dalam menyelesaikan dan mencari solusi terhadap persoalan yang ada tidak
cukup mengandalkan pertimbangan ilmu dan etika yang ada. Dalam konsep rasionalitas
Habermas, masyarakat harus terlibat secara aktif dalam proses pergulatan diskursus tersebut.
hasil dari pergulatan ini kemudian menghasilkan konsensus yang dapat diterima secara sadar
dan fair oleh masyarakat.

Umaimah Wahid Page 6


Salah satu pertimbangan yang diperlukan dalam proses menuju masyarakat komunikatif
adalah apa yang disebut Habermas dengan Rasio Proseduralistis. Rasio procedural merupakan
rasio yang harus dimiliki dalam proses menciptakan diskurus di antara masyarakat dalam
menyelesaikan atau mengambil consensus. Tanpa prosedur yang jelas, proses komunikasi hanya
akan menjadi milik pihak tertentu, yang memungkinkan terjadinya paksaan dan satu arah. Oleh
karena itu menurut Hardiaman (2008, hal.4) diperlukan perubahan paradigma teori komunikasi
yang tidak lagi memahami subjektivitas sebagai subyek yang terisolasi, ditandai dengan paksaan
dan manipulasi objek-objek yang berdiri di hadapannya. Sebaliknya, paradigm Habermas
menyarankan upaya memahami subjektivitas dan pengetahuan sebagai hasil proses komunikasi
intersubjektif. Rasio prosedural diperlukan dalam upaya mencapai konsensus akibat kegagalan
rasio-rasio modern sebelumnya yang terlalu objektif dan tidak mempertimbangkan subjektivitas
manusia. Menurut Habermas (Budi Hardiaman, 2008 : 5), rasio yang dimengerti secara esensial
telah gagal dalam sejarah pemikian barat, namun bukan berarti rasio tdk dapat dipercaya lagi.
Lebih lanjut dinyatakan, sebagai alternatif untuk memahami rasio dalam model filsafat
intersubjektif Habermas yang mendefinisikan rasio sebagai “menggugat dirinya sendiri”, yaitu
rasio, yang selama ini terlalu objektif dan subjektif individual, harus mempertanyakan diri
sendiri apakah rasio tersebut telah memadai untuk menjelaskan dan menjawab persoalan-
perasoalan masyarakat di era sekarang ini. Masyarakat telah berubah dengan cepat didorong oleh
media massa sebagai medium transformasi informasi dalam beragam bentuk, telah
mengakibatkan perubahan-perubahan paradigma di tengah masyarakat. Realitas objektif tersebut
menuntut pola pikir atau rasio baru yang tidak lagi objektif, namun rasio bentuk baru yaitu rasio
komunnikatif Habermas dalam Teori Tindakan Komunikatif (lihat Hardiaman, 1993).
Dengan kata lain, rasionalitas sebelumnya telah mengami krisis dan berdasarkan
pertimbangan paradigma dan teori kritikal harus mengalami kritik secara terbuka. Rasionalitas
baru diperlukan untuk memahami dan menyelesaikan masalah sosial politik masyarakat dewasa
ini. Rasionalitas yang diperlukan adalah rasionalitas komunikatif yang ditawarkan oleh Jurgen
Habermas. Rasionalitas komunikatif merupakan rasionalitas yang memberikan kebebasaan
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses diskursus/argumentatif
guna menghasilkan pemahaman bersama yang diterima bersama tanpa paksaan yang
dinamakan konsensus.
Reza Watimena dalam artikelnya ‘Habermas dan masyarakat Komunikatif” menjelaskan
bahwa masalah sosial sepatutnya diselesaikan melalui rasionalitas komunikasi. Raisonalitas
komunikatif yang merupakan dasar dari semua proses pembebasan di dalam masyarakat yang
tercengkeram oleh krisis sosial masyarakat moden. Selanjutnya, Habermas dalam Theories des
kommunikative Handelns, memahami rasio komunikatif dalam hubungannya dengan konsep
tindakan sosial. Tindakan sosial (Hardiman, 2008:10), dipandang sebagai unsur dasar pembentuk
masyarakat. Masyarakat dipahami dari tindakan sosial tersebut. Melalui tindakan sosial-lah,
manusia dapat memahami masyarakat sebagai sesuatu yang komplek. Berkaitan dengan hal itu,
Habermas mengembangkan sebuah konsep tindakan sosial untuk mengembangkan masyarakat.
Tindakan sosial inilah yang merupakan tindakan komunikatif dan syarat menuju masyarakat
komunikatif.

3.Tindakan Komunikatif

Umaimah Wahid Page 7


Teori tindakan komunikatif merupakan sikap kritis masyarakat atas realitas sosial
budaya, politik dll. sebagai upaya menciptakan otonomi atau refleksi individu serta berani
menyatakan klaim-klaim mereka sebagai diskursus menuju konsensus. Salah satu sikap kritis
yang harus tumbuh dalam masyarakat adalah sikap emancipatory, yaitu partisipasi equal setiap
individu anggota masyarakat untuk berani menyatakan klaim-klaim kesahihan mereka
berkomunikasi. (lihat Littlejohn, 1995:232-233)
Tindakan sosial dalam masyarakat adalah mutlak bagi konsep masyarakat komunikatif.
Tanpa tindakan sosial, termasuk tindakan komunikatif dalam politik, maka diskursus tidak
mungkin berlangsung.Tindakan sosial ini merupakan tindakan pragmatik dalam masyarakat yang
merupakan landasan perkembangan dalam sebuah masyarakat. Namun tetap saja dalam tindakan
sosial ini, sebagaimana konsep masyarakat komunikatif dan rasio procedural, bukanlah tindakan
sepihak, melainkan tindakan bersama-sama dalam suatu masyarakat. Tindakan sosial dapat
merupakan klaim-klaim kebenaran dan menjadi pertimbangan dalam memunculkan pemahaman
bersama dalam proses komunikasi yang berlangsung.
Dalam proses komunikasi, proses seperti diatas merupakan proses komunikasi sirkuler,
yaitu proses komunikasi yang mensyaratkan keterlibatan banyak pihak untuk menyatakan
pendapat mereka dalam proses komunikasi. Namun dalam esensinya, proses komunikasi sirkuler
belum tentu melibatkan keterlibatan individu seluas-luasnya atau intersubyektif. Ini berarti,
proses komunikasi sirkuler digunakan hanya untuk menyatakan bahwa proses komunikasi harus
melibatkan semua komponen dalam tindakan komunikasi, namun tetap ada yang mengendalikan.
Sedangkan dalam tindakan komunikasi masyarakat komunikatif, tindakan sosial dalam
proses komunikasi dikendalikan oleh individu sebagai anggota masyarakat secara otonom.
Manusia harus memiliki otonomi penuh untuk memahami proses komunikasi tanpa paksaan dan
fair agar mampu melahirkan konsensus. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka kritik adalah
suatu kemestian untuk mengubah rasionalitas masyarakat dalam tindakan sosial. Teori kritis
memberikan ruang sebesar-besarnya sebagaimana yang dinyatakan dalam konsep Habermas
mengenai pentingnya manusia komunikatif dalam tidakan sosial. Menurut Reza Watimena
(hal.7), teori kritis menegaskan pentingnya aspek intersubjektif dari manusia. Artinya
pengembangan diri yang maksimal hanya dapat terwujud, jika subjek selalu berada di dalam
relasi dengan subjek-subjek lainnya. Jika setiap manusia memiliki intersubjektivitas di dalam
dirinya, maka akan tercipta kerja sama atas level sosial yang sungguh didasari oleh solidaritas.
Habermas menyakini bahwa tindakan antar manusia atau interaksi sosial dalam
masyarakat tidak terjadi secara semena-mena, melainkan pada dasarnya bersifat rasional. Sifat
rasional tindakan ini tampak dalam tindakan manusia. Bagi Habermas, hal ini mengandung
pelajaran bahwa para aktor atau para pelaku komunikasi dalam masyarakat mengorientasikan
pada pencapaian pemahaman satu sama lain. Kata pemahaman (verstandigung) pada Hebermas
memiliki suatu spectrum arti, yang bermakna “Vestehen”, atau juga berarti persetujuan
(Einverstandnis) atau konsensus (Hardiaman, 2008: 10)
Konsep rasio antara manusia bersifat rasional, karena tindakan berorientasi pada
konsensus, yaitu tindakan komunikatif. Jadi konsep rasio komunikatif mengacu pada rasionalitas
yang secara potensial terkandung di dalam tindakan komunikasi. Rasio komunikatif diperoleh
dari pemahaman dan perdebatan dengan subyek-subyek lainnya dalam suatu perdebatan.
Habermas mensyaratkan tidak ada campur tangan kekuasaan dalam proses ‘peradilan”. Jadi

