Anda di halaman 1dari 27

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

2.1.1 Tulang Carpal

Terdapat delapan tulang telapak tangan yang tersusun dalam empat baris

proksimal dan 4 distal. Bagian proksimal terdiri dari Os Scapoideum, lunatum,

triquetrum, pisiformis. Bagian distal terdiri dari Os trapezium, trapezoideum,

capitatum, hamatum. Carpal membentuk konvek pada posterior dan konkaf pada

anterior (Moore, 2013).

Gambar 2.1 Tulang Carpal.


Dikutip dari https://physiofun18.wordpress.com/

2.1.2 Nervus Medianus

Secara anatomis, canalis carpi (carpal tunnel) berada di dalam dasar

pergelangan tangan. Sembilan ruas tendon fleksor dan N. Medianus berjalan di

dalam canalis carpi yang dikelilingi dan dibentuk oleh tiga sisi dari tulang-tulang
5

carpal. Nervus dan tendon memberikan fungsi, sensibilitas dan pergerakan pada

jari-jari tangan. Jari tangan dan otot-otot fleksor pada pergelangan tangan beserta

tendon-tendonnya berorigo pada epicondilus medial pada regio cubiti dan

berinsersi pada tulang-tulang metaphalangeal, interphalangeal proksimal dan

interphalangeal distal yang membentuk jari tangan dan jempol. Canalis carpi

berukuran hampir sebesar ruas jari jempol dan terletak di bagian distal lekukan

dalam pergelangan tangan dan berlanjut ke bagian lengan bawah di regio cubiti

sekitar 3 cm (Pecina, et al., 2001).

Pada terowongan carpal, N. Medianus mungkin bercabang menjadi komponen

radial dan ulnar. Komponen radial dari N. Medianus akan menjadi cabang

sensorik pada permukaan palmar jari-jari pertama dan kedua dan cabang motorik

m. abductor pollicis brevis, m. opponens pollicis, dan bagian atas dari m. flexor

pollicis brevis. Pada 33 % dari individu, seluruh fleksor polisis brevis menerima

persarafan dari N. Medianus. Sebanyak 2 % dari penduduk, m. policis adduktor

juga menerima persarafan N. Medianus. Komponen ulnaris dari N. Medianus

memberikan cabang sensorik ke permukaan jari kedua, ketiga, dan sisi radial jari

keempat. Selain itu, saraf median dapat mempersarafi permukaan dorsal jari

kedua, ketiga, dan keempat bagian distal dari sendi interphalangeal proksimal

(Pecina, et al., 2001).

Tertekannya N. Medianus dapat disebabkan oleh berkurangnya ukuran canalis

carpi, membesarnya ukuran alat yang masuk di dalamnya (pembengkakan

jaringan lubrikasi pada tendon-tendon fleksor) atau keduanya. Gerakan fleksi

dengan sudut 90 derajat dapat mengecilkan ukuran canalis. Penekanan terhadap

N. Medianus yang menyebabkannya semakin masuk di dalam ligamentum carpi


6

transversum dapat menyebabkan atrofi eminensia thenar, kelemahan pada otot

fleksor pollicis brevis, otot opponens pollicis dan otot abductor pollicis brevis

yang diikuti dengan hilangnya kemampuan sensorik ligametum carpi transversum

yang dipersarafi oleh bagian distal N. Medianus. Cabang sensorik superfisial dari

N. Medianus yang mempercabangkan persarafan proksimal ligamentum carpi

transversum yang berlanjut mempersarafi bagian telapak tangan dan jari jempol

(Pecina, et al., 2001).

N. Medianus terdiri dari serat sensorik 94% dan hanya 6% serat motorik pada

terowongan karpal. Namun, cabang motorik menyajikan banyak variasi anatomi,

yang menciptakan variabilitas yang besar patologi dalam kasus Carpal Tunnel

Syndrome (American Academy of Orthopaedic Surgeons, 2008).

Gambar 2.2 Area Inervasi Nervus Medianus.


Dikutip dari https://erlisphysio.wordpress.com/
7

Gambar 2.3 Struktur Anatomi Nervus Medianus.


Dikutip dari Demircay, et al., 2011.

2.2 Definisi Carpal Tunnel Syndrome

Carpal Tunnel Syndrome merupakan neuropati tekanan atau cerutan terhadap

nervus medianus di dalam terowongan karpal pada pergelangan tangan, tepatnya

dibawah fleksor retinakulum. Sindroma ini juga disebut dengan nama

acroparesthesia, median thenar neuritis atau partial thenar atrophy Carpal Tunnel

Syndrome pertama kali dikenali sebagai suatu sindroma klinik oleh Sir James

Paget pada kasus stadium lanjut fraktur radius bagian distal. Carpal Tunnel

Syndrome spontan pertama kali dilaporkan oleh Pierre Marie dan C.Foix pada

taboo 1913. Istilah Carpal Tunnel Syndrome diperkenalkan oleh Moersch pada

tabun 1938 (Campbell, 2005).


