Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kematian hanya dapat dialami oleh organisme hidup. Secara medis,

kematian merupakan suatu proses dimana fungsi dan metabolisme sel organ-organ

internal tubuh terhenti. Dikenal beberapa istilah kematian, yaitu mati somatis,

mati seluler, mati serebral, dan mati batang otak. Mati somatis (mati klinis) terjadi

akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan yaitu susunan saraf

pusat, sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan, yang menetap. Mati seluler

adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul akibat terhentinya

penggunaan oksigen serta metabolisme normal sel dan jaringan. Proses ini

kemudian diikuti oleh proses autolisis dan pembusukan (Howard, dkk,. 2007).

Setiap sel tubuh memiliki perbedaan waktu untuk mengalami kematian sel

disebabkan oleh perbedaan metabolisme seluler didalamnya. Neuron korteks

memerlukan waktu paling cepat yaitu 3-7 menit setelah sel kehabisan oksigen.

Pada tubuh terjadi kematian sel demi sel dan kematian secara keseluruhan akan

terjadi dalam beberapa jam. Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak

yang ireversibel kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem

lainnya yaitu respirasi dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat.

Mati batang otak adalah bila terjadi kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial

yang ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati

batang otak, maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat

dikatakan hidup lagi (Howard, dkk., 2007).


Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenali secara klinis pada

seseorang melalui tanda kematian yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat.

Hal ini merupakan hal yang sangat penting dalam investigasi suatu kasus

kematian, dimana perubahan postmortem banyak memberikan informasi baik

mengenai waktu kematian, penyebab, maupun mekanisme kematian (Morgan,

dkk,. 1988).

Memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan mempunyai arti

penting khususnya bila dikaitkan dengan proses penyidikan, dengan demikian

penyidik dapat lebih terarah dan selektif di dalam melakukan pemeriksaan

terhadap para tersangka pelaku tindak pidana. Seorang ahli forensik harus mampu

mendeskripsikan penyebab dan mekanisme kematian seseorang. Mekanisme

kematian timbul akibat abnormalitas dari aspek biokimia dan fisiologi tubuh yang

berujung pada kematian (Howard, dkk,. 2007).

Dalam mempelajari kematian, dikenal istilah Thanatologi. Thanatologi

berasal dari kata thanatos yang berarti berhubungan dengan kematian dan logos

yang berarti ilmu. Thanatologi adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang

mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor

yang mempengaruhi perubahan tersebut (Howard, dkk,. 2007).

Perubahan pada tubuh tersebut dapat timbul dini pada saat meninggal atau

beberapa menit kemudian. Tanda-tanda kematian dibagi atas tanda kematian pasti

dan tidak pasti. Tanda kematian tidak pasti adalah penafasan berhenti, sirkulasi

terhenti, kulit pucat, tonus otot menghilang dan relaksasi, pembuluh darah retina

mengalami segmentasi dan pengeringan kornea. Sedangkan tanda pasti kematian

adalah lebam mayat (livor mortis), kaku mayat (rigor mortis), penurunan suhu
tubuh (algor mortis), pembusukan, mumifikasi, dan adiposera (Howard, dkk,.

2007).

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana menentukan perkiraan pada saat kematian korban?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk memperkirakan saat kematian korban.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengenal ilmu thanatologi

2. Mengetahui perubahan – perubahan yang terjadi pada jenazah

3. Menentukan perkiraan saat kematian korban

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi masyarakat

Dapat membantu penyidik dalam memperkirakan saat kematian korban di tempat

kejadian perkara.

2. Manfaat bagi dokter

Menjadi bekal bagi dokter mengetahui cara – cara memperkirakan saat kematian

korban di tempat kejadian perkara.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Tanatologi (Kematian)

Tanatologi berasal dari kata thanatos (yang berhubungan dengan

kematian) dan logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu Kedokteran

Forensik yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kematian yaitu

definisi atau batasan mati, perubahan yang terjadi pada tubuh setelah terjadi

kematian dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut .

Mati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya

fungsi sirkulasi dan respirasi secara permanen (mati klinis). Dengan adanya

perkembangan teknologi ada alat yang bisa menggantikan fungsi sirkulasi

dan respirasi secara buatan. Oleh karena itu definisi kematian berkembang

menjadi kematian batang otak. Brain death is death. Mati adalah kematian

batang otak.

2.2 Jenis-Jenis Kematian

Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati somatis

(mati klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati otak (mati batang

otak). Mati somatis (mati klinis) ialah suatu keadaan dimana oleh karena sesuatu

sebab terjadi gangguan pada ketiga sistem utama tersebut yang bersifat menetap

Pada kejadian mati somatis ini secara klinis tidak ditemukan adanya refleks,

elektro ensefalografi (EEG) mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak

terdengar, tidak ada gerak pernapasan.


dan suara napas tidak terdengar saat auskultasi. Mati suri (apparent

death) ialah 3 sistem tak terdeteksi aktifitasnya dengan alat sederhana,

namun masih dapat terdeteksi dengan alat canggih. Dewasa ini sudah tidak

dikenal lagi kata mati suri dalam kepustakaan baru oleh karena kemampuan

deteksi kematian yang semakin baik, misalnya dengan memilih memeriksa

denyut nadi karotis daripada memeriksa denyut jantung dengan stetoskop .

Mati otak (mati batang otak) ialah kematian dimana bila telah terjadi

kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang irreversible, termasuk

batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati batang

otak) maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat

dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan . Keadaan yang

mirip dengan kematian somatis, akan tetapi gangguan yang terdapat pada

ketiga sistem bersifat sementara. Kasus seperti ini sering ditemukan pada

kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam. Mati

seluler (mati molekuler) ialah suatu kematian organ atau jaringan tubuh

yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup

masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya

kematian seluler pada tiap organ tidak bersamaan. Mati serebral ialah suatu

kematian akibat kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversible kecuali

batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem

pernapasan dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan.

Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada

seseorang berupa tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh

mayat. Perubahan tersebut dapat timbul dini pada saat meninggal atau
beberapa menit kemudian, misalnya kerja jantung dan peredaran darah

berhenti, pernafasan berhenti, refleks cahaya dan kornea hilang, kulit pucat

dan relaksasi otot. Setelah beberapa waktu timbul perubahan pasca mati

yang jelas yang memungkinkan diagnosis kematian lebih pasti. Tanda-tanda

tersebut dikenal sebagai tanda pasti kematian berupa lebam mayat

(hipostasis atau lividitas pasca mati), kaku mayat (rigor mortis), penurunan

suhu tubuh, pembusukan, mumifikasi dan adiposera.

Adapun tanda kematian tidak pasti :

1. Pernafasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi,

palpasi, auskultasi)

2. Terhentinya sirkulasi, dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak

teraba.

3. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya,

karena mungkin terjadi spasme agonal sehingga wajah tampak

kebiruan.

4. Tonus otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dari otot-otot wajah

menyebabkan kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat

orang menjadi tampak lebih muda. Kelemasan otot sesaat setelah

kematian disebut relaksasi primer. Hal ini mengakibatkan pendataran

daerah-daerah yang tertekan, misalnya daerah belikat dan bokong

pada mayat yang terlentang.

