Sekapur Sirih
Disisi lain, disruption in healthcare Indonesia juga terjadi dari semua sektor. Dari
sisi pembiayaan, kita sudah mendirupsi sistem pembiayaan kita dengan bundling
payment INACBG. Dari sisi penjamin, BPJS Kesehatan telah mendisrupsi kita
semua dengan Vedika dan Eclaim. Dari sisi pasien, yang saat ini sebagian besar
adalah generasi X dan Millenial yang sangat erat kesehariannya dengan
penggunaan teknologi informasi dan digitalisasi. Dari sisi pegawai, fasilitas
kesehatan saat ini didominasi oleh generasi X, Milenial dan sebentar lagi
generasi Z yang dari lahir sudah hidup dalam era internet dan teknologi
Informasi.
Kita harus membangun rumah sakit sebagai organisasi yang agile atau tangkas
terhadap perubahan tersebut.
Yang pertama para pemimpin rumah sakit perlu betul-betul menyadari bahwa
masa depan itu sudah sampai , the future is now. Penggunaan artificial intelligent
sudah banyak menggantikan peran fasilitas kesehatan bahkan dokter. Diantara
inovasi tersebut adalah The BioMind AI system buatan the Artificial Intelligence
Research Centre for Neurological Disorders at the Beijing Tiantan Hospital telah
berhasil membuat diagnosis yang benar dan akurat terhadap 87% dari 225
kasus dalam waktu 15 menit. Dibandingkan 66% diagnosis yang benar dari
kasus yang sama yang dilakukan oleh para dokter spesialis bedah saraf disana.
Yang kedua para pemimpin rumah sakit perlu melakukan transformasi budaya
organisasi yang memiliki sifat terbuka pada perubahan dan mendukung
tumbuhnya perbaikan berkelanjutan dengan digital mindset. Hal ini sangat
penting untuk membawa seluruh organisasi tidak hanya bertahan tetapi juga
memenangkan situasi di era yang volitile ini.
Yang ketiga para pemimpin rumah sakit perlu mempelajari betul tentang digital
disruption in healthcare ini dan membuat peta jalan untuk organisasinya
menghadapi. Dapat dimulai dari hal-hal sederhana yang dapat merubah cara
kerja kita melakukan pelayanan kesehatan. Bagaimana rumah sakit dapat
memebrikan pelayanan lebih cepat, lebih efisien dan lebih berkualitas pada saat
yang sama. Ini semua memerlukan bantuan teknologi informasi. Bagaimana
posisis rumah sakit saat ini dalam hal penerapan sistem informasi rumah sakit ?
apakah sudah siap menggunakan rekam medik elektronik ? yang harganya tidak
perlu mahal namun bermanfaat bagi pengguna dan organisasinya.
Yang keempat kita harus melihat kembali bagaimana hubungan antar faskes
dalam jenjang rujukan. Apakah aliran infromasinya sudah berjalan dengan baik
atau tidak ? apakah sudah menggunakan telemedicine yang sesungguhnya ?
untuk mengantisipasi barier georgrafi antara pasien dengan rumah sakit kita.
Yang kelima yang harus kita sadari juga bahwa disruption tidak hanya yang
sifatnya digital, namun non digital disruption juga banyak. Diantaranya
perubahan harga dolar, regulasi-regulasi baru dan sebagainya yang perlu
diantisipasi dengan membangun budaya pegawai kita yang sangat adaptif
terhadap perubahan.
Era JKN seharusnya justu menjadi titik tolak seluruh rumah sakit Indonesia
untuk bersiap menghadapi digital disruption in healthcare. Karena kita semua
sudah sukses menghadapi disruption pertama yaitu perubahan ke bundling
payment.
“Perubahan tidak perlu ditakuti,
terutama yang bersifat disruptif
(menghancurkan cara kerja
lama), namun dapat menjadi
pendorong untuk berevolusi dan
menciptakan layanan kesehatan
yang lebih baik”
--- DR. dr. Fathema Djan Rachmat Sp.B, Sp.BTKV (K), MPH ---
--- dr. Astari Mayang Anggarani, MARS
10 Juli 2018
Referensi :
Making indonesia 4.0, Kemenperindustrian
http://www.globaltimes.cn/content/1108967.shtml
https://hbr.org/2015/12/what-is-disruptive-innovation
http://socal.himsschapter.org/summer-2014-patient-engagement-wearables-and-other-home-
health-devices
Sandra Gittlen. Can Startups rescue healthcare?. NEJM Catalyst. 2017. via
https://catalyst.nejm.org/startups-disruptive-innovation-rescue-healthcare/
Mckinsey Global Institute. A Future that works: automation, employment and productivity.
January.2017