Anda di halaman 1dari 7

Soal Diskusi Tentang Kebijakan Tentang Jaminan Kesehatan

dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.82 Tahun 2018

Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Politik Hukum dan


Kebijakan Kesehatan
Tahun Ajaran 2018/2019

Oleh :
Puguh Daru Kurniawan
NPM. 17420071

Pembimbing :
Samino, S.H., M.Kes.

PROGRAM MAGISTER
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2018
Pendahuluan

Presiden Joko Widodo baru saja menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres)

No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres ini terbit dengan

pertimbangan bahwa Perpres No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan

sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Perpres No. 28 Tahun

2016 tentang Perubahan Ketiga Atas Perpres No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan

Kesehatan perlu disempurnakan. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas dan

kesinambungan program Jaminan Kesehatan.

Perpres ini diterbitkan sebagai jalan keluar untuk mengatasi defisit BPJS

Kesehatan. Jika ditotal, prediksi defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

(BPJS) Kesehatan pada tahun 2018, termasuk di dalamnya pengalihan (carry over)

defisit dari 2017, mencapai Rp10,98 triliun. Rencananya, penerimaan BPJS

Kesehatan dari pajak rokok diperkirakan mencapai Rp5,51 triliun atau setara 75

persen dari 50 persen pajak rokok yang diterima daerah. Selama ini, pemanfaatan

pajak rokok minimal 50 persen untuk mendanai pelayanan kesehatan dan

penegakan hukum oleh aparat yang berwenang di daerah.

Presiden Jokowi menyebutkan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) mengenai

penggunaan cukai rokok untuk menutup defisit BPJS Kesehatan merupakan amanat

Undang-Undang, yakni UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah (UU PDRD). Pasal 31 UU PDRD menyebutkan pungutan atas pajak rokok

dialokasikan (earmarked) paling sedikit sebesar 50% dan digunakan untuk

mendanai program/kesehatan.

1
Dalam rangka alokasi itu, Menteri Kesehatan Nila Djuwita F. Moeloek sudah

menerbitkan payung hukum, yakni Peraturan Menteri Kesehatan No. 53 Tahun

2017 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Pajak Rokok untuk Pendanaan

Pelayanan Kesehatan masyarakat. Beleid ini mengatur mengatur 75% dari earmark

50% Pajak rokok digunakan untuk pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional.

Beleid (cara/langkah yang ditempuh untuk melaksanakan program) ini masih

menimbulkan pro-kontra bahkan dilema. Di satu sisi, sebagai negara dengan jumlah

perokok terbesar di dunia, yakni 67 persen dari total jumlah perokok laki-laki di

seluruh dunia (data WHO), ada penerimaan yang cukup besar dari cukai dan pajak

rokok yang bisa digunakan untuk pembiayaan layanan kesehatan. Penyakit yang

disebabkan rokok adalah jenis penyakit yang paling banyak menghabiskan

anggaran BPJS Kesehatan.

Merujuk ke data total beban penggunaan anggaran BPJS Kesehatan di Tahun

2017, dari total Rp54,47 triliun JKN, sebanyak Rp15,29 triliun atau 33,62 persen

habis untuk membiayai penyakit katastropik (penyakit berbiaya tinggi) yang terdiri

dari penyakit jantung (48 persen), gagal ginjal (20 persen), kanker (17 persen),

stroke (8 persen), thalasemia (3 persen), chirrosis hepatitis (2 persen), leukemia (1

persen), haemofilia (1 persen). Penyebab paling dominan penyakit-penyakit

katastropik tersebut, yang pada umumnya bisa dicegah, adalah konsumsi rokok.

2
Pro dan Kontra
Di sisi lain, kebijakan ini dikritik kelompok yang selama ini

mengkampanyekan gerakan antirokok. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

(YLKI) misalnya. Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, mengatakan

pemerintah seolah menyuruh rakyat merokok untuk menutup defisit BPJS

Kesehatan dengan mengalokasikan pajak rokok untuk badan tersebut.

Tulus berpendapat upaya menggali dana pajak rokok dan cukai hasil

tembakau untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan ibarat pemerintah mendorong

rakyat agar sakit karena rokok. Meskipun begitu, kata Tulus, alokasi pajak rokok

atau cukai hasil tembakau untuk BPJS Kesehatan sebenarnya bisa dimengerti.

Sebagai barang kena cukai, sebagian dananya layak dikembalikan untuk menangani

dampak negatif rokok. "Namun, hal itu tidak bisa dilakukan serampangan karena

bisa menimbulkan sejumlah ironi yang justru kontraproduktif bagi masyarakat dan

BPJS Kesehatan," katanya.

Selain itu, Tulus menilai alokasi pajak rokok dan cukai hasil tembakau untuk

menutup defisit BPJS Kesehatan dapat menimbulkan sesat pikir di masyarakat.

"Timbul paradigma keliru di masyarakat bahwa aktivitas merokok diasumsikan

sebagai bentuk bantuan kepada pemerintah dan BPJS Kesehatan agar tidak defisit,"

tambahnya.

Tulus mengatakan, keputusan pemerintah mengalokasikan pajak rokok dan

cukai hasil tembakau untuk menutup defisit BPJS Kesehatan telah membuat para

perokok merasa sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Bahkan, seorang ketua sebuah

organisasi kepemudaan sampai mengeluarkan pernyataan untuk mengajak

3
masyarakat agar terus merokok guna membantu pemerintah. "Itu adalah sebuah

ajakan yang sesat pikir," ujar Tulus.