5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah

kematian. Segmen-segmen tersebut bergerak ke arah tepi retina dan

kemudian menetap.
6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit

yang masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air.

2.3 Tanda Pasti Kematian

A. Kaku mayat (Rigor Mortis)

Rigor mortis adalah kekakuan pada tubuh setelah kematian yang disebabkan

karena tidak terdapat adenosine trifosfat (ATP) dalam otot. Pada saat awal

kematian, tubuh menjadi flaccid. Namun dalam 1 hingga 3 jam setelah itu,

kekakuan otot mulai meningkat dan terjadi imobilisasi pada sendi (Dix, dkk,.

2001).

Kelenturan otot setelah kematian masih dapat dipertahankan karena

metabolisme tingkat seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen

otot yang menghasilkan energi. Energi ini digunakan untuk mengubah ADP

menjadi ATP. Selama masih terdapat ATP maka serabut aktin dan myosin tetap

lentur. Bila cadangan glikogen dalam otot habis maka energi tidak tebentuk lagi,

aktin dan myosin akan menggumpal dan otot menjadi kaku (Sepherd, dkk,. 2003).
Gambar 1: Sumber energi untuk kontraksi otot.

Otot membutuhkan pasokan energi dari ATP untuk berkontraksi karena

jumlah yang tersedia di otot hanya mampu untuk mempertahankan fungsi

kontraksi otot selama beberapa detik. Terdapat tiga jalur metabolisme yang

mempertahankan agar pasokan ATP dalam otot tetap tersedia yaitu sistem

fosfagen, sistem glikogen-asam laktat dan sistem aerobik. Ketika otot menjadi

anoksia maka suplai oksigen berkurang sehingga ATP tidak diproduksi sehingga

terjadi proses glikolisis aerobik sehingga meningkatkan kadar asam laktat dan

asam piruvat. Kadar glikogen dalam otot berkurang, pH seluler menjadi 6 dan

kadar ATP mulai berkurang. Normalnya, ATP berfungsi untuk menghambat

aktivitas pelekatan antara aktin dan myosin (Pounder, DJ, 1995).

Pada keadaan optimal, sistem fosfagen dapat menyediakan energi untuk

digunakan oleh otot untuk berkontraksi selama 10-15 detik, sistem glikogen asam

laktat menyediakan energi selama 30 hingga 40 detik dan sistem aerobik untuk

waktu yang tidak terbatas (Dix, dkk,. 2001).


Gambar 2: Gambaran aktivitas aktin dan myosin pada saat kontraksi dan

relaksasi otot.

Kaku mayat akan terjadi pada seluruh otot baik otot lurik maupun otot

polos dan bila terjadi pada otot anggota gerak, maka akan didapatkan suatu

kekakuan yang mirip atau menyerupai papan sehingga dibutuhkan tenaga untuk

melawan kekuatan tersebut (Howard, dkk, 2007).

Kadar glikogen yang terdapat pada setiap otot berbeda-beda, sehingga

sewaktu terjadinya pemecahan glikogen menjadi asam laktat dan energi pada saat

terjadinya kematian somatik, akan menyebabkan adanya perbedaan kadar ATP

dalam setiap otot. Keadaan ini dapat menerangkan alasan kaku mayat mulai

tampak pada jaringan otot yang jumlah serabut ototnya sedikit. Kaku mayat

biasanya tampak pertama kali pada rahang dilanjutkan siku dan kemudian pada

lutut. Pada laki-laki, kaku mayat lebih hebat dibandingkan pada perempuan oleh

karena laki-laki memiliki massa otot yang lebih besar dibandingkan wanita

(Morgan, dkk,. 1988).

Pada rata-rata orang pada suhu ruangan yang biasa, rigor mortis biasanya

terlihat 2-4 jam setelah kematian. Dan biasanya terjadi rigor mortis sempurna
setelah meninggal.Tubuh mengalami rigor mortis sempurna ketika rahang, siku,

dan lutut sudah tidak dapat digerakkan lagi. Hal ini berlangsung 10-12 jam setelah

kematian pada suhu ruangan 70-750 F. Keadaan ini akan menetap 24-36 jam dan

setelah itu, kaku mayat akan mulai menghilang (Howard, dkk,. 2007).

Rigor Mortis pada Otot Involunter

 Kontraksi muskulus erektor pilli (otot polos folikel rambut) bermanifestasi

sebagai goose bumps (cutis anserina). Hal ini menunjukkan mayat terpapar

suhu dingin setelah mati.

Gambar 3: Cutis anserine.

 Kontraksi vesikel seminalis (otot polos) setelah kematian menyebabkan

keluarnya cairan seminalis (semen). Dapat pula menunjukkan terjadinya

aktivitas seksual setelah kematian.

 Muskulus cilliaris pada iris mengubah ukuran pupil. Diameter pupil

berkisar antara 0,2-0,9 cm. Sisi luar pupil tidak selamanya berbentuk

sirkuler. Kedua pupil dapat berubah secara tersendiri dan memiliki ukuran

yang tidak sama. Namun demikian, ukuran pupil tidak dapat digunakan
untuk menentukan sebab kematian. Ukuran kedua pupil yang tidak sama

tidak menunjukkan terjadinya trauma kepala.

Kontraksi miokard ventrikel kiri menyebabkan dindingnya bertambah

tebal dan berisi sejumlah kecil darah.

Rigor Mortis pada Otot Volunter (Otot Skelet)

Rigor mortis pada otot skelet menyebabkan terjadinya kekakuan pada sendi.

Adapun beberapa proses yang terjadi selanjutnya yaitu :

 Initial flaccidity (kecuali instantaneous rigor)

Terdapat sejumlah ATP yang cukup pada awal fase postmortem yang

mengakibatkan otot-otot mengalami relaksasi dan sendi menjadi lemas.

Fase ini berkisar antara 0,5-7 jam (rata-rata sekitar 3 + 2 jam).

 Onset

Rigor terjadi secara bersamaan di semua otot, tetapi terjadi lebih cepat

pada kelompok otot yang lebih kecil. Perubahan rigor mortis tidak terjadi

secara konstan dan simetris. Rigor dimulai dari rahang, selanjutnya ke

ekstremitas superior dan akhirnya ke ekstremitas inferior. Waktu yang

dibutuhkan untuk terjadinya rigor secara keseluruhan di semua sendi

bervariasi mulai dari 2 hingga 20 jam. Seseorang yang mati dalam keadaan

supine menunjukkan sedikit fleksi pada siku dan lutut. Rigor bertahan

selama 24-96 jam.

 Resolusi (secondary flaccidity)

Rigor mulai berkurang dan bahkan menghilang saat terjadi denaturasi

hubungan aktin-myosin dan dimulainya dekomposisi. Waktu yang


dibutuhkan sekitar 24-192 jam. Umumnya rigor mortis awalnya terlihat di

otot wajah dan menyebar ke dada, ekstremitas lalu ke seluruh tubuh. Pola

menghilangnya rigor mortis juga mengikuti urutan munculnya. Awalnya

menghilang di wajah lalu kemudian menyebar ke dada dan ekstremitas

(Morgan, dkk,. 1988).

Gambar 4 :Rigor Mortis yang ditemukan pada mayat 2 hari setelah

kematian.

