Anda di halaman 1dari 4

A.

Pembagian Fiqih Siyasah Dauliyah dan Ruang Lingkupnya Kerja Sama Kemanusiaan

Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang. Sedangkan Siyasah Dauliyah Kerjasama kemanusiaan ini adalah realisasi dari dasar-dasar yang telah dikemukakan di atas, kerja sama
bermakna sebagai kekuasaan Kepala Negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan Internasional, di sini adalah kerja sama di setiap wilayah dan lingkungan kemanusiaan. Kerja sama ini diperlukan karena
masalah territorial, nasionalitas, ektradisi, tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga ada saling ketergantungan baik antara individu maupun antara negara di dunia ini.
negara asing. Selain itu, juga mengurusi masalah kaum dzimmi, perbedaan agama, akad timbal balik dan
sepihak dengan kaum dzimmi, hudud dan qishash. Atau dapat dikatakan yang mengatur hubungan antar
Kebebasan, Kemerdekaan/Al-Huriyah
Negara tersebut (Politik Hukum Internasional).

Kemerdekaan yang sesungguhnya dimulai dari pembebasan diri dari pengaruh hawa nafsu serta
Dasar-dasar Siyasah Dauliyah, diantaranya sebagai berikut:
mengendalikan dibawah bimbingan keimanan dan akal sehat. Dengan demikian, kebebasan bukanlah
kebebasan mutlak, akan tetapi kebebasan yang bertanggung jawab terhadap Allah, terhadap
Kesatuan Umat Manusia keselamatan hidup manusia di muka bumi, kebebasan bisa diperinci seperti kebebasan berfikir,
kebebasan baragama, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan menuntut ilmu, kebebasan memiliki
harta.
Meskipun manusia ini berbeda suku berbangsa-bangsa, berbeda warna kulit, berbeda tanah air bahkan
berbeda agama, akan tetapi merupakan satu kesatuan manusia karena sama-sama makhluk Allah, sama
bertempat tinggal di muka bumi ini, sama-sama mengharapkan hidup bahagia dan damai dan sama-sama Perilaku Moral yang Baik (Al-Akhlakul Karimah)
dari Adam. Dengan demikian, maka perbedaan-perbedaan diantara manusia harus disikapi dengan
pikiran yang positif untuk saling memberikan kelebihan masing-masing dan saling menutupi kekurangan
Prilaku yang baik merupakan dasar moral di dalam hubungan antara manusia, antara umat dan antara
masing-masing.
bangsa di dunia ini selain itu prinsip ini juga diterapkan terhadap seluruh makhluk Allah di muka bumi
termasuk flora dan fauna.
Al-‘Adalah (Keadilan)
1. Hubungan-hubungan Internasional Diwaktu Damai
Ajaran islam mewajibkan penegakan keadilan baik terhadap diri sendiri, keluarga, tetangga, bahkan
terhadap musuh sekalipun kita wajib bertindak adil. Banyak ayat-ayat yang berbicara tentang keadilan
Damai adalah asas hubungan Internasional. Selain kewajiban suatu negara terhadap negara lain, yakni
antara lain:
tentang menghormati hak-hak negara lain yang bertetangga dengan negara yang ditempati dan
mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional.
َِ ‫ش َهدَا ََء ِب ْال ِقس‬
‫ْط قَ َّو ِامينََ ُكونُوا آ َمنُوا الَّذِينََ أَيُّ َها يَا‬ َِ ‫َو ْاْل َ ْق َر ِبينََ ْال َوا ِلدَي‬
َ ‫ْن أ َ َِو أ َ ْنفُ ِس ُك َْم‬
ََّ ِ ‫علَى َولَ َْو‬
ُ ِ‫لِل‬
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa hukum asal hubungan Internasional ada dua pendapat, pendapat
yang pertama mengacu pada ayat-ayat perang (al-Baqarah:216, an-Nisa`:74, al-Anfal:65, at-Taubah:29),
Artinya:Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
dan sabda Nabi: saya diperintahkan untuk memeragi manusia sampai merreka mengucapkan syahadat,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu
melaksanakan sholat, dan mengeluarkan zakat. Kesimpulan dari kelompok pertama adalah inti hukum
asal dalam hubungan internasional adalah perang.
Al-Musawah (Persamaan)
Pendapat yang ke dua adalah sebaliknya bahwa hukum asal dalam hubungan internasional adalah
Manusia memiliki hal-hal kemanusiaan yang sama, untuk mewujudkan keadilan adalah mutlak adalah damai. Alasannya perang itu diperkenankan karena ada sebabnya, yaitu menolak kedzaliman,
mempersamakan manusia dihadapan hukum. Demikian pula setiap manusia adalah subyek hukum, menghindari fitnah dalam rangka mempertahankan diri sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran. Adapun
penanggung hak dan kewajiban yang sama. hadits nabi di atas menurut kelompok ini, berlaku bagi orang atau kelompok yang merasuki atau
memerangi islam untuk menolak kdzaliman mereka. Selain itu, pemaksaan di dalam memeluk agama
Karomah Insaniyah (Kehormatan Manusia) pun tidak diperkanankan.