Umaimah Wahid Page 8


semua klaim, termasuk klaim rasio harus diperoleh tanpa paksaan, oleh karena itu procedural
sangat penting agar subyek-subyek dapat menyatakan klaim-klaim mereka secara terbuka.
Rasio prosedural inilah yang merupakan konsep rasio komunikatif. Mekanisme
pemeriksaaan secara intersubyektif dan prosedural yang dapat diterima secara intersubyektif
adalah syarat-syarat formal yang mengandung rasio prosedural. (Hardiaman,9). Rasio
komunikasi berhubungan dengan tindakan praktis dan masyarakat.Tindakan sosial dipandang
sebagai unsur dasar pembentuk masyarakat. Habermas mengembangkan konsep masyarakat
dengan menggunakan paradigma komunikasi.
Bahasa sangat penting untuk menumbuhkan pemahaman dalam interaksi. Rasio
komunikatif mengarahkan seluruh proses memakai bahasa, ungkapan-ungkapan non-verbal dan
pengambil-alihan perspektif orang lain diantara peserta diskursus akhirnya berada dalam
pemahaman yang sama. Jadi dalam proses komunikasi masyarakat komunikatif, adanya
rasionalitas yaitu rasio komunikatif merupakan suatu keharusan. Menurut Ritzi Khairunnisa
(hal.1), sifat rasional tindakan mengacu arti konsep, berorientasi pada konsensus dan itu artinya
tindakan komunikatif. Jadi tindakan yang mengarah kepada konsensus adalah tindakan
komunikatif. Upaya yang dilakukan adalah untuk mengerti dan membimbing konsensus, bukan
hanya sekedar menghasilkan tindakan komunikasi sebagai perwujudan emansipasi.
Emansipatori membantu masyarakat untuk mencapai otonomi dan kedewasaan dan
otonomi kolektif berhubungan dengan konsensus yang dapat dicapai dengan “klaim-klaim
kesahihan (validity clams). Klaim-klaim kesahihan dipandang rasional dan akan diterima tanpa
paksaan sebagai hasil konsensus (lihat Litteljohn, 1999: 232-233). Dalam The Theory of
Communication Acton, Habermas menyatakan terdapat macam klaim, yaitu :
1. Klaim kebenaran (truth) yaitu kesepakatan tentang dunia alamiah dan objektif.
2. Klaim ketepatan (rightness), yaitu kesepakatan tentang norma-norma dalam dunia sosial.
3. Klaim autentitas atau kejujuran (sincerity), yaitu ketepatan tentang kesesuaian antara
dunia bathiniah dan ekspresi seseorang.
4. Klaim kompherensibilitas (comprehensibility, dicapai apabila kita telah mencapai
kesepakatan klaim-klaim di atas.

Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan komunikasi melalui


kekerasan, melainkan masyarakat yang mencapai konsensus melalui argumentasi/diskursus.
Diskursus dicapai melalui tindakan sosial dalam interaksi sosial. Interaksi sosial ditandai oleh
konsensus yang dicapai secara rasional dan bebas tekanan serta tanpa paksaan dan kekerasan.
Percakapan juga dapat dinyatakan sebagai medium kekuasaan (Hardiaman, 11). Metode
pencapaian persetujuan juga dilakukan secara intersubjektif atau consensus dan mempengaruhi.
Konsensus dibentuk melalui pengetahuan bersama yang diterima secara intersubjektif.
Komunikai memang menjadi tema utama filsafat Habermas, terutama komunikasi di dalam
proses pembentukan hukum dan tata politik yang sah. Komunikasi mengadaikan konsep subjek
yang bersifat intersubjektif. Artinya konsep subyek selalu terkait dengan subjek-subjek lainnya,
dan btidak pernah berdiri sendiri. (Watimena, 6)

Umaimah Wahid Page 9


Menurut Habermas, proses komunikasi harus terjadi dalam diskursus yang
mensyarakatkan keterlibatan atau emansipasi (emancipatory) anggota masyarakat yang memiliki
kebebasan dan keberanian untuk menyampaikan klaim-klaim kebenaran yang mereka miliki.
Habermas sangat menolak proses komunikasi searah, atau komunikator sebagai pihak yang
powerfull atau memiliki kekuatan secara sepihak yang kemudian menyampaikan semua bentuk
pesan kepada khalayak tanpa melibatkan anggota masyarakat dalam proses komunikasi yang
berlangsung.
Proses komunikasi searah ini menyebabkan rasionalitas tradisional tidak mampu lagi
menjawab segala persoalan-persoalan sosial politik yang ada di tengah masyarakat, komunikator
tersebut hanya mempengaruhi masyarakat dalam tindakan sosial, dan itu sangat tidak
intersubyektif karena menempatkan khalayak atau masyarakat sebagai objek semata. Menurut
Hardiaman (2008:11), proses mempengaruhi bertitik tolak pada keyakinan monologis yang
dianggap tepat dan benar oleh seseorang tanpa pengakuan orang lain. Yang digunakan bukan
lagi alasan-alasan rasional, melainkan sukses atau efek dari tindakan mempengaruhi yang
dilakukan. Ini yang dinyatakan sebagai “konsep tindakan strategis”, yakni tindakan yang
berorientasi pada keberhasilan. Tindakan strategis mengadaikan bahwa orang-orang mengerti
ungkapan-ungkapan dan juga dapat menjelaskan pendapatnya. Dan ini bukan metode tindakan
komunikatif dikarenakan adanya ketidakkesetaraan dan ketimpangan power dalam proses
komunikasi antara komunikator dan komunikas/masyarakat.
Tindakan komunikasi dihasilkan dengan interaksi sehari-hari dalam dunia-kehidupan dan
sistem. Dunia–kehidupan juga dipelihara melalui tindakan komunikatif. Sistem membentuk
jaringan-jaringan komunikasi (Hardiaman, 14). Dunia kehidupan yang merupakan tindakan atau
peristiwa sehari-hari tetap diperlukan untuk memahami proses komunikasi dalam beragam
peristiwa dalam kehidupan. Tindakan komunikasi merupakan refleksi dari otonomi individu
dalam interaksi sosial dan politik. Keberanian menyatakan klaim-klaim kesahihan inilah yang
merupakan kekuatan dalam menciptakan diskursus dalam memahami persoalan-persoalan yang
ada untuk mencapai diskursus. Diskursus dalam proses komunikasi membutuhkan ruang publik
yang seluas-luasnya serta dengan keterlibatan sebanyak mungkin khalayak/masyarakat di
dalamnya.
Menurut Irwan Malik Marpaung dalam artikelnya Habermas dan Masyarakat
Komunikatif (2010: 1) bahwa dalam proses memahami tindakan dan melahirkan tindakan
komunikasi bahasa menjadi sangat penting dalam proses tersebut. Lebih lanjut Malik menjelakan
bahwa bahasa yang dipergunakan juga mengarah pada upaya pemahaman tindakan berdasarkan
rasio komunikatif. Rasio komunikatif mengarahkan seluruh proses memakai bahasa, ungkapan-
ungkapan non-verbal dan pengambil-alihan perspektif orang lain sehingga kita dan orang lain
dalam akhirnya berada dalam pemahaman yang sama. Bahasa sebagai sarana komunikasi yang
diperlukan dalam melahirkan tindakan komunikasi dalam suatu masyarakat.
Littlejohn, 230, menyatakan bahwa Jurgen Habermas sebagai Pemikir aliran Kritis
Frankfrurt yang paling fenomenal, melalui Teori Universal Pragmatis dan Transformasi
masyarakat yang menjelaskan pandangan kritis mengenai komunikasi dan masyarakat.
Habermas menjelaskan konsep bahwa untuk memahami masyarakat dapat dipahami dari
gabungan dari tiga hal utama yaitu : 1). Works, 2), interaction dan 3). Power. Konsep kerja
(work) berkaitan dengan upaya untuk menciptakan sumber-sumber material, berkaitan dengan
proses objektif dan kerja didasarkan pada apa yang disebut hal-hal yang berkaitan dengan