B. Lebam Mayat (Livor Mortis)

Livor mortis (post-mortem hypostasis, kebiruan) adalah perubahan warna

pada tubuh setelah kematian akibat pengendapan darah sesuai gaya gravitasi yang

tidak lagi dipompa melalui tubuh oleh jantung. Lebam mayat terbentuk bila

terjadi kegagalan sirkulasi darah dalam mempertahankan tekanan hidrostatik yang

menggerakan darah mencapai capillary bed di mana pembuluh-pembuluh darah

kecil afferen dan efferen saling berhubungan (Dix, dkk,. 2000).

Maka secara bertahap darah yang mengalami stagnasi di dalam pembuluh

vena besar dan cabang-cabangnya akan dipengaruhi gravitasi dan mengalir ke


bawah, ke tempat-tempat yang terendah yang dapat dicapai. Dikatakan bahwa

gravitasi lebih banyak mempengaruhi sel darah merah tetapi plasma akhirnnya

juga mengalir ke bagian terendah yang memberikan konstribusi pada

pembentukan gelembung-gelembung di kulit pada awal proses pembusukan (

Indriati, 2011).

Adanya eritrosit di daerah yang lebih rendah akan terlihat di kulit sebagai

perubahan warna biru kemerahan. Oleh karena pengumpalan darah terjadi secara

pasif maka tempat-tempat di mana mendapat tekanan local akan menyebabkan

tertekannya pembuluh darah di daerah tersebut sehingga meniadakan terjadinya

lebam mayat yang mengakibatkan kulit di daerah tersebut berwarna lebih pucat

(Dix, dkk,. 2000).

Livor mortis biasanya terlihat sekitar 1 jam setelah kematian dan sering

terlihat, dalam waktu 20-30 menit setelah kematian. Perubahan warna meningkat

dan biasanya menjadi tetap sekitar 8-10 jam pada waktu ini dapat dikatakan lebam

mayat terjadi secara menetap. Menetapnya lebam mayat ini disebabkan oleh

karena terjadinya perembesan darah ke dalam jaringan sekitar akibat rusaknya

pembuluh darah akibat tertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah yang banyak,

adanya proses hemolisa sel-sel darah dan kekakuan otot-otot dinding pembuluh

darah. Dengan demikian penekanan pada daerah lebam yang dilakukan setelah 8-

12 jam tidak akan menghilang. Hilangnya lebam pada penekanan dengan ibu jari

dapat member indikasi bahwa suatu lebam belum terfiksasi secara sempurna.

Setelah empat jam, kapiler-kapiler akan mengalami kerusakan dan butir-butir

darah merah juga akan rusak. Pigmen-pigmen dari pecahan darah merah akan

keluar dari kapiler yang rusak akan mewarnai jaringan di sekitarnya sehingga
menyebabkan warna lebam mayat akan menetap serta tidak hilang jika ditekan

dengan ujung jari atau jika posisi mayat dibalik. Jika pembalikan posisi dilakukan

setelah 12 jam dari kematiannya. Maka lebam mayat baru tidak akan timbul pada

posisi terendah, karena darah sudah mengalami koagulasi (Dix, dkk,. 2000).

Fenomena lebam mayat yang menetap ini sifatnya lebih bersifat relative.

Perubahan lebam ini lebih mudah terjadi pada 6 jam pertama sesudah kematian,

bila telah terbentuk lebam primer kemudian dilkukan perubahan posisi maka akan

terjadi lebam sekunder pada posisi berlawanan. Distribusi dari lebam mayat yang

ganda ini adalah penting untuk menunjukan telah terjadi manipulasi posisi pada

tubuh. Akan tetapi waktu yang pasti untuk terjadinya pergeseran lebam ini adalah

tidak pasti, Poslon mengatakan “untuk menunjukan tubuh sudah diubah dalam

waktu 8 sampai 12 jam”, sedangkan Camps memberikan patokan kurang lebih 10

jam (Dix, dkk,. 2000).

Akumulasi darah pada daerah yang tidak tertekan akan menyebabkan

pengendapan darah pada daerah yang tidak tertekan akan menyebabkan

pengendapan darah pada pembuluh darah kecil yang dapat mengakibatkan

pecahnya pembuluh darah kecil tersebut dan berkembang menjadi petechie

(tardieu’s spot) dan purpura yang kadang-kadang berwarna gelap yang

mempunyai diameter dari satu sampai beberapa milimeter, biasanya memerlukan

waktu 18 sampai 24 jam untuk terbentuknya dan sering diartikan bahwa

pembusukan sudah mulai terjadi. Fenomena ini sering terjadi pada asphyxia atau

kematian yang terjadinya lambat (Dix, dkk, 2000).


Gambar 5 : Lebam Mayat.

Orang meninggal ------> Jantung berhenti bekerja ------> Sirkulasi darah

terhenti ------> Pengendapan butir darah dalam kapiler dalam letak rendah

------> butir darah terkoagulasi ------> Hemolisis

C. Penurunan Suhu Tubuh (Algor Mortis)

Pada saat sel masih hidup ia akan selalu menghasilkan kalor dan energi.

Kalor dan energi ini terbentuk melalui proses pembakaran sumber energi seperti

glukosa, lemak, dan protein. Sumber energi utama yang digunakan adalah

glukosa. Satu molekul glukosa dapat menghasilkan energi sebanyak 36 ATP yang

nantinya digunakan sebagai sumber energi dalam berbagai hal seperti transpor

ion, kontraksi otot dan lain-lain. Energi sebanyak 36 ATP hanya menyusun sekitar

38% dari total energi yang dihasilkan dari satu molekul glukosa. Sisanya sebesar

62% energi yang dihasilkan inilah yang dilepaskan sebagai kalor atau panas

(Algozi, 2011).
Gambar 6: Glukogenesis.

Sesudah mati, metabolisme yang menghasilkan panas akan terhenti

sehingga suhu tubuh akan turun menuju suhu udara atau medium di sekitarnya.

Penurunan ini disebabkan oleh adanya proses radiasi konduksi, dan pancaran

panas. Proses penurunan suhu pada mayat ini biasa disebut algor mortis. Algor

mortis merupakan salah satu perubahan yang dapat kita temukan pada mayat yang

sudah berada pada fase lanjut post mortem (Algozi, 2011).

Pada beberapa jam pertama, penurunan suhu terjadi sangat lambat dengan bentuk

sigmoid. Hal ini disebabkan ada 2 faktor, yaitu

1. Masih adanya sisa metabolisme dalam tubuh mayat, yakni karena masih

adanya proses glikogenolisis dari cadangan glikogen yang disimpan di otot

dan hepar.

2. Perbedaan koefisien hantar sehingga butuh waktu yang mencapai tangga

suhu.
Pada jam-jam pertama penurunannya sangat lambat tetapi sesudah itu

penurunan menjadi lebih cepat dan pada akhirnya menjadi lebih lambat kembali.

