ESEI
UNTUK MEMENUHI TUGAS AKHIR MATAKULIAH
Geografi Pengembangan Wilayah
yang dibimbing oleh Satti Wagistina, S.P., M.Si
Oleh
Asis Wahyudi
109821422712
Pelaksanaan pembangunan SLG tidak sepenuhnya sesuai dengan prosedur yang telah
direncanakan. Masalah muncul mengenai status kepemilikan tanah kawasan SLG. Kasus
ini berawal dari terkuaknya kenyataan bahwa tanah SLG dan sekitarnya yang selama ini
dibeli oleh pemerintah kabupaten melalui dana APBD ternyata belum sah menjadi milik
pemkab. Terbukti, hingga saat ini pembelian tanah yang menghabiskan dana milik
masyarakat hingga puluhan bahkan ratusan miliar ini belum mempunyai sertifikat.
Padahal salah satu bukti bahwa tanah dimiliki seseorang atau lembaga/instansi adalah
dengan menunjukkan sertifikat.
Sampai sekarang, status lahan bangunan prestisius itu tidak jelas. Menurut Redaksi
Demonstran (2011), hingga September 2010, baru empat petak yang masuk proses
sertifikasi di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kediri, selebihnya belum
diajukan. Berdasarkan data yang diperoleh wartawan, menyebutkan empat petak yang
sekarang dalam proses sertifikasi itu masing-masing seluas 1.767 meter persegi, 1.169
meter persegi, 175 meter persegi, dan 4.790 meter persegi. Menurut BPN (Badan
Pertanahan Nasional) Kabupaten Kediri, sampai saat ini proses sertifikasi sedang
berlangsung. BPN, menurutnya masih memproses peta bidang. Pengukuran tanah untuk
empat bidang itu baru tuntas pada beberapa bulan lalu.
Lambatnya proses sertifikasi tanah ini karena persyaratan yang diajukan pemkab dalam
sertifikasi juga belum lengkap. Sehingga pihak BPN tidak bisa memproses sertifikasi lebih
lanjut. Adapun persyaratan yang belum dipenuhi, diantaranya: bukti pajak PPH, bukti
pendukung tanah yang dimohon, pernyataan selisih luas tanah , dan beberapa persyaratan
lainnya. Jika persyaratan tersebut telah terpenuhi, BPN barulah akan melanjutkan proses
sertifikasi.
Empat bidang tanah yang sekarang dalam proses sertifikasi BPN adalah tanah yang
terletak di selatan SLG. Lokasinya masuk kawasan Desa Tugurejo, Kecamatan Ngasem.
Sedangkan tanah yang di lokasi lainnya, masih belum dalam proses sertifikasi, termasuk
tanah yang ditempati monument SLG dan menjadi kompleks perkantoran serta tanah
tempat convention hall berdiri. Berikuta adalah tanah SLG yang masih dalam Proses
Sertifikat (BPN dalam Demonstran 2011):
a. Petak 1.767 meter persegi
b. Petak 1.169 meter persegi
c. Petak 175 meter persegi
d. Petak 4.790 meter persegi
e. Syarat yang belum dipenuhi : Bukti pajak PPH, bukti pendukung tanah yang dimohon,
pernyataan selisih luas tanah.
2. Penataan Bangunan
Secara umum, penetapan lokasi Simpang Lima Gumul memang tidak menyalahi aturan
dari RTRW Kabupaten Kediri maupun RDTRK Kecamatan Gampengrejo. Akan tetapi,
penataan bangunan di SLG masih belum sepenuhnya layak sebagai suatu CBD. Menurut
RTRW Kabupaten Kediri (2003), sebagai pusat pelayanan skala kota faslitasnya meliputi:
pusat pendidikan, kesehatan, perdagangan dan jasa, peribadatan, serta olahraga yang
melayani tingkat kota atau wilayah perencanaan. Lokasinya diarahkan pada tempat-
tempat yang cenderung menjadi aglomerasi fasilitas pelayanan tingkat kota yang sudah
ada.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa fasilitas pusat perdagangan dibangun di
basement monumen, terminal dan waterparka ada di sisi utara dan barat laut monumen,
sedangkan convention hall ada di sisi selatan monumen. Padahal kalau mengacu pada
aturan di RTRW Kabupaten tersebut, seharusnya fasilitas utama sebagai CBD adalah
adanya pusat pemerintahan di area CBD, sementara pusat pemerintahan Kabupaten
Kediri berada 1,5 km barat Monumen SLG tepatnya di Jalan Soekarno-Hatta 1 Kediri.
Pusat pendidikan berupa Dinas Pendidikan Kabupaten Kediri berada 0,5 km dari pusat
monumen. Tentunya hal ini perlu dipertanyakan tentang kelayakan Simpang Lima Gumul
sebagai CBD Kabupaten Kediri. Apalagi tempat peribadatan dan kesehatan sebagai
sarana vital juga belum ada dalam rencana pembangunan SLG. Hal ini semakin
mengurangi syarat suatu CBD yang dibangun.