Umaimah Wahid Page 10


teknikal (a technical interest). Point kedua yaitu interaction, yaitu berkaitan dengan penggunaan
bahasa atau beragam simbol-simbol lainnya dalam komunikasi. Interaksi diperlukan dalam
kerjasama diantara beragam komponen yang ada dalam proses interaksi dan melalui bahasa dan
simbol-simbol komunikasi lainnya untuk meneguhkan dalam masyarakat. Konsep ini dinamakan
oleh Habermas “the practical interest”. Yang ketiga yaitu power, kekuasaan didistribusikan
melalui proses dan kebijakan sosial yang ada. Kekuasan memungkinkan munculnya distorsi
komunikasi, yang diakibatkan oleh ideologi dominan dalam proses komunikasi. Karenanya
power disebut “emancipator interest”.
Habermas juga sepakat bahwa untuk mengembangkan komunikasi terbuka membutuhkan
masyarakat yang terbuka pula. Tidak ada aspek kehidupan yang bebas dari tiga kepentingan
yang sudah dijelaskan sebelumnya. Keseimbangan ketiga faktor dalam masyarakat diperlukan
dalam rangka mengembangkan masyarakat yang memiliki emansipasi yang bebas dari tekanan
dan dominasi dimana setiap ornag memiliki kesempatan yang sama (equal opportunity) untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Habermas (Littlejohn, 232) bahwa
public sphere yang kuat sangat diperlukan untuk memelihara keseimbangan tersebut.
Komunikasi merupakan konsep yang esensial untuk beremansipasi, termasuk partisipasi aktif
dalam proses pembuatan kesputusan

4.Diskursus, Media Massa Dan Public Sphere


Jurgen Habermas (littlejohn,1995:233) menggunakan term discourse untuk
menggambarkan bentuk komunikasi khusus yang diperlukan pada saat suatu
pendapat/argument mendapat tantangan. Discourse menurut Habermas, bukan bentuk
komunikasi biasa, melainkan sebuah argument sistematik yang secara khusus dibuat untuk
mendemontrasikan validitas dari suatu klaim yang muncul atau dimunculkan oleh seseorang.
Menurut Habermas yang disebut ‘an ideal speech situation’ adalah:
1. Ideal speech situation requires freedom of speech
2. All individuals must have equal access to speaking.
3. The norms and obligation of society are not one-sides but distribute power equality to
all strata in society.

Kebebasan memberikan ruang bagi berlangsungnya emansipasi komunikasi


(emancipatory communication (Littlejohn, 1995:233) yang merupakan level paling tinggi dari
bentuk discourse. Emansipasi komunikasi dalam diskursus inilah yang merupakan esensi dari
proses transformasi dalam masyarakat. Dengan kata lain, emansipasi komunikasi mampu
menciptakan argumentasi terhadap persoalan-persoalan yang muncul di tengah masyarakat.
Habermas berasumsi bahwa sehari-hari masyarakat hanya melakukan aktivitas biasa
tanpa ada pertanyaan mengenai kehidupan dunia mereka. Dapat saja seseorang atau sekelompok
masyarakat bekerja, sekolah dll, namun aktivitas tersebut hanya berada pada level melahirkan
objek-objek biasa dalam kehidupan, tidak ada perubahan dan pencerahan yang dilakukan,
melainkan semua aktivitas hanya didasarkan atau merujuk pada aturan dan ketentuan yang sudah

Umaimah Wahid Page 11


ada. Objektivitas biasa tidak mampu melahirkan tindakan komunikasi yang mengarah pada
upaya menghasilkan konsensus.
Tidak adanya tindakan komunikatif, disebabkan juga tidak memadainya rasio
komunikatif pada masyarakat yang menyebabkan masyarakat mengalami dominasi atau
terkungkung dalam power pihak tertentu. Masyarakat yang tidak mempunyai kesetaraan power
berakibat pada ketergantungan masyarakat pada pihak-pihak tertentu termasuk penguasa
termasuk media massa. Kondisi ketidaksetaraan power ini disebut oleh Habermas sebagai bentuk
kolonialisasi (colonialization). Oleh karenanya membutuhkan upaya kritik dan refleksi yang
mendasar untuk menjawab masalah-masalah sehari-hari yang telah mematikan tindakan
komunikatif masyarakat.
Media massa selama ini dikelola sebagai industri dengan profit oriented. Ideologi
kapitalisme tersebut membuat media lebih berpihak pada kepentingan yang lebih
menguntungkan dari pada mempertimbangkan kepentingan dan tanggung jawab sosialnya.
Situasi ini salah satunya akibatk keharusan media tersebut untuk dapat bertahan dari sisi
financial.
Karakteristik media massa seperti :

 Komunikasi berlangsung satu arah


 Komunikator bertindak atas nama lembaga dan pesan-pesan yang disampaikan
merupakan hasil kerja sama
 Pesan-pesan bersifat umum (untuk orang banyak)
 Menciptakan keserempakan
 Komunikan bersifat heterogen
 Komunikasi massa mengandalkan peralatan teknis
 Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper

Karakteristik massa dalam hubungannya dengan ilmu komunikasi adalah sebagai refleksi
masyarakat massa sangat relevan karena biasanya dihubungkan dengan sekelompok orang dalam
jumlah banyak yang disebut juga khalayak ( audiens). Khalayak pada awalnya, sebelum media
massa ada, audiens adalah sekumpulan penonton drama, permainan dan tontonan. Setelah ada
kegiatan komunikasi massa, audiens sering diartikan sebagai penerima pesan-pesan media
massa. Selain itu Gebner (dalam Boyd & Barett, 1995) komunikasi massa berlandaskan kepada
teknologi dan lembaga, merupakan produksi massaa dan distribusi pesan publik paling luas
dalam masyarakat industri dan dilakukan secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu.).
Dengan kata lain, komunikasi massa adalah proses penyebaran informasi yang dilakukan oleh
suatu kelompok sosial tertentu dengan menggunakan teknologi kepada pendengar atau hadirin
yang luas dan heterogen serta tersebar di mana-mana.
Dominasi komunikator termasuk media sebagai komunikator yang melembaga cenderung
beroperasi atas pertimbangan yang menguntungkan bagi organisasi media dan acapkali jarang
mempertimbangakan khalayak atau masyarakat sebagai audiens media massa. McQuail (1987)
menyebutkan beberapa konsep alternatif tentang audiens sebagai berikut:

Umaimah Wahid Page 12


 Audiens sebagai kumpulan penonton, pembaca, pendengar, pemirsa. Konsep audiens
diartikan sebagai penerima pesan-pesan dalam komunikasi massa, yang keberadaannya
tersebar, heterogen, dan berjumlah banyak. Pendekatan sosial budaya sangat menonjol
untuk mengkaji konsep ini.
 Audiens sebagai massa. Konsep audiens diartikan sebagai suatu kumpulan orang yang
berukuran besar, heterogen, penyebaran, dan anomitasnya serta lemahnya organisasi
sosial dan komposisinya yang berubah dengan cepat dan tidak konsisten. Massa tidak
emiliki keberadaan(eksistensi) yang berlanjut kecuali dalam pikiran mereka yang ingin
memperoleh perhatian dari dan memanipulasi orang-orang sebanyak mungkin. McQuail
menyatakan bahwa konsep ini sudah tidak layak lagi dipakai.
 Audiens sebagai kelompok sosial atau publik. Konsep audiens diartikan sebagai suatu
kumpulan orang yang terbentuk atas dasar suatu isyu, minat, atau bidang keahlian.
Audiens ini aktif untuk memperoleh informasi dan mendiskusikannya dengan sesama
anggota audiens. Pendekatan sosial politik sangat menonjol untuk mengkaji konsep ini.
 Audiens sebagai pasar. Konsep audiens diartikan sebagai konsumen media dan sebagai
audiens (penonton, pembaca, pendengar, atau pemirsa) iklan tertentu. Pendekatan sosial
ekonomi sangat menonjol untuk mengkaji konsep ini.