Jika dirata-rata maka penurunan suhu tersbut antara 0,9 sampai 1 derajat celcius

atau sekita 1,5 derajat Farenheit setiap jam, dengan catatan penurunan suhu

dimulai dari 37 derajt celcius atau 98,4 derajat Farenheit sehingga dengan dapat

dirumuskan cara untuk memperkirakan berapa jam mayat telah mati dengan

rumus (98,4oF- suhu rektal oF) : 1,5oF. Pengukuran dilakukan per rektal dengan

menggunakan termometer kimia (long chemical termometer). Terdapat dua hal

yang mempengaruhi cepatnya penurunan suhu mayat ini yakni:

1.Faktor Internal

a. Suhu tubuh saat mati

Sebab kematiam, misalmya perdarahan otak dan septikemia, mesti dengan

suhu tubuh tinggi. Suhu tubuh yang tinggi pada saat mati ini akan

mengakibatkan penurunan suhu tubuh menjadi lebih cepat. Sedangkan,

pada hipotermia tingkat penurunannya menjadi sebaliknya.

b. Keadaan tubuh mayat

Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat penurunan

suhu tubuh mayat. Pada mayat yang tubuhnya kurus, tingkat

penurunannya menjadi lebih cepat.

2.Faktor Eksternal

a. Suhu medium
Semakin besar selisih suhu antara medium dengan mayat maka semakin

cepat terjadinya penurunan suhu. Hal ini dikarenakan kalor yang ada di

tubuh mayat dilepaskan lebih cepat ke medium yang lebih dingin.

b. Keadaan udara di sekitanya

Pada udara yang lembab, tingkat penurunan suhu menjadi lebih besar. Hal

ini disebabkan karena udara yang lembab merupakan konduktor yang baik.

Selain itu, aliran udara juga makin mempercepat penurunan suhu tubuh

mayat.

c. Jenis medium

Pada medium air, tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat sebab air

merupakan konduktor panas yang baik sehingga mampu menyerap banyak

panas dari tubuh mayat.

d. Pakaian mayat

Semakin tipis pakaian yang dipakai maka penurunan suhu mayat semakin

cepat. Hal ini dikarenakan kontak antara tubuh mayat dengan suhu

medium atau lingkungan lebih mudah.

D. Pembusukan

Dalam pembusukan terjadi dua proses yaitu autolysis dan putrefaction.

Pembusukan adalah proses penghancuran dari jaringan tubuh yang terjadi setelah

kematian akibat aktivitas bakteri dan enzim (Howard, dkk,. 2007).

1. Autolisis

Penghancuran jaringan adalah hasil dari proses enzim endogenous yang

dikenal sebagai proses autolysis. Autolysis adalah pelunakan dan pencairan


jaringan yang terjadi dalam keadaan steril. Autolisis timbul akibat kerja digestif

oleh enzim yang dilepaskan sel pasca mati dan hanya dapat dicegah dengan

pembekuan jaringan (Howard, dkk,. 2007).

Pada autolisis terjadi pelepasan enzim yang berasal dari pankreas dan asam

lambung yang berasal dari lambung. Pankreas menghasilkan banyak enzim

pencernaan diantaranya adalah amylase, lipase, dan tripsinogen. Pada kematian,

enzim ini dilepaskan oleh sel eksokrin dari pancreas dan enzim ini mencernakan

dirinya sendiri (terjadi autodigesti). Lambung terdiri dari banyak sel yang

menghasilkan enzim dan asam hidroklorida yang berperan penting dalam

pencernaan. Ketika meninggal, pepsinogen dan asam hidroklorida dilepaskan dari

sel lambung dan memberikan autodigesti dari mukosa lambung itu sendiri

(gastromalasia). Jika hal ini berlangsung terus menerus, maka akan menyebabkan

perforasi dari lambung. Proses yang sama juga terjadi pada esophagus akibat dari

relaksasi sphincter esophagus sehingga cairan dari lambung masuk ke esophagus

(esofagomalasia). Akibat gastromalasia dan esofagomalasia, akan menyebabkan

perembesan isi cairan lambung ke cavum abdomen sehingga menyebabkan

penghancuran struktur organ sekitar (Cox, 2009).

Ketika sel tubuh mencapai fase akhir dari proses autolisis, suasana lingkungan

sekitar menjadi anaerobik. Pada saat ini, bakteri normal pada tubuh akan mulai

berkembang dan mengancurkan jaringan tubuh dengan memproduksi asam, gas

dan bahan-bahan organic (fase putrefaction) (Cox,, 2009).

2. Putrefaction

Sedangkan putrefaction adalah pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas

bakteri. Setelah seseorang meninggal, bakteri yang normal hidup dalam tubuh
segera masuk ke jaringan. Darah merupakan media terbaik bagi bakteri tersebut

untuk bertumbuh. Sebagian besar bakteri berasal dari usus dan traktus

respiratorius. Bakteri ini merupakan bakteri anaerobik yang memproduksi spora,

bakteri yang berbentuk coliform, mikrokokus, dan golongan proteus. Peningkatan

kadar organism anaerobik disebabkan karena peningkatan kadar ion hidrogen

dalam jaringan yang terjadi bersamaan dengan penurunan kadar oksigen (Howard,

dkk,. 2007).

Tanda awal dari proses pembusukan (putrefaction) yang terjadi adalah

munculnya warna kehijauan pada kulit yang sering ditemukan pada kuadran

bawah abdomen, dan biasanya tampak juga pada periumbilikus dan bagian

abdomen kiri bawah. Hal ini dapat terlihat 36 hingga 72 jam setelah kematian

pada suhu sekitar 70oF. Warna kehijauan disebabkan karena penyebaran bakteri

dari caecum yang kemudian menyebar ke kuadran abdomen lainnya, dada,

anggota gerak, lalu wajah. Pada proses pembusukan ini terbentuk gas-gas alkana,

H2S dan HCN, serta asam amino dan asam lemak.Hasil dari putrefaction adalah

udara, cairan, dan garam. Warna kehijauan ini disebabkan oleh terbentuknya sulf-

met-hemoglobin dimana H2S yang berasal dari pemecahan protein akan bereaksi

dengan Hb, membentuk Hb-S dan Fe-S. Secara bertahap warna kehijauan ini akan

menyebar ke seluruh perut dan dada, dan bau busuk pun mulai tercium. Pembuluh

darah bawah kulit akan tampak seperti melebar dan berwarna hijau kehitaman

(Shkrum, dkk,. 2002).


Gambar 7: Terjadi perubahan warna kulit menjadi lebih kehijauan

terutama pada daerah perut.

Pada keadaan ini, kulit tampak lebih licin dan tampak vesikel dan bulla

yang multipel. Kulit ari kemudian akan dengan mudah terlepas bila tergeser atau

tertekan. Dalam minggu kedua akan terbentuk gelembung-gelembung

pembusukan yang merupakan kelanjutan dari perubahan kulit ari diatas.

Gelembung-gelembung tersebut berisi cairan berwarna merah kehitaman yang

disertai dengan bau pembusukan, yang bila dipecahkan akan tampak kulit pada

dasar gelembung tersebut licin dan berwarna merah jambu. Kulit tampak lebih

mudah terkelupas bagian epidermisnya. Selain itu, rambut pada daerah kulit ini

juga akan lebih mudah mengalami kerontokan (Shkrum, dkk,. 2002).

Gambar 8: Tampak kulit yang licin disertai dengan vesikel dan bulla yang

telah pecah.
Gambar 9 : Patomekanisme pembusukan.

