Disusun Oleh:
SALMA MUNIFAH
H1AP12038
A. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Terdapat benjolan pada payudara kanan sejak 6 bulan yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
- Benjolan pada payudara sebelah kanan sejak 6 bulan yang lalu.
- Ukurannya semakin membesar, tidak nyeri bila ditekan, konsistensi
padat, dapat digerakkan.
- Tidak ada penurunan nafsu makan.
- Pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol sejak 3 tahun
yang lalu
- Pasien memiliki riwayat alergi makanan yaitu udang.
- Riwayat asma, alergi obat, diabetes melitus, penggunaan gigi palsu,
disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya.
- Riwayat operasi sesar 1 kali.
B. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Status Gizi : BB: 60 kg
TB: 160 cm
b. Tanda Vital
Tekanan Darah : 150/80 mmHg
Nadi : 78x/ menit
Pernafasan : 20x/ menit
Suhu : 36,7oC
c. Status Generalis
Kepala
Bentuk : Normochepali, tidak ada deformitas
Mata
Konjungtiva : tidak anemis
Sclera : tidak ikterik
Pupil : isokhor, reflek cahaya langsung positif/positif, reflek
cahaya tidak langsung positif/positif.
Abdomen
Inspeksi : abdomen simetris, datar, tidak terdapat jaringan parut,
striae, dan kelainan kulit
Palpasi : tidak teraba massa, hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan
(-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus normal
Ekstremitas
Tidak tampak deformitas
Akral hangat pada keempat ekstremitas
Tidak terdapat udem pada keempat ekstremitas
d. Status Lokalis
Regio mammae dextra
Inspeksi : Terlihat benjolan di region mammae dextra, warna seperti
warna kulit sekitarnya, tidak ada tanda-tanda radang, tidak
terdapat luka bekas operasi.
Palpasi : Teraba massa di regio mammae dexra, konsistensi padat,
dapat digerakkan , nyeri tekan negatif.
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hb : 12,7 g/dl (N: 12-16)
Leukosit : 8.500/mm3 (N: 5000-10.000/mm3)
Trombosit : 236.000/mm3 (N: 150.000-400.000/mm3)
Hematokrit : 38% (N:35%-45%)
D. DIAGNOSA
Tumor Mammae Dextra
E. KONSUL ANESTESI
Jawaban konsul anestesi:
Status ASA 2
setuju tindakan anestesi, saran :
- Puasa 6 jam pre op
F. PROSEDUR ANESTESI
1. General Anesthesia dengan teknik face mask
2. Persiapan anestesi dan operasi
a. Informed concent
b. Pasien puasa 6 jam sebelum operasi
c. Pasien tidak menggunakan perhiasan maupun gigi palsu
d. Akses intravena (18G) sudah terpasang dan infus mengalir dengan
lancar .
3. Persiapan alat dan obat anestesi umum
a. Mempersiapkan mesin anestesi, monitor anestesi, face mask, tensi
meter, saturasi oksigen serta mengecek tabung O2, N2O, dan
Isofluran .
4. Mempersiapkan obat anestesi yaitu :
- Propofol 120 mg ( 1-2,5 mg/kgBB)
- Fentanil (Fentanyl Dehidrogenum Citrate) 100 µg (1-2
µg/KgBB)
5. Tindakan sebelum premedikasi
a. Pasien diposisikan pada posisi supine
b.Memasang sensor finger pada ibu jari tangan pasien untuk
monitoring SpO2.
c. Memasang manset pada lengan pasien untuk monitoring tekanan
darah.
d. Memastikan cairan infus berjalan lancar.