8

Menurut American Academy of Orthopaedic Surgeons Clinical Guideline,

Carpal Tunnel Syndrome adalah gejala neuropati kompresi dari N. medianus di

tingkat pergelangan tangan, ditandai dengan bukti peningkatan tekanan dalam

terowongan karpal dan penurunan fungsi saraf di tingkat itu. Carpal Tunnel

Syndrome dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, kondisi dan peristiwa. Hal ini

ditandai dengan keluhan mati rasa, kesemutan, nyeri tangan dan lengan dan

disfungsi otot. Kelainan ini tidak dibatasi oleh usia, jenis kelamin, etnis, atau

pekerjaan dan disebabkan karena penyakit sistemik, faktor mekanis dan penyakit

local (American Academy of Orthopaedic Surgeons, 2007).

2.3 Epidemiologi dan Faktor Risiko

Carpal Tunnel syndrome adalah salah satu gangguan saraf yang umum terjadi.

Sebuah survei di California memperkirakan 515 dari 100.000 pasien mencari

perhatian medis untuk carpal tunnel syndrome pada tahun 1988. Di Belanda,

prevalensinya dilaporkan 220 per 100.000 orang (Pecina, et al., 2001).

Angka kejadian Carpal Tunnel Syndrome di Amerika Serikat telah

diperkirakan sekitar 1-3 kasus per 1.000 orang setiap tahunnya dengan revalensi

sekitar 50 kasus dari 1.000 orang pada populasi umum. Orang tua setengah baya

lebih mungkin beresiko dibandingkan orang yang lebih muda, dan wanita tiga kali

lebih sering daripada pria (American Academy of Orthopaedic Surgeons, 2008;

Joseph, et al., 2012).

National Health Interview Study (NIHS) mencatat bahwa CTS lebih sering

mengenai wanita daripada pria dengan usia berkisar 25-64 tahun, prevalensi

tertinggi pada wanita usia > 55 tahun, biasanya antara 40-60 tahun. Prevalensi

CTS dalam populasi umum telah diperkirakan 5% untuk wanita dan 0,6% untuk
9

laki-laki. CTS adalah jenis neuropati jebakan yang paling sering ditemui.

Sindroma tersebut unilateral pada 42% kasus (29% kanan, 13% kiri) dan 58%

bilateral (Tana, et al., 2004).

Perkembangan CTS berhubungan dengan usia. Phalen melaporkan jumlah

kasus meningkat untuk setiap dekade usia 59 tahun, setelah itu, jumlah kasus di

setiap dekade menurun. Atroshi et al. mengamati serupa distribusi usia dengan

prevalensi tertinggi CTS pada pria dari 45-54 tahun dan wanita usia 55-64. Lunak

dan Rudolfer menemukan bahwa kasus CTS memiliki distribusi usia dengan

puncak pada usia 50-54 (Mc Cabe, et al., 2007).

Tana et al (2004) menyimpulkan bahwa jumlah tenaga kerja dengan CTS di

beberapa perusahaan garmen di Jakarta sebanyak 20,3% responden dengan besar

gerakan biomekanik berulang sesaat yang tinggi pada tangan pergelangan tangan

kanan 74,1%, dan pada tangan kiri 65,5%. Pekerja perempuan dengan CTS lebih

tinggi secara bermakna dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Tidak terdapat

perbedaan antara peningkatan umur, pendidikan, masa kerja, jam kerja serta

tekanan biomekanik berulang sesaat terhadap peningkatan terjadinya CTS

(Kurniawan, et al., 2008).

Jagga et al (2011) meneliti bahwa pekerjaan yang beresiko tinggi mengalami

Carpal Tunnel Syndrome adalah pekerja yang terpapar getaran, pekerja perakitan,

pengolahan makanan & buruh pabrik makanan beku, pekerja toko, pekerja

industri, dan pekerja tekstil, pengguna komputer (Jagga, et al., 2011).

2.4 Etiologi

Area sensorik N. Medianus bervariasi terutama pada permukaan volar. Dan

pola itu sesuai dengan variasi antara jari ketiga sampai jari keempat sisi radial
10

telapak tangan. Pada permukaan dorsum manus, area sensorik N. Medianus

bervariasi antara dua sampai tiga palang distal jari kedua, ketiga dan keempat. Di

terowongan karpal n. medianus sering terjepit. N. Medianus adalah saraf yang

paling sering mengalami cedera oleh trauma langsung, sering disertai dengan luka

di pergelangan tangan. Tekanan dari n. medianus sehingga menghasilkan rasa

kesemutan yang disebut parestesia atau hiperestesia dari “Carpal Tunnel

Sydrome” (Mardjono dan Sidharta, 2009).