Dalam artikel yang ditulis oleh Dandung Purwono disebutkan bahwa pembangunan water
park di area SLG merupakan bentuk ketidakfahaman kepala daerah Kabupaten Kediri
tentang penetaan ruang. Bupati akan membanguan sebuah kota baru dengan simbol
monumen SLG, sedangkan tidak lebih dari satu kilometer ada waterpark, di seberang
jalan ada terminal dan tidak jauh lagi disisi utara ada pabrik susu. Ini jelas menyalahi
aturan pembangunan tataruang yang telah direncanakan sebelumnya. Dalam aturannya,
tidak menyebutkan fasilitas pariwisata di dalam sebuah pusat pelayanan berskala kota,
dan dalam hal ini adalah CBD Kabupaten Kediri.
Apalagi keberadaan subterminal yang berada di seberang waterpark dan sangat dekat
dengan pusat CBD dirasa kurang pas. Meskipun dalam rencana memang ada, tetapi
bukan tidak mungkin jika memang nantinya pembangunan SLG sudah benar-benar
rampung, kesan kumuh, kotor, dan kurang nyaman (crowded) akan nampak mengganggu
keindahan Simpang Lima Gumul yang menjadi trade center. Belum lagi jika terjadi tindak
kriminal di sekitar terminal, pasti para pengusaha dan investor besar yang sedang
berbisnis di mall dan pusat trade centre akan sangat terganggu. Dinas perhubungan yang
ada di sebelah barat terminal harus mampu mengelola keberadaan terminal agar lebih
mampu meningkatkan kemudahan aksesibilitas menuju pusat CBD. Pasalya banyak sekali
sopir angkot dan kernet bus yang mengeluh kekurangan penumpang jika harus lewat
SLG. Mereka mengeluhkan aturan wajib ini, biaya bensin yang mereka keluarkan lebih
besar daripada yang sebelumnya karena lewatnya harus memutar monumen.
Keberadaan pasar tugu setiap hari Sabtu dan Minggu di satu sisi memang memberikan
manfaat bagi para penduduk Kabupeten Kediri untuk memasarkan hasil produksinya.
Hanya saja, saat ini pelaksanaannya masih belum maksimal. Penataannya masih terkesan
kurang baik dan pedagangnya pun masih belum begitu ramai. Apalagi sapah-sampah yang
sering berceceran ke mana-mana. Meskipun sudah ada pihak yang membersihkan, namun
ada saja pedagang yang nakal yang membuang sampah sembarangan. Apabila hal ini
dibiarkan terus menerus, saat SLG sudah rampung nanti akan menimbulkan berbagai
masalah yang kompleks lainnya.
Idealnya, dalam sebuah CBD ada Ruang Terbuka Hijau yang dikelola sedemikian rupa.
Luas Ruang Terbuka Hijau alah 30% dari luas kawasan yang direncanakan (Sumarmi,
2010). Akan tetapi keberadaan RTH di SLG masih berupa persawahan dan bukan taman
yang dikelola. Keberadaan RTH ini selain sebagai penyejuk juga mampu menambah nilai
estetis sebuah banguanan.
Namun demikian, salah satu upaya penting dalam pengembangan trade centre adalah
adanya studio JTV sebagai sarana untuk mengomunikasikan hasil industri dan
keunggulan berinvestasi di CBD Kabupaten Kediri tersebut. Dengan adanya media
komunikasi tersebut produk-prodik dan fasilitas terbaru dari Simpang Lima Gumul akan
lebih mudah untuk dipasarkan.
Besarnya ganti kerugian banguan telah disepakati dengan sistem borongan, akan tetapi
besarnya ganti kerugian tetap dituangkan dalam SK Bupati Kediri nomor 698 tahun 2002
tanggal 31 Juli 2002 yaitu gedung permanen dengan tiga kondisi:
2. Dampak Ekonomi
a. Dampak Positif
Keberadaan SLG diharapkan mampu meningkatkan pendapatan daerah Kabupaten
Kediri melalui pajak daerah. Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan SLG (Surya
online):
• Meningkatkan PAD dari retribusi dan pajak
• Meningkatkan kesejahteraan rakyat lewat home industri dan UKM
• Memajukan Kabupaten Kediri di sektor ekonomi dan pariwisata
• Mengurangi pengangguran
Dalam pelaksanaanya, saat ini tujuan itu belum berjalan dengan maksimal.
Pasalnya sampai hari ini baru ada satu investor yang mau berinvestasi di CBD SLG, yakni
PT. Panorama Wisata yang berinvestasi dalam pembangunan Gumul Paradise Island.