6. Obat Premedikasi
A. Ondansentron 4 mg (IV)
7. Induksi anestesi
Akses IV bolus : masukkan Fentanil 100 µg kemudian propofol 120
mg. Periksa refleks bulu mata, jika refleks bulu mata (-), lakukan
pemasangan face mask dan mulai dengan O2 2 L/ menit, N2O 4 L/
menit, isofluran 2 vol %
8. Waktu anestesi dan operasi
a. Jam anestesi dimulai : 11.00 WIB
b. Jam operasi dimulai : 11.05 WIB
c. Jam anestesi selesai : 11.45 WIB
d. Jam operasi selesai : 11.40 WIB
9. Memastikan operasi telah selesai
Menutup isofluran dan N2O, meninggikan O2 sampai 6 – 8 L/ menit
pastikan airway nya lancar dengan triple manuver. Setelah pasien
benar – benar terbangun, pindahkan pasien ke ruang recovery room.
11. Keadaan pasca operasi
- Pemberian Metamizole sodium 1000m`g dalam infus RL 500 ml
(drip)
- Kesadaran : Kompos mentis
- TD 130/90 mmHg
- Nadi 80x/mnt
- RR 20x/mnt
- Pasien puasa 3-4 jam, tirah baring 1x24 jam
12. Cairan Perioperatif
- Maintenance Cairan = 4 : 2 : 1
= (4x10) + (2x10) + (1x40)
= 40+20+40
= 100 cc / jam
- EBV (Estimated blood Volume) = konstanta wanita dewasa x BB
= 65 x 60
= 3.900 cc
- ABL (Allowable blood volume) = 20% x EBV
= 20%x 3.900
= 780 cc
- Pengganti puasa = Lama puasa x BB
= 6 jam x 60
= 360 cc
- IWL = Jenis operasi x BB
= 6 x 60
= 360 cc
- Kebutuhan cairan 1 jam pertama
= (1/2 x pengganti puasa) + M + IWL
= (1/2 x 360) + 100 + 360
= 640 cc
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya
yaitu:
a. Meredakan kecemasan dan ketakutan
b. Memperlancar induksi anesthesia
c. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat anestetik
e. Mengurangi mual muntah pasca bedah
h. Mengurangi efek yang membahayakan
Durante Operatif
Pasien dilakukan general anestesi. Penggunaan induksi pertama dengan
propofol. Dosis profopol adalah 1-2 mg/kgBB sehingga dosis yang dibutuhkan
pada pasien 120 mg (BB = 60kg). Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak
berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1%. Onset of action dari
propofol adalah 1 menit.
Teknik anestesi yang dipilih adalah Face mask. Analgetik yang diberikan
adalah fentanyl 100 µg. dosisnya adalah 1-2 µg /kgBB. Pada pasien ini diberikan
50 – 100 µg /kgBB dengan durasi of action 30-60 menit.
Pada general anestesi dibutuhkan kadar obat anestesi yang adekuat yang
bisa dicapai dengan cepat di otak dan perlu di pertahankan kadarnya selama waktu
yang dibutuhkan untuk operasi. Hal ini merupakan konsep yang sama baik pada
anestesi yang dicapai dengan anestesi inhalasi, obat intravena, atau keduanya.
Pada kasus ini maintenance anestesi diberikan dengan anestesi inhalasi. Obat
anestesi inhalasi yang dipakai adalah isoflurane 2 vol %. Isoflurane tidak memiliki
kontraindikasi khusus.
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan Ringer
laktat. Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi
cairan ekstraseluler dan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar
diperlukan. Kehilangan darah selama durante operasi biasanya digantikan dengan
cairan kristaloid sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor
pasien selama anestesi adalah:
1. Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter
2. Heart rate, nadi, dan tekanan darah
3. Warna membran mukosa, dan capillary refill time
4. Kedalaman / stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
5. Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
6. Pulse oximetry: saturasi oksigen, suhu.
Post-Operatif
Sensitisasi sentral dan hipereksitabilitas yang timbul setelah insisi
menyebabkan nyeri post operatif. Diberikan obat analgetik novaldo (metamizole
sodium) 2 ml. Pasien dipuasakan sekitar 4 – 6 jam. Selalu monitoring tanda vital
(tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernafasan, suhu,) dan kesadaran pasien.
Opioid
Mekanisme Kerja
Opioid terikat pada respetor spesifik sepanjang sistim saraf pusat dan jaringan
lain. 4 tipe reseptor opioid telah dapat diidentifiksi, yaitu mu (-1 dan -2),
kappa (), delta (), dan sigma ().
Selain mempunyai efek sedasi, opioid juga dapat memberikan efek analgesik.
Efek farmakodinamik yang ditimbulkan tergantung dari reseptor mana yang
diikat, kuatnya ikatan dan apa yang timbul dari aktivasi reseptor. Antagonis opioid
(naloxone) bekerja dengan kompetisi ikatan dengan reseptor opioid namun tidak
menimbulkan aktivasi dari reseptor.
Biasanya bentuk-bentuk isomer levo lebih poten daripada bentuk isomer dekstro.
Farmakokinetik
Absorbsi
Absorbsi terjadi secara cepat dan lengkap setelah pemberian morfin dan
meperidin secara intramuskular dalam 20 – 60 menit. Pemberian fentanyl(oral
transmukosal fentanyl sitrat) merupakan salah cara yang efektif untuk
memberikan efek analgesia dan sedasi dan mempunyai mula kerja yang cepat (10
menit) dengan dosis 15-20 μg/kg untuk anak-anak dan 200 – 800 μg untuk
dewasa.
Fentanyl mempunyai berat molekul yang rendah dan kelarutan lemak yang tinggi
sehingga memungkinkan untuk diabsorbsi secara transdermal. Obat yang
diabsorbsi bergantung pada luas permukaan namun dapat dipengaruhi juga oleh
kondisi sirkulasi darah daerah tersebut.
Waktu paruh distribusi obat-obat opioid berlangsung dalam waktu yang cepat (5 –
20 menit). Fentanyl dan sufentanil yang mempunyai kelarutan lemak yang tinggi
sehingga mula kerja dan lama kerjanya singkat. Alfentanil mempunyai mula kerja
dan lama kerja yang lebih singkat dari fentanyl setelah pemberian secara bolus
walaupun mempunyai kelarutan lemak yang lebih rendah, hal ini disebabkan
tingginya fraksi non ionic alfentanil pada pH fisiologis dan tingginya jumlah obat
dalam bentuk bebas yang beredar sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya
dalam darah. Opioid dapat langsung diserap oleh paru-paru (first pass uptake) dan
hal ini bergantung pada akumulasi obat di paru-paru sebelumnya (menurun),
riwayat merokok (meningkat), dan pemberian obat anestesi (menurun).
Redistribusi mengakhiri efek opioid pada dosis kecil, sementara dosis yang besar
membutuhkan biotransformasi.
Biotransformasi
Ekskresi
Dapat terjadi puncak konsentrasi plasma kedua setelah pemberian fentanyl
intravena yang terjadi hingga 4 jam setelah pemberian yang mubgkin disebabkan
oleh sirkulasi enterohepatik. Metabolit utama remifentaniol diekskresi melalui
ginjal namun ribuan kali lebih lemah disbanding bahan asalnya sehingga jarnag
menimbulkan efek opioid yang jelas. Penyakit hati berat tidak mengganggu
farmakokinetik atau farmakodinamik remifentanil
Kardiovaskular
Lebih jauh lagi, morfin dan meperidin menyebabkan pelepasan histamin yang
dpat menybebkan penurunan tekanan darah dan resistensi vascular yang cukup
besar. Efek ini dapat diminmalisasi dengan pemberian opioid dengan infus
perlahan, menjaga volume intravaskular yang adekuat, dan premedikasi dengan
antagonis histamin H1 dan H2. Kombinasi opioid dengan obat anestesi lain (mis.
N20 benzodiaz kedalamanin, barbiturat, dan anestesi inhalasi dapat menyebabkan
depresi miokard yang sinifikan).
Respirasi
SSP
Secara umum opioid mengurangi konsumsi oksigen otak, aliran darah otak, dan
tekanan intrakranial tetapi pada potensi yang lebih lemah daripada barbiturat
maupun benzodiazepin yang pada akhirnya mampu menjaga otak tetap dalam
keadaan normokarbia.
Ditemukan juga bahwasetelah pemberian bolus pasien dengan tumor otak ataupun
trauma kepala terjadi peningkatan kecepatan aliran darah dan tekanan intrakranial.
Selain itu karena opioid memberikan efek penurunan MAP, penurunan CPP terjadi
secara signifikan pada pasien dengan volume intrakranial yang terganggu.
Ransangan pada CTZ menjadi penyebab tingginya mual dan muntah, dapat terjadi
ketergantungan fisik terhadap opioid yang biasanya terjadi pada pasien dengan
pembeian opioid berulang. Tidak seperti barbiurat dan benzodiazepin, dibutuhkan
dosis besar untuk memberikan efek hipnotik pada pasien.
Gastrointestinal
Pada pasien dengan pemberian jangka panjang, efek samping pada saluran
gastrointestinal biasanya sudah dapat ditolerir kecuali konstipasi akibat
berkurangnya motilitas lambung.
Endokrin
Respons stress terhadap operasi dapat dilihat dengan adanya sekresi hormon-
hormon tertentu termasuk katekolamin, antidiuretik hormon, dan kortisol. Opioid
menghambat pelepasan hormon lebih menyeuruh dari anestesi inhalasi. Efek ini
terutama diperoleh dari opioid yang kuat seprti fentanyl, sufentanil, alfentanil dan
remifentanil. Pasien dengan penyakit jantung iskemik akan memperoleh
keuntungan dari penghambatan stress respons ini.
Absorbsi
Propofol hanya tersedia untuk pemberian intravena untuk induksi anestesi umum.
Distribusi
Kelarutan lemak yang tinggi membuat propofol mempunyai mula kerja yang amat
tinggi, hampir secepat thiopental. Pemulihan dari satu bolusp pun terjadi amat
cepat karena pendeknya waktu paruh distribusi (2 – 8 menit). Pemulihan propofol
terjadi dengan rasa pusing yang lebih ringan dibandingkan dengan thiopental,
methohexital, atau etomidat. Pada pasien usia tua dibutuhkan dosis induksi yang
lebih kecil. Wanita membutuhkan dosis yang lebih tinggi daripada pria dan pulih
lebih cepat.
Biotransformasi
Klirens propofol melebihi kecepatan aliran darah hati, menunjukkan adanya
metabolisme ekstrahepatik. Kecepatan klirens yang tinggi (10 kali dari thiopental)
memberikan andil cepatnya pemulihan setelah pemberian secara infus. Konjugasi
di hati menghasilkan metabolit inaktif yang diekskresikan ginjal.
Ekskresi
a. Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila
digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.
b. Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi
yang minimal 0,2%.
c. Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada
dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah
terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri. 2,3
Efek Samping
Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%
kasus. Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada
pemberian propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan lidokain (0,5
mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan
pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan, berikan secara
I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering sekali
ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan propofol. Propofol
merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati – hati pada
pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti hiperlipidemia dan
pankreatitis. Pada setengah kasus dapat menyebabkan kejang mioklonik
(thiopental < propofol < etomidate atau methohexital). Phlebitis juga pernah
dilaporkan terjadi setelah pemberian induksi propofol tapi kasusnya sangat
jarang. Terdapat juga kasus terjadinya nekrosis jaringan pada ekstravasasi
subkutan pada anak-anak akibat pemberian propofol.4
Ringkasan Efek Obat Anestesi Nonvolatile
III. KESIMPULAN
Pasien Ny. Y didiagnosis tumor mammae dextra. Teraba massa di regio
mammae dextra dengan konsistensi padat, dapat digerakkan, tidak nyeri,
menajalani operasi eksisi dengan general anestesi dengan teknik facemask
Induksi anestesi dengan menggunakan propofol 120 mg, fentanil 100 ug.
Untuk maintenance N2O 4L/ menit, O2 2L/ menit dan Isofluran vol 2 %.
Post operatif menggunakan metamizole sodium 1000mg dalam infus RL
500 cc.