Anda di halaman 1dari 22

LONG CASE

LAPORAN KASUS ANESTESI


TUMOR MAMMAE DEXTRA STATUS ASA II DENGAN GENERAL
ANESTHESIA

Disusun Oleh:
SALMA MUNIFAH
H1AP12038

KEPANITERAAN KLINIK ANASTESI DAN TERAPI INTENSIF


RS BHAYANGKARA KOTA BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2018
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Y
Umur : 36 tahun
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Diagnosa : Tumor Mammae dextra
Tindakan : eksisi

A. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Terdapat benjolan pada payudara kanan sejak 6 bulan yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
- Benjolan pada payudara sebelah kanan sejak 6 bulan yang lalu.
- Ukurannya semakin membesar, tidak nyeri bila ditekan, konsistensi
padat, dapat digerakkan.
- Tidak ada penurunan nafsu makan.
- Pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol sejak 3 tahun
yang lalu
- Pasien memiliki riwayat alergi makanan yaitu udang.
- Riwayat asma, alergi obat, diabetes melitus, penggunaan gigi palsu,
disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya.
- Riwayat operasi sesar 1 kali.
B. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Status Gizi : BB: 60 kg
TB: 160 cm
b. Tanda Vital
Tekanan Darah : 150/80 mmHg
Nadi : 78x/ menit
Pernafasan : 20x/ menit
Suhu : 36,7oC

c. Status Generalis
Kepala
Bentuk : Normochepali, tidak ada deformitas
Mata
Konjungtiva : tidak anemis
Sclera : tidak ikterik
Pupil : isokhor, reflek cahaya langsung positif/positif, reflek
cahaya tidak langsung positif/positif.

Mulut dan Tenggorok


Bibir : normal, tidak pucat, tidak sianosis
Mukosa mulut : normal, tidak hiperemis
Tonsil : tidak hiperemis
Faring : tidak hiperemis, arcus faring simetris, uvula di tengah
Mallampati score : I , pilar faring (+) uvula (+) palatum mole (+)
Tiromental junction : 7cm
Temporomandibular junction: baik
Thoraks
Paru
Inspeksi dan palpasi : Bentuk dan gerak simetris kiri dan kanan
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
Dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung 1 dan 2 reguler

Abdomen
Inspeksi : abdomen simetris, datar, tidak terdapat jaringan parut,
striae, dan kelainan kulit
Palpasi : tidak teraba massa, hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan
(-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus normal

Ekstremitas
Tidak tampak deformitas
Akral hangat pada keempat ekstremitas
Tidak terdapat udem pada keempat ekstremitas
d. Status Lokalis
Regio mammae dextra
Inspeksi : Terlihat benjolan di region mammae dextra, warna seperti
warna kulit sekitarnya, tidak ada tanda-tanda radang, tidak
terdapat luka bekas operasi.
Palpasi : Teraba massa di regio mammae dexra, konsistensi padat,
dapat digerakkan , nyeri tekan negatif.
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hb : 12,7 g/dl (N: 12-16)
Leukosit : 8.500/mm3 (N: 5000-10.000/mm3)
Trombosit : 236.000/mm3 (N: 150.000-400.000/mm3)
Hematokrit : 38% (N:35%-45%)
D. DIAGNOSA
Tumor Mammae Dextra
E. KONSUL ANESTESI
Jawaban konsul anestesi:
Status ASA 2
setuju tindakan anestesi, saran :
- Puasa 6 jam pre op

F. PROSEDUR ANESTESI
1. General Anesthesia dengan teknik face mask
2. Persiapan anestesi dan operasi
a. Informed concent
b. Pasien puasa 6 jam sebelum operasi
c. Pasien tidak menggunakan perhiasan maupun gigi palsu
d. Akses intravena (18G) sudah terpasang dan infus mengalir dengan
lancar .
3. Persiapan alat dan obat anestesi umum
a. Mempersiapkan mesin anestesi, monitor anestesi, face mask, tensi
meter, saturasi oksigen serta mengecek tabung O2, N2O, dan
Isofluran .
4. Mempersiapkan obat anestesi yaitu :
- Propofol 120 mg ( 1-2,5 mg/kgBB)
- Fentanil (Fentanyl Dehidrogenum Citrate) 100 µg (1-2
µg/KgBB)
5. Tindakan sebelum premedikasi
a. Pasien diposisikan pada posisi supine
b.Memasang sensor finger pada ibu jari tangan pasien untuk
monitoring SpO2.
c. Memasang manset pada lengan pasien untuk monitoring tekanan
darah.
d. Memastikan cairan infus berjalan lancar.
6. Obat Premedikasi
A. Ondansentron 4 mg (IV)
7. Induksi anestesi
Akses IV bolus : masukkan Fentanil 100 µg kemudian propofol 120
mg. Periksa refleks bulu mata, jika refleks bulu mata (-), lakukan
pemasangan face mask dan mulai dengan O2 2 L/ menit, N2O 4 L/
menit, isofluran 2 vol %
8. Waktu anestesi dan operasi
a. Jam anestesi dimulai : 11.00 WIB
b. Jam operasi dimulai : 11.05 WIB
c. Jam anestesi selesai : 11.45 WIB
d. Jam operasi selesai : 11.40 WIB
9. Memastikan operasi telah selesai
Menutup isofluran dan N2O, meninggikan O2 sampai 6 – 8 L/ menit
pastikan airway nya lancar dengan triple manuver. Setelah pasien
benar – benar terbangun, pindahkan pasien ke ruang recovery room.
11. Keadaan pasca operasi
- Pemberian Metamizole sodium 1000m`g dalam infus RL 500 ml
(drip)
- Kesadaran : Kompos mentis
- TD 130/90 mmHg
- Nadi 80x/mnt
- RR 20x/mnt
- Pasien puasa 3-4 jam, tirah baring 1x24 jam
12. Cairan Perioperatif
- Maintenance Cairan = 4 : 2 : 1
= (4x10) + (2x10) + (1x40)
= 40+20+40
= 100 cc / jam
- EBV (Estimated blood Volume) = konstanta wanita dewasa x BB
= 65 x 60
= 3.900 cc
- ABL (Allowable blood volume) = 20% x EBV
= 20%x 3.900
= 780 cc
- Pengganti puasa = Lama puasa x BB
= 6 jam x 60
= 360 cc
- IWL = Jenis operasi x BB
= 6 x 60
= 360 cc
- Kebutuhan cairan 1 jam pertama
= (1/2 x pengganti puasa) + M + IWL
= (1/2 x 360) + 100 + 360
= 640 cc

- Kebutuhan cairan 1 jam kedua


= (1/4xpengganti puasa) + M+IWL
= (1/4x 360) + 100+360
=550 cc

- Tetesan = Faktor kebutuhan + Faktor tetesan


60 + lama operasi
= 640 cc + 20
60x1jam
= 11 tetes / menit

13. Monitoring Vital Sign setiap 15 menit

Waktu Tekanan Darah Frekuensi Nadi


11.00 170/95 mmHg 70x/menit
11.15 150/93 mmHg 68x/menit
11.30 150/85 mmHg 70 x/menit
11.45 130/90 mmHg 72x/menit

II. TINJAUAN PUSTAKA


Preoperatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan
preoperasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anastesi.
Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dioperasi harus dilakukan, sehingga
dapat mengetahui adanya kelainan diluar kelainan yang akan di operasi, dapat
menentukan jenis operasi yang akan digunakan, dapat mengetahui kelainan yang
berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi obat,
penggunaan gigi palsu. Selain itu, dengan mengetahui keadaan pasien secara
keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan pilihan obat yang
tepat pada pasien. Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa menghindari
kejadian salah identitas dan salah operasi.
Evaluasi pre operasi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus
dilengkapi dengan klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA.
Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien
tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam
informed consent. Anamnesis bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat
alergi terhadap makanan dan obat-obatan, riwayat DM, riwayat asma, riwayat
hipertensi, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, juga riwayat
operasi dan anestesi sebelumnya yang bisa menunjukkan bila ada komplikasi
anestesi. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk
mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosa.
Pemeriksaan fisik dan anamnesis melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan
fisik yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi
tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate, respirasi, suhu) dan pemeriksaan
airway, jantung, paru-paru, neurologis, dan sistem muskuloskeletal. Pentingnya
pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan
buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk
diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Leher yang
pendek, mandibula menonjol, maksila/ gigi depan menonjol, uvula yang tak
terlihat, gerak sendi temporomandibular terbatas, gerak vertebra servikal terbatas,
mengindikasikan kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.
Pemeriksaan penunjang laboratorium rutin seperti pemeriksaan kadar
hematokrit, hemoglobin, leukosit, trombosit, urinalisis, ureum, kreatinin, EKG,
dan foto polos thoraks pada pasien.
Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori yaitu :
a. Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.
b. Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa
keterbatasan aktivitas sehari-hari.
c. Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas
normal.
d. Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan
memerlukan terapi intensif, dengan keterbatasan serius pada aktivitas sehari-hari.
e. Kelas V : Pasien sekarat yang akan meninggal dalam 24 jam, dengan atau
tanpa pembedahan.
Hal penting lainnya pada kunjungan pre operasi adalah informed concent.
informed concent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat
melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam proses inform consent perlu
dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur
yang akan dilakukan dan resikonya. Tujuan kunjungan pre operasi bukan hanya
untuk mengumpulkan informasi yang penting dan informed concent, tetapi juga
membantu membentuk hubungan dokter-pasien. Bahkan pada interview yang
dilakukan secara empatis dan menjawab pertanyaan penting serta membiarkan
pasien tahu tentang harapan operasi menunjukkan hal tersebut setidaknya dapat
membantu mengurangi kecemasan yang dirasakan pasien.
Mallampati score adalah suatu klasifikasi untuk menilai tampakan faring pada
saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal, terdiri dari 4 gradasi
yaitu :
Gradasi Pilar faring Uvula Palatum molle
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya
yaitu:
a. Meredakan kecemasan dan ketakutan
b. Memperlancar induksi anesthesia
c. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat anestetik
e. Mengurangi mual muntah pasca bedah
h. Mengurangi efek yang membahayakan

Durante Operatif
Pasien dilakukan general anestesi. Penggunaan induksi pertama dengan
propofol. Dosis profopol adalah 1-2 mg/kgBB sehingga dosis yang dibutuhkan
pada pasien 120 mg (BB = 60kg). Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak
berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1%. Onset of action dari
propofol adalah 1 menit.
Teknik anestesi yang dipilih adalah Face mask. Analgetik yang diberikan
adalah fentanyl 100 µg. dosisnya adalah 1-2 µg /kgBB. Pada pasien ini diberikan
50 – 100 µg /kgBB dengan durasi of action 30-60 menit.
Pada general anestesi dibutuhkan kadar obat anestesi yang adekuat yang
bisa dicapai dengan cepat di otak dan perlu di pertahankan kadarnya selama waktu
yang dibutuhkan untuk operasi. Hal ini merupakan konsep yang sama baik pada
anestesi yang dicapai dengan anestesi inhalasi, obat intravena, atau keduanya.
Pada kasus ini maintenance anestesi diberikan dengan anestesi inhalasi. Obat
anestesi inhalasi yang dipakai adalah isoflurane 2 vol %. Isoflurane tidak memiliki
kontraindikasi khusus.
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan Ringer
laktat. Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi
cairan ekstraseluler dan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar
diperlukan. Kehilangan darah selama durante operasi biasanya digantikan dengan
cairan kristaloid sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor
pasien selama anestesi adalah:
1. Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter
2. Heart rate, nadi, dan tekanan darah
3. Warna membran mukosa, dan capillary refill time
4. Kedalaman / stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
5. Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
6. Pulse oximetry: saturasi oksigen, suhu.
Post-Operatif
Sensitisasi sentral dan hipereksitabilitas yang timbul setelah insisi
menyebabkan nyeri post operatif. Diberikan obat analgetik novaldo (metamizole
sodium) 2 ml. Pasien dipuasakan sekitar 4 – 6 jam. Selalu monitoring tanda vital
(tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernafasan, suhu,) dan kesadaran pasien.

TEKNIK ANESTESIA UMUM DENGAN SUNGKUP MUKA

Indikasi untuk menggunakan teknik anesthesia umum dengan sungkup


muka :1
1. Untuk tindakan yang singkat (0,5 jam – 1 jam) tanpa membuka rongga
perut
2. Keadaan umum pasien cukup baik (status fisik ASA I atau ASA II)
3. Lambung harus kosong
Kontra indikasi
1. Operasi di daerah kepala dan jalan napas
2. Operasi dengan posisi miring atau tertelungkup

Macam Face mask :


Tatalaksana
1. Pasien telah disiapkan sesuai dengan pedoman
2. Pasang alat pantau yang diperlukan
3. Siapkan alat-alat dan obat resusitasi
4. Siapkan mesin anastesi dengan system sirkuitnya dan gas anastesi
yang digunakan
5. Induksi dengan pentothal atau dengan obat hipnotik yang lain
6. Berikan salah satu kombinasi obat inhalasi (N 2O+halotan/ enfluran/
isofluran/ sevofluran)
7. Awasi pola napas pasien, bila tampak tanda-tanda hipoventilasi berikan
napas bantuan intermiten secara sinkron sesuai dengan irama napas
pasien
8. Pantau denyut nadi dan tekanan darah
9. Apabila operasi sudah selesai, hentikan gas/obat anastesi inhalasi dan
berikan oksige oksigen 100% (4-8 liter/menit) selama 2-5 menit.

Opioid

Mekanisme Kerja
Opioid terikat pada respetor spesifik sepanjang sistim saraf pusat dan jaringan
lain. 4 tipe reseptor opioid telah dapat diidentifiksi, yaitu mu (-1 dan -2),
kappa (), delta (), dan sigma ().

Selain mempunyai efek sedasi, opioid juga dapat memberikan efek analgesik.
Efek farmakodinamik yang ditimbulkan tergantung dari reseptor mana yang
diikat, kuatnya ikatan dan apa yang timbul dari aktivasi reseptor. Antagonis opioid
(naloxone) bekerja dengan kompetisi ikatan dengan reseptor opioid namun tidak
menimbulkan aktivasi dari reseptor.

Aktivasi dari reseptor opioid menghambat neurotransmitter eksitasi (mis.


Asetilkolin, substansi P) pada presinaps maupun post sinaps serabut saraf nyeri.
Secara selular, terjadi gangguan pada aliran ion kalium dan klorida sehingga
transmisi dari impuls nyeri terganggu. Hambatan impuls nyeri dapat terjadi pada
tingkat kornu posterior bila opioid diberikan secara epidural maupun intratekal.
Selain itu terjadi pula penghambatan descending inhibitory pathway melalui
nucleus raphe magnus ke kornu posterio medulla spinalis.

Klasifikasi Reseptor Opioid

Reseptor Efek Klinis Agonis


Mu Analgesia supraspinal Morfin
Depresi pernapasan Met-enkephalin
Ketergantungan fisik Beta-endorphin
Kekakuan otot Fentanyl
Kappa Sedasi Morfin
Kappa Analgesia spinal Nalbuphine
Butorphanol
Dynorphin
Oxycodone
Delta Analgesia Leu-enkephalin
Tingkah llaku Beta-endorphine
Epileptogenik
Sigma Disforia Pentazosin
Halusinasi Nalorphine
Stimulasi Respirasi Ketamin

Struktur dan Aktivitas

Struktur obat-obatan opioid mempunyai gambaran yang umum. Perubahan


molekular kecil dapat memberikan perubahan yang besar, bahkan mengubah suatu
obat agonis menjadi antagonis.

Biasanya bentuk-bentuk isomer levo lebih poten daripada bentuk isomer dekstro.

 Farmakokinetik

Absorbsi

Absorbsi terjadi secara cepat dan lengkap setelah pemberian morfin dan
meperidin secara intramuskular dalam 20 – 60 menit. Pemberian fentanyl(oral
transmukosal fentanyl sitrat) merupakan salah cara yang efektif untuk
memberikan efek analgesia dan sedasi dan mempunyai mula kerja yang cepat (10
menit) dengan dosis 15-20 μg/kg untuk anak-anak dan 200 – 800 μg untuk
dewasa.

Fentanyl mempunyai berat molekul yang rendah dan kelarutan lemak yang tinggi
sehingga memungkinkan untuk diabsorbsi secara transdermal. Obat yang
diabsorbsi bergantung pada luas permukaan namun dapat dipengaruhi juga oleh
kondisi sirkulasi darah daerah tersebut.

Absorbsi pada jam-jam pertama berjalan lambat, hingga akhirnya mencapai


konsentrasi pada plasma darah yang stabil setelah 14 – 24 jam pemberian dan
dapat berlanjut hingga 72 jam. Adanya reservoir pada dermis bagian atas
menyebabkan turunnya konsentrasi plasma yang cukup lama walupun setelah
patch dilepas. Akan tetapi tingginya insidensi mual dan kadar dalam darah yang
bervariasi membatasi penggunaan fentanyl patch untuk penanganan nyeri post
operatif.
Distribusi

Waktu paruh distribusi obat-obat opioid berlangsung dalam waktu yang cepat (5 –
20 menit). Fentanyl dan sufentanil yang mempunyai kelarutan lemak yang tinggi
sehingga mula kerja dan lama kerjanya singkat. Alfentanil mempunyai mula kerja
dan lama kerja yang lebih singkat dari fentanyl setelah pemberian secara bolus
walaupun mempunyai kelarutan lemak yang lebih rendah, hal ini disebabkan
tingginya fraksi non ionic alfentanil pada pH fisiologis dan tingginya jumlah obat
dalam bentuk bebas yang beredar sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya
dalam darah. Opioid dapat langsung diserap oleh paru-paru (first pass uptake) dan
hal ini bergantung pada akumulasi obat di paru-paru sebelumnya (menurun),
riwayat merokok (meningkat), dan pemberian obat anestesi (menurun).

Redistribusi mengakhiri efek opioid pada dosis kecil, sementara dosis yang besar
membutuhkan biotransformasi.

Biotransformasi

Opioid bergantung pada hati untuk biotransformasinya dan dipengaruhi aliran


darah hati. Fentanil banyak terdapat dalam jumlah bebas sehingga waktu paruh
eliminasinya pendek (11/2 jam). Hasil akhir metabolisme fentanyl, sufentanil dan
alfentanil menjadi bentuk inaktif.

Struktur ester dari remifentanil memungkinkan opioid ini mengalami hidrolisa


dengan esterase non spesifik dalam darah maupun jaringan sehingga waktu parah
eliminasinya sangat singkat, kurang dari 10 menit. Biotransformasi dari
remifentanil terjadi amat cepat sehingga pemberian infus remifentanil hanya
berefek kecil terhadap waktu pulih. Tidak adanya akumulasi obat setelah
pemberian bolus berulang maupun infus dalam waktu lama membedakan
remifentanil dari obat opioid lainnya. Selain itu dengan adanya hidrolisis
ekstrahepatik pasien dengan disfungsi hati pun tidak akan mengalami efek toksik
dari metabolit.

Ekskresi
Dapat terjadi puncak konsentrasi plasma kedua setelah pemberian fentanyl
intravena yang terjadi hingga 4 jam setelah pemberian yang mubgkin disebabkan
oleh sirkulasi enterohepatik. Metabolit utama remifentaniol diekskresi melalui
ginjal namun ribuan kali lebih lemah disbanding bahan asalnya sehingga jarnag
menimbulkan efek opioid yang jelas. Penyakit hati berat tidak mengganggu
farmakokinetik atau farmakodinamik remifentanil

 Karakteristik Opioid yang Mempengaruhi Distribusi

Obat Fraksi non ionic Ikatan Protein Kelarutan Lemak


Morfin ++ ++ +
Meperidin + +++ ++
Fentanyl + +++ ++++
Sufentanil ++ ++++ ++++
Alfentanil ++++ ++++ +++
Remifentanil +++ +++ ++

Efek pada Organ Tubuh

Kardiovaskular

Secara umum opioid tidak terlalu mengganggu fungsi kardiovaskular. Meperidin


cenderung meningkatkan denyut jantung, sementara dosis tinggi morfin, fentanyl,
sufentanil, remifentanil dan alfentanil menyebabkan bradikardia

Kecuali meperidin, opioid tidak menghambat kontraktilitas miokard akan tetapi


tekanan darah arteri biasanya turun, sebagai hasil dari bradikardia, venodilatasi
dan penurunan refleks simpatis yang kadang membutuhkan pemberian vasopresor
(efedrin).

Lebih jauh lagi, morfin dan meperidin menyebabkan pelepasan histamin yang
dpat menybebkan penurunan tekanan darah dan resistensi vascular yang cukup
besar. Efek ini dapat diminmalisasi dengan pemberian opioid dengan infus
perlahan, menjaga volume intravaskular yang adekuat, dan premedikasi dengan
antagonis histamin H1 dan H2. Kombinasi opioid dengan obat anestesi lain (mis.
N20 benzodiaz kedalamanin, barbiturat, dan anestesi inhalasi dapat menyebabkan
depresi miokard yang sinifikan).

Respirasi

Opioid mendepresi respirasi terutama frekuensi respirasi. CO2 meningkat dan


respons terhadap CO2 menurun. Efek ini terjadi melalui pusat pernapasan di
batnag otak, di mana ambang apnea –PaCO2 di mana pasien menjadi apnea-
meningkat, sedangkan hypoxic drive menurun. Efek depresi pernapasan pada
perempuan lebih besar.

Morfin dan meperidin dapat menyebabkan bronkospasme yang disebabkan


pelepasan histamin pada pasien yang rentan. Opioid (terutama fentanyl,
sufentanil, dan alfentanil) dapat menimbulkan kekakuan dinding dada hingga ke
tingkat dapat menghambat ventilasi yang adekuat. Keadaan ini disebabkan oleh
mekanisme secra sentraldan dapat dietesi dengan pemberian pelumpuh otot.

Opioid dapat pula digunakan untuk menumpulkan respons bronkokonstriktif


akibat stimulasi jalan napas seperti yang timbul saat intubasi

SSP

Secara umum opioid mengurangi konsumsi oksigen otak, aliran darah otak, dan
tekanan intrakranial tetapi pada potensi yang lebih lemah daripada barbiturat
maupun benzodiazepin yang pada akhirnya mampu menjaga otak tetap dalam
keadaan normokarbia.

Ditemukan juga bahwasetelah pemberian bolus pasien dengan tumor otak ataupun
trauma kepala terjadi peningkatan kecepatan aliran darah dan tekanan intrakranial.
Selain itu karena opioid memberikan efek penurunan MAP, penurunan CPP terjadi
secara signifikan pada pasien dengan volume intrakranial yang terganggu.

Fentanyl jaang menimbulkan kejang, walaupun pernah ditemukan beberapa kasus.

Ransangan pada CTZ menjadi penyebab tingginya mual dan muntah, dapat terjadi
ketergantungan fisik terhadap opioid yang biasanya terjadi pada pasien dengan
pembeian opioid berulang. Tidak seperti barbiurat dan benzodiazepin, dibutuhkan
dosis besar untuk memberikan efek hipnotik pada pasien.

Opioid tidak memberikan efek amnesia. Pemberian secara intravena menjadi


pilihan sebagai analgesia dan penggunaannya kini semakin meluas dengan
penggunaan opioid epidural ataupun subdural yang memberikan perubahan yang
besar dalam penanganan nyeri.

Gastrointestinal

Opioid memperlambat waktu pengosongan lambung dengan mengurangi


peristaltik. Dapat juga terjadi kolik bilier akibat rangsangan morfin terhadap
kontraksi sphincter Oddi. Spasme bilier yang dapat menyamarkan batu duktus
koledokus saat kolangiografi dapat ditekan dengan pemberian antagonis morfin
murni (naloxon).

Pada pasien dengan pemberian jangka panjang, efek samping pada saluran
gastrointestinal biasanya sudah dapat ditolerir kecuali konstipasi akibat
berkurangnya motilitas lambung.

Endokrin

Respons stress terhadap operasi dapat dilihat dengan adanya sekresi hormon-
hormon tertentu termasuk katekolamin, antidiuretik hormon, dan kortisol. Opioid
menghambat pelepasan hormon lebih menyeuruh dari anestesi inhalasi. Efek ini
terutama diperoleh dari opioid yang kuat seprti fentanyl, sufentanil, alfentanil dan
remifentanil. Pasien dengan penyakit jantung iskemik akan memperoleh
keuntungan dari penghambatan stress respons ini.

 INDUKSI DAN RUMATAN ANESTESIA

Induksi anesthesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar


menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anesthesia dan
pembedahan. Induksi dapat dikerjakan melalui intravena, inhalasi, intramuscular
dan rektal.
1. Propofol
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia
intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Pertama kali
digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi.
Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia
umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun.
Mengandung lecitin, glycerol dan minyak soybean, sedangkan pertumbuhan
kuman dihambat oleh adanya asam etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal tersebut
sangat tergantung pada pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan
emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml =
10 mg) dan pH 7-8. 2,3
Propofol adalah 98% protein terikat dan mengalami metabolisme hati
untuk metabolit glukuronat, yang akhirnya diekskresikan dalam urin. Efek Klinis:
propofol menghasilkan hilangnya kesadaran dengan cepat, dengan waktu
pemulihan yang cepat dan langsung kembali pada kondisi klinis sebelumnya
(sebagai hasil waktu paruh distribusi yang pendek dan tingkat clearance tinggi).
Propofol menekan refleks laring sehingga sangat cocok untuk digunakan dengan
perangkat LMA agar dapat dimasukkan dengan lancar. Ada insiden rendah mual
dan muntah pasca operasi dan reaksi alergi atau hipersensitivitas.
 Farmakokinetik propofol

Absorbsi

Propofol hanya tersedia untuk pemberian intravena untuk induksi anestesi umum.

Distribusi

Kelarutan lemak yang tinggi membuat propofol mempunyai mula kerja yang amat
tinggi, hampir secepat thiopental. Pemulihan dari satu bolusp pun terjadi amat
cepat karena pendeknya waktu paruh distribusi (2 – 8 menit). Pemulihan propofol
terjadi dengan rasa pusing yang lebih ringan dibandingkan dengan thiopental,
methohexital, atau etomidat. Pada pasien usia tua dibutuhkan dosis induksi yang
lebih kecil. Wanita membutuhkan dosis yang lebih tinggi daripada pria dan pulih
lebih cepat.

Biotransformasi
Klirens propofol melebihi kecepatan aliran darah hati, menunjukkan adanya
metabolisme ekstrahepatik. Kecepatan klirens yang tinggi (10 kali dari thiopental)
memberikan andil cepatnya pemulihan setelah pemberian secara infus. Konjugasi
di hati menghasilkan metabolit inaktif yang diekskresikan ginjal.

Metabolisme propofol tidak dipengaruhi oleh keadaan sirosis yang sedang.

Ekskresi

Metabolit propofol terutama diekskresikan melalui urin, gagal ginjal


kronis tidak mempengaruhi perubahan dari obat aktif.
 Efek propofol :
 Efek pada sistem kardiovaskuler.
o
Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada jantung dan
pembuluh darah dimana tekanan dapat turun sekali disertai dengan
peningkatan denyut nadi. Ini diakibatkan Propofol mempunyai efek
mengurangi pembebasan katekolamin dan menurunkan resistensi
vaskularisasi sistemik sebanyak 30%. Pengaruh pada jantung tergantung dari

Pernafasan spontan – mengurangi depresi jantung berbanding nafas kendali

Pemberian drip lewat infus – mengurangi depresi jantung berbanding
pemberian secara bolus

Umur – makin tua usia pasien makin meningkat efek depresi jantung2,3
 Efek pada sistem pernafasan
o
Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam
beberapa kasus dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada
pemberian diprivan (propofol). Pada 25%-40% kasus Propofol dapat
menimbulkan apnoe setelah diberikan dosis induksi yang bisa
berlangsung lebih dari 30 detik.2,3
 Dosis dan penggunaan
Propofol Induksi IV 1-2,5 mg/kg
Infus Rumatan IV 50-200 g/kg/menit
Infus Sedasi IV 25-100 g/kg/menit

a. Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila
digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.
b. Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi
yang minimal 0,2%.
c. Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada
dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah
terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri. 2,3
 Efek Samping
Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%
kasus. Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada
pemberian propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan lidokain (0,5
mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan
pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan, berikan secara
I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering sekali
ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan propofol. Propofol
merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati – hati pada
pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti hiperlipidemia dan
pankreatitis. Pada setengah kasus dapat menyebabkan kejang mioklonik
(thiopental < propofol < etomidate atau methohexital). Phlebitis juga pernah
dilaporkan terjadi setelah pemberian induksi propofol tapi kasusnya sangat
jarang. Terdapat juga kasus terjadinya nekrosis jaringan pada ekstravasasi
subkutan pada anak-anak akibat pemberian propofol.4
Ringkasan Efek Obat Anestesi Nonvolatile

Jantung Respirasi Otak


Obat HR MAP Vent.drv Br.Dil CBF CMRO2 ICP
Diazepam 0/   0   
Lorazepam 0/   0   
Midazolam    0   
Opioid
Meperidin  *  *   
Morfin  *  *   
Fentanyl    0   
Sufentanil    0   
Alfentanil    0   
Remifentanil    0   
Ketamin       
Etomidat 0   0   
Propofol 0   0   
Droperidol   0 0  0 
* : efeknya tergantung dari besarnya pelepasan histamin

0 : tidak ada perubahan

0/ : tidak ada perbahan ataupun terjadi perubahan ringan

 : menurun (sedikit, sedang , banyak)

 : meningkat (sedikit, sedang, banyak)

III. KESIMPULAN
 Pasien Ny. Y didiagnosis tumor mammae dextra. Teraba massa di regio
mammae dextra dengan konsistensi padat, dapat digerakkan, tidak nyeri,
menajalani operasi eksisi dengan general anestesi dengan teknik facemask
 Induksi anestesi dengan menggunakan propofol 120 mg, fentanil 100 ug.
Untuk maintenance N2O 4L/ menit, O2 2L/ menit dan Isofluran vol 2 %.
Post operatif menggunakan metamizole sodium 1000mg dalam infus RL
500 cc.

Anda mungkin juga menyukai