Sebaliknya dalam pandangan paradigma dan teori kritis termasuk Mazhab Franfrurt
School, media bukanlah lembaga yang ‘bersahabat’ bagi masyarakat. Media pada satu sisi
memang diakui dapat membuka peluang baru bagi masyarakat, namun media pada hakekatnya
tetap lebih membela kepentingan organisasi dan pemilik media dibandiungkan kepentingan
masyarakat.
Dalam pandangan paradigm kritis atau Frankfrurt school media massa dipandang sebagai
alat yang memiliki kekuatan sentral (powerfull) dan sangat dipengaruhi oleh ideologi dominan
seperti sistim politik, ekonomi dan budaya perusahaan. Pengaruh ideologi dan sistem
kepercayaan (system belief) media mempengaruhi proses produksi, skala produksi dan difusi
komunikasi. Skala produksi dan difusi komunikasi adalah aktivitas yang selalu dilakukan media
dengan segala perangkat di dalamnya yang berakibat pada ketergantungan media terhadap
khalayak mereka dan sebaliknya ketergantungan khalayak terhadap media massa.
Pandangan ini merupakan perkembangan paradigma dari paradigma media centris
bergeser kepada paradigm teori media massa yang berorientasi social centris. Seiring dengan
perkembangan dinamika zaman telah berlangsung perubahan paradigma teori komunikasi dalam
media massa, dimana media sudah mempertimbangkan khalayak sebagai suatu yang sangat
penting dalam proses produksi dan kebijakan media. Perubahan paradigma tersebut, tidak
mengubah asumsi Marxist terhadap hubungan media massa dengan khalayak, yaitu media tetap
dipandang sebagi institusi yang powerfull dibandingkan masyarakat. Masyarakat tetap terikat
dan belajar dengan media, bahkan dalam beberapa kasus justru memiliki ketergantungan lebih
bagi masyarakat modern, dimana fungsi informasi bukan lagi sekedar penunjang aktivitas
anggota masyarakat, melainkan sudah menjadi kebutuhan primer. Masyarakat menjadi sangat
tergantung pada informasi dalam segala bentuk kehidupan mereka, bahkan pada persoalan-
persoalan pribadi sekalipun.
Dalam masyarakat kontemporer, informasi adalah bagian sangat penting dan
ketergantungan terhadap informasi sangat tinggi untuk memahami dunia dan segala aspek

Umaimah Wahid Page 13


didalamnya. Media, dalam situasi ini, sekaligus mengkonstruksi dunia sesuai dengan realitas
yang dipahami, dan dalam beberapa hal juga diingini, oleh media dan pengelola media. Media
massa berperan tidak hanya sebagai sarana untuk memperoleh informasi tentang suatu hal, tetapi
media saat ini telah menjadi anggota keluarga yang terkadang kehadiran media sangat dinantikan
dan kebutuhan terhadap media massa dan informasi yang sangat tinggi dan mendominasi
aktivitas masyarakat menyebabkan media massa dan informasi terkadang menjadi lebih dekat
dari anggota keluarga yang lain.
Media mampu menyediakan beragam informasi yang dibutuhkan dan menentukan
pembentukan realitas, pemikiran dan pandangan tertentu tentang dunia dan realitas sosialnya
(Fenton, dalam Taylor,edt., 1999:297). Lebih lanjut dijelaskan oleh Jenny Kitzinger (dalam
Greg Phillo, edt, 1999:16), bahwa media memperkenalkan orang pada fakta, fase-fase kehidupan
dan sejarah dunia atau image yang kesemuanya terkadang menjadi satu serta menjadi alat yang
sangat efektif untuk mengetahui keakuratan informasi yang disajikan. Media massa bukan lagi
sekedar alat penyampaian informasi, akan tetapi sudah menjadi instrumen yang sangt
mempengarugi kehidupan masyarakat, dimana ketergantungan terhadap media sudah sangat
tinggi.
Media adalah bagian dari industri budaya yang terikat dengan sistem komunikasi
masyarakat yang dikelola sebagai sebuah organisasi industri yang memiliki kepentingan dan
kecenderungan tersendiri. Kepentingan dan kecenderungan media ditentukan oleh sistem sosial,
ekonomi, budaya dan politik lingkungan media tersebut menentukan konstruksi kerangka pikir,
kerja dan prilaku mengelola media dan media massa. Pemikiran tersebut menimbulkan
pertanyaan mengenai apakah media menggambarkan dunia sebagaimana fakta dan peristiwa
(keadaan dunia), berdasarkan pikiran manusia khalayak media atau media menciptakan
pemahaman sendiri atas dunia berdasarkan kecenderungan pemahaman organisasi dan pengelola
media. Pertanyaan diatas muncul karena media massa sebagai sebuah oraganisasi yang memiliki
sistem organisasi media adalah sub sistem dari sistem politik, sistem budaya dan ideologi sebuah
negara. Dan sebagai sebuah institusi yang memiliki sistem ideologi, media tidak mungkin tidak
dipengaruhi oleh makna-makna organisasi media yang juga dipengaruhi oleh nilai-nilai dari
sistem yang lebih tinggi.
Media massa memang tidak mungkin melepaskan diri dari nilai, ideologi, kepentingan
dan sistem kehidupan yang ada dimana media tersebut tumbuh dan berkembang. Atas dasar
pertimbangan tersebut, maka media massa dalam pemahaman para ahli Marxist adalah suatu
kekuatan yang mampu menentukan realitas mereka berdasarkan realitas nilai, ideologi dan
sistem yang ada. Media bukan lagi sekedar alat penyampaian informasi kepada masyarakat,
namun media massa dalam proses produsi dan konsumsi senantiasa terikat dan dipengaruhi oleh
beragam nilai, kepentigan bahkan ideologi tertentu yang melandasi media tersebut. Dalam
konteks tersebut, William L. Rivers dkk (2003:27), menjelaskan bahwa media adalah
perpanjangan tangan dan lidah dari nilai-nilai tertentu yang berjasa meningkatkan kapasitas
manusia untuk mengembangkan struktur sosial. Ketergantungan satu sama lain antara media dan
manusia telah menciptakan hubungan fundamental antara keduanya.
Dalam kapasitas tersebut diatas, manusia membuat simbol dan media memuat,
menyiarkan atau mentransformasikan simbol-simbol tersebut untuk disampaikan kembali kepada
manusia. Produksi media berlangsung karena media adalah sistem produksi, distribusi dan
konsumsi bentuk-bentuk simbolik yang secara sadar memerlukan mobilisasi sumber-sumber

Umaimah Wahid Page 14


sosial langka antara material dan budaya.(Garnham, 2000:39), Atas dasar pertimbangan tersebut,
maka hampir tidak mungkin membayangkan hidup tanpa keterlibatan media massa terlebih di era
modern sekarang ini. Semua kehidupan modern sangat terikat dan dipengaruhi oleh segala
bentuk isi produksi yang disajikan media. Demikian juga halnya segala peristiwa politik dan
perempuan dipengaruhi konstruksinya oleh media massa, sehingga dapat saja realitas perempuan
yang digambarkan sangat terikat dengan pemahaman budaya patriarkhi, dapat mempengaruhi
konstruksi pemikiran dan realitas perempuan dan politik.
Media tidak hanya berperan sebatas alat transformasi informasi dalam beragam bentuk.
Media lebih jauh menolong membentuk identitas seseorang, kelompok bahkan bangsa, menuntun
sikap atau pandangan atas kelompok mayoritas dan seksualitas serta beragam efek lainnya.
Media massa mampu meningkatkan peran dominan di masyarakat. Dalam proses operasionalnya
media massa dipengaruhi oleh kekuatan legal pemerintah atau politik, sekaligus dalam waktu
yang sama media massa mempengaruhi proses politik yang berlangsung. Media menjadi alat
produksi budaya yang paling berpengaruh saat ini karena media massa pada dasarnya merupakan
representasi masyarakat tertentu yang bentuk komunikasi dan ekspresi budayanya ditentukan
oleh hubungan antara struktur sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. (Murdockk dan
Golding, 1987:13).
Dengan media banyak sekali perubahan sosial dan budaya yang terjadi mulai persoalan
domestik, ekonomi, budaya, hubungan sosial, agama dan politik. Media dapat membuat khalayak
menerima isu-isu baru yang selama ini baru atau tabu, Ide atau prilaku yang dahulu tabu menjadi
lazim dan diterima oleh masyarakat. Greg Phillo, (1998:16) menyatakan bahwa media dapat
dipergunakan untuk menyebarkan ide-ide, pemikiran dan doktrin yang baru, bahkan pada tataran
yang ekstrem media dapat melahirkan revolusi dan sekaligus menimbulkan imperialisme modern
seperti perubahan sistem demokrasi, budaya dan gaya hidup bahkan cara berpikir dengan konsep
dan perspektif yang mendukung ideologi dominan dari kelompok dominan.
Media telah berperan penting dalam setiap aktivitas manusia saat ini. Media massa tidak
hanya sebagai sarana untuk menikmati hiburan semata namun media massa telah menjadi bagian
terpenting dalam proses interaksi manusia, masyarakat dan negara. Media massa dapat
menciptakan realitas yang dimaksud oleh penciptanya sehingga sebuah pemahaman baru dapat
muncul dan dipercaya sebagai kebenaran atau sebaliknya sebuah kepercayaan lama dapat saja
dianggap buruk dan tidak relevan lagi. Manusia banyak belajar dari media massa mengenai
beragam hal baru, mendekatkan realitas yang jauh, bahkan mampu menggerakkan sentimen
perang dan menciptakan konflik baru serta mampu dimanfaatkan sebagai alat memperoleh
kekuasaan. Karena itu setiap hari media mengkonstruksi realitas baru yang kemudian diahami
sebagai realitas ‘real’ bagi sebgaian masyarakat yang berada pada klaim kebenaran, atau pada
level paling rendah dari nklaim kebenaran. Masyarakat cenderung hanya menjadi penimat media,
khalayak yang pasif, tanpa tanpa menggunakan kemampuan komunikasi atau menjadi khalayak
yang memiliki otonomi memadai dalam proses komunikasi ‘diskursus’ demi tujuan pencapaian
konsensus.
Salah satu konsep yang ditawarkan Jurgen Habermas dalamk rangka mendobrak
kebekuan relasi kekuasaan (power relation) antara masyarakat sipil dan masyarakat politik
(menggunakan istikah dalam teori Antonio Gramsci) adalah dengan menciptakan ruang bagi
berkembangnya ruang public (public sphrere). Berbicara konsep public sphere memang cenderng
cenderung memiliki anggota yang sangat besar, para anggotanya tersebar dan bertahan lama.

