Anda di halaman 1dari 11

UPAYA ORANGTUA DALAM PENDIDIKAN SEKS UNTUK ANAK

USIA DINI
Eka Oktavianingsih
Mahasiswa Pascasarjana PAUD Universitas Negeri Yogyakarta
Email: eka.oktavianingsih2016@student.uny.ac.id

A. Latar Belakang

Pada hakikatnya anak berhak untuk merasakan keamanan, kenyamanan, kesenangan, serta
kegembiraan. Undang-Undang Republik Indonesia tentang perlindungan anak (Undang-
Undang Nomor 35, 2014) telah menyatakan bahwa anak mendapatkan perlindungan yang
mencakup segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak- haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal
tersebut semakin memperkuat bahwa anak secara individual dilindungi oleh negara dari segala
macam tindakan yang mengganggu kehidupan, serta tumbuh kembangnya. Dengan demikian
apabila anak mengalami tindak kekerasan maka negara akan ikut serta dalam menanganinya.
Ironisnya, akhir-akhir ini kasus kekerasan yang dialami oleh anak semakin marak, salah
satunya yaitu kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual pada anak di Indonesia relatif
meningkat dari tahun ke tahun. Data yang diungkapkan oleh Komisi Perlindungan Anak
(diakses melalui http://bankdata.kpai.go.id pada tanggal 27 Februari 2017) menunjukkan
bahwa menyatakan bahwa terdapat lebih dari 100 kasus kekerasan seksual pada anak yang
tercatat setiap tahunnya. Pada tahun 2011 kasus kekerasan seksual mencapai angka 216, tahun
2012 sebanyak 412 kasus, tahun 2013 sebanyak 343 kasus, tahun 2014 sebanyak 656 kasus,
tahun 2015 sebanyak 218 kasus, dan tahun 2016 terdapat 120 kasus. Namun jumlah kasus yang
tercatat Komisi Perlindungan Anak Indonesia tersebut jauh melebihi kenyataannya karena
masih banyak keluarga korban yang enggan melaporkan, sehingga masih dimungkinkan
adanya kenaikan jumlah kasus kekerasan seksual pada anak setiap tahunnya.
Kekerasan seksual anak (child sexual abuse) memiliki dampak secara fisik maupun
psikologis bagi anak. Dampak secara fisik dapat meliputi kesulitan dalam berjalan maupun
duduk, rasa sakit pada bagian atau organ genital, sedangkan dampak secara psikologis
mencakup perubahan perilaku atau mood, depresi, kesulitan konsentrasi, penurunan prestasi
(performance) di sekolah, agresif, kesulitan tidur, dan perubahan pola makan (Brilleslijper-
Kater, Friedrich, & Corwin, 2004; Goldman, 2007). Hornor (2010) menambahkan dampak
psikologis berupa post-traumatic stress disorder, bunuh diri, kecenderungan reviktimisasi
ketika dewasa, dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang ketika dewasa.
Kekerasan seksual yang menimpa anak tidak terjadi begitu saja. Terdapat faktor-faktor
penyebab mengapa hal tersebut dapat terjadi. Menurut Syarifah Fauzi’ah (2016), terdapat tiga
faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual pada anak, antara lain: (1) adanya orientasi
ketertarikan seksual kepada anak-anak (pedofilia), (2) pengaruh pornomedia massa (media
yang menampilkan hal-hal bersifat porno), dan (3) ketidakpahaman anak terhadap persoalan
seksualitas. Di sisi lain, banyak kasus kekerasan seksual pada anak dilakukan oleh orang
dewasa di sekitar anak termasuk anggota keluarga. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh
anggota keluarga atau orang dewasa yang dikenal anak jauh lebih sering terjadi dibandingkan
kekerasan yang dilakukan oleh orang asing (Finkelhor, 1986; MiltenBerger & Thiesse-Duffy,
1988). Anggota keluarga maupun orang dewasa yang dikenal anak dalam kesehariannya
memiliki akses lebih dengan anak. Mereka memiliki waktu lebih lama dengan anak dan
interaksi lebih dekat dengan anak.
Berdasarkan berbagai uraian permasalahan di atas, maka diperlukan upaya untuk
mencegah agar anak tidak mengalami pelecehan maupun kekerasan seksual yaitu melalui
pendidikan seks yang dilakukan oleh orangtua. Pendidikan seks yang selama ini dianggap tabu
seharusnya lambat laun dapat diberikan kepada anak usia dini. Orangtua diharapkan dapat
menjadi sumber informasi utama anak tentang seksualitas dan peran orangtua sangat penting
(Morawska, Walsh, Grabski, & Fletcher, 2015). Apabila orangtua dapat menjadi sumber
informasi utama bagi anak, anak akan memperoleh informasi yang tepat dan bukan melalui
media dan internet yang semakin hari aksesnya semakin mudah dan cepat. Pendidikan seks
untuk anak usia dini kemudian akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep pendidikan seks?
2. Mengapa pendidikan seks penting diajarkan sejak usia dini?
3. Bagaimana strategi orangtua dalam memberikan pendidikan seks untuk anak usia dini?
C. Tujuan
1. Untuk memperoleh informasi mengenai konsep pendidikan seks.
2. Untuk memperoleh informasi mengenai pentingnya pendidikan seks untuk anak usia
dini.
3. Untuk memperoleh informasi mengenai strategi orangtua dalam memberikan pendidikan
seks untuk anak usia dini.
D. Pembahasan
1. Pengertian Pendidikan Seks
Pendidikan merupakan suatu proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001). Seks secara umum adalah sesuatu yang
berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara hubungan
intim antara laki-laki dengan perempuan.
Pendidikan seks merupakan upaya transfer pengetahuan dan nilai (knowledge and
values) tentang fisik-genetik dan fungsinya khususnya yang terkait dengan jenis (sex) laki-
laki dan perempuan sebagai kelanjutan dari kecenderungan primitif makhluk hewan dan
manusia yang tertarik dan mencintai lain jenisnya (Roqib, 2008). Pendidikan seks untuk
anak usia dini lebih kepada upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang
masalah-masalah seksual yang diberikan pada anak. Pengarahan dan pemahaman yang sehat
tentang seks dari berbagai aspek, di mana selain menerangkan tentang aspek-aspek anatomi
dan biologis juga menerangkan aspek-aspek psikologis dan moral.
Pendidikan seks telah menunjukkan beberapa manfaat untuk orang muda,
umumnya pada masa depan hidupnya. Sebagai contoh, anak muda yang telah memperoleh
pendidikan seks yang komprehensif akan terhindar dari resiko kekerasan seksual, memiliki
pasangan seks yang sedikit, lebih sesuai dalam menggunakan perlindungan diri, dan jarang
hamil pada usia remaja (Robinson, Smith, & Davies, 2017).

2. Pentingnya Pendidikan Seks untuk Anak Usia Dini


Diskusi mengenai seks dan topik yang berkaitan dengan seks seringkali dianggap
tabu karena kepercayaan umum bahwa mengajarkan anak mengenai seks adalah bertujuan
untuk mendorong aktivitas seksual (Asekun-Olarinmoye, Dairo, & Adeomi, 2011). Hal
tersebut menyebabkan banyak orangtua tidak mendukung pendidikan seks untuk anak
karena ketakutan bahwa anak akan melakukan hubungan seks dan adanya kepercayaan
bahwa pendidikan seks hanya ditujukan kepada orang dewasa. Faktor lainnya adalah
pengalaman orangtua ketika masa kecil juga tidak mendiskusikan masalah seks dengan
orangtua mereka, sehingga pendidikan seks untuk anak belum dilakukan orangtua secara
maksimal.
Pendidikan seks perlu dilakukan sejak usia dini dengan cara yang benar dan sesuai
dengan tahapan perkembangan anak. Anak yang secara naluriah memiliki rasa ingin tahu
yang tinggi, lambat laun akan bertanya tentang bagian-bagian tubuhnya. Tidak mungkin,
seorang anak tidak ingin mengetahui tentang beberapa organ vital tersebut sejak dini,
padahal anak telah melalui proses-proses seksual tersebut secara alami sesuai dengan
tahapan dari Sigmund Freud.
Anak usia dini berada pada tiga fase psikoseksual yaitu fase oral, fase anal dan
tahap phalik (William Crain, 2014: 389). Fase oral adalah fase di mana bayi mulai
menghisap untuk bertahan hidup dan menimbulkan kesenangan. Fase anal berkisar antara
1,5 sampai 2 tahun, adalah fase di mana anus dan fases menjadi bagian terpenting untuk
menjadi perhatian. Fase uretral, sekitar usia 3-6 tahun, anak mulai dapat memperhatikan
keadaan alat kelaminnya sendiri, mempermainkannya, bahkan terkadang membanding-
bandingkan dengan teman sebayanya.
Secara edukatif, anak dapat diberikan pendidikan seks sesuai dengan tahapan
perkembangan yang telah ia capai. Pendidikan seks dapat diberikan sejak anak mulai
bertanya tentang seks. Misalnya ketika bertanya tentang perbedaan alat kelaminnya dengan
alat kelamin milik adik.
Secara garis besar, terdapat beberapa alasan dan tujuan mengapa pendidikan seks
penting diajarkan sejak usia dini. Penelitian yang dilakukan oleh Kakavoulis (1998)
menyatakan bahwa melalui pendidikan seks, anak akan memiliki pengetahuan mengenai
tubuhnya, kesadaran yang baik, dan hubungan interpersonal yang tepat, mampu
membedakan identitas diri dan peran seks, pengetahuan tentang fungsi generatif, dapat
melindungi diri dari kekerasan, meningkatkan stabilitas emosi dan kesehatan, dan
kepribadian yang saling menghormati. Pendidikan seks juga membantu anak untuk
memahami struktur tubuh dari laki-laki dan perempuan serta memperoleh pengetahuan
mengenai kelahiran. Selain itu, pendidikan seks mengajarkan anak untuk membangun dan
menerima peran serta tanggungjawab dari gender dirinya. Hal tersebut dikarenakan
perbedaan dan persamaan antara dua gender jika dilihat dari tubuh dan pemikiran akan
mendorong perkembangan ke depannya ketika berkenalan dengan teman dan hubungan
interpersonal. Pendidikan seks merupakan sebuah pendidikan holistik, di mana mengajarkan
individu mengenai penerimaan diri, sikap, dan keterampilan.
Di sisi lain, mengacu pendapat Roqib (2008) bahwa tujuan diberikannya
pendidikan seks sejak usia dini, yaitu sebagai berikut: (1) membantu anak mengetahui topik-
topik biologis seperti bagian-bagian tubuh, pertumbuhan, serta perkembanganbiakan, (2)
mencegah anak-anak dari tindak kekerasan, (3) mengurangi rasa bersalah, rasa malu, dan
kecemasan akibat tindakan seksual; (4) mendorong hubungan yang baik, dan (5) membantu
anak mengetahui peran gender sesuai dengan jenis kelamin (seks) mereka.

3. Strategi Orangtua dalam Pendidikan Seks untuk Anak Usia Dini


Keterlibatan aktif orangtua dalam pendidikan seks membuat anak menguasai lebih
banyak pengetahuan mengenai terminologi genital yang sesuai jika dibandingkan dengan
pendidikan seks yang diajarkan oleh guru (Kenny, Reena, Ryan, & Runyon, 2008). Anak
yang dilatih oleh orangtuanya juga akan menerima pengetahuan yang berulang-ulang secara
konsisten dalam lingkungan yang natural atau alamiah. Hal ini semakin menegaskan bahwa
orangtua merupakan orang dewasa pertama yang dijumpai dan sebagai pendidik utama
anak. Namun demikian, beberapa penelitian (Pop & Rusu, 2015) mengindikasikan bahwa
orangtua, meskipun secara naluri rela mengambil tugas dalam mendidik anak mereka,
banyak dari orangtua memerlukan dukungan yang mencakup dukungan informasi, motivasi,
dan strategi yang dapat membantu orangtua dalam memberikan pendidikan seks pada anak.
Oleh karena itu, di bawah ini, terdapat beberapa pendapat mengenai strategi-strategi yang
dapat dilakukan oleh orangtua dalam memberikan pendidikan seks pada anak.
Ilmawati (Jatmikowati, Angin, & Ernawati, 2015) menjelaskan pokok-pokok
strategi yang perlu diterapkan dan diajarkan orangtua kepada anak yang bersifat praktis, di
antaranya adalah sebagai berikut.
1. Menanamkan rasa malu pada anak. Rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak
dini. Jangan biasakan anak-anak, meskipun mereka masih kecil, dibiarkan untuk
bertelanjang di depan orang lain; misalnya, ketika keluar kamar mandi, berganti
pakaian, dan sebagainya.
2. Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak
perempuan. Secara fisik maupun psikis, laki-laki dan perempuan mempunyai
perbedaan mendasar. Anak dapat diajak mengenali perbedaan yang ada pada tubuhnya
secara fisik. Dengan demikian anak akan mengetahui identitas dirinya dengan tepat.
3. Memisahkan tempat tidur anak dari tempat tidur orang dewasa. Masa usia dini
merupakan masa dimana anak mengalami perkembangan yang pesat. Anak mu- lai
melakukan eksplorasi ke dunia luar. Anak tidak hanya berpikir tentang dirinya, tetapi
juga mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya. Pemisahan tempat tidur merupakan
upaya untuk menanamkan kesadaran pada anak tentang eksistensi dirinya. Jika
pemisahan tempat tidur tersebut terjadi antara dirinya dan orang tuanya, setidaknya
anak telah dilatih untuk berani mandiri. Anak juga dicoba untuk belajar melepaskan
perilaku lekatnya (attachment behavior) dengan orang tuanya. Jika pemisahan tempat
tidur dilakukan terhadap anak dengan saudaranya yang berbeda jenis kelamin, secara
langsung anak akan memiliki kesadaran tentang eksistensi perbedaan jenis kelamin.
4. Mengenalkan waktu berkunjung. Anak tidak diperbolehkan untuk memasuki kamar
(ruangan) orang dewasa pada waktu tertentu (misalnya pada malam hari) kecuali
meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik kamar.
5. Mendorong anak agar menjaga kebersihan tubuhnya. Mengajari anak untuk menjaga
kebersihan alat kelamin selain agar bersih dan sehat sekaligus juga mengajari anak
tentang najis. Anak juga harus dibiasakan untuk buang air pada tempatnya (toilet
training). Segera setelah anak siap, pada usia 3-6 tahun, orang tua mulai melatih
anaknya tentang toilet training (William Crain, 2014:395). Toilet training sebaiknya
diajarkan ketika anak sudah dapat mengungkapkan dan memahami apa yang sedang
diperintahkan kepada dirinya, sehingga tidak akan menimbulkan ketegangan dan
kecemasan pada anak.
Clara Kriswanto, sebagaimana yang dikutip oleh Roqib (2008) menyatakan bahwa
pendidikan seks untuk anak usia 0-5 tahun adalah dengan teknik atau strategi sebagai berikut.
1. Membantu anak agar ia merasa nyaman dengan tubuhnya. Apabila anak akan merasa
nyaman dengan tubuhnya, maka anak akan menyayangi dan merawat tubuhnya
(kebersihan dan kesehatannya).
2. Memberikan sentuhan dan pelukan kepada anak agar mereka merasakan kasih sayang
dari orangtuanya secara tulus. National Chatolic Services (2004: 6) mengungkapkan
bahwa orangtua sebaiknya menjelaskan mengapa sentuhan-sentuhan tertentu itu aman,
misalnya ketika ayah memeluk sepulang bekerja. Sentuhan-sentuhan tersebut memiliki
tujuan yang baik, dan tidak ada maksud untuk melukai, dan sangat lazim dan aman.
Pada dasarnya, anak juga memerlukan perhatian, sentuhan yang pantas dari sanak
famili, guru, dan teman-teman. Mereka memerlukan ketenangan hati yang diperoleh
melalui sentuhan yang pantas.
3. Membantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan yang tidak boleh
dilakukan di depan umum seperti anak selesai mandi harus mengenakan baju kembali
di dalam kamar mandi atau di dalam kamar. Anak diberi tahu tentang hal-hal pribadi,
mana bagian tubuh yang tidak boleh disentuh, dan dilihat oleh orang lain.
4. Mengajar anak untuk mengetahui perbedaan anatomi tubuh laki-laki dan perempuan.
Hal tersebut dapat diawali dengan identifikasi bagian tubuh anak itu sendiri. Orangtua
dapat memulai dengan mengajarkan ke anak mengenai jari-jari tangan, jari-jari kaki,
lutut, dan hidung ketika anak berumur beberapa bulan (National Chatolic Services,
2004). Ketika anak sudah berumur mendekati 18 bulan, anak sebaiknya juga mulai
belajar mengenai nama-nama bagian tubuh privatnya dan perbedaan antara tubuh anak
laki-laki dan anak perempuan.
5. Memberikan penjelasan tentang proses perkembangan tubuh seperti hamil dan
melahirkan dalam kalimat yang sederhana, bagaimana bayi bisa dalam kandungan ibu
sesuai tingkat kognitif anak. Tidak diperkenankan berbohong kepada anak seperti “adik
datang dari langit atau dibawa burung”. Penjelasan disesuaikan dengan keingintahuan
atau pertanyaan anak misalnya dengan contoh yang terjadi pada binatang.
6. Memberikan pemahaman tentang fungsi anggota tubuh secara wajar yang mampu
menghindarkan diri dari perasaan malu dan bersalah atas bentuk serta fungsi tubuhnya
sendiri.
7. Mengajarkan anak untuk mengetahui nama-nama yang benar pada setiap bagian tubuh
dan fungsinya. Vagina adalah nama alat kelamin perempuan dan penis adalah alat
kelamin pria, daripada mengatakan dompet atau burung.
8. Membantu anak memahami konsep pribadi dan mengajarkan kepada mereka kalau
pembicaraan seks adalah pribadi.
9. Memberi dukungan dan suasana kondusif agar anak mau berkonsultasi kepada orangtua
untuk setiap pertanyaan tentang seks.
Sebagaimana telah dibahas di awal, strategi pendidikan seks oleh orangtua kepada anak
usia dini sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan dan menyesuaikan kemampuan
serta pemahaman anak sehingga bahasa dan penyampaian juga perlu dipertimbangkan. Dari
beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan beberapa strategi yang dapat digunakan
orangtua dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia dini antara lain: (a) membantu
anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan di depan
umum, (b) mendorong anak mengetahui identitas diri (laki-laki dan perempuan), (c)
memisahkan tempat tidur anak dari tempat tidur orang dewasa, (d) mengenalkan waktu
berkunjung, (e) endorong anak agar menjaga kebersihan tubuhnya (toilet training), (f)
memberikan sentuhan dan pelukan kepada anak agar mereka merasakan kasih sayang dari
orangtuanya secara tulus serta mendorong anak untuk dapat membedakan sentuhan boleh dan
tidak boleh yang dilakukan oleh orang lain, (g) memberikan penjelasan tentang proses
perkembangan secara sederhana, (h) memberikan pemahaman tentang fungsi anggota tubuh
secara wajar, (i) mengajarkan anak untuk mengetahui nama-nama yang benar, (j) membantu
anak memahami konsep pribadi dan mengajarkan kepada mereka kalau pembicaraan seks
adalah pribadi, dan (k) memberi dukungan dan suasana kondusif agar anak mau berkonsultasi
kepada orangtua untuk setiap pertanyaan tentang seks.
Miller (2010: 170-172) menjelaskan strategi khusus orangtua ketika menghadapi anak
yang menyentuh area genital, sebagai berikut:
1. Anak prasekolah biasanya beberapa waktu berada di kamar mandi untuk membandingkan,
menyentuh, mengeksplor, atau bercerita mengenai area genitalnya serta di waktu yang lain
juga membuka kaos ibunya (ibu masih menyusui) untuk diminta menyusui boneka. Reaksi
orangtua adalah bersikap hati-hati akan tetapi tidak perlu berlebihan. Perilaku anak
merupakan ekspresi wajar rasa ingin tahu yang sehat. Terkadang orangtua juga dapat
memanfaatkan momen untuk mengajarkan kepada anak akan perbedaan. Misalnya
orangtua dapat mengatakan "iya, anak laki-laki dan perempuan memiliki tubuh yang
berbeda, tetapi setiap orang adalah spesial. Anak perempuan akan tumbuh menjadi wanita
dewasa dan anak laki-laki akan tumbuh menjadi pria dewasa.”
2. Anak biasanya juga dapat menghisap ibu jari dan mastrubasi yang bertujuan untuk
menurunkan stressnya. Selain itu, anak usia dini juga menggosokkan alat genitalnya ketika
merasa lelah/kecewa/kebiasaan sederhana sebelum tidur. Apabila anak yang mengalami
adalah infant atau toddler, maka hanya sedikit yang perlu dilakukan orangtua yaitu tetap
fokus pada penghilangan sumber stress anak. Orangtua dapat memastikan bahwa anak
memiliki waktu istirahat yang cukup, lingkungan yang nyaman, dan pengasuhan yang
cukup. Apabila anak yang mengalami adalah usia prasekolah, maka orangtua harus lebih
proaktif dalam membantu anak mengganti kebiasaan anak dengan perilaku sosial yang
mudah diterima. Misalnya: “ apakah kamu mau memeluk boneka ketika akan tidur untuk
membantumu untuk tidak menggosokkan pantatmu?” atau “kamu harus ke kamar mandi
jika perlu untuk menyentuh pantatmu”.

E. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa pokok
materi sebagai berikut:
1. Pendidikan seks untuk anak usia dini adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan
penerangan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan kepada anak. Pengarahan
dan pemahaman yang sehat tentang seks dari berbagai aspek, di mana selain
menerangkan tentang aspek-aspek anatomi dan biologis juga menerangkan aspek-
aspek psikologis dan moral.
2. Meskipun diskusi mengenai seks dan topik yang berkaitan dengan seks seringkali
dianggap tabu, akan tetapi pendidikan seks perlu dilakukan sejak usia dini dengan cara
yang benar dan sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Pendidikan seks dapat
diberikan sejak anak mulai bertanya tentang seks. Misalnya ketika bertanya tentang
perbedaan alat kelaminnya dengan alat kelamin milik adik. Ada beberapa alasan dan
tujuan mengapa pendidikan seks penting diajarkan sejak usia dini, di antaranya melalui
pendidikan seks, anak akan: (1) memiliki pengetahuan mengenai tubuhnya, (2)
memiliki kesadaran yang baik, (3) memiliki hubungan interpersonal yang tepat, (4)
mampu membedakan identitas diri dan peran seks, (5) pengetahuan tentang fungsi
generatif, (6) dapat melindungi diri dari kekerasan, (7) meningkatkan stabilitas emosi
dan kesehatan, dan (8) kepribadian yang saling menghormati.
3. Strategi pendidikan seks oleh orangtua kepada anak usia dini sebaiknya dilakukan
dengan mempertimbangkan dan menyesuaikan kemampuan serta pemahaman anak
sehingga bahasa dan penyampaian juga perlu dipertimbangkan. Terdapat beberapa
strategi yang dapat digunakan orangtua dalam memberikan pendidikan seks pada anak
usia dini antara lain: (a) membantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh
dan yang tidak boleh dilakukan di depan umum, (b) mendorong anak mengetahui
identitas diri (laki-laki dan perempuan), (c) memisahkan tempat tidur anak dari tempat
tidur orang dewasa, (d) mengenalkan waktu berkunjung, (e) endorong anak agar
menjaga kebersihan tubuhnya (toilet training), (f) memberikan sentuhan dan pelukan
kepada anak agar mereka merasakan kasih sayang dari orangtuanya secara tulus serta
mendorong anak untuk dapat membedakan sentuhan boleh dan tidak boleh yang
dilakukan oleh orang lain, (g) memberikan penjelasan tentang proses perkembangan
secara sederhana, (h) memberikan pemahaman tentang fungsi anggota tubuh secara
wajar, (i) mengajarkan anak untuk mengetahui nama-nama yang benar, (j) membantu
anak memahami konsep pribadi dan mengajarkan kepada mereka kalau pembicaraan
seks adalah pribadi, dan (k) memberi dukungan dan suasana kondusif agar anak mau
berkonsultasi kepada orangtua untuk setiap pertanyaan tentang seks. Strategi khusus
jika anak beberapa waktu berada di kamar mandi untuk membandingkan, menyentuh,
mengeksplor, atau bercerita mengenai area, maka orangtua bersikap hati-hati akan
tetapi tidak perlu berlebihan karena perilaku anak merupakan ekspresi wajar rasa ingin
tahu yang sehat. Apabila anak juga menghisap ibu jari dan mastrubasi yang bertujuan
untuk menurunkan stressnya, maka hanya sedikit yang perlu dilakukan orangtua yaitu
tetap fokus pada penghilangan sumber stress anak.
F. Daftar Pustaka

Asekun-Olarinmoye, E. O., Dairo, M. D., & Adeomi, A. A. (2011). Parental attitudes and
practice of sex education of children in Nigeria. International Journal of Child Health &
Human Development, 4(3), 301–307 7p. Retrieved
fromhttp://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=jlh&AN=108207368&site=
ehost-live.
Crain, William. (2014). Teori perkembangan: Konsep dan aplikasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Goldman, J. D. G. (2007). Primary school student-teachers ’ knowledge and understandings of
child sexual abuse and its mandatory reporting. International Journal of Eduational
Research, 46, 368–381. https://doi.org/10.1016/j.ijer.2007.09.002.
Hornor, G. (2010). Child Sexual Abuse : Consequences and Implications. Journal of Pediatric
Health Care, 24(6), 358–364. https://doi.org/10.1016/j.pedhc.2009.07.003
Jatmikowati, T. E., Angin, R., & Ernawati. (2015). A Model And Material of Sex Education
For Early- Aged- Children. Cakrawala Pendidikan, (3), 434–448.
Kakavoulis, A. (1998). Early childhood sexual development and sex education: A survey of
attitudes of nursery school teachers. European Early Childhood Education Research
Journal, 37–41. https://doi.org/10.1080/13502939885208241
Kenny, M. C., Reena, R., Ryan, E. E., & Runyon, M. K. (2008). Child sexual abuse: From
prevention to self-protection. Child Abuse Review, 17, 36–54. https://doi.org/10.1002/car.
Miller, D.F. (2010). Positive child guidance. Cengage: London.
MiltenBerger, R. G., & Thiesse-Duffy, E. (1988). Evaluation of Home-based Programs for
Teaching Personal Safety Skills to Children. Journal of Applied Behavior Analysis, 1(1),
81–87.
Morawska, A., Walsh, A., Grabski, M., & Fletcher, R. (2015). Parental confidence and
preferences for communicating with their child about sexuality. Sex Education, 15(3),
235–248. https://doi.org/10.1080/14681811.2014.996213
Pop, M. V., & Rusu, A. S. (2015). The role of parents in shaping and improving the sexual
healtg of children-lines of developing parental sexuality education programmes. Procedia
- Social and Behavioral Sciences, 395–401. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.11.210
Robinson, K. H., Smith, E., & Davies, C. (2017). Responsibilities, tensions and ways forward:
parents’ perspectives on children’s sexuality education. Sex Education, 1–15.
https://doi.org/10.1080/14681811.2017.1301904
Roqib, M. (2008). Pendidikan seks pada anak usia dini. Jurnal Pemikiran Alternatif
Pendidikan, 13(2), 1–12.
Services, N. C. (2004). Protecting God’s Children. United States of America.
Syarifah Fauzi’ah. (2016). Faktor penyebab pelecehan seksual terhadap anak. Jurnal An-Nisa’,
IX, 81–101.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
http://bankdata.kpai.go.id.

Anda mungkin juga menyukai