Terdapat beberapa co-morbiditas atau human factor yang berpotensi

meningkatkan risiko CTS, diantaranya yaitu usia lanjut, jenis kelamin perempuan,

dan adanya diabetes, obesitas, kehamilan, pekerjaan yang spesifik, cedera karena

gerakan berulang dan kumulatif, genetik, gangguan medis tertentu seperti

hipotiroidisme, penyakit autoimun, penyakit rematologi, arthritis, penyakit ginjal,

trauma, predisposisi anatomi di pergelangan tangan, dan penyakit menular. Orang

yang terlibat dalam kerja manual di beberapa pekerjaan memiliki insiden dan

tingkat keparahan yang lebih besar (American Academy of Orthopaedic Surgeons,

2008).

Beberapa penyebab dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian

carpal tunnel syndrome antara lain:

1. Herediter: neuropati herediter yang cenderung menjadi pressure palsy,

misalnya HMSN (hereditary motor and sensory neuropathies) tipe III.

2. Trauma: dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah, pergelangan

tangan dan tangan, sprain pergelangan tangan, dan trauma langsung terhadap

pergelangan tangan.
11

3. Pekerjaan: gerakan mengetuk atau fleksi dan ekstensi pergelangan tangan yang

berulang-ulang. Misalnya pada seorang sekretaris yang sering mengetik,

pekerja kasar yang sering mengangkat beban berat dan pemain musik terutama

pemain piano dan pemain gitar yang banyak menggunakan tangannya juga

merupakan etiologi dari carpal tunnel syndrome.

4. Infeksi: tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis.

5. Metabolik: amiloidosis, gout, hipotiroid, neuropati fokal tekan, khususnya CTS

juga terjadi karena penebalan ligamen dan tendon dari simpanan zat yang

disebut mukopolisakarida.

6. Endokrin: akromegali, terapi estrogen atau androgen, diabetes mellitus,

hipotiroidi, kehamilan.

7. Neoplasma: kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase, mieloma.

8. Penyakit kolagen vaskular: artritis reumatoid, polimialgia reumatika,

skleroderma, lupus eritematosus sistemik.

9. Degeneratif: osteoartritis.

10. Iatrogenik: punksi arteri radialis, pemasangan shunt vaskular untuk dialisis,

hematoma, komplikasi dari terapi anti koagulan.

11. Faktor stress

12. Inflamasi: Inflamasi dari membrane mukosa yang mengelilingi tendon

menyebabkan nervus medianus tertekan dan menyebabkan carpal tunnel

syndrome.

2.5 Patofisiologi

Beberapa teori patogenesis CTS yaitu kompresi mekanik, insufisiensi

mikrovaskular, dan teori getaran. Menurut teori kompresi mekanik, gejala CTS
12

adalah karena kompresi N. Medianus di terowongan karpal. Kelemahan utama

dari teori ini adalah bahwa ia menjelaskan konsekuensi dari kompresi saraf tetapi

tidak menjelaskan etiologi yang mendasari kompresi mekanik. Kompresi

dimediasi oleh beberapa faktor seperti ketegangan, tenaga berlebihan,

hyperfunction, ekstensi pergelangan tangan berkepanjangan atau berulang (Tana,

et al., 2004).

Teori insufisiensi mikrovaskular menyatakan bahwa kurangnya pasokan darah

menyebabkan penipisan nutrisi dan oksigen ke saraf yang menyebabkan

kehilangan kemampuan untuk mengirimkan impuls saraf. Skar dan jaringan

fibrotik akhirnya berkembang dalam saraf. Tergantung pada keparahan cedera,

perubahan saraf dan otot mungkin permanen. Karakteristik gejala CTS, terutama

kesemutan, mati rasa dan nyeri akut, bersama dengan kehilangan konduksi saraf

akut dan reversibel dianggap gejala untuk iskemia. Seiler et al menunjukkan

(dengan Doppler laser flowmetry) bahwa normalnya aliran darah berdenyut di

dalam saraf median dipulihkan dalam 1 menit dari saat ligamentum karpal

transversal dilepaskan. Sejumlah penelitian eksperimental mendukung teori

iskemia akibat kompresi diterapkan secara eksternal karena peningkatan tekanan

di karpal tunnel. Gejala akan bervariasi sesuai dengan integritas suplai darah dari

saraf dan tekanan darah sistolik. Kiernan dkk menemukan bahwa konduksi

melambat pada median saraf dapat dijelaskan oleh kompresi iskemik saja dan

mungkin tidak selalu disebabkan myelinisasi yang terganggu (Tana, et al., 2004).