Umaimah Wahid Page 15


Publik cenderung terbentuk karena adanya suatu masalah atau sasaran bersama. Tujuannya
adalah untuk memenangkan atau menentang suatu kepentingan atau pandangan suatu isu. Namun
konsep Public sphere merupakan wahana diskursus yang harus diciptakan seluas mungkin
sehingga keterbukaan dan kesempatan masyarakat untuk menyatakan klaim-klaim mereka juga
semakin luas. Pertumbuhan public Sphere mensyaratkan situasi kebebasan (freedom) sehingga
diharapkan masyarakat dapat mendeomntrasikan klaim-klaim mereka sebagai bentuk emansipasi
mereka dalam proses pencapaian konsensus.

5. Analisis Pilkada dan Masyarakat Komunkatif


Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) langsung telah berlangsung hampir satu decade
sebagai wujud dari implementasi Sistem Demokrasi Desentralisasi atau dikenal dengan otonomi
daerah. Pilkada acapkali menuaikan konflik baik dalam proses penetapan calon gubernur atau
bupati/walikota oleh KPU, maupun konflik antar pengikut atau tepatnya masyarakat yang
diikutkan dalam proses tersebut. Tentu saja kita tidak dapat sepenuhnya percaya bahwa
masyarakat yang menjadi pendukung dalam proses pilkada murni karena pemahaman politik
yang mereka miliki, namun lebih banyak disebabkan karena kepentingan sesaat. Tentu ini bukan
tuduhan tanpa dasar, melainkan banyak data yang menjelaskan hal tersebut, dan media massa
sebagai medium transformasi informasi sangata terbuka dan vulgar menyajikan berita mengenai
kerusuhan pilkada bentuk narasi maupun gambar-gambar berkaitan dengan konflik yang muncul
dari proses pilkada. Melihat data yang ada berkaitan dengan kekerasan dan kerusuhan selama
pilkada berlangsung merupakan refleksi eksplisit dari rasionalitas tradisional yang masih sangat
melekat dalam proses pilkada di Indonesia, dan membutuhkan upaya kritis yang serius dalam
menjelaskan realitas sosial politik yang terjadi dalam masyarakat Indonesia.

Contoh Kasus :

Sebelum menjelaskan analisis kasus maka akan dipaparpan beberapa kerusuhan dan
kekerasan pilkada yang terjadi dalam tahun 2010. Pemilihan Kepala daerah (pilkada)
yang akan diadakan mencapai 244 daerah pada tahun ini dan smapai bulan mei 2010 .

Belum mencapai separo dari total 244 daerah. Dalam 39 pilkada yang sudah digelar, ribuan
pelanggaran terjadi. Berdasar laporan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu),
terdapat 1.645 kasus yang masuk catatan mereka. "Data ini dikumpulkan dari panwas
provinsi, kota, dan kabupaten penyelenggara pemilukada (pilkada 2010, Red)," kata Nur
Hidayat Sardini, ketua Bawaslu di Jakarta, kemarin (28/5). Secara rinci, di antara 1.645
pelanggaran itu, yang terbanyak adalah pelanggaran administrasi pasangan calon yang
mencapai 1.383 kasus. Jika dipecah lagi, tahap pendaftaran pemilih terdapat 12
pelanggaran, tahap pencalonan 28 pelanggaran, tahap kampanye tujuh pelanggaran, dan
tahap pemungutan berikut penghitungan suara mencapi 1.336 pelanggaran. Sementara
pelanggaran yang berpotensi pidana mencapai 169. Sedangkan pelanggaran kode etik yang
diduga dilakukan penyelenggara pemilu sebanyak 50 kasus. "43 di antaranya kini masuk

Umaimah Wahid Page 16


sengketa (dewan kehormatan, Red)," ujar Hidayat.Hidayat mengatakan, secara garis besar,
konflik yang terjadi di pilkada dikategorikan dua jenis. Yang pertama adalah konflik yang
berujung kerusuhan dan yang kedua konflik tanpa kerusuhan.

Konflik yang berujung kerusuhan terjadi di Kabupaten Flores Timur, Kabupaten


Bengkayang, Kabupaten Mojokerto, dan Kota Sibolga. Sementara konflik tanpa kekerasan.
antara lain, Banyuwangi, Menado, Samarinda, Bengkulu, dan Provinsi Sulut.Khusus untuk
Mojokerto, Bawaslu telah mendapatkan laporan panwas soal adanya dugaan pelanggaran
kode etik oleh KPU setempat. Kerusuhan yang terjadi pada 21 Mei diduga merupakan
kekecewaan massa terhadap KPU. Kinerja KPU Mojokerto dinilai tidak profesional.
"Misalnya, melakukan jadwal perubahan pemilukada," kata dia. Mengenai kerusuhan yang
diduga akibat tidak lolosnya salah satu pasangan calon, hal itu tengah diselidiki kepolisian
setempat.

Terhadap masih maraknya pelanggaran pilkada, Bawaslu memiliki kesimpulan tersendiri.


Menurut Hidayat, Bawaslu menilai bahwa salah satu penyebab terjadinya pelanggaran
adalah kurang koordinasinya para pemangku kepentingan dalam pilkada. Stigma yang
berkembang adalah anggapan bahwa pilkada hanya dilaksanakan KPU dan pengawas
setempat. "Hal itu menimbulkan penegakan hukum lemah," ujarnya.

Lebih lanjut dari itu, terdapat sikap permisivitas terhadap pelanggaran pemilu kepala
daerah. Padahal, dengan semakin kuat penanganan, Bawaslu optimistis bahwa stabilitas
pilkada semakin kuat. "Terhadap pelanggaran administrasi, KPU juga kurang tegas
menetapkan aturan," tandasnya.

Contoh kericuhan dalam pilkada 2010 yang dipaparkan diatas merupakan bukti dari
ketidakseimbangan komunikasi yang berlangsung dalam proses politik di Indonesia.
Ketidakseimbangan tersebut ditandai dengan beberapa indicator yang terjadi ditengah realitas
masyarakat yang menyelenggarakan pilkada.
Contoh-contoh adanya ke tidak seimbangan komunikasi itu antara lain :
1. Adanya komunikasi searah dari penyelenggara pemilu daerah ( KPUD), baik dalam
memutuskan lolos tidaknya seorang calon, hingga pengesahan calon yang
memenangkan pemilukada.
2. Tidak adanya ruang publik yang legal bagi para pemilih dalam mengkomunikasikan
pendapat mereka melalui suatu diskusi yang equal dengan penyelenggara pemulikada
(KPUD)
3. Hak legal dalam memutuskan hasil pemilukada sepenuhnya ada ditangan
penyelenggara pemilukada (KPUD) sehingga terjadi absolutism kekuasaan dalam
batas tertentu
4. Fakta mengenai hak untuk menyatakan pendapat melalui demonstrasi, yang
dimanfaatkan masyarakat yang kecewa sebagai forum komunikasi mereka untuk
menyuarakan aspirasi