Namun demikian, secara umum pembangunan Simpang Lima Gumul telah memberikan
dampak positif , yakni: dapat membantu masyarakat memenuhi kebutuhan ekonomi,
meningkatkan penghasilan masyarakat sekitar, meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sekitar yang mempunyai lahan yang cukup luas di sekitar Kawasan Simpang Lima Gumul,
meningkatkan pendapatan bagi warga yang sebelumnya berprofesi sebagai buruh tani
menjadi pedagang di Kawasan Simpang Lima Gumul, menciptakan lapangan pekerjaan
bagi para remaja dan pengangguran di sekitar Kawasan Simpang Lima Gumul.
b. Dampak Negatif
Dampak yang paling menyolok adalah dampak negatif dari perekonomian di Kabupaten
Kediri. Pembangunan CBD dengan SLG sebagai ikonnya tak seindah awal inspirasi
pendiriannya. Sejumlah kontroversi yang memantik protes dan unjuk rasa mulai kalangan
aktivis antikorupsi hingga budayawan hingga kini terus bermunculan. Kontroversi
terbesar adalah gemuknya anggaran APBD yang terkuras untuk kawasan itu. Selebihnya
soal transparansi penggunaan anggaran serta sistem tender proyek yang tidak dilakukan
secara terbuka. Salah satu pihak yang paling getol menolak dan ingin memerkarakan
proyek prestisius ini secara hukum adalah Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Peduli
(LBHIP) Kediri. Total dana yang sudah dikeluarkan untuk proyek menara itu sudah
mencapai Rp300 miliar. Padahal dalam rencananya membutuhakn dana 1 triliun lebih.
Ada perbandingan menarik antara dana yang dikeluarkan untuk proyek Central Business
District (CBD) Kabupaten Kediri, Jawa Timur, dan anggaran untuk sarana pendidikan.
Pada 2007, setidaknya 300 gedung sekolah rusak di kabupaten itu. Namun, pemkab hanya
menganggarkan Rp 8,1 miliar untuk sekitar 80 sekolah. Padahal di tahun yang sama
mantan Bupati Kediri Sutrisno menganggarkan Rp 71 miliar untuk proyek CBD dan Rp
41,9 miliar pada 2008. Masalah tersebut sunggu ironi. Di tengah kemajua zaman yang
menuntut setiap orang untuk pandai justru dana yang seharusnya digunakan untuk
pendidikan dilimpahkan pada sesuatu yang lain yang memiliki jangka pendek, yakni uang.
Isu korupsi juga sempat terdengar di kalangan masyarakat. Kabarnya KPK mengusut
tidak transparannya dana 48 milyar yang mengucur tanpa sidang paripurna oleh Mantan
Bupati Kediri, Sutrisno. Setiap tahun, keuangan daerah terus diperas untuk membiayai
proyek multiyears CBD SLG ini, dan DPRD tidak pernah menghalanginya (infokorupsi,
2011). Dari sini kita bisa tahu, ada unsur kerjasama antara pihak pihak yang terkait
pembangunan CBD SLG. Entah itu benar ataukah tidak, kita harus selalu waspada dan
kritis.
3. Dampak Lingkungan
Dampak lingkungan pembangunan SLG lebih terfokus pada berkurangnya Ruang
Terbuka Hijau Kota. Di SLG ada ruang terbuka hijau, hanya saja belum dikelola dengan
baik. Terbukti dengan masih banyknya persawahan di sekitar monumen yang masih
dimanfaatkan oleh warga untuk mencari rumput.
Kesimpulan
Berdasarkan tata ruang yang saat ini dilaksanakan, SLG belum sepenuhnya layak
dikatakan sebagai Central Business District. Hal ini karena masih banyak fasilitas vital
yang tidak direncanakan dan tidak dibangun di kawasan CBD SLG. Masih banyaknya
kejanggalan dalam hal APBD yang mengucur deras akibat pembangunan Simpang Lima
Gumul. Akan tetapi, pembanguan SLG juga memiliki dampak positif dan negatiaf
terhadap sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Kediri, di antaranya membuka peluang
usaha baru bagi masyarakat, sehingga dalam jangka panjang diharapkan mampu
mengurangi angka pengangguran di Kabupaten Kediri.
Saran
Sebaiknya dalam pembangunan suatu wilayah harus dipertimbangkan mengenai beberapa
aspek dalam penngembangannya. Kalau perlu melibatkan kaum cendekiawan, misalnya
mahasiswa yang berkompeten dalam bidang perencanaan wilayah, agar dalam
perencanaannya dapat ditinjau dari segi penataan ruang yang baik, bukan hanya
mementingkan segi ekonomi saja. Karena pada dasarnya dalam pengembangan wilayah,
birokrasi sangat erat kaitannya dengan eduakasi. Selain itu, perlu pengawasan yang ketat
dari pihak pemerintah daerah Kediri dalam pelaksanaan pembangunan SLG agar
pengucuran dana APBD dapat ditekan.