Menurut teori getaran gejala CTS bisa disebabkan oleh efek dari penggunaan

jangka panjang alat yang bergetar pada saraf median di karpal tunnel. Lundborg et

al mencatat edema epineural pada saraf median dalam beberapa hari berikut
13

paparan alat getar genggam. Selanjutnya, terjadi perubahan serupa mengikuti

mekanik, iskemik, dan trauma kimia (Tana, et al., 2004).

Hipotesis lain dari CTS berpendapat bahwa faktor mekanik dan vaskular

memegang peranan penting dalam terjadinya CTS. Umumnya CTS terjadi secara

kronis dimana terjadi penebalan fleksor retinakulum yang menyebabkan tekanan

terhadap nervus medianus. Tekanan yang berulang-ulang dan lama akan

mengakibatkan peninggian tekanan intrafasikuler. Akibatnya aliran darah vena

intrafasikuler melambat. Kongesti yang terjadi ini akan mengganggu nutrisi

intrafasikuler lalu diikuti oleh anoksia yang akan merusak endotel. Kerusakan

endotel ini akan mengakibatkan kebocoran protein sehingga terjadi edema

epineural. Hipotesa ini menerangkan bagaimana keluhan nyeri dan edem yang

timbul terutama pada malam atau pagi hari akan berkurang setelah tangan yang

terlibat digerakgerakkan atau dikibas-kibaskan, hal ini akibat terjadinya perbaikan

sementara pada aliran darah. Apabila kondisi ini terus berlanjut akan terjadi

fibrosis epineural yang merusak serabut saraf. Hal ini jika berlangsung kronis

akan menyebabkan saraf menjadi atrofi dan digantikan oleh jaringan ikat yang

mengakibatkan fungsi nervus medianus terganggu secara menyeluruh (Bachrodin,

2011).

Keadaan iskemik selain akibat adanya penekanan yang melebihi tekanan

perfusi kapiler, juga disebabkan oleh peningkatan tekanan intrafasikuler yang

menyebabkan gangguan aliran darah sehingga terjadi gangguan mikrosirkulasi

dan iskemik saraf. Selanjutnya terjadi vasodilatasi yang menyebabkan edema

sehingga sawar darah-saraf terganggu yang berkibat terjadi kerusakan pada saraf

tersebut (Bachrodin, 2011).


14

Penelitian yang telah dilakukan Kouyoumdjian menyatakan CTS terjadi karena

kompresi saraf medianus di bawah ligamentum karpal transversal berhubungan

dengan naiknya berat badan dan IMT. IMT yang rendah merupakan kondisi

kesehatan yang baik untuk proteksi fungsi nervus medianus. Pekerja dengan IMT

minimal ≥25 lebih beresiko terkena CTS dibandingkan dengan pekerja yang

mempunyai berat badan normal dengan IMT <25. American Obesity Association

menemukan bahwa 70% dari penderita CTS memiliki kelebihan berat badan.

Setiap peningkatan nilai IMT 8% beresiko meningkatkan terkena CTS

(Bachrodin, 2011).

2.6 Manifestasi Klinis

Dua bentuk carpal tunnel syndrome yaitu akut dan kronis. Bentuk akut

mempunyai gejala dengan nyeri parah, bengkak pergelangan tangan atau tangan,

tangan dingin, atau gerak jari menurun. Kehilangan gerak jari disebabkan oleh

kombinasi dari rasa sakit dan paresis. Bentuk kronis mempunyai gejala baik

disfungsi sensorik yang mendominasi atau kehilangan motorik dengan perubahan

trofik. Nyeri proksimal mungkin ada dalam carpal tunnel syndrome (Pecina, et

al., 2001).

Tabel 2.1 Sign dan Symptoms Carpal Tunnel Syndrome

Sensorik Motorik Signs

Hypoesthesia Hypotrophy Trophic Ulcers

Hyperesthesia Weakness Edema (21%)

- Numbness

- Burning
15

Pain Atrophy

-Night

Stiffness

2.7 Dasar Penegakan Diagnosa

Diagnosa CTS ditegakkan berdasarkan gejala klinis seperti di atas dan

diperkuat dengan pemeriksaan yaitu:

1. Anamnesis

Gambaran klinis CTS adalah nyeri di tangan atau lengan terutama pada malam

hari atau saat bekerja, pengecilan dan kelemahan otot-otot eminensia tenar,

hilangnya sensasi pada tangan pada distribusi nervus medianus, parestesia seperti

kesemutan pada distribusi nervus medianus, kondisi ini sering bilateral (Ginsberg,

2008). Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja.