Umaimah Wahid Page 17


5. Kerusuhan sosial, sebagai akibat ketidak dewasaan dalam menyikapi suatu keputusan,
yang sekaligus menggambarkan level rasionalitas pelakunya dalam merespon situsi
6. Kerusuhan sosial juga merupakan akibat dari munculnya praduga-praduga
penyalahgunaan sistem dan kekuasaan untuk mencapai tujuan kelomp[ok masyarakat
tertentu
Proses Pemilu di Indonesia telah banyak mendapat pujian dari berbagai negara terutama
negara-negara yang selama ini juga mengusung sistem demokrasi atau atas dasar keuntungan
bagi negara-negara yang notabenenya lebih kuat dari Indonesia. Sistem demokrasi modern
sekaligus membuka peluang-peluang bagi banyak pihak untuk secara lebih terbuka untuk terlibat
dalam proses politik. Jika dilihat dari terbukanya akses politik, maka proses demokrasi
memberikan peluang sebesar-besarnya kepada masyarakat, siapa saja tanpa melihat latar
belakang dan aliran dapat berpartisipasi dalam proses politik. Walau tidak dapat disangkal,
bahwa pertimbangan kekuasaan dan uang lebih kental dibandingkan memperjuangkan
kesejahteraan masyarakat.
Beragam kerusuhan pada pilkada yang berlangsung pada tahun 2010 saja yang baru
melaksanakan 39 Pilkada namun sudah menimbulkan jumlah pelanggaran sebanyak 1.645 kasus.
Kerusuhan yang berlangsung bukan melibatkan kekerasan bahkan cenderung brutal dengan
perkelahian, perusakan, pembakaran dll. Lihatlah kerusuhan yang terjadi dalam Pemilihan
Bupati Sibolga Sumatera Utara, Proses Pemilihan Bupati Mojekerto Jawa Timur dll. Kerusuhan-
kerusuhan tersebut tidaklah dapat kita anggap enteng atau hanya gejolak sesaat dari konflik yang
muncul pada waktu pilkada saja. Melainkan akan sangat bijak jika membangun proses
komunikatif antara berbagai pihak yang terlibat atau melibatkan diri dengan sengaja dalam
pilkada yang berlangsung.

Beberapa ide dan tindakan reflektif yang dapat dilakukan dalam menganalisis kerusuhan
pilkada di Indonesia, yaitu :
1. Membangun suatu sistem yang kuat, yang merepresentasikaan komunikasi seimbang
bagi tiap kelompok dalam masyarakat sehingga tercipta kepercayaan publik terhadap
penyelenggara pemilukada.
2. Mengembangkan rasionalitas, otonomi dan tindakan komunikasi masyarakat yang
berlandaskan equalitas, baik dalam konteks hak maupun kewajiban bagi tiap
kelompok masyarakat.
3. Mengembankan publik yang reflektif.
4. Membangun emancipatory power - masyarakat komunikatif melalui media yang
independen dan tidak memihak.
5. Menciptakan suatu sistem yang membuat media berada dalam posisi netral melalui
mekanisme hukum tanpa harus mereduksi kebebasan media.

Berbagai kerusuhan pilkada yang terjadi sepanjang sejarah pilkada di Indonesia harus
dengan serius dipelajari dan melakukan kritik mendasar sebagai masalah sosial politik berkaitan
dengan beragam hal berkaitan dengan pelaksanaan pilkada. Kritik mendasar harus lebih

Umaimah Wahid Page 18


ditujukan kepada beragam UU yang menjadi payung hukum pelaksanaan Pilkada. UU
pelaksanaan pemilu daerah dan UU Otonomi harus lebih melibatkan masyarakat dalam proses
pembuatan UU, tidak hanya sebagai ‘objek” pada saat pelaksanaan pilkada berlangsung.
Teori kritik yang memberi peluang kepada masyarakat untuk melakukan kritik secara
terbuka terhadap proses pilkada semestinya sudah mulai dilakukan, dan ini bukan hanya
tanggung jawab masyarakat, namun tanggung jawab utama adalah pada pemerintah yang wajib
mengkonstruksi masyarakat menuju kualitas yang lebih baik. Pemerintah tidak membiarkan
proses politik masyarakat terjadi apa adanya dan hanya melalui media massa sebagaimana
selama ini terjadi. Masyarakat lebih banyak belajar pada media berkaitan dengan proses politik
sehingga dalam konsep Habermas masyarakat tidak memiliki rasionalitas dan otonomi dan
cenderung kapitalistik.
Masyarakat kapitalistik, yang selama ini cenderung terkungkung oleh kekuatan
kapitalisme dan kekuasaan telah mengakibatkan masyarakat berada dalam realitas objektif
semata dan sangat materialistik. Masyarakat cenderung tidak mengalami perkembangan dalam
proses realitas intersubjektif mereka, namun mereka terbelenggu dalam realitas objektif sehari-
hari yang sangat biasa sehingga aktivitas kerja hanya menjadi kegiatan rutin yang kurang
memiliki nilai intersubjektif bagi eksplorasi kualitas individual mereka.
Atas dasar pertimbangan tersebut, kritik tindakan sosial kerusuhan pilkada berdasarkan
kaedah filsafat harus dilakukan. Sebagaimana dinyatakan oleh Nolan, Titus dan Smith
sebagaimana diterjemahkan oleh M.Rasjidi dalam bukunya Persoalan-Persoalan Filsafat, bahwa
kritik mendasar dengan menggunakan metode filsafat yaitu 1). menyeluruh, 2). mendasar dan 3).
skeptis. Ketiga kaedah menjadi landasar dalam melakukan kritik menurut teori tindakan
komunikasi Habermas. Kritik dengan menggunakan tiga kaedah filsafat tersebut diharapkan
mampu melihat persoalan kerusuhan pilkada 2010 secara mendalam dan menyeluruh. Artinya,
kritik yang dilakukan berani mempertanyakan realitas yang terjadi dan menyatakan serta
mengakui bahwa memang kerusuhan pilkada memang masalah besar, sebagaimana juga banyak
masalah politik lainnya. Kerusuhan Pilkada 2010 berdasarkan pemahaman Habermas merupakan
tindakan sosial yang tidak memenuhi rasio komunikatif karena bukan refleksi dari tindakan
komunikatif, melainkan tindakan sosial yang penuh kekerasan dan tidak mengedepankan
diskursus dan emansipasi masyarakat dalam proses penyelesaian konflik.
Masyarakat yang memiliki rasionalitas dan tindakan komunikatif tidak akan melakukan
proses komunikasi yang hanya memilikirkan kepentingan sepihak dan juga memaksa kehendak
kepada pihak lain atau menggunakan kekerasan dan paksaan dan mengabaikan rasionalitas
dalam proses pilkada. Dengan kata lain, kritik yang tawarkan oleh teori kritis dalam melihat
persoalan secara mendasar dan menyeluruh serta selalu memelihara sifat skeptis guna
menemukan penyelesaian dengan menggunakan diskursus dalam mencapai konsensus. Littlejohn
(1996; 226) menyatakan bahwa Teori Kritis mempunyai tiga hal mendasar yaitu:
1. Teori Kritis percaya merupakan hal yang sangat penting untuk memahami
pengalaman hidup orang menurut konteks persoalan dan peristiwa.
2. Pemahaman diatas kemudian akan menguji kondisi sosial yang selama ini tidak
terjangkau atau tersembunyi, disebabkan kondisi yang tidak equal. Dalam
pemahaman ini pengetahuan berfungsi sebagai kekuatan untuk memahami cara-cara
manusia melakukan perubahan.

