Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

A1. Latar Belakang Konstipasi

Konstipasi adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan kesulitan


buangair besar sebagai akibat dari feses yang mengeras. Konstipasi dapat
diartikan terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal.
Konstipasi adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan
normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang,
atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna
terbanyak pada usia lanjut; terjadi peningkatan dengan bertambahnya usia dan
30 – 40 % orang di atas usia 65 tahun mengeluh konstipasi Menurut North
American Society for Pediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition,
menyebutkan konstipasi adalah kelambatan atau kesulitan dalam defekasi
yang terjadi dalam 2 minggu atau lebih dan cukup membuat pasien menderita.
Petunjuk paktispada World Gastroenterology Organization (WGO)
menjelaskan sebagian besarpasien menyebutkan konstipasi sebagai defekasi
keras (52%), tinja seperti pil ataubutir obat (44%), ketidak mampuan defekasi
saat diinginkan (34%), atau defekasi yangj arang (33%).

Konstipasi biasa terjadi pada anak 40% diantaranya diawali sejak


anakberusia1 - 4 tahun, pada anak usia 7 - 8 tahun angka kejadiannya menurun
hingga sebesar 1,5% dan usia 10 - 12 tahun menjadi sekitar 0,8 % saja.
Frekuensi buang air besar padaanak dialami setiap hari kedua dan ketiga,
tanpa kesulitan. Anak-anak yang sering makan makanan cepat saji seperti
burger, kentang goreng, milkshake, permen, kue, minuman ringan manis
biasanya lebih sering konstipasi.. Pada bayi, konstipasi dapat terjadi akibat
transisi dari ASI ke susu formula bayi, atau dari makanan bayi ke makanan
padat (Kamm, 2003).
A2. Latar Belakang Diare

Diare merupakan penyakit sistem pencernaan yang idtnadai dengan buang


air besar encer lebih dari tiga kali dal sehari (WHO, 2009). Diare penyebab
nomer 1 kematian anak usia balita di dunia, UNICEF melaporkan setiap detik
satu anak meninggal karena diare (Kemenkopmik, 2014).

Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan
konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya
lebih sering (biasanya tiga kali atau lebih) dalam satu hari (Kemenkes, 2011).
Diare merupakan kondisi patologis yang dapat berwujud dengan gejala yang
ringan, namun dapat pula berkembang menjadi situasi yang mengancam
nyawa. Diare kronis dikatakan apabila durasi diare lebih dari 4 minggu. Diare
kronis sangat berbeda dengan diare akut, dalam hal etiologi, patofisiologi dan
pendekatan terapi dan hal ini sering merupakan masalah dalam
penanganannya. Diare kronis dapat terjadi pada berbagai kondisi dasar, tidak
hanya merupakan menifestasi kelainan usus (saluran cerna) (Wiryani &
Wibawa, 2017).

Di Indonesia, angka kejadian diare akut diperkirakan masih sekitar 60 juta


setiap tahunnya dan angka kesakitan pada balita sekitar 200-4000 kejadian
dari 1000 penduduk setiap tahunnya dari 1-5% berkembang menjadi diare
kronik. Dari hasil survey morbiditas yang dilakukan, Departemen Kesehatan
dari tahun 2012-2015 memperlihatkan kecenderungan insiden naik. Pada
tahun 2012 angka kesakitan diare pada balita 900 per 1.000 balita, tahun 2013
insiden diare pada balita sebesar 6,7% (kisaran provinsi 3,3%-10,2%). Tahun
2015 terjadi 18 kali KLB diare dengan jumblah penderita 1.212 orang dan
kematian 30 orang dengan Case Fatelity Rate (CFR) 2,47%. (DEPKES RI,
2015).

Di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012 angka kejadian diare masih
cukup tinggi yaitu sebesar 42,66%, dan sebagian besar diderita oleh balita
(Profil Ksehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012). Hasil laporan penemuan dan
penanganan diare di kabupaten sukoharjo selama 3 tahun terakhir yaitu pada
tahun 2014 tercatat 18.514 orang dan 9.494 balita dengan IR 28,1 per 1000
penduduk. Pada tahun 2015 terdapat kasus diare sebanyak 20.352 orang
dan8.709 balita dengan IR 26,4 per 1000 penduduk. Pada tahun 2016
sebanyak 18.914 untuk semua umur (Dinkes Sukoharjo, 2016).