Sebaliknya, pengamat perpajakan dan kebijakan fiscal, Yustinus Prastowo,

berpendapat Perpres No. 82 Tahun 2018 justru menjadi jalan keluar yang tepat

untuk mengatasi defisif BPJS Kesehatan dalam jangka pendek. Jika tidak, defisit

BPJS Kesehatan justru berpotensi menimbulkan persoalan yang serius.

Perpres ini, lanjutnya, melakukan earmarking (anggaran yang penerimaan

maupun pengeluarannya secara spesifik sudah ditentukan). Upaya ini adalah win-

win solution karena mengatasi masalah jangka pendek dengan tidak menambah

beban industri. Selain itu, rendahnya disiplin anggaran daerah, khususnya

perencanaan dan pengukuran outcome, menjadi pertimbangan Pemerintah.

Tetapi Yustinus mengingatkan bahwa pemerintah harus memikirkan solusi

jangka panjang untuk menjamin kesinambungan pembiayaan dan kualitas jaminan

kesehatan yang menjadi hak warga negara. Pemerintah perlu menerbitkan sebuah

Perpres yang dapat mengalokasikan sejumlah bagian tertentu untuk membiayai

defisit BPJS Kesehatan yang sesuai dengan prinsip earmarking dalam UU Cukai

dan UU PDRD. Ini juga merupakan gabungan kebijakan Pusat dan Daerah untuk

memastikan bahwa kesehatan seluruh warga masyarakat terjamin.

“Idealnya memang, alokasi preventif diutamakan. Sebagai langkah jangka

pendek, kebijakan ini sudah tepat. Namun untuk jangka panjang, tidak bisa hanya

bergantung pada penerimaan rokok. Tidak fair,” kata Yustinus dalam press rilis,

Minggu (23/9).

4
Ke depan, lanjutnya, perlu dilakukan formulasi pembiayaan yang sustainable

baik melalui iuran wajib maupun alokasi lain dari sumber-sumber yang bersifat

earmark dengan tetap memperhatikan fairness dan keadilan. Jika hanya bergantung

hanya pada penerimaan rokok (cukai dan pajak), hal tersebut tidak fair mengingat

prevalensi penyakit berbahaya juga disebabkan barang konsumsi lain yang

menyebabkan penyakit seperti jantung atau diabetes. Karenanya ekstensifikasi

objek cukai menjadi kebutuhan yang amat mendesak, sebagai upaya perluasan

sumber pembiayaan. “Bahkan kini muncul istilah bahwa gula (pemanis) adalah new

tobacco,” jelasnya.

Di samping itu, menyelesaikan defisit dari iuran mandiri warga negara sesuai

prinsip gotong royong dapat mencontoh kebijakan dan sistem perpajakan, termasuk

disinergikan dengan administrasi perpajakan, khususnya melalui konsep single

identification number, agar dapat secara efektif menyasar pihak yang mampu, tapi

tidak mau membayar.

Pemahaman Kebijakan

Yustinus menjabarkan secara sederhana bagaimana pajak rokok dapat

digunakan untuk membiayai layanan kesehatan masyarakat. Ia menjelaskan, dari

satu batang harga rokok yang dibeli, di dalamnya ada pungutan yang dibayarkan,

dua di antaranya adalah Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Pajak Rokok. Dari

pungutan CHT yang dibayarkan, sebesar 2%-nya diberikan kepada provinsi yang

penggunaannya di-earmark sesuai Pasal 66 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2007 tentang

Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

5
Begitupula dengan pungutan Pajak Rokok, berdasarkan Pasal 31 UU PDRD,

pungutan atas pajak rokok dialokasikan paling sedikit sebesar 50% digunakan

untuk mendanai program kesehatan. Sedangkan dalam alokasinya, ditentukan oleh

Menteri Kesehatan dalam Peraturan Menteri Kesehatan.

Namun dalam pelaksanaanya, kata Yustinus, masih banyak permasalahan

dalam implementasi dana earmarking baik DBH CHT dan Pajak Rokok mulai dari

masalah administrasi sampai permasalahan pengawasan. Tak pelak, penggunaan

dari dana DBH CHT dan Pajak Rokok masih belum optimal. Disaat yang sama

terdapat masalah pendanaan BPJS. Oleh karenanya, menjadikan DBH CHT dan

Pajak Rokok sebagai sumber pendanaan defisit BPJS merupakan solusi yang tepat

dan cermat.

Tulus menambahkan, bila pemerintah tergiring pada pemikiran sesat untuk

meningkatkan produksi rokok, ia menilai sama saja pemerintah berharap angka

kesakitan masyarakat akibat dampak negatif rokok semakin tinggi. Oleh karena itu,

alih-alih meningkatkan produksi rokok, pemerintah justru harus menekan produksi

rokok, terutama dari industri skala besar. Pemerintah harus berani melakukan

moratorium produksi rokok.

Tulus berpendapat pemerintah harus menaikkan tarif cukai rokok secara

signifikan. Ruang untuk meningkatkan tarif cukai rokok masih terbuka lebar karena

tarifnya rata-rata baru 40-an persen, sementara aturan mengatur dapat mencapai 57

persen.

Anda mungkin juga menyukai