Umaimah Wahid Page 19


3. Membuat dan membangkitkan kesadaran untuk menjadikan teori sebagai kesadaran
dalam bertindak.

Artinya melihat realitas sosial kerusuhan pilkada sebagai suatu yang mendasar pada
masyarakat kita dan memahami itu dengan memahami situasi masyarakat serta tidak
menyalahkan secara sepihak. Masyarakat selama ini hanya menjadi objek pihak yang lebih
berkuasa dan memiliki uang sehingga membentuk dominasi sepihak dalam diri masyarakat.
Realitas tersebut menjelaskan bahwa rasionalitas sebelumnya telah mengalami krisis, dan
berdasarkan pertimbangan paradigma dan teori kritikal harus mengalami kritis secara terbuka
bahwa rasionalitas baru diperlukan untuk memahami dan menyelesaikan masalah sosial politik
masyarakat dewasa ini.
Rasionalitas yang diperlukan adalah rasionalitas komunikatif yang ditawarkan oleh
Jurgen Habermas. Rasionalitas komunikatif merupakan rasionalitas yang memberikan
kebebasaan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses
diskursus/argumentatif untuk menghasilkan suatu pemahaman bersama yang juga dapat diterima
bersama yang itu dinamakan konsensus. Rasionalitas ini memberikan individu kekuatan untuk
melakukan tindakan sosial, walau bukan berarti bebas dari aturan dan prosedur. Keduanya
diperlukan untuk menciptakan sistem dalam masyarakat dan keduanya merupakan hasil
konsensus. Artinya bukan sesuatu yang statis dan dipkasa, melainkan hasoil dari kesepahaman
bersama anggota masyarakat dalam membangun masyarakat komunikatif.
Kerusuhan dan kekerasan yang terjadi selama pilkada 2010 dapat kita katakan sebagai
cerminan tidak adanya otonomi atau emansipasi dalam tindakan komunikasi di tengah
masyarakat. Pilkada pada esensinya adalah penjawantahan dari sistem demokrasi yang menjadi
pilihan politik Indonesia. Pada tahun 2010 akan digelar 244 Pemililihan Umum Daerah (Pilkada)
tingkat II atau kabupaten/kota di Indonesia, namun sebagaimana yang telah dipaparkan
sebelumnya, sampai bukan Mei 2010 ini pelaksanaan Pilkada baru berlangsung 39 kali, namun
kerusuhan dan kekerasan selama proses Pilkada acap terjadi atau banhkan menjadi bagian
integral dari pelaksanaan Pilkada.
Berdasarkan Data Panwaslu bahwa sampai bulan Mei ini sudah terjadi 1645 kali/jenis
pelanggaran selama Pilkada berlangsung. Bentuk pelanggaran beragam dari pelanggaran
administratif sampai dengan kekerasan seperti konflik antara para pendukung kandidat,
pembakaran mobil dll. Realitas ini sangatlah mencengangkan karena terjadi ditengah pesta
demokrasi yang dipercaya lebih bermartabat dan dalam lingkungan masyarakat yang
lehidupannya ditata secara modern.
Sistem dan tatanan modern yaitu sistem demokrasi dalam politik Indonesia memang telah
mengubah situasi masyarakat yang sebelumnya (selama orde Baru) kurang memiliki
kesempatan berpartisipasi dalam politik. Tetapi dalam era reformasi ini, masyarakat memiliki
kesempatan yang besar untuk aktif dan berpartisipasi dalam politik, dan partisipasi tersebut
diatur dan dijamin oleh UU. Namun sangat disayangkan, keterbukaan politik tersebut tidak
dibarengi oleh rasionasitas dan otonomi subjektif masyarakat sehingga belum terciptanya
kemandirian individual dan masyarakat yang terbukti dari banyaknya kerusuhan selama pilkada
2010. Masyarakat masih ‘sekedar’ ikut menjadi peserta demokrasi atau pemilu yang dalam hal
ini Pilkada, namun masyarakat masih dalam keadaan ‘pasif’. Artinya masyarakat dalam proses

