Anda di halaman 1dari 4

Patofisiologi Kolera

Studi mengenai patogenesis penyakit kolera setelah terjadi kolonisasi terutama difokuskan
pada peran konsentrasi adenil siklase dan siklik AMP (cAMP) meningkat setelah terjadi
intoksikasi sel oleh toksin kolera klasik. Penjelasan terbaru tentang toksin-toksin lain yang
dapat dihasilkan oleh patogen dapat menjelaskan beberapa aspek stadium awal patogencsis.
Namun, hal itu tampaknya tidak mungkin menggantikan kepentingan sentral toksin ini.
Meskipun begitu, penyusunan patofisiologi harus bergerak lehih jauh dari sekedar penemuan
mengenai meningkatnya adenil siklase dan cAMP. Mekanisine tentang cara cAMP, mungkin
menyebabkan (bukan hanya paralel) perubahan pergerakan air dan elektrolit pada pasien
kolera yang masih belum diketahui. Dengan bukti yang ada mengenai toksin vibrio multipel,
yang tampaknya merupakan subunit non-A atau yang tidak terkait cAMP, dan sedikit
perbedaan yang telah diteliti mengenai efek toksin kolera pada aneka ragam epitel intestinal
dan jenis-jenis sel neuron usus, konsep terharu tentang penyebab tampak sederhana.

Bahkan, telah banyak bukti yang memberi petunjuk bahwa adenil siklase dan cAMP
sebenarnya hanya berperan sebagian, sementara, atau indirek, dan bahwa inhibisi atau kerja
antagonis mereka tidak secara konsisten sejajar dengan perubahan fluks GS atau elektrolit
atau mengurangi diare pada situasi eksperimental maupun pada pasien kolera. Aktivitas
adenil siklase pada beberapa pasien kolera mungkin tidak sejajar dengan aktivitasnya pada
diare, dan pada sel model aktivitas adenil siklase distimulasi pada konsentrasi toksin kolera
yang rendah tetapi tidak pada konsentrasi tinggi, atau distimulasi pada pajanan terhadap
toksin yang diperpanjang.

Efek anti-sekretorik eksperimental fenotiazin tidak berhuhungan dengan perubahan dalam


proses ribosilasi ADP walaupun telah ditemukan suatu kesejajaran dengan inhibisi adenil
siklase. Sementara efek kalsium pada jalur kimia yang dimediasi oleh kalsium (yang juga
dapat mengubah fluks natrium) barangkali menyebabkan efek anti-sekretorik pada model-
model eksperimental. Studi yang menunjukkan reduksi ringan diare kolera oleh antagonis
siklase klorpromazin tanpa tetrasiklin, tetapi bukan dengan tetrasiklin, mungkin hanya
merepresentasikan manfaat anti-bakterial klorpromazin, bukan efek anti-siklase terhadap
angka kejadian diare. Inhibitor siklase lain, seperti klorokuin, tidak efektif bagi pasien.