Gangguan motorik hanya terjadi pada keadaan yang berat. Gejala awal biasanya

berupa parestesia, kurang merasa (numbness) atau rasa seperti terkena aliran

listrik (tingling) pada jari dan setengah sisi radial jari sesuai dengan distribusi

sensorik nervus medianus, walaupun kadang-kadang dirasakan mengenai seluruh

jari-jari (Rambe, 2004).

Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari (nokturnal) dan

muncul setelah bekerja pada sebagian besar pasien. Gejala lainnya adalah nyeri di

tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam hari. Pasien sering terbangun

di malam hari atau pagi hari dan menjabat tangan mereka untuk meringankan

gejala ini. Rasa nyeri ini umumnya agak berkurang bila penderita memijat atau

menggerak-gerakkan tangannya atau dengan meletakkan tangannya pada posisi


16

yang lebih tinggi. Nyeri juga akan berkurang bila penderita lebih banyak

mengistirahatkan tangannya (Rambe, 2004).

Lokasi gejala ini dapat dilaporkan sebagai keterlibatan seluruh tangan atau

pada permukaan palmar ibu jari dan dua atau tiga jari (Franklin, et al., 2009).

Kelemahan dari tangan atau menjatuhkan benda merupakan tanda-tanda yang

mungkin menunjukkan kerusakan otot. Apabila tidak segera ditagani dengan baik

maka jari-jari menjadi kurang terampil misalnya saat mengambil benda-benda

kecil. Kelemahan pada tangan juga sering dinyatakan dengan keluhan adanya

kesulitan yang penderita sewaktu menggenggam. Pada tahap lanjut dapat dijumpai

atrofi otot-otot thenar (oppones pollicis dan abductor pollicis brevis) dan otot-otot

lainya yang diinervasi oleh nervus medianus (Rambe, 2004; Mumenthaler, et al.,

2006; Franklin, et al., 2009; Sjamsuhidajat and de Jong W, 2010).

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan harus dilakukan secara menyeluruh pada penderita dengan perhatian

khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan otonom tangan. Beberapa pemeriksaan dan

tes provokasi yang dapat membantu menegakkan diagnosa CTS adalah sebagai

berikut (Jeffrey, et al., 2002):

a). Phalen's test: Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila

dalam waktu 60 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.

Beberapa penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif untuk menegakkan

diagnosa CTS.
17

Gambar 2.4 Phalen’s Test


Dikutip dari https://erlisphysio.wordpress.com/

b). Torniquet test: Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan tomiquet dengan

menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan

sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong

diagnosa.

Gambar 2.5 Torniquet Test


Dikutip dari https://medisavvy.com/tourniquet-test/

c). Tinel's sign: Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia atau nyeri pada

daerah distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi pada terowongan karpal

dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.


18

Gambar 2.6 Tinel’s Test


Dikutip dari https://erlisphysio.wordpress.com/

d). Flick's sign: Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-

gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan menyokong

diagnosa CTS. Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat dijumpai pada penyakit

Raynaud.

e). Thenar wasting: Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-

otot thenar.

f). Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual maupun

dengan alat dynamometer

g). Wrist extension test: Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara

maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat

dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS, maka tes ini

menyokong diagnosa CTS.

Gambar 2.7 Wrist extension Test


Dikutip dari https://www.medistudents.com/
19

h). Pressure test: Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan

menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul gejala

seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.

Gambar 2.8 Pressure Test


Dikutip dari https://erlisphysio.wordpress.com/

i). Luthy's sign (bottle's sign): Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari

telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita idak dapat

menyentuh dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung

diagnosa

Gambar 2.9 Luthy's Sign


Dikutip dari

j). Pemeriksaan sensibilitas: Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik

(two-point discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus,

tes dianggap positif dan menyokong diagnosa.


20

k). Pemeriksaan fungsi otonom: Pada penderita diperhatikan apakah ada

perbedaan keringat, kulit yang kering atau licin yang terbatas pada daerah

innervasi nervus medianus. Bila ada akan mendukung diagnose CTS.

Dari pemeriksaan provokasi diatas Phalen test dan Tinel test adalah tes yang

patognomonis untuk CTS (Tana, et al., 2004).

3. Pemeriksaan Penunjang

a). Pemeriksaan neurofisiologi (elektrodiagnostik)

Elektrodiagnostik meliputi nerve conduction studies (NCS) dan

elektromiografi (EMG). Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi,

polifasik, gelombang positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot

thenar. Adapun indikasi pemeriksaan elektrodiagnostik adalah sebagai berikut

(Fisher, et al., 2004). Pasien yang tidak ada perbaikan dengan penanganan

konservatif pertimbangan pembedahan ntuk menyingkirkan kelainan radikulopati

ataupun saraf terjepit lainnya.