Umaimah Wahid Page 20


pemilu belum memiliki otonomi individual-power refleksif dalam proses politik yang mereka
ikuti, melainkan mereka umumnya masih menjadi objek politik para kandidat pilkada dalam
proses pilkada yang berlangsung.
Pada dasarnya tidak terpenuhinya otonomi subjektif bukan saja pada masyatakat
umumnya, melainkan juga terjadi pada para kandidat pilkada yaitu calon bupati/calon wakil
bupati atau calon walikota/calon wakil walikota serta partai politik. Kondisi ini sangat tidak
rasional dan hanya semakin memperkuat rasionalitas tradisinonal proses politik tersebut.
Masing-masing calon hanya mementingkan tujuan akhir pilkada yaitu kekuasaan(power) dan
biaya (uang). Tujuan yang mengarah pada kepentingan kapitalisme dan kekuasaan inilah yang
dinamakan oleh Habermas sebagai kungkungan kapitalistik. Realitas ini yang menciptakan
masyarakat kehilangan nilai intersubjektif, sehingga proses pilkada hanya sekedar peristiwa
politik semata dan menguntungkan pihka yang memiliki kekuasaan dan kekuatan. Proses politik
tersebut belum mampu mengembangkan rasionalitas dan tindakan masyarakat menuju
masyarakat komunikatif, yaitu suatu masyarakat yang secara terus menerus melakukan
emansipasi dalam diskursus-diskursus guna menghasilkan consensus.
Pilkada selama ini, cenderung mementingkan dan menguntungkan pihak-pihak yang
memiliki kekuasaan dan melakukan dominasi calon pilkada atau kelompok pendukung dibalik
proses politik, sedangkan masyarakat umumnya tetap masih dalam kondisi yang tidak otonom
atau pasif sehingga acapkali semua itu memunculkan kekerasan di tengah proses politik pilkada.
Oleh karenanya jalan keluar dari beragam masalah pilkada tersebut, masyarakat harus segera
disadarkan untuk mampu memiliki otonomi individual subjektif dan keluar dari
kungkungan/dominasi kapitalistik pihak-pihak tertentu dalam proses pilkada. Otonomi individu
yang akan memunculkan emansipasi masyarakat yang diharapkan proses Pilkada dapat
berlangsung dengan penuh reflektif. Emansipasi masyarakat terjadi secara leluasa dikarenakan
masyarakat merupakan sekumpulan individu-individu yang memiliki kekuasaan refleksi diri
sehingga memiliki keberanian atau otonomi dalam menyatakan pendapat mereka dalam
diskursus-diskursus yang berlangsung.
Masyarakat tidak dapat dibangun dengan rasionalitas tradisional yang hanya
mementingkan pihak-pihak tertentu atau kelompok yang memiliki kepentingan sepihak dan
menempatkan masyarakat hanya sebagai objek politik dan sosial. Namun di masyarakat
informasi yang ditandai dengan ketergantungan masyarakat yang sangat tinggi terhadap
keberadaan media massa sebagai salah satu sistem sosial baru, yang sekaligus menciptakan
kompleksitas masyarakat dalam hampir semua aspek kehidupan Oleh karena itu. Masyarakat
memerlukan kehidupan bersama secara politis dalam masyarakat-masyarakat dewasa ini,
sesudah cara-cara legitimasi politis tradisional yang kebal terhadap kritik mengalami krisis. Dan
kehidupan politik bukan karena pertimbangan moral sebagaimana pijakan teoritis teori-teori
klasik (F. Budi Budiman 2008:1)
Adanya otonomi dalam masyarakat ditandai dengan lahirnya tindakan komunikasi.
Tindakan komunikasi termasuk dalam proses pilkada yang berlangsung mencerminkan
rasionalitas masyarakat. Jika pilkada berlangsung dalam kerusuhan dan banyak pelanggaran,
maka hal itu sebagai cermin bahwa masyarakat belum memiliki otonomi yang mendukung
mereka melahirkan tindakan-tindakan komunikatif sebagai refleksi dari otonomi dan rasionalitas
yang mereka miliki. Otonomi masyarakat juga dapat dikembangkan melalui pengembangan
ruang public (public sphere), baik melalui interaksi sosial maupun melalui media massa.
Umaimah Wahid Page 21
Media massa setelah era reformasi mengalami perkembangan pesat dengan beragam
bentuk. Kemajuan teknologi komunikasi satu sisi menjadi ‘berkah’ bagi masyarakat dalam
kemudahan memperoleh informasi dan menciptakan keterbukaan publik semakin luas. Namun
disisi lainnya, media massa masih powerfull sebagai suatu lembaga industri kapitalisme yang
berorientasi kepada keuntungan. Kekuatan media yang dominan dibandingkan
khalayak/masyarakat berimplikasi pada kebekuan otonomi reflektif individu/masyarakat. Dengan
kata lain, media menciptakan keseragaman, keserentakan dan menciptakan kesadaran semua
dalam perspektif kritis. Media dalam pemahaman teori Haberman, media memungkinkan
masyarakat menjadi masyarakat tidak otonom, walaupun media massa dalam pertimbangan
genre “social centrie’ dapat berperan mendukung pengembangan otonomi dan melahirkan
tindakan komunikasi masyarakat.
Media massa sebagai sistem sosial baru yang merupakan medium yang paling
berpengaruh saat ini, mampu mengambil peran yang lebih luas dalam upaya pengembangan
masyarakat komunikatif. Media sepatutnya lebih memiliki tanggung jawab sosial dengan
beragam isi media yang mampu mengkonstruksi otonomi dan tindakan komunikasi masyarakat
atas pertimbangan rasionalitas komunikatif. Artinya media menjadi ruang penciptaan public
sphere yang dapat membangun diskursus-diskursus lebih banyak.
Langkah di atas mendesak diperlukan, karena hambatan tumbuhnya otonomi individu
dalam masyarakat sipil dan masyarakat politik juga diakibatkan oleh tayangan-tayangan media
mengenai kerusuhan pilkada 2010 ini. Selama ini, masyarakat belajar dan memahami realitas
politik berdasarkan isi media yang lebih tertarik menyajikan konflik atau kerusuhan
dibandingkan esensi dan pentingnya kesuksesan proses pilkada yang tanpa kerusuhan. Itu artinya
media lebih memilih memberitakan konflik dibandingkan peristiwa pilkada tanpa konflik.
Dengan kata lain, pada hakekatnya media belum mampu berperan sebagai medium yang
menciptakan masyarakat komunikatif.
Sebagian media massa di Indonesia sayangnya adalah bagian dari kapitalisme industri
media (media centries), oleh karenanya mungkin sulit mengharapkan media massa memiliki
reflektif mendalam bagi pengembangan otonomi individu. Sementara pada sisi lain, membangun
sebuah media yang memiliki dignity kuat, yang pada akhirnya juga mampu berselaras dengan
kepentingan kapitalisme karena trust masyarakat yang tinggi, masih belum dapat dilaksanakan
oleh sebagian besar media yang ada di indon esia. Media yang memiliki dignity kuat, pada
akhirnya akan memaksa kekuatan kapitalis lain (pengiklan) untuk mau tidak mau akan berpaling
kearah mereka, sehingga kebutuhan financial media bersangkutan secara langsung akan
terpenuhi.
Masyarakat yang memiliki otonomi – kekuatan reflektif untuk berpartisipasi dalam
proses politik sebagai subjek yang sadar dan bukan sebagai objek pihak-pihak yang memiliki
kekuasaan. Individu yang memiliki otonomi memiliki intersubjektif sehingga mampu
beremansipasi dalam proses diskursus dalam rangka mencapai saling memahami/saling
menerima dan memberi atau konsensus. Proses rasionalitas inilah yang dinamakan rasio
proseduralistis dan diperlukan untuk membentuk masyarakat komunikatif yang termasuk
masyarakat politik adalah masyarakat komunikatif, yaitu masyarakat yang melakukan
emansipasi politik, sosial budaya tanpa kekarasan, tanpa paksaan dan fair/adil bagi diri sendiri
sebagai individu, sebagai anggota masyarakat yang merupakan bagian dari proses pembentukan
masyarakat komunikatif.
Umaimah Wahid Page 22
Masyarakat komunikatif dapat juga dikembangkan dengan membuka ruang public atau
public sphere seluas-luasnya ditengah masyarakat. Publik sphere yang kuat menurut Habermas
akan mampu menciptakan masyarakat sipil yang memiliki power reflektif dan rasionalitas
komunikatif. Kekuatan masyarakat sipil inilah yang dinamakan otonomi untuk melakukan
emansipasi tanpa kekerasan dan paksaan. Dalam mencapai public sphere yang kuat, media massa
dapat menjadi medium yang menduka ruang bagi kebekuan relasi antara penguasa (political
society) dengan masyarakat sipil (civil society). Ruang public (public sphere) menurut Jurgen
Habermas dalam bukunya Ruang Publik, Sebuah Kajian Tentang Kategory Masyarakat Borjuis
(1008:4) adalah merupakan spesifik dari ‘masyarakat sipil’ yang pada waktu bersamaan
mengukuhkan diri sebagai ranah tempat terjadinya pertukaran komoditas dan kerja sosial yang
diatur oleh kaedah-kaedahnya sendiri.
Pilkada sebagai peristiwa politik melibatkan masyarakat dibawah pengaruh dan dominasi
masyarakat politik. Proses keterlibatan masyarakat masih sebagai objek yang pasif dan
kenderaan politik sesaat. Partisipasi masyarakat dalam pilkada belum sebagai upaya yang
dilakukan secara sadar sebagai upaya pengembangan rasionalitas dan tindakan komunikatif.
Artinya individu tidak mempunyai power dalam melakukan tindakan sosial sebagai bentuk
emansipasi mereka dalam diskursus yang beralngsung. Jika masyarakat tidak memiliki tindakan
sosial yang komunikatif, maka masyarakat akan menjelma menjadi masyarakat yang
terkungkung oleh kekuatan kapitalistik semata tanpa sadar proses yang berlangsung.
Pertanyaannya adalah apakah masyarakat politik kita dalam proses pilkada dapat kita
katakan sebagai masyarakat yang belum otonom, tidak memiliki tindakan sosial dan bukan
masyarakat komunikatif ? Berdasarkan data dan fakta pilkada yang banyak pelanggaran dan
kerusuhan dalam tahun 2010 ini, berdasarkan asumsi teori masyarakat komunikatif Habermas,
bahwa masyarakat politik dalam peristiwa pilkada belum mencapai otonomi atau tidak memiliki
power reflektif memadai. Akibatnya belum mampu bertindak otonom dalam ruang politik
menciptakan diskursus atau kesepahaman bagi kepentingan bersama untuk melahirkan
konsensus.
Dalam melahirkan konsensus inilah diperlukan keterlibatan semua individu dengan
bentuk diskursus masing-masing sebagai bentuk reflektif otonomi individu. Kekuatan otonomi
individu yang mampu mengembangkan masyarakat komunikatif. Dalam proses tersebut,
emansipasi masyarakarat adalah kunci dinamika diskursus untuk melahirkan konsensus.
Tindakan komunikasi sekaligus sebagai bentuk keterlibatan rasional dan bertanggung
jawab masyarakat dalam melahirkan tindakan sosial sehari-hari yang memiliki kesadaran
intersubjektif. Konsensus adalah keputusan bersama atau komitmen yang harus ditaati dalam
proses politik selanjutnya. Konsensus inilah yang menjadi rujukan bagi anggota masyarakat
dalam melahirkan tindakan komunikasi mereka dan semua pihak seharusnya menghargai
consensus/kesepahaman yang telah dicapai dalam diskursus tersebut.
Undang-undang yang telah mengatur sistem dan proses politik di Indonesia termasuk
proses pilkada sebenarnya dapat dikatakan sebagai hasil konsensus dari diskursus dalam ruang
publik yang selama ini dilakukan oleh banyak pihak, walau perlu terus mempertanyakan proses
dan otonomi masyarakat yang terlibat dalam proses tersebut. Akan tetapi sebagai aturan
seharusnya menjadi consensus bersama masyarakat politik sambil melakukan tindakan sosial dan
komunikatif selanjutnya untuk melahirkan konsensus baru. Realitasnya pilkada acapkalai

Umaimah Wahid Page 23


diselesaikan dengan kekerasan. Baik kandidat sebagai masyarakat politik hanya memanfaatkan
masyarakat ‘awam’ sebagai objek politik mencapai kekuasaan mereka dan umumnya dengan
materi tanpa kesadaran politik yang memadai. Oleh karenanya, berdasartkan teori Habermas,
maka konsep masyarakat komunikatif menjadi alternatif menguraikan kerusuhan pilkada 2010
atau peristiwa politik lainnya .

Daftar Pustaka

1. Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek, Grafika, Bnadung,
1999.
2. F. Budi Hardiaman, Menuju Masyarakat Komunikatif, 1993)
3. Lihat F. Budi Harimanan, Teori Diskursus dan demokrasi, dalam Jurnal DISKURSUS,
Vol, 7, No.1, 2008, 1-27.
4. Stephen W. Littlejohn, Theorie of Human Communication, Edisi 1995,1999, chapter
Critical Theories.
5. Jurgen Habermas, Ruang Publik, Sebuah Kategori Masyarakat Borjuis, 2008
6. Titus, Nolan dan Smith, Persoslan-Persoalan Filsafat.
7. Data Kerusuhan Pilkada 2010…..
8. Iwan Marpaung, Teori Kritis Jurgen Habermas.
9. Sulaiman Djaya, Habermas on Constittutional Democracy, posted on 5 Maret 2010.
10. Franz Magnis – Suseno, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral,1997.
11. Baran, J. Stanley and Davis K. Dennis, Mass Communication Theory, 1995.
12. Curran, James, Gurrevich (edt.), Mass Media and Society,1992.
13. Harris, David, From Class Struggle to the Political Pleassure, The Effect of Gramscian
on Cultural Studies, 1992.
14. Jacson, Marsha dan Jones, Emma, Mass Media, 1994.
15. Philo, Greg, Message Received Glasglow Media Group Research, 1993-1998,
16. Rivers,L., William dkk, Media Massa dan Masyarakat Modern, Jakarta, 2003.
17. Saverin, S.Werner, dan Tankard Jr. W. James, Communication Theory, 1997.

Umaimah Wahid Page 24

Anda mungkin juga menyukai