Karena kehormatan manusia inilah, maka manusia tidak boleh merendahkan manusia lainnya. 2. Hubungan-hubungan Internasional Diwaktu Perang
Kehormatan manusia berkembang menjadi kehormatan terhadap satu kaum atau komunitas dan bisa
dikembangkan menjadi suatu kehormatan suatu bangsa atau negara. Sebab terjadinya perang:

Tasamuh (Toleransi) Mempertahankan Diri

Allah mewajibkan menolak permusuhan dengan tindakan yang lebih baik, penolakan dengan lebih baik Dari kitab-kitab sejarah tarikh, cara Nabi Mohammad saw menhimpun kekuatan dan mempertahankan
ini akan menimbulkan persahabatan bila dilakukan pada tempatnya setidaknya akan menetralisir negeri madinah dari serangan-serangan musuhnya orang kafir kuraisy. Dalam perang badar, bukan Nabi
ketegangan. yang menyerang akan tetapi mush nabi yang menyerang ka Madinah. Adapan waktu fathu Makkah,

1
rasulullah datang ke Makkah bukan sebagai perang atau penakluk, meainkan sebagai pemberi amnesti Al-Alam al-Islami (dunia Islam) yang terdiri dari:
umum disertai tetap menghormati harga diri tokoh-tokoh mekkah, seperti Abu Sofyan yang pada waktu
itu masih kafir.
a. Dawlah Islamiyah (negara Islam/Islamic States).
b. Baldah Islamiyah (negeri muslim/negara-negara yang mayoritas penduduknya
Dalam Rangka Dakwah beragama Islam/Muslim Countries).
c. Al-Alam al-‘Ahd: negara-negara yang berdamai dengan negara Islam.
Perang juga bisa terjadi di dalam rangka menjamin jalannya dakwah. Artinya, dakwah kepada kebenaran
dan keadilan serta pada prinsip-prinsip yang mulia tidak boleh dihalangi dan ditindas oleh penguasa 1. Kriteria Dar al-Islam
manapun. Telah dijelaskan bahwa Islam tidak menghendaki pemaksaan beragama. Apabila penguasa
memaksakan agamanya dan menindas kepada orang-orang muslim, penguasa-penguasa itu
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan identitas suatu negara apakah termasuk dar al-Islam.
dikualifikasikan kepada penguasa yang dzalim. Prilaku seperti itulah yang dipertontonkan oleh penguasa
Diantara mereka ada yang melihat dari sudut hukum yang berlaku di negara tersebut. Ada pula yang
Persia dan Romawi pada waktu itu yaitu tidak memberikan kebebasan kapada rakyatnya untuk memeluk
memandang dari sisi keamanan warganya menjalankan syari’at Islam. Semantara ada juga yang melihat
agama yang diyakininya.
dari sisi pemegang kekuasaan tersebut.

Etika dan Aturan Perang di dalam Siyasah Dauliyah


1. Dari sudut hukum yang berlaku di negara tersebut

1) Dilarang membunuh anak.