Pada beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada otot-otot lumbrikal. EMG

bisa normal pada 31% kasus CTS. Kecepatan Hantar Saraf (KHS). Pada 15-25%

kasus, KHS bisa normal. Pada yang lainnya KHS akan menurun dan masa laten

distal (distal latency) memanjang, menunjukkan adanya gangguan pada konduksi

saraf di pergelangan tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten

motorik (Latov and Norman, 2007).

Temuan yang terdapat pada CTS meliputi (Ross, 1997):

- Kelainan masa laten atau konduksi sensoris atau motoris distal median melalui

daerah carpal tunnel.


21

- Perubahan elektromiografi dalam eminensia tenar dengan tidak ditemukan

kelainan proksimal.

- Pedoman nilai normal untuk batas atas latensi:Latensi motorik distal median 4.2

msec/8 cm, Latensi sensorik distal median (Pergelangan-jari) 3,5 cm sec/14 cm,

Latensi intrapalmar median (Palmar-pergelangan tangan) 2,2 msec /8cm,

Perbedaan segmental median 0,4msec/cm. Catatan: suhu tangan harus dikontrol

(86-93oF/30-34oC). Suhu dingin dapat memperpanjang masa laten dan

memperlambat kecepatan konduksi saraf. Electromyographers dapat

menggunakan jarak dan/atau nilai-nilai masa laten yang berbeda, data normatif ini

harus tersedia dari laboratorium untuk menetapkan kriteria untuk CTS.

Indikasi Elektromiografi (EMG):

- Diindikasikan jika ada dugaan perubahan neurogenik akut/kronis.

- Untuk membedakan CTS dengan jebakan saraf proksimal, radikulopati, atau

miopati.

- Sebagian besar pasien dengan CTS didokumentasikan oleh pengujian

elektrodiagnostik tidak membutuhkan tes NCS/EMG ulang secara rutin atau

berkala.

- Pada dugaan CTS dengan hasil pemeriksaan normal, pengujian dinamis (pra dan

pasca latihan) simulasi pekerjaan/non kerja dapat membantu.

- Pemeriksaan ulang pada interval yang tepat (3-4 bulan) mungkin menunjukkan

perkembangan dari abnormalitas konduksi.

- Pengujian tambahan mungkin diindikasikan pada kasus pasca operasi yang tetap

bergejala.
22

- Individu dengan diagnosa CTS di satu sisi mungkin memiliki NCS yang

abnormal pada sisi berlawanan. Pembedahan tidak boleh dilakukan kecuali pada

kasus yang terdapat gejala (Ross, 1997).

b). Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium umumnya diperlukan untuk menyingkirkan penyakit

yang mendasari. Pasien diskrining pada pemeriksaan awal untuk tanda-tanda atau

gejala diabetes, hipotiroidisme, kehamilan, artritis, dan penyakit inflamasi terkait.

Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia muda tanpa adanya

gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan seperti

kadar gula darah, kadar hormon tiroid, atau darah lengkap. Pemeriksaan ini jarang

diindikasikan kecuali pasien dengan gejala atau tanda menjamin laboratorium

khusus (Rambe dan Aldi, 2004; Franklin, et al., 2009).

c). Pencitraan: X-ray, CT, MRI, USG

Umumnya pemeriksaan ini tidak diindikasikan kecuali pada trauma akut,

deformitas tulang. Pemeriksaan sinar X terhadap pergelangan tangan dapat

membantu melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto

polos leher berguna untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra.

USG, CT scan dan MRI dilakukan pada kasus yang selektif terutama yang akan

dioperasi. USG dilakukan untuk mengukur luas penampang dari saraf median di

carpal tunnel proksimal yang sensitif dan spesifik untuk carpal tunnel syndrome

(Ross, 1997; Wilkinson and Maureen, 2001; Rambe dan Aldi, 2004; Cartwright,

et al., 2012).
23

2.8 Diagnosa Banding

Diagnosa banding dari CTS antara lain:

1. Cervical radiculopathy. Biasanya keluhannya berkurang bila leher

diistirahatkan dan bertambah hila leher bergerak. Distribusi gangguan sensorik

sesuai dermatomnya.

2. Thoracic outlet syndrome. Dijumpai atrofi otot-otot tangan lainnya selain otot-

otot thenar. Gangguan sensorik dijumpai pada sisi ulnaris dari tangan dan lengan

bawah.

3. Pronator teres syndrome. Keluhannya lebih menonjol pada rasa nyeri di

telapak tangan daripada CTS karena cabang nervus medianus ke kulit telapak

tangan tidak melalui terowongan karpal.