Terdapat dua proses yang mempengaruhi terjadinya pembusukan yaitu adiposera

dan mumifikasi :

 Adiposera

Adiposera adalah terbentuknya bahan berwarna keputihan, lunak, atau

berminyak, berbau tengik yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh

paskamati. Adiposera terutama terdiri dari asam-asam lemak tak jenuh yang

terbentuk dari hidrolisis lemak dan mengalami hidrogenisasi sehingga

terbentuk asam lemak jenuh pasca mati yang tercampur dengan sisa-sisa otot,

jaringan ikat, jaringan saraf yang termumifikasi, dan kristal-kristal sferis

dengan gambaran radial (Howard, dkk,. 2007).

Adiposera akan membuat gambaran permukaan luar tubuh dapat bertahan

hingga bertahun-tahun, sehingga identifikasi mayat dan perkiraan sebab


kematian masih dapat dimungkinkan. Faktor-faktor yang mempermudah

terbentuknya adiposera adalah kelembapan dan lemak tubuh yang cukup

(Howard, dkk,. 2007).

Pembusukan akan terhambat oleh adanya adiposera karena derajat

keasaman dan dehidrasi jaringan bertambah (Howard, dkk,. 2007).

Gambar 10 : Kulit tampak sebagai “soap like apperance” (saponifikasi).

 Mumifikasi

Mumifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang

cukup cepat sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat

menghentikan pembusukan. Jaringan berubah menjadi keras dan kering,

berwarna gelap, berkeriput, dan tidak membusuk karena kuman tidak dapat

berkembang pada lingkungan yang kering. Mumifikasi terjadi bila suhu

hangat, kelembapan rendah, aliran udara yang baik, tubuh yang dehidrasi dan

waktu yang lama (Howard, dkk,. 2007).


Gambar 11: Mumifikasi tubuh bagian atas.

Grafik di bawah ini menunjukkan perubahan post mortal yang dikaitkan dengan

saat kematian (Morgan, dkk,. 1988).

2.4 Penentuan Waktu Kematian Terkini

 Forensik Entomologi
Aktivitas serangga juga dapat digunakan untuk memperkirakan saat

kematian yaitu dengan menentukan umur serangga yang biasa ditemukan pada

jenazah. Lalat pemakan bangkai (Zoosaprofag) biasanya digunakan dalam

entomologi forensik, untuk penentuan umur suatu mayat karena serangga

tersebut sering ditemukan pada mayat, contoh Famili Calliphoridae,

Sarcopagidae, Staphilinidae, Histeridae dan Silphidae. Serangga yang tertarik

pada mayat, secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok:

pertama, spesies nekrofagus; yang memakan jaringan tubuh mayat, kedua

kelompok predator dan parasit; yang memakan serangga nekrofagus dan

kelompok terakhir adalah kelompok spesies omnivore yang memakan baik

jaringan tubuh mayat dan juga memakan serangga lain. Dari tiga kelompok ini,

kelompok spesies nekrofagus adalah kelompok spesies yang paling penting

dalam membantu membuat perkiraan saat kematian. Sejalan dengan proses

pembusukan, beberapa generasi serangga dapat menetap pada tubuh mayat.

Berbagai faktor seperti derajat pembusukan, penguburan, terendam dalam air,

proses mumifikasi dan kondisi geografi dapat menentukan kecepatan

kerusakan tubuh mayat, dan berapa tipe serangga dan berapa generasi serangga

yang dapat ditemukan (Nurwidayati, 2009).

Lalat adalah serangga yang paling umum diasosiasikan dengan

pembusukan. Lalat cenderung menempatkan telurnya dalam orificium tubuh

atau pada luka terbuka. Kecenderungan ini kemudian akan mengakibatkan

berubahnya bentuk luka dan bahkan hancurnya daerah sekitar luka. Telur lalat

umumnya terdeposit pada mayat segera setelah kematian pada siang hari. Bila

mayat tidak dipindahkan dan hanya telur yang ditemukan dari mayat, maka
dapat diasumsikan bahwa waktu kematian berkisar antara 1 sampai 2 hari.

Angka ini sedikit variatif, tergantung pada temperature, kelembapan dan

spesies lalat. Setelah menetas, larva berkembang lebih besar hingga akhirnya

mencapai tahap pulpa. Tahap ini dapat memakan waktu 6 sampai 10 hari pada

kondisi tropis biasa. Lalat dewasa keluar dari pulpa pada 12 sampai 18 hari.

Harus diingat bahwa banyak variable yang mempengaruhi perkembangan

serangga, karenanya dari opini para penulis, suatu usaha memperkirakan saat

kematian dengan menggunakan metode dari entomologi, harus dibantu oleh

seorang ahli entomologi medik (Nurwidayati, 2009).

Dalam perkembangannya dari telur menjadi dewasa, serangga ada yang

menjalani metarmorphosis lengkap dan ada yang menjalani metarorphosis

tidak lengkap. Pada metarmorphosis tidak lengkap, versi kecil Dari serangga

dewasa menetas dari telur. Serangga bertahap ini secara bertahap matang

menjadi bentuk dewasa. Pada metarmorphosis lengkap, serangga menetas dari

telur sebagai larva. Larva ini memiliki bentuk yang amat berbeda dengan

bentuk dewasanya. Setelah beberapa waktu larva memasuki fase istirahat, yang

disebut pupa. Dari pupa serangga keluar sebagai serangga telah terbentuk

sesuai anatomi dan histology serangga dewasa (Nurwidayati, 2009).


Gambar 13 : Metarmorphosis lengkap lalat.

Gambar 12: Wajah yang ditutupi dengan larva.

 Humor Vitreus

Memperkirakan saat mati secara kimia dalam humor vitreus sudah pernah

dicoba selama 30 tahun belakangan ini, walaupun tidak pernah diterima sebagai
pemeriksaan rutin. Dasar pemikiran dari digunakannya humor vitreus dalam

penentuan saat mati ialah karena cairan ini bebas terkontaminasi dari darah,

bakteri dan produk-produk autolisa postmortem bila dibandingkan dengan LCS.

Sebenarnya banyak yang dapat dinilai untuk penentuan saat mati melalui humor

vitreus, seperti mengukur kadar asam askorbat, konsentrasi asam piruvat,

hypoxanthine,glukosa dan potassium, tetapi yang paling banyak dipakai sebagai

penentuan saat mati adalah kadar potassium dalam humor vitreus.Pengikut

pengikut Jaffe adalah yang pertama kali memperkenalkan peningkatan kadar

potassium dan menghubungkannya dengan saat kematian, dan John Coe adalah

forensik patologis yang berpengalaman dalam hal ini. Sesudah kematian,

potassium interseluler menembus masuk kedalam retina melalui membran sel

yang setelah kematian menjadi membran yang permeable, dan kemudian masuk

kedalam corpus vitreus. Disini terdapat peningkatan yang nyata dan progressif

dari konsentrasi potassium sesudah mati, tetapi masih menjadi perdebatan apakah

peningkatan ini secara linear atau bifasik. Cara pengambilan humor vitreus ini

tidaklah sulit, hanya dibutuhkan 2 ml dari tiap mata dengan jarum lunak syringe

no 20. Sering didapati perbedaan kadar potassium mata kiri dan mata kanan dalam

satu individu. Selain itu bila aspirasinya dilakukan secara paksa atau terlalu dekat

dengan retina dapat mengubah nilai dari hasil pemeriksaan oleh karena potassium

mencapai vitreus dengan jalan menembus retina. Pengaruh suhu juga masih

menjadi perdebatan yang penting (Ferryal, 2011).

