Oleh :
Puguh Daru Kurniawan
NPM. 17420071
Pembimbing :
Samino, S.H., M.Kes.
PROGRAM MAGISTER
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2018
Pendahuluan
No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres ini terbit dengan
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Perpres No. 28 Tahun
2016 tentang Perubahan Ketiga Atas Perpres No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan
Perpres ini diterbitkan sebagai jalan keluar untuk mengatasi defisit BPJS
(BPJS) Kesehatan pada tahun 2018, termasuk di dalamnya pengalihan (carry over)
Kesehatan dari pajak rokok diperkirakan mencapai Rp5,51 triliun atau setara 75
persen dari 50 persen pajak rokok yang diterima daerah. Selama ini, pemanfaatan
penggunaan cukai rokok untuk menutup defisit BPJS Kesehatan merupakan amanat
Undang-Undang, yakni UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (UU PDRD). Pasal 31 UU PDRD menyebutkan pungutan atas pajak rokok
mendanai program/kesehatan.
1
Dalam rangka alokasi itu, Menteri Kesehatan Nila Djuwita F. Moeloek sudah
Pelayanan Kesehatan masyarakat. Beleid ini mengatur mengatur 75% dari earmark
menimbulkan pro-kontra bahkan dilema. Di satu sisi, sebagai negara dengan jumlah
perokok terbesar di dunia, yakni 67 persen dari total jumlah perokok laki-laki di
seluruh dunia (data WHO), ada penerimaan yang cukup besar dari cukai dan pajak
rokok yang bisa digunakan untuk pembiayaan layanan kesehatan. Penyakit yang
2017, dari total Rp54,47 triliun JKN, sebanyak Rp15,29 triliun atau 33,62 persen
habis untuk membiayai penyakit katastropik (penyakit berbiaya tinggi) yang terdiri
dari penyakit jantung (48 persen), gagal ginjal (20 persen), kanker (17 persen),
katastropik tersebut, yang pada umumnya bisa dicegah, adalah konsumsi rokok.
2
Pro dan Kontra
Di sisi lain, kebijakan ini dikritik kelompok yang selama ini
Tulus berpendapat upaya menggali dana pajak rokok dan cukai hasil
rakyat agar sakit karena rokok. Meskipun begitu, kata Tulus, alokasi pajak rokok
atau cukai hasil tembakau untuk BPJS Kesehatan sebenarnya bisa dimengerti.
Sebagai barang kena cukai, sebagian dananya layak dikembalikan untuk menangani
dampak negatif rokok. "Namun, hal itu tidak bisa dilakukan serampangan karena
bisa menimbulkan sejumlah ironi yang justru kontraproduktif bagi masyarakat dan
Selain itu, Tulus menilai alokasi pajak rokok dan cukai hasil tembakau untuk
sebagai bentuk bantuan kepada pemerintah dan BPJS Kesehatan agar tidak defisit,"
tambahnya.
cukai hasil tembakau untuk menutup defisit BPJS Kesehatan telah membuat para
perokok merasa sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Bahkan, seorang ketua sebuah
3
masyarakat agar terus merokok guna membantu pemerintah. "Itu adalah sebuah
berpendapat Perpres No. 82 Tahun 2018 justru menjadi jalan keluar yang tepat
untuk mengatasi defisif BPJS Kesehatan dalam jangka pendek. Jika tidak, defisit
maupun pengeluarannya secara spesifik sudah ditentukan). Upaya ini adalah win-
win solution karena mengatasi masalah jangka pendek dengan tidak menambah
kesehatan yang menjadi hak warga negara. Pemerintah perlu menerbitkan sebuah
defisit BPJS Kesehatan yang sesuai dengan prinsip earmarking dalam UU Cukai
dan UU PDRD. Ini juga merupakan gabungan kebijakan Pusat dan Daerah untuk
pendek, kebijakan ini sudah tepat. Namun untuk jangka panjang, tidak bisa hanya
bergantung pada penerimaan rokok. Tidak fair,” kata Yustinus dalam press rilis,
Minggu (23/9).
4
Ke depan, lanjutnya, perlu dilakukan formulasi pembiayaan yang sustainable
baik melalui iuran wajib maupun alokasi lain dari sumber-sumber yang bersifat
earmark dengan tetap memperhatikan fairness dan keadilan. Jika hanya bergantung
hanya pada penerimaan rokok (cukai dan pajak), hal tersebut tidak fair mengingat
objek cukai menjadi kebutuhan yang amat mendesak, sebagai upaya perluasan
sumber pembiayaan. “Bahkan kini muncul istilah bahwa gula (pemanis) adalah new
tobacco,” jelasnya.
Di samping itu, menyelesaikan defisit dari iuran mandiri warga negara sesuai
prinsip gotong royong dapat mencontoh kebijakan dan sistem perpajakan, termasuk
identification number, agar dapat secara efektif menyasar pihak yang mampu, tapi
Pemahaman Kebijakan
satu batang harga rokok yang dibeli, di dalamnya ada pungutan yang dibayarkan,
dua di antaranya adalah Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Pajak Rokok. Dari
pungutan CHT yang dibayarkan, sebesar 2%-nya diberikan kepada provinsi yang
penggunaannya di-earmark sesuai Pasal 66 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2007 tentang
5
Begitupula dengan pungutan Pajak Rokok, berdasarkan Pasal 31 UU PDRD,
pungutan atas pajak rokok dialokasikan paling sedikit sebesar 50% digunakan
dalam implementasi dana earmarking baik DBH CHT dan Pajak Rokok mulai dari
dari dana DBH CHT dan Pajak Rokok masih belum optimal. Disaat yang sama
terdapat masalah pendanaan BPJS. Oleh karenanya, menjadikan DBH CHT dan
Pajak Rokok sebagai sumber pendanaan defisit BPJS merupakan solusi yang tepat
dan cermat.
kesakitan masyarakat akibat dampak negatif rokok semakin tinggi. Oleh karena itu,
rokok, terutama dari industri skala besar. Pemerintah harus berani melakukan
signifikan. Ruang untuk meningkatkan tarif cukai rokok masih terbuka lebar karena
tarifnya rata-rata baru 40-an persen, sementara aturan mengatur dapat mencapai 57
persen.