4. de Quervain's syndrome. Tenosinovitis dari tendon muskulus abductor pollicis

longus dan ekstensor pollicis brevis, biasanya akibat gerakan tangan yang

repetitif. Gejalanya adalah rasa nyeri dan nyeri tekan pada pergelangan tangan di

dekat ibu jari. KHS normal. Finkelstein's test dilakukan dengan palpasi otot

abduktor ibu jari pada saat abduksi pasif ibu jari, positif bila nyeri bertambah.

2.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan carpal tunnel syndrome bergantung pada etiologi, durasi

gejala, dan intensitas kompresi saraf. Jika sindrom adalah suatu penyakit sekunder

untuk penyakit endokrin, hematologi, atau penyakit sistemik lain, penyakit primer

harus diobati. Kasus ringan bisa diobati dengan obat anti inflamasi non steroid

(OAINS) dan menggunakan penjepit pergelangan tangan yang mempertahankan

tangan dalam posisi netral selama minimal 2 bulan, terutama pada malam hari

atau selama gerakan berulang. Kasus lebih lanjut dapat diterapi dengan injeksi
24

steroid lokal yang mengurangi peradangan. Jika tidak efektif, dan gejala yang

cukup mengganggu, operasi sering dianjurkan untuk meringankan kompresi

(Pecina, et al., 2001; Latov and Norman, 2007).

Menurut Jeffrey et al (2002) terapi CTS dibagi atas 2 kelompok, yaitu:

1. Terapi langsung terhadap CTS

a). Terapi konservatif

 Istirahatkan pergelangan tangan.

 Obat anti inflamasi non steroid.

 Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan. Bidai dapat

dipasang terus-menerus atau hanya pada malam hari selama 2-3 minggu.

 Nerve Gliding, yaitu latihan terdiri dari berbagai gerakan (ROM) latihan

dari ekstremitas atas dan leher yang menghasilkan ketegangan dan gerakan

membujur sepanjang saraf median dan lain dari ekstremitas atas. Latihan-

latihan ini didasarkan pada prinsip bahwa jaringan dari sistem saraf perifer

dirancang untuk gerakan, dan bahwa ketegangan dan meluncur saraf

mungkin memiliki efek pada neurofisiologi melalui perubahan dalam

aliran pembuluh darah dan axoplasmic. Latihan dilakukan sederhana dan

dapat dilakukan oleh pasien setelah instruksi singkat.

Gambar 2.10 Nerve Gliding


Dikutip dari Huldani, 2013
25

Gambar 2.11 CTS Exercise


Dikutip dari www.geronguide.com

 Injeksi steroid. Deksametason 1-4 mg 1 atau hidrokortison 10-25 mg atau

metilprednisolon 20 mg atau 40 mg diinjeksikan ke dalam terowongan

karpal dengan menggunakan jarum no.23 atau 25 pada lokasi 1 cm ke arah

proksimal lipat pergelangan tangan di sebelah medial tendon musculus

palmaris longus. Sementara suntikan dapat diulang dalam 7 sampai 10 hari

untuk total tiga atau empat suntikan. Tindakan operasi dapat

dipertimbangkan bila hasil terapi belum memuaskan setelah diberi 3 kali

suntikan. Suntikan harus digunakan dengan hati-hati untuk pasien di

bawah usia 30 tahun.


26

 Vitamin B6 (piridoksin). Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu

penyebab CTS adalah defisiensi piridoksin sehingga mereka

menganjurkan pemberian piridoksin 100-300 mg/hari selama 3 bulan.

Tetapi beberapa penulis lainnya berpendapat bahwa pemberian piridoksin

tidak bermanfaat bahkan dapat menimbulkan neuropati bila diberikan

dalam dosis besar. Namun pemberian dapat berfungsi untuk mengurangi

rasa nyeri.

 Terapi latihan fisioterapi. Ditujukan pada perbaikan vaskularisasi

pergelangan tangan.

Terapi Latihan merupakan suatu modalitas fisioterapi yang

pelaksanaannya menguunakan gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif.

Tujuannya adalah memperbaiki dan mencegah gangguan fungsi tubuh,

mengoptimalkan status kesehatan, memperbaiki kecacatan (Arovah,

2007). Latihan yang dilakukan pada penderita CTS adalah:

a. Passive ROM Exercise

Gerakan yang dilakukan dengan bantuan dari luar misalkan dari fisioterapi

atau dari alat tanpa menggunakan kekuatan pasien.

b. Active ROM Exercise

Gerakan yang diselenggarakan dan dikontrol oleh kerja otot yang disadari

dan melawan tahanan dari luar.