Secara in vivo, inhibitor transpor klorida sekalipun tidak dapat menghambat sekresi cairan
pada kolera dalam sehuah sel model, peningkatan maksimal sekresi klorida tidak
membutuhkan peningkatan aktivitas cAMP, dan reduksi sekresi dapat terjadi tanpa
penurunan aktivitas cAMP. Mungkin barisan sel epitel yang hilang, avaskular, dan yang
mengalami hubungan arus pendek atau sel-sel yang diisolasi tidak benar-benar
mencerminkan kejadian-kejadian pada seorang pasien hidup. Rantai penghuhung sebab-
akibat antara cAMP dengan hipertonisitas ujung vili yang meningkat setelah kontak dengan
toksin kolera, atau air berlabel tritium yang tidak dapat diserap setelah kontak dengan toksin
kolera, diperlukan jika peran central cAMP akan dipertahankan.
Serangkaian perubahan yang terkait dengan toksin kolera pada reseptor G-protein dan 5-
hidroksitriptamin dan kemungkinan pelepasan prostaglandin, polipeptida vasoaktif intestinal
(melalui mekanisme neuronal) dan hormon-hormon lain telah diungkapkan, tetapi belum
diintegrasikan. Suatu rantai yang jelas mengenai sebab-akibat yang menjabarkan natrium,
kalium, dan klorida, serta pergerakan air (dan kerja transporter yang berkaitan) yang berubah
sehingga menimbullkan diare pada pasien masih belum ditemukan. Mungkin beberapa
perubahan pada aktivitas adenil siklase atau cAMP secara in vivo merupakan reaksi selular
terhadap efek toksin kolera lainnya (dibandingkan efek toksin kolera direk) belum
dikesampingkan. cAMP telah berperan sebagai pemicu sekresi klorida, promotor absorpsi ko-
transpor glukosa-natrium, dan zat lain, fosforilator protein kinase, ataupun sebagai sesuatu
yang hadir namun tidak berpartisipasi dalam proses. Peran komparatif kurir sekunder lain
dalam genesis kolera, atau rangkaian efek toksin kolera pada nukleus sel dan DNA, masih
belum ditetapkan. Inhibitor jalur cAMP tambahan yang memiliki aktivitas antikolera telah
dilaporkan ada (misalnya progesteron, asam retinoat, garam barium, glukagon, dan antagonis
serotonin), namun helum menjalani uji klinis. Seseorang harus menyimpulkan bahwa tidak
ada inhibitor adenil siklase atau antagonis cAMP yang telah diuji terbukti memiliki nilai
terapetik terhadap diare kolera. Untuk ini, sudah saatnya untuk melihat lebih jauh.

Pustaka
Problem Gastroenterologi Daerah Tropis
Diagnosis
Dalam menegakan suatu diagnosis kolera meliputi gejalaklinis, pemeriksaan fisik
,reaksi aglutinasi dengan anti serumspesifik dan kultur bakteriologis. Menegakkan
diagnosispenyakit kolera yang berat terutama diderah endemik tidaklahsukar. Kesukaran
menegakkan diagnosis biasanya terjadi padakasus-kasus yang ringan dan sedang, terutama di
luar endemiatau epidemi.
1. Gejala klinik
Kolera yang tipik dan berat dapat dikenal dengan adanyaberak-berak yang sering tanpa mulas
diikuti dengan muntah-muntah tanpa mual, cairan tinja berupa air cucian beras,suhu tubuh
yang tetap normal atau menurun dan cepatbertambah buruknya keadaan pasien dengan
gejala-gejalaakibat dehidrasi, renjatan sirkulasi dan asidosis yang jelas.(PD, FKUI, 1996)(6 )
2. Pemeriksaan Fisik.
Adanya tanda-tanda dehidrasi yaitu keadaan turgor kulit,mata cekung, Ubun ubun besar yang
cekung, mulutkering,denyut nadi lemah atau tiada, takikardi, kulit dingin,sianosis, selaput
lendir keringdan kehilangan berat badan
3. Kultur Bakteriologis
Diagnosis pasti kolera tergantung dari keberhasilanmengisolasi V. Kolera 01 dari tinja
penderita penanaman padamedia seletif agar gelatin tiosulfat-sitrat-empedu-sukrosa7

(TCBS) dan TTGA. Tampak pada TCBS organisme V. Koleramenonjol sebagai koloni besar,
kuning halus berlatarbelakang medium hijau kebiruan. Pada TTGA koloni kecil,opak dengan
zone pengkabutan sekelilingnya.
4. Reaksi aglutinasi dengan antiserum spesifik
Yaitu melalui penentuan antibodi-antibodi vibriosidal,aglutinasi dan penetralisasi toksin, titer
memuncrat dan ke 3antibodi tersebut akan terjadi 7-14 hari setelah awitanpenyakit-titer
antibodi vibriosidal dan aglutinasi akan kembalipada kadar awal dalam waktu 8-12 minggu
setelah awitanpenyakit, sedangkan titer antitoksin akan tetap tinggi hingga12-18 bulan.
Kenaikan sebesar 4x atau lebih selama masapenyakit akut atau penurunan titer selama
masapenyembuhan(6 ).
5. Pemeriksaan darah
Pada darah lengkap ditemukan angka leukosit yang meninggiyang menunjukkan adanya
suatu proses infeksi, pemeriksaanterhadap pH, bikarbonat didalam plasma yang menurun,
danpemeriksaan
elektrolit
untuk
menentukan
gangguan
keseimbangan asam basa

Anda mungkin juga menyukai