USIA DINI
Eka Oktavianingsih
Mahasiswa Pascasarjana PAUD Universitas Negeri Yogyakarta
Email: eka.oktavianingsih2016@student.uny.ac.id
A. Latar Belakang
Pada hakikatnya anak berhak untuk merasakan keamanan, kenyamanan, kesenangan, serta
kegembiraan. Undang-Undang Republik Indonesia tentang perlindungan anak (Undang-
Undang Nomor 35, 2014) telah menyatakan bahwa anak mendapatkan perlindungan yang
mencakup segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak- haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal
tersebut semakin memperkuat bahwa anak secara individual dilindungi oleh negara dari segala
macam tindakan yang mengganggu kehidupan, serta tumbuh kembangnya. Dengan demikian
apabila anak mengalami tindak kekerasan maka negara akan ikut serta dalam menanganinya.
Ironisnya, akhir-akhir ini kasus kekerasan yang dialami oleh anak semakin marak, salah
satunya yaitu kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual pada anak di Indonesia relatif
meningkat dari tahun ke tahun. Data yang diungkapkan oleh Komisi Perlindungan Anak
(diakses melalui http://bankdata.kpai.go.id pada tanggal 27 Februari 2017) menunjukkan
bahwa menyatakan bahwa terdapat lebih dari 100 kasus kekerasan seksual pada anak yang
tercatat setiap tahunnya. Pada tahun 2011 kasus kekerasan seksual mencapai angka 216, tahun
2012 sebanyak 412 kasus, tahun 2013 sebanyak 343 kasus, tahun 2014 sebanyak 656 kasus,
tahun 2015 sebanyak 218 kasus, dan tahun 2016 terdapat 120 kasus. Namun jumlah kasus yang
tercatat Komisi Perlindungan Anak Indonesia tersebut jauh melebihi kenyataannya karena
masih banyak keluarga korban yang enggan melaporkan, sehingga masih dimungkinkan
adanya kenaikan jumlah kasus kekerasan seksual pada anak setiap tahunnya.
Kekerasan seksual anak (child sexual abuse) memiliki dampak secara fisik maupun
psikologis bagi anak. Dampak secara fisik dapat meliputi kesulitan dalam berjalan maupun
duduk, rasa sakit pada bagian atau organ genital, sedangkan dampak secara psikologis
mencakup perubahan perilaku atau mood, depresi, kesulitan konsentrasi, penurunan prestasi
(performance) di sekolah, agresif, kesulitan tidur, dan perubahan pola makan (Brilleslijper-
Kater, Friedrich, & Corwin, 2004; Goldman, 2007). Hornor (2010) menambahkan dampak
psikologis berupa post-traumatic stress disorder, bunuh diri, kecenderungan reviktimisasi
ketika dewasa, dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang ketika dewasa.
Kekerasan seksual yang menimpa anak tidak terjadi begitu saja. Terdapat faktor-faktor
penyebab mengapa hal tersebut dapat terjadi. Menurut Syarifah Fauzi’ah (2016), terdapat tiga
faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual pada anak, antara lain: (1) adanya orientasi
ketertarikan seksual kepada anak-anak (pedofilia), (2) pengaruh pornomedia massa (media
yang menampilkan hal-hal bersifat porno), dan (3) ketidakpahaman anak terhadap persoalan
seksualitas. Di sisi lain, banyak kasus kekerasan seksual pada anak dilakukan oleh orang
dewasa di sekitar anak termasuk anggota keluarga. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh
anggota keluarga atau orang dewasa yang dikenal anak jauh lebih sering terjadi dibandingkan
kekerasan yang dilakukan oleh orang asing (Finkelhor, 1986; MiltenBerger & Thiesse-Duffy,
1988). Anggota keluarga maupun orang dewasa yang dikenal anak dalam kesehariannya
memiliki akses lebih dengan anak. Mereka memiliki waktu lebih lama dengan anak dan
interaksi lebih dekat dengan anak.
Berdasarkan berbagai uraian permasalahan di atas, maka diperlukan upaya untuk
mencegah agar anak tidak mengalami pelecehan maupun kekerasan seksual yaitu melalui
pendidikan seks yang dilakukan oleh orangtua. Pendidikan seks yang selama ini dianggap tabu
seharusnya lambat laun dapat diberikan kepada anak usia dini. Orangtua diharapkan dapat
menjadi sumber informasi utama anak tentang seksualitas dan peran orangtua sangat penting
(Morawska, Walsh, Grabski, & Fletcher, 2015). Apabila orangtua dapat menjadi sumber
informasi utama bagi anak, anak akan memperoleh informasi yang tepat dan bukan melalui
media dan internet yang semakin hari aksesnya semakin mudah dan cepat. Pendidikan seks
untuk anak usia dini kemudian akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep pendidikan seks?
2. Mengapa pendidikan seks penting diajarkan sejak usia dini?
3. Bagaimana strategi orangtua dalam memberikan pendidikan seks untuk anak usia dini?
C. Tujuan
1. Untuk memperoleh informasi mengenai konsep pendidikan seks.
2. Untuk memperoleh informasi mengenai pentingnya pendidikan seks untuk anak usia
dini.
3. Untuk memperoleh informasi mengenai strategi orangtua dalam memberikan pendidikan
seks untuk anak usia dini.
D. Pembahasan
1. Pengertian Pendidikan Seks
Pendidikan merupakan suatu proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001). Seks secara umum adalah sesuatu yang
berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara hubungan
intim antara laki-laki dengan perempuan.
Pendidikan seks merupakan upaya transfer pengetahuan dan nilai (knowledge and
values) tentang fisik-genetik dan fungsinya khususnya yang terkait dengan jenis (sex) laki-
laki dan perempuan sebagai kelanjutan dari kecenderungan primitif makhluk hewan dan
manusia yang tertarik dan mencintai lain jenisnya (Roqib, 2008). Pendidikan seks untuk
anak usia dini lebih kepada upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang
masalah-masalah seksual yang diberikan pada anak. Pengarahan dan pemahaman yang sehat
tentang seks dari berbagai aspek, di mana selain menerangkan tentang aspek-aspek anatomi
dan biologis juga menerangkan aspek-aspek psikologis dan moral.
Pendidikan seks telah menunjukkan beberapa manfaat untuk orang muda,
umumnya pada masa depan hidupnya. Sebagai contoh, anak muda yang telah memperoleh
pendidikan seks yang komprehensif akan terhindar dari resiko kekerasan seksual, memiliki
pasangan seks yang sedikit, lebih sesuai dalam menggunakan perlindungan diri, dan jarang
hamil pada usia remaja (Robinson, Smith, & Davies, 2017).
E. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa pokok
materi sebagai berikut:
1. Pendidikan seks untuk anak usia dini adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan
penerangan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan kepada anak. Pengarahan
dan pemahaman yang sehat tentang seks dari berbagai aspek, di mana selain
menerangkan tentang aspek-aspek anatomi dan biologis juga menerangkan aspek-
aspek psikologis dan moral.
2. Meskipun diskusi mengenai seks dan topik yang berkaitan dengan seks seringkali
dianggap tabu, akan tetapi pendidikan seks perlu dilakukan sejak usia dini dengan cara
yang benar dan sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Pendidikan seks dapat
diberikan sejak anak mulai bertanya tentang seks. Misalnya ketika bertanya tentang
perbedaan alat kelaminnya dengan alat kelamin milik adik. Ada beberapa alasan dan
tujuan mengapa pendidikan seks penting diajarkan sejak usia dini, di antaranya melalui
pendidikan seks, anak akan: (1) memiliki pengetahuan mengenai tubuhnya, (2)
memiliki kesadaran yang baik, (3) memiliki hubungan interpersonal yang tepat, (4)
mampu membedakan identitas diri dan peran seks, (5) pengetahuan tentang fungsi
generatif, (6) dapat melindungi diri dari kekerasan, (7) meningkatkan stabilitas emosi
dan kesehatan, dan (8) kepribadian yang saling menghormati.
3. Strategi pendidikan seks oleh orangtua kepada anak usia dini sebaiknya dilakukan
dengan mempertimbangkan dan menyesuaikan kemampuan serta pemahaman anak
sehingga bahasa dan penyampaian juga perlu dipertimbangkan. Terdapat beberapa
strategi yang dapat digunakan orangtua dalam memberikan pendidikan seks pada anak
usia dini antara lain: (a) membantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh
dan yang tidak boleh dilakukan di depan umum, (b) mendorong anak mengetahui
identitas diri (laki-laki dan perempuan), (c) memisahkan tempat tidur anak dari tempat
tidur orang dewasa, (d) mengenalkan waktu berkunjung, (e) endorong anak agar
menjaga kebersihan tubuhnya (toilet training), (f) memberikan sentuhan dan pelukan
kepada anak agar mereka merasakan kasih sayang dari orangtuanya secara tulus serta
mendorong anak untuk dapat membedakan sentuhan boleh dan tidak boleh yang
dilakukan oleh orang lain, (g) memberikan penjelasan tentang proses perkembangan
secara sederhana, (h) memberikan pemahaman tentang fungsi anggota tubuh secara
wajar, (i) mengajarkan anak untuk mengetahui nama-nama yang benar, (j) membantu
anak memahami konsep pribadi dan mengajarkan kepada mereka kalau pembicaraan
seks adalah pribadi, dan (k) memberi dukungan dan suasana kondusif agar anak mau
berkonsultasi kepada orangtua untuk setiap pertanyaan tentang seks. Strategi khusus
jika anak beberapa waktu berada di kamar mandi untuk membandingkan, menyentuh,
mengeksplor, atau bercerita mengenai area, maka orangtua bersikap hati-hati akan
tetapi tidak perlu berlebihan karena perilaku anak merupakan ekspresi wajar rasa ingin
tahu yang sehat. Apabila anak juga menghisap ibu jari dan mastrubasi yang bertujuan
untuk menurunkan stressnya, maka hanya sedikit yang perlu dilakukan orangtua yaitu
tetap fokus pada penghilangan sumber stress anak.
F. Daftar Pustaka
Asekun-Olarinmoye, E. O., Dairo, M. D., & Adeomi, A. A. (2011). Parental attitudes and
practice of sex education of children in Nigeria. International Journal of Child Health &
Human Development, 4(3), 301–307 7p. Retrieved
fromhttp://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=jlh&AN=108207368&site=
ehost-live.
Crain, William. (2014). Teori perkembangan: Konsep dan aplikasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Goldman, J. D. G. (2007). Primary school student-teachers ’ knowledge and understandings of
child sexual abuse and its mandatory reporting. International Journal of Eduational
Research, 46, 368–381. https://doi.org/10.1016/j.ijer.2007.09.002.
Hornor, G. (2010). Child Sexual Abuse : Consequences and Implications. Journal of Pediatric
Health Care, 24(6), 358–364. https://doi.org/10.1016/j.pedhc.2009.07.003
Jatmikowati, T. E., Angin, R., & Ernawati. (2015). A Model And Material of Sex Education
For Early- Aged- Children. Cakrawala Pendidikan, (3), 434–448.
Kakavoulis, A. (1998). Early childhood sexual development and sex education: A survey of
attitudes of nursery school teachers. European Early Childhood Education Research
Journal, 37–41. https://doi.org/10.1080/13502939885208241
Kenny, M. C., Reena, R., Ryan, E. E., & Runyon, M. K. (2008). Child sexual abuse: From
prevention to self-protection. Child Abuse Review, 17, 36–54. https://doi.org/10.1002/car.
Miller, D.F. (2010). Positive child guidance. Cengage: London.
MiltenBerger, R. G., & Thiesse-Duffy, E. (1988). Evaluation of Home-based Programs for
Teaching Personal Safety Skills to Children. Journal of Applied Behavior Analysis, 1(1),
81–87.
Morawska, A., Walsh, A., Grabski, M., & Fletcher, R. (2015). Parental confidence and
preferences for communicating with their child about sexuality. Sex Education, 15(3),
235–248. https://doi.org/10.1080/14681811.2014.996213
Pop, M. V., & Rusu, A. S. (2015). The role of parents in shaping and improving the sexual
healtg of children-lines of developing parental sexuality education programmes. Procedia
- Social and Behavioral Sciences, 395–401. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.11.210
Robinson, K. H., Smith, E., & Davies, C. (2017). Responsibilities, tensions and ways forward:
parents’ perspectives on children’s sexuality education. Sex Education, 1–15.
https://doi.org/10.1080/14681811.2017.1301904
Roqib, M. (2008). Pendidikan seks pada anak usia dini. Jurnal Pemikiran Alternatif
Pendidikan, 13(2), 1–12.
Services, N. C. (2004). Protecting God’s Children. United States of America.
Syarifah Fauzi’ah. (2016). Faktor penyebab pelecehan seksual terhadap anak. Jurnal An-Nisa’,
IX, 81–101.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
http://bankdata.kpai.go.id.