1) Free Active Exercise adalah latihan strengthening dengan gerakan yang

dihasilkan oleh kontraksi otot yang melawan gravitasi tanpa bantuan atau

tenaga baik dari luar tubuh ataupun dari dalam tubuh itu sendiri.
27

2) Resisted Active Movement adalah latihan strengthening secara dinamis

ataupun statik yang melibatkan kontraksi otot dengan tahanan dari luar

yang bisa berupa manual maupun memakai alat (Kisner and Colby, 2007).

b). Terapi operatif

Operasi hanya dilakukan pada kasus yang tidak mengalami perbaikan dengan

terapi konservatif atau bila terjadi gangguan sensorik yang berat atau adanya atrofi

otot-otot thenar. Pada CTS bilateral biasanya operasi pertama dilakukan pada

tangan yang paling nyeri walaupun dapat sekaligus dilakukan operasi bilateral.

Penulis lain menyatakan bahwa tindakan operasi mutlak dilakukan bila terapi

konservatif gagal atau bila ada atrofi otot-otot thenar, sedangkan indikasi relatif

tindakan operasi adalah hilangnya sensibilitas yang persisten (Rambe dan Aldi,

2004).

Biasanya tindakan operasi CTS dilakukan secara terbuka dengan anestesi lokal,

tetapi sekarang telah dikembangkan teknik operasi secara endoskopik. Operasi

endoskopik memungkinkan mobilisasi penderita secara dini dengan jaringan parut

yang minimal, tetapi karena terbatasnya lapangan operasi tindakan ini lebih sering

menimbulkan komplikasi operasi seperti cedera pada saraf. Beberapa penyebab

CTS seperti adanya massa atau anomaly maupun tenosinovitis pada terowongan

karpal lebih baik dioperasi secara terbuka (Rambe dan Aldi, 2004).

2. Terapi terhadap keadaan atau penyakit yang mendasari CTS

Keadaan atau penyakit yang mendasari terjadinya CTS harus ditanggulangi,

sebab bila tidak dapat menimbulkan kekambuhan CTS kembali. Pada keadaan di

mana CTS terjadi akibat gerakan tangan yang repetitif harus dilakukan

penyesuaian ataupun pencegahan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk


28

mencegah terjadinya CTS atau mencegah kekambuhannya antara lain (Bachrodin,

2011):

a). Mengurangi posisi kaku pada pergelangan tangan, gerakan repetitif, getaran

peralatan tangan pada saat bekerja.

b). Desain peralatan kerja supaya tangan dalam posisi natural saat kerja.

c). Modifikasi tata ruang kerja untuk memudahkan variasi gerakan.

d). Mengubah metode kerja untuk sesekali istirahat pendek serta mengupayakan

rotasi kerja.

e). Meningkatkan pengetahuan pekerja tentang gejala-gejala dini CTS sehingga

pekerja dapat mengenali gejala-gejala CTS lebih dini.

Di samping itu perlu pula diperhatikan beberapa penyakit yang sering

mendasari terjadinya CTS seperti trauma akut maupun kronik pada pergelangan

tangan dan daerah sekitarnya, gagal ginjal, penderita yang sering dihemodialisa,

myxedema akibat hipotiroidi, akromegali akibat tumor hipofise, kehamilan atau

penggunaan pil kontrasepsi, penyakit kolagen vaskular, artritis, tenosinovitis,

infeksi pergelangan tangan, obesitas dan penyakit lain yang dapat menyebabkan

retensi cairan atau menyebabkan bertambahnya isi terowongan karpal (Bachrodin,

2011).

2.10 Komplikasi

Komplikasi CTS diantaranya yaitu:

 atrofi otot-otot thenar

 kelemahan otot-otot thenar

 Ketidakmampuan tangan untuk melakukan aktivitas


29

2.11 Prognosis

Pada kasus CTS ringan, dengan terapi konservatif umumnya prognosa baik.

Bila keadaan tidak membaik dengan terapi konservatif maka tindakan operasi

harus dilakukan. Secara umum prognosa operasi juga baik, tetapi karena operasi

hanya dilakukan pada penderita yang sudah lama menderita CTS penyembuhan

post operatifnya bertahap (Bachrodin, 2011).

Bila setelah dilakukan tindakan operasi, tidak juga diperoleh perbaikan maka

dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini (Bachrodin, 2011):

1. Kesalahan menegakkan diagnosa, mungkin jebakan/tekanan terhadap nervus

medianus terletak di tempat yang lebih proksimal.

2. Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus.

3. Terjadi CTS yang baru sebagai akibat komplikasi operasi seperti akibat edema,

perlengketan, infeksi, hematoma atau jaringan parut hipertrofik. Sekalipun

prognosa CTS dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik, tetapi

resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan,

prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.


30

2.12 Algoritma

Gambar 2.12 Algoritma Carpal Tunnel Syndrome.


Dikutip dari Goktekin, et al., 2017

Anda mungkin juga menyukai