Elektrolit lain yang dapat diperiksa dari humor vitreus adalah konsentrasi

sodium dan chlorida, dimana konsentrasi elektolit - elektrolit ini megalami

penurunan sesudah kematian, dan ini dapat digunakan untuk memeriksa


reabilitasnya satu sama lain, misalnya kadar potassium adalah < 15 mmol/l maka

kadar sodium dan chlorida dapat diperkirakan, dimana penurunan chlorida kurang

dari 1 mmol/l/jam dan sodium adalah 0.9 mmol/l/jam, sehingga

penurunan sodium disini tidak signifikan pada beberapa jam pertama, berbeda

dengan potassium yang peningkatannya terjadi secara bermakna. Sturner

menemukan cara pengukuran yang paling populer dalam penentuan potassium

vitreus untuk penentuan saat mati dengan menggunakan rumus (Ferryal, 2011) :

7,4 x konsentrasi potassium (mEq/L)- 3,91

Teknik analisa yang digunakan untuk menentukan potassium sering

memberi hasil yang berbeda pula, sebagai contoh Coe pada tahun 1985

mengatakan bahwa penggunaan metode flame fotometrik memberikan nilai 5

mmol/l kurang untuk sodium , 7 mmol/l kurang untuk potassium dan 10 mmol/l

kurang untuk chloride bila dibandingkan dengan pemeriksaan dengan

menggunakan methode specifik electrode yang modern. Pada orang yang

mengalami saat mati yang lama seperti pada penyakit-penyakit kronis dengan

retensi nitrogen memberi hasil yang berbeda bila dibandingkan dengan sudden

death, agaknya gangguan elekrolit premotral pada pasien juga mempengaruhi

hasil pemeriksaan. Hasil dari pemeriksaan dengan mengunakan flame fotometri

dalam mmol/l bila sodium >155 ,chloride > 135, dan urea > 40 ini dipercaya

sebagai indiksasi dari dehidrasi antemortem. Bila sodium dan choride adalah

normal tetapi kelebihan urea adalah 150, diagnosis uremia dapat diterima. Angka

ini berbeda dengan dekomposisi postmortem dimana konsentrasi sodium adalah


< 130, chloride < 105 dan potassium >20 mellitus. Problem umum yang sering

ditemukan dalam autopsi adalah mendiagnosa diabetes yang tidak terkontrol dan

hypoglikemia, glukosa pada cairan vitreus biasanya turun setelah kematian dan

akan mencapai angka nol dalam beberapa jam. Coe pada tahun 1973

melakukan 6000 analisa , dan dia mendapatkan glukosa vitreus yang lebih dari

11.1 mmol/l adalah indikator yang tidak variable dari diabetes gula darah rendah

antemortem. Sturner pada tahun 1972 menghubungkan adanya kadar glukosa

vitreus yang kurang dari 1.4 mmol/l marupakan petunjuk adanya gula darah yang

rendah antemortem, tetapi berapapun konsentrasinya interprestasi ini tidak

reliable untuk dapat digunakan sebagai pegangan. Pada hipotermia terdapat juga

peningkatan glukosa vitreus tetapi tidak lebih besar dari 11.1 mmol/l (Ferryal,

2011).

 Penggosongan Isi Lambung

Banyak para pathologis memperdebatkan penggunaan isi lambung sebagai

pengukuran saat mati dan menghubungkannya dengan saat makan terakhir

sebelum terjadi kematian. Dasar dari metode pengosongan lambung sebagai

penentuan saat mati adalah bahwa makanan hampir mempunyai waktu yang sama

di lambung sebelum dilepaskan dan masuk kedalam duodenum yang secara fisik

sudah diubah oleh asam lambung , yang diukur pada saat makanan itu ditelan.

Adelson mengatakan secara fisiologis biasanya makanan ringan meninggalkan

lambung dalam 1,5 jam sampai 2 jam sesudah makan, makanan yang jumlahnya

sedang membutuhkan waktu 3 sampai 4 jam untuk meninggalkan lambung, dan

untuk makanan berat memerlukan waktu 4 sampai 6 jam sebelum seluruhnya


dikeluarkan kedalam duodenum. Makanan biasanya mencapai distal ileum antara

6 sampai 8 jam sesudah makan. Modi memberi batasan 4 sampai 6 jam untuk

makan daging dan sayuran dan 6 sampai 7 jam untuk makanan biji-bijian dan

kacang-kacangan. Akan tetapi semua nilai-nilai ini adalah sangat bervariasi dari

tiap individu. Metode terbaru dengan menggunakan teknik radioisotop dalam

penelitian mengenai pengosongan lambung memperlihatkan hal-hal yang

menarik. Bila makanan padat dimakan bersama dengan air maka air akan

meninggalkan lambung lebih cepat terlepas dari sifat atau kandungan kalori dari

bagian yang padat. Akan tetapi cairan yang mengandung kalori ternyata tinggal

lebih lama dalam lambung (Ferryal, 2011).

Pengalaman menunjukan bahwa waktu pengosongan lambung ini tidaklah

konstan, waktu pengosongan lambung yang lama tidak hanya disebabkan oleh

penyakit dalam saluran cerna saja tetapi juga oleh faktor-faktor psikologis atau

trauma fisik terutama yang mengenai kepala (Ferryal, 2011).

 Pertumbuhan Rambut

Pengetahuan mengenai rata-rata tumbuh rambut mula memberi petunjuk

dalam membuat perkiraan kapan saat cukur terakhir. Sejak rambut berhenti

pertumbuhannya pada saat kematian maka panjang dari jenggot mayat mungkin

dapat menjadi pemikiran tentang lamanya waktu antara kematian dan cukur

terakhir. Gonzales dkk, pada tahun 1954 mengatakan rata-rata pertumbuhan

rambut adalah 0,4 mm/hari, sedangkan Balthazard seperti yang dikutip oleh

Derobert dan Le Breton tahun 1951 mengatakan rata-rata pertumbuhan rambut

adalah 0,5 mm/hari, dan menurut Glaister pada tahun 1973 adalah 1-3
mm/minggu, akan tetapi pada tiap2 individu mempunyai perbedaan dalam rata

pertumbuhan dalam area yang sama, juga variasi rata-rata dari satu tempat ke

tempat lain di muka dan juga berbeda dari satu individu ke individu yang lain.

Selain itu variasi musim atau iklim mempengaruhi metabolisme dari tubuh itu

sendiri. Pada pria rata-rata pertumbuhan rambut pipi adalah 0,25 mm/hari dalam

bulan agustus-oktober di antartica, akan tetapi pada temperatur iklim di Lautan

Pasifik dalm bulan April adalah 0,325 mm (Ferryal, 2011).

Pertumbuhan panjang jenggot diukur dengan mencukur mayat, dan

diletakkannya di atntara slide dan gelas objek yang kemudian diukur dibawah

mikroskop 80% dari rambut-rambut ini aka menunjukkan panjang yang sama

(Ferryal, 2011).

Observasi terhadap bpertumbuhan rambut jenggot dalam menentukan saat

mati harus dilakukan dalam 24 jam pertama sesudah kematian karena sesuadah ini

kulit akan mengkerut dan ini akan menyebabkan rambut akan lebih menonjol di

atas permukaan dalam 48 jam setelah kematian, fenomena ini yang sering dikira

bahwa rambut masih terus tumbuh setelah kematian (Ferryal, 2011).

 Tulang

Gambaran Fisik

Tulang-tulang yang baru mempunyai sisa jaringan lunak yang melekat

pada tendon dan ligamen, khususnya di sekitar ujung sendi.Periosteum kelihatan

berserat, melekat erat pada permukaan batang tulang. Tulang rawan mungkin

masih ada dijumpai pada permukaan sendi. Melekatnya sisa jaringan lunak pada

tulang adalah berbeda-beda tergantung kondisi lingkungan, dimana tulang


terletak. Mikroba mungkin dengan cepat merubah seluruh jaringan lunak dan

tulang rawan, kadang dalam beberapa hari atau pun beberapa minggu. Jika mayat

dikubur pada tempat atau bangunan yang tertutup, jaringan yang kering dapat

bertahan sampai beberapa tahun. Pada iklim panas mayat yang terletak pada

tempat yang terbuka biasanya menjadi tinggal rangka pada tahun-tahun pertama,

walaupun tendon dan periosteumnya mungkin masih bertahan sampai lima tahun

atau lebih (Ritongga, 2004).

Secara kasar perkiraan lamanya kematian dapat dilihat dari keadaan tulang

seperti (Howard, dkk,. 2001)

1. Dari Bau Tulang

Bila masih dijumpai bau busuk diperkirakan lamanya kematian kurang dari 5

bulan. Bila tidak berbau busuk lagi kematian diperkirkan lebih dari 5 bulan.

2. Warna Tulang

Bila warna tulang masih kekuning-kuningan dapat diperkirakan kematian

kurang dari 7 bulan. Bila warna tulang telah berwarna agak keputihan

diperkirakan kematian lebih dari 7 bulan.

3. Kekompakan Kepadatan Tulang

Setelah semua jaringan lunak lenyap, tulang-tulang yang baru mungkin

masih dapat dibedakan dari tulang yang lama dengan menentukan kepadatan

dan keadaan permukaan tulang. Bila tulang telah tampak mulai berpori-pori,

diperkirakan kematian kurang dari 1 tahun. Bila tulang telah mempunyai

pori-pori yang merata dan rapuh diperkirakan kematian lebih dari 3 tahun.
Keadaan diatas berlaku bagi tulang yang tertanam di dalam tanah. Kondisi

penyimpanan akan mempengaruhi keadaan tulang dalam jangka waktu tertentu

misalnya tulang pada jari-jari akan menipis dalam beberapa tahun bahkan sampai

puluhan tahun jika disimpan dalam ruangan (Ritongga, 2004).

Tulang baru akan terasa lebih berat dibanding dengan tulang yang lebih tua.

Tulang-tulang yang baru akan lebih tebal dan keras, khususnya tulang- tulang

panjang seperti femur. Pada tulang yang tua, bintik kolagen yang hilang akan

memudahkan tulang tersebut untuk dipotong. Korteks sebelah luar seperti pada

daerah sekitar rongga sumsum tulang, pertama sekali akan kehilangan stroma,

maka gambaran efek sandwich akan kelihatan pada sentral lapisan kolagen pada

daerah yang lebih rapuh. Hal ini tidak akan terjadi dalam waktu lebih dari sepuluh

tahun, bahkan dalam abad, kecuali jika tulang terpapar cahaya matahari dan

elemen lain. Merapuhnya tulang-tulang yang tua, biasanya kelihatan pertama

sekali pada ujung tulang-tulang panjang, tulang yang berdekatan dengan sendi,

seperti tibia atau trochanter mayor dari tulang paha. Hal ini sering karena lapisan

luar dari tulang pipih lebih tipis pada bagian ujung tulang dibandingkan dengan di

bagian batang, sehingga lebih mudah mendapat paparan dari luar. Kejadian ini

terjadi dalam beberapa puluh tahun jika tulang tidak terlindung, tetapi jika tulang

tersebut terlindungi, kerapuhan tulang akan terjadi setelah satu abad. Korteks

tulang yang sudah berumur, akan terasa kasar dan keropos, yang benar-benar

sudah tua mudah diremukkan ataupun dapat dilobangi dengan kuku jari

(Ritongga, 2004).

a. Tes Fisika
Seperti pemeriksaan gambaran fisik dari tulang, fluoresensi cahaya ultra

violet dapat menjadi suatu metode pemeriksaan yang berguna. Jika batang tulang

dipotong melintang, kemudian diamati ditempat gelap, dibawah cahaya ultra

violet, tulang-tulang yang masih baru akan memancarkan warna perak kebiruan

pada tempat pemotongan. Sementara yang sudah tua, lingkaran bagian luar tidak

berfluorosensi sampai ke bagian tengah. Dengan pengamatan yang baik akan

terlihat bahwa daerah tersebut akan membentuk jalan keluar dari rongga sumsum

tulang. Jalan ini kemudian pecah dan bahkan lenyap, maka semua permukaan

pemotongan menjadi tidak berfluoresensi. Waktu untuk terjadinya proses ini

berubah-ubah, tetapi diperkirakan efek fluoresensi ultra violet akan hilang dengan

sempurna kira-kira 100 -150 tahun. Tes fisika yang lain adalah pengukuran

kepadatan dan berat tulang, pemanasan secara ultra sonik dan pengamatan

terhadap sifat-sifat yang timbul akibat pemanasan pada kondisi tertentu. Semua

kriteria ini bergantung pada berkurangnya stroma organik dan pembentukan dari

kalsifikasi tulang seperti pengeroposannya (Ritongga, 2004).


Gambar I : a. Tulang berumur 3 -80 tahun. Kelihatan permukaan

pemotongan tulang meman carkan warna perak

kebiruan pada seluruh pemotongan.

b. Setelah satu abad atau lebih sisa fluoresensi mengerut

ke pusat sumsum tulang.

c. Sebelum fluoresensi menghilang dengan sempurna pada

abad berikutnya.

b. Tes Serologi

Tes yang positif pada pemeriksaan hemoglobin yang dijumpai pada

pemeriksaan permukaan tulang ataupun pada serbuk tulang, mungkin akan

memberikan pernyataan yang berbeda tentang lamanya kematian tergantung pada

kepekaan dari tehnik yang dilakukan. penggunaan metode cairan peroksida yang

hasilnya positif, diperkirakan lamanya kematian sekitar 100 tahun. Aktifitas

serologi pada tulang akan berakhir dengan cepat pada tulang yang terdapat di

daerah berhawa panas (Ritongga, 2004).

Pemeriksaan dengan memakai reaksi Benzidin dimana dipakai campuran

Benzidin peroksida. Jika reaksi negatif penilaian akan lebih berarti. Jika reaksi

positif menyingkirkan bahwa tulang masih baru. Reaksi positif, diperkirakan

umur tulang saat kematian sampai 150 tahun. Reaksi ini dapat dipakai pada tulang

yang masih utuh ataupun pada tulang yang telah menjadi serbuk (Ritongga, 2004).

Aktifitas Immunologik ditentukan dengan metode gel difusion technique

dengan anti human serum.


Serbuk tulang yang diolesi dengan amoniak yang konsentrasinnya rendah,

mungkin akan memberi reaksi yang positif dengan serum anti human seperti

reagen coombs, lama kematian kira-kira 5–10 tahun, dan ini dipengaruhi kondisi

lingkungan (Ritongga, 2004).

c. Tes Kimia

Tes Kimia dilakukan dengan metode mikro-Kjeld-hal dengan cara

mengukur pengurangan jumlah protein dan nitrogen tulang. Tulang-tulang yang

baru mengandung kira-kira 4,5 % nitrogen, yang akan berkurang dengan cepat.

Jika pada pemeriksaan tulang mengandung lebih dari 4 % nitrogen, diperkirakan

bahwa lama kematian tidak lebih dari 100 tahun, tetapi jika tulang mengandung

kurang dari 2,4 %, diperkirakan tidak lebih dari 350 tahun. Penulis lain

menyatakan jika nitrogen lebih besar dari 3,5 gram percentimeter berarti umur

tulang saat kematian kurang dari 50 tahun, jika Nitrogen lebih besar dari 2,5 per

centimeter berarti umur tulang atau saat kematian kurang dari 350 tahun

(Ritongga, 2004).

Inti protein dapat dianalisa, dengan metode Autoanalisa ataupun dengan

Cromatografi dua dimensi. Tulang segar mengandung kira-kira 15 asam amino,

terutama jika yang diperiksa dari bagian kolagen tulang. Glisin dan Alanin adalah

yang terutama. Tetapi Fralin dan Hidroksiprolin merupakan tanda yang spesifik

jika yang diperiksa kolagen tulang. Jika pada pemeriksaan Fralin dan

Hidroksiprolin tidak dijumpai, diperkirakan lamanya kematian sekitar 50 tahun.

Bila hanya didapatkan Fralin dan Hidroksiprolin maka perkiraan umur saat

kematian kurang dari 500 tahun. Asam amino yang lain akan lenyap setelah

beratus tahun, sehingga jika diamati tulang-tulang dari jaman purbakala akan
hanya mengandung 4 atau 5 asam amino saja. Sementara itu ditemukan bahwa

Glisin akan tetap bertahan sampai masa 1000 tahun. Bila umur saat kematian

kurang dari 70 -100 tahun, akan didapatkan 7 jenis asam amino atau lebih

(Ritongga, 2004).

Jadi banyak faktor yang mempengaruhi kecepatan membusuknya tulang,

disamping jenis tulang itu sendiri mempengaruhi. Tulang-tulang yang tebal dan

padat seperti tulang paha dan lengan dapat bertahan sampai berabad-abad,

sementara itu tulang-tulang yang kecil dan tipis akan hancur lebih cepat.

Lempengan tulang tengkorak, tulang-tulang kaki dan tulang-tulang tangan, jari-

jari dan tulang tipis dari wajah akan membusuk lebih cepat, seperti juga yang

dialami tulang-tulang kecil dari janin dan bayi (Ritongga, 2004).


BAB III

KESIMPULAN

Kematian hanya dapat dialami oleh organisme hidup. Secara medis,

kematian merupakan suatu proses dimana fungsi dan metabolisme sel organ-organ

internal tubuh terhenti. Dikenal beberapa istilah kematian, yaitu mati somatis,

mati seluler, mati serebral, dan mati batang otak. Mati somatis (mati klinis) terjadi

akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan yaitu susunan saraf

pusat, sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan, yang menetap. Mati seluler

adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul akibat terhentinya

penggunaan oksigen serta metabolisme normal sel dan jaringan.

Bila seseorang meninggal dunia maka siklus oksigen akan terhenti , tubuh

akan mengalami berbagai perubahan jaringan yang disebut perubahan awal

kematian atau tanda kematian tidak pasti dimana susunan saraf pusat akan

mengalami kemunduran dengan cepat ini akan menyebabkan perubahan pada


tubuh menjadi insensibel, reflek cahaya dan reflek kornea hilang, aliran darah,

gerakan nafas berhenti, kulit pucat dan otot mengalami relaksasi. Setelah beberapa

waktu akan timbul perubahan pasca mati yang memungkinkan diagnosis kematian

lebih pasti. Tanda-tanda tersebut dikenal sebagai tanda pasti kematian berupa

lebam mayat, kaku mayat, penurunan suhu tubuh pembusukan, mumifikasi dan

adiposera, yang dapat membantu dalam penentuan waktu kematian.

Selain itu, terdapat juga metode penentuan cara kematian terkini yaitu,

berdasarkan entomologi forensik, humor vitreus, pengosongan isi lambung,

pertumbuhan rambut dan penelitian tulang. Namun, walaupun dimanfaatkan

semua saranan yang ada, penentuan saat kematian yang tepat adalah tidak

mungkin hanya untuk memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan.


DAFTAR PUSTAKA

Howard C.,Adelman.M.Establishing The Time of Death in : Forensic Medicine.

New York :Infobase Publishing : 2007. p.20-26.

Morgan,C.,Nokes, LDM, et al. Postmortem Changes and Determination of The

Time of Death. Forensic Science International (1988) Vol. 39 No. 1, p. 89-95.

Dix, J., Graham, M. Time of Death, Decomposition and Identification An Atlas.

New York: CRC Press LLC: 2000. p. 10-27

Dix, J., Calaluce, R. Rigor Mortis in : Guide to Forensic Pathology. New York:

CRC Press: 2001. p. 15-25.

Shepherd, R. The Medical Aspects of Death In : Shepherd R. Simpson’s Forensic

Medicine 12th Edition. London : Arnold : 2003. p. 27-8

Pounder, DJ. Lecture Notes Postmortem Changes and Time of Death. Department

of Forensic Medicine University of Dundee. 1995.


Cox, WA. Late Postmortem Changes/Decomposition. New York: Forensic

Science International: 2009.

Shkrum, MJ., Ramsay, DA. Postmortem Changes The Great Pretenders in:

Forensic Pathology of Trauma Common Problems for The Pathologist. New

Jersey: Humana Press: 2002. p. 23-47.

Indriati Etty. Mati: tinjauan klinis dan antropologi forensik [homepage on the

internet] No date [cited 2011 oktober 02] Available from URL :

http://www.freewebs.com/dekomposisi_posmortem/dekomposisi.htm

M. Algozi Agus, Tanatologi [homepage on the internet] No date [cited 2011

oktober 02] Available from URL : http://www. wordpress.com.

Nurwidayati.A, Penerapan Entomologi Dalam Bidang Kedokteran : Jurnal Vektor

Penyakit,Vol III No.2. Sulawesi Tengah :2009. p55-59.

Halfian , Tanatologi [homepage on the internet] No date [cited 2011 oktober 02]

Available from URL: http://medicinestuffs.com/2010/06/tanatologi.html

Ferryal basbet, Perkiraan saat mati [homepage on the internet] No date [cited

2011 Oktober 04] Available from URL :

http://www.freewebs.com/forensicpathology/

Ritongga Mistar: Penentuan Lama kematian Dilihat Dari Keadaan Tulang; USU

Digital Library, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004.

Anda mungkin juga menyukai