Imam Abu Yusuf, tokoh terbesar madzhab Hanafi berpendapat bahwa suatu negara disebut dar al-Islam
bila berlaku hukum Islam di dalamnya, meskipun mayoritas warganya tidak muslim. Sementara dar al-
2) Dilarang membunuh wanita yang tidak berperang. harb, menurutnya adalah negara yang tidak meberlakukan hukum Islam, meskipun sebagian besar
penduduknya beragama Islam.
3) Dilarang membunuh orang tua yang tidak ikut perang.
Dalam pemikiran modern, pandangan demikian dianut oleh Sayyid Quthb. Ia memandang bahwa negara
yang menerapkan hukum islam adalah dar al-Islam, tanpa mensyaratkan penduduknya harus muslim.
4) Tidak memotong dan merusak tanaman, sawah dan ladang.
Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang mensyaratkan penduduknya harus mayoritas
muslim.
5) Tidak membunuh binatang ternak
Dari sisi keamanan warganya menjalankan syariat Islam
6) Tidak menghancurkan tempat ibadah.
Imam Abu Hanifah membedakan dar al-Islam dan dar al-harb berdasarkan rasa aman yang dinikmati
7) Dilarang mencincang mayat musuh. penduduknya. Bila umat Islam merasa aman dalam menjalankan aktivitas keagamaan mereka, maka
negara tersebut termasuk dar al-Islam. Sebaliknya, bila tidak ada rasa aman, maka negara tersebut
8) Dilarang membunuh pendeta dan pekerja. termasuk dar al-harb.

9) Bersikap sabar, berani dan ikhlas. Dari sisi pemegang kekuasaan negara tersebut

10) Tidak melampaui batas. Menurut al-Rafi’i (salah seorang tokoh madzhab Syafi’i), suatu negara dipandang sebagai dar al-Islam
apabila dipimpin oleh seorang muslim.

B. Pembagian Negara Islam


Menurut Javid Iqbal, dar al-Islam adalah negara yang pemerintahannya dipegang umat Islam, mayoritas
penduduknya beragama Islam dan menggunakan hukum Islam sebagai undang-undangnya. Karena
Jumhur ulama membagi negara kepada dua bagian, yaitu dar al-Islam/ dar al-waqf (Syiah Zaidiyah)/ dar kekuasaan mutlak berada pada Allah, maka dar al-Islam harus menjunjung tinggi supremasi hukum
al-tauhid (Khawarij sekte Ibadiyah ) dan dar al-harb/ dar al-fasiq (Syiah Zaidiyah)/ dar al-syirk (Khawarij Islam; selanjutnya, karena masyarakat muslim harus diperintah menurut hukum Islam, maka pemimpin
sekte Ibadiyah). Sementara ulama Syafi’iyah menambahkan kategori dar al-‘ahd atau dar al-aman pemerintahannya juga harus muslim agar mereka dapat melaksanakan hukum Islam.
disamping keduanya. Dar al-‘ahd adalah negara-negara yang berdamai dengan dar al-Islam, dengan
peranjian tersebut, maka semua penduduk dar al-‘ahd tidak boleh diganggu jiwanya, hartanya, dan
kehormatan kemanusiaannnya. Meskipun penduduknya tidak beragaa Islam, mereka diperlakukan Dalam perkembangan dunia modern, kriteria ini telah bergeser. Suatu negara disebut dar al-Islam bila
seperti orang Islam dalam arti dilindungi hak-haknya. penduduknya mayoritas beragama Islam, meskipun negara tersebut tidak sepenuhnya menjalankan
hukum Islam contohnya Indonesia dan Mesir. Di samping itu, kriteria penerapan hukum Islam dalam
suatu negara tentu merupakan hal terpenting dalam menentukan suatu negara disebut dar al-Islam,
Sedangkan menurut A. Djazuli, pembagian dunia pada masa sekarang adalah: meskipun tidak sepenuhnya penduduknya beragama Islam, contohnya Iran, Malaysia, dan Pakistan.

2
Kedua kriteria inilah yang digunakan oleh Organisasi Konperensi Islam (OKI) dalam menetapkan hukum Dengan berlandaskan pada agama yang diyakini seseorang, mempertimbangkan Negara yang menjadi
Islam. tempat tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan perjanjian dengan pemerintahan Islam, para ulama fiqih
membagi kewarganegaraan seseorang menjadi muslim dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari
ahl al-zimmi, musta’min, dan harbiyun. Penduduk Dar al-islam terdiri dari muslim, ahl al-zimmi dan
2. Pembagian Dar al-Islam
musta’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim dan harbiyun.

Berdasarkan tingkat kesucian wilayah dan hak non-muslim untuk menetap di wilayah Dar al-Islam, maka
1. Muslim
dar al-Islam terbagi dalam 3 bagian, yaitu: tanah suci, Hijaz, dan selain keduanya.

Berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
a. Tanah suci (Kota Mekah dan wilayah sekitarnya).

Pertama mereka yang menetap di dar al-Islam dan mempunyai komitmen yang kuat untuk
Menurut jumhur ulama kota Madinah termasuk dalam wilayah ini. Di kedua wilayah ini non-muslim tidak
mempertahankan dar al-Islam. Termasuk kedalam kelompok ini adalah orang Islam yang menetap
boleh menetap. Bahkan untuk kota Mekah, di sekitar al-Masjid al-Haram, non-muslim sama sekali tidak
sementara waktu di dar al-Islam sebagai musta’min dan tetap komitmen kepada Islam serta mengakui
boleh memasukinya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, kafir dzimmi dan kafir mu’ahid boleh memasuki
pemerintahan Islam.
Makkah tidak untuk menetap di dalamnya.

Kedua, muslim yang tinggal menetap di dar al-harb dan tidak berkeinginan untuk hijrah ke dar al-Islam.
b. Wilayah Hijaz
Status mereka, menurut Imam Malik, SYafi’i dan Ahmad, sama dengan muslim lainnya di dar al-Islam.
Harta benda dan jiwa mereka tetap terpelihara. Namun menurut Abu Hanifah, mereka berstatus sebagai
Wilayah ini boleh dimasuki non-muslim dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintahan Islam. penduduk harbiyun, karena berada di negara yang tidak dikuasai Islam. Konsekuensinya, harta benda
Tetapi mereka tidak boleh menetap di wilayah ini melebihi 3 hari. Ketentuan ini berdasarkan keputusan dan jiwa mereka tidak terjamin.
Khalifah ‘Umar bin Khaththab yang mengijinkan orang-orang Yahudi tinggal di Hijaz selama 3 hari untuk
urusan dagang. Dalam al-Ahkam al-Shulthaniyah dijelaskan bahwa jika mereka bertempat tinggal di salah
2. Ahl al-Zimmi
satu tempat di Hijaz lebih dari 3 hari, maka mereka dikenakan ta’zir jika mereka tidak diberi izin
sebelumnya.
Kata dzimmah berarti perjanjian, atau jaminan dan keamanan. Disebut demikian karena mereka
mempunyai jaminan perjanjian (‘ahd) Allah dan Rasul-Nya, serta jamaah kaum Muslim untuk hidup
Wilayah dan negara-negara Islam lainnya
dengan rasa aman di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam. Mereka (orang-
orang kafir ini) berada dalam jaminan keamanan kaum Muslim berdasarkan akad dzimmah.
Di wilayah ini, pemerintah Islam boleh melakukan akad dzimmah dengan non-muslim. Mereka boleh
masuk dan menetap di wilayah ini untuk sementara waktu berdasarkan perjanjian yang disetujui kedua
Implikasinya adalah, mereka termasuk ke dalam warga negara Darul Islam. Akad dzimmah mengandung
belah pihak.
ketentuan untuk membiarkan orang-orang non muslim tetap berada dalam keyakinan/agama mereka,
disamping menikmati hak untuk memperoleh jaminan keamanan dan perhatian kaum Muslim. Syaratnya
3. Pembagian Dar al-Harb adalah mereka membayar jizyah serta tetap berpegang teguh terhadap hukum-hukum Islam di dalam
persoalan-persoalan publik. Landasan adanya penarikan jizyah dari ahl al-zimmi yaitu dalam Surat At
Muhammad Iqbal dalam bukunya menjelaskan bahwa dar al-harb dibedakan menjadi 3 kategori: Taubah ayat 29.

1. Negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur pokok dar al-Islam, yaitu pemberlakuan Unsur-unsur seseorang dikatakan ahl al-zimmi yaitu: Non-muslim, baligh, berakal, laki-laki, bukan budak,
hukum Islam dan kekuasaan politik yang berada di tangan non-muslim. tinggal di dar al-Islam dan mampu membayar jizyah.
2. Negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok dar al-Islam, meskipun tidak utuh.
Wilayahnya dikuasai non-muslim dan hukum yang berlaku bukan hukum Islam, namun umat Yang dikatakan non-muslim adalah ahl al-Kitab, murtad, dan orang musyrik.
Islam yang menetap dinegara tersebut diberi kelonggaran untuk melaksanakan sebagian
hukum Islam.
1. Sebagaimana pendapat Abu Bakar ibnu Ali al-Jashshash yang dikutip oleh Dr. Muhammad
3. c. Negara yang dikategorikan sebagai dar al-harb. Wilayah ini dikuasai oleh pemerintahan
Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah, ahl al-Kitab yang tergolong ahl al-zimmi yaitu Yahudi dan
non-muslim dan tidak memberlakukan hukum Islam. Penduduk Muslim yang menetap di sini
Nasrani, serta Majusi.
tidak mendapat kesempatan untuk menjalankan ajaran agamanya. Dar al-harb dalam bentuk
2. Mayoritas ulama sepakat mengenai ketidakbolehan orang-orang murtad melakukan akad
ini terbagi menjadi dua, yaitu Dar al-harb yang menjadi tempat harbiyyun dan tidak terikat
zimmah dengan pemerintahan Islam, berdasarkan firman Allah QS. Al-Fath, 48:16, yang
perjanjian atau hubungan diplomatik dengan negara Islam; dan Dar al-Muwada’ah atau dar
artinya: Kamu perangi mereka, atau mereka sendiri menyerah masuk Islam.
al-Muhadanah
3. Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan menerima orang musyrik sebagai ahl al-
zimmi. Mazhab Syafi’i, Hambali, Zahiri, dan Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa
C. Pembagian Penduduk pemerintahan Islam tidak boleh menerima orang musyrik yang bukan ahl al-Kitab sebagai ahl
al-zimmi dan memungut jizyah mereka. Mereka berlandaskan pada QS. Al-Taubah, 9:5:

3
Perangilah orang-orang musyrik dimana pun kamu bertemu dengan mereka. Sedangkan
Imam Malik, al-Auza’i dan Ibn Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa jizyah boleh diambil
dari orang non-muslim mana pun, tanpa memandang mereka sebagai ahl al-Kitab atau bukan.

3. Musta’min

Menurut Ahli Fiqih, musta’min adalah orang yang memasuki wilayah lain dengan mendapat jaminan
keamanan dari pemerintah setempat, baik ia muslim maupun harbiyun. Menurut al-Dasuki yang dikutip
oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah, antara musta’min dan mu’ahid mempunyai
pengertian sama. Mu’ahid adalah orang non muslim yang memasuki wilayah Dar al-Islam dengan
memperoleh jaminan keamanan dari pemerintah Islam untuk tujuan tertentu, kemudian ia kembali ke
wilayah Dar al-Harb.

Para Ulama berbeda pendapat mengenai masa berlakunya perjanjian jaminan keamanan bagi
musta’min. Menurut Mazhab Syafi’i tidak boleh melebihi empat bulan. Menurut Mazhab Maliki yaitu jika
perjanjian tersebut tidak dibatasi oleh waktu, maka dalam waktu empat bulan berakhir dengan
sendirinya. Sedangkan jika dibatasi oleh waktu, maka perjanjian berakhir sesuai kesepakatan. Menurut
Mazhab Hanafi dan Syi’ah Zaidiyah, maksimal selama satu tahun. Sedangkan menurut Imam Ahmad bin
Hanbal menentukan paling lama, yaitu empat tahun.

4. Harbiyun

Kafir Harbi adalah setiap orang kafir yang tidak tercakup di dalam perjanjian (dzimmah) kaum Muslim,
baik orang itu kafir mu’ahid atau musta’min, atau pun bukan kafir mu’ahid dan kafir musta’min.

Ditinjau dari aspek hukum, kafir harbi dibagi menjadi dua, yaitu (1) kafir harbi hukman, artinya secara de
jure (secara hukum) kafir harbi, dan (2) kafir harbi fi’lan atau kafir harbi haqiqatan (de facto) yakni
orang-orang kafir yang tengah berperang/memerangi kaum Muslim.

Anda mungkin juga menyukai