Penanganan yang tepat pada diare, akan menurunkan derajat keparahan


penyakit. Diare dapat diatasi dengan menjaga kebersihan dan mengolah
makanan yang sehat dan bersih, anjuran pada ibu untuk mencegah dan
menangani diare secara cepat dan tepat agar angka morbiditas dan mortalitas
diare menurun (Soebagyo & Santoso, 2010).

B. Tujuan
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui, memahami dan menganalisis tentang
penyakit diare dan konstipasi
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui kasus pasien diare dan konstipasi beserta
pemberian obat yang tepat sesuai kondisi pasien
3. Agar mahasiswa mampu mengasah kemampuan pengetahuanya mengenai
obat diare dan konstipasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A1. Definisi Konstipasi

Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang tidak normal pada


seseorang, disertai dengan kesulitan keluarkan feses yang tidak lengkap atau
keluarnya feses yang keras dan kering (Wilkinson, 2006).
Konstipasi adalah kesulitan atau kelambatan pasase feses yang
menyangkut konsistensi tinja dan frekuensi berhajat. Konstipasi dikatakan
akut jika lamanya 1 sampai 4 minggu, sedangkan dikatakan kronik jika
lamanya lebih dari 1 bulan (Mansjoer, 2000).
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah
penurunan frekunsi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama
atau keras dan kering. Adanya upaya mengedan saat defekasi adalah suatu
tanda yang terkait dengan konstipasi. Apabila motilitas usus halus melambat,
masa feses lebih lama terpapar pada dinding usus dan sebagian besar
kandungan air dalam feses diabsorpsi. Sejumlah kecil air ditinggalkan untuk
melunakkan dan melumasi feses. Pengeluaran feses yang kering dan keras
dapat menimbulkan nyeri pada rektum. (Potter & Perry, 2005).
Para tenaga medis mendefinisikan konstipasi sebagai penurunan frekuensi
buang air besar, kesulitan dalam mengeluarkan feses, atau perasaan tidak
tuntas ketika buang air besar. Studi epidemiologik menunjukkan kenaikan
pesat konstipasi berkaitan dengan usia terutama berdasarkan keluhan penderita
dan bukan karena konstipasi klinik. Banyak orang mengira dirinya konstipasi
bila tidak buang air besar setiap hari. Sering ada perbedaan pandangan antara
dokter dan penderita tentang arti konstipasi (Cheskin dkk, 1990).

A2. Definisi diare


Diare adalah frekuensi dan likuiditas buang air besar (BAB) yang
abnormal. Frekuensi dan konsistensi BAB bervariasi dalam dan antar
individu. Sebagai contoh beberapa individu defekasi tiga kali sehari,
sedangkan yang lainnya hanya dua atau tiga kali seminggu
B1. Epidemiologi Konstipasi

Menurut National Health Interview Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5
juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi terutama anak-anak,
wanita dan orang usia 65 tahun ke atas. Hal ini menyebabkan kunjungan ke
dokter sebanyak 2.5 juta kali/tahun dan menghabiskan dana sekitar 725 juta
dolar untuk obat-obatan pencahar (NIDDK, 2000).

B2. Epidemiologi Diare


Diare merupakan salah satu penyebab angka kematian dan kesakitan
tertinggi pada anak, terutama pada anak dibawah umur lima tahun (balita) di
dunia sebesar 6 juta anak meninggal tiap tahunnya karena diare, dimana
sebahagian kematian tersebut terjadi di negara berkembang (Parashar, 2003).
Berdasarkan laporan WHO, kematian karena diare di negara berkembang
diperkirakan sudah menurun dari 4,6 juta kematian pada tahun 1982 menjadi
2,5 juta kematian pada tahun 2003 (WHO, 2003).
Berdasarkan Studi Basic Human Service (BHS) di Indonesia tahun 2006,
perilaku masyarakat dalam mencuci tangan adalah, (i) setelah buang air besar
12%, (ii) setelah membersihkan tinja bayi dan balita 9%, (iii) sebelum makan
14 %, (iv) sebelum memberi makan bayi 7%, dan (v) sebelum menyiapkan
makanan 6%. Sementara itu studi BHS lainnya terhadap perilaku pengelolaan
air minum rumah tangga menunjukan 99,20% merebus air untuk mendapatkan
air minum, tetapi 47,50% dari air tersebut mengandung Eschericia coli.
Kondisi tersebut berkontribusi terhadap tingginya angka kejadian diare di
Indonesia. Hal ini terlihat dari angka kejadian diare nasional pada tahun 2006
sebesar 423 per 1.000 penduduk pada semua umur dan 16 propinsi mengalami
Kejadian Luar Biasa (KLB) diare dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar
2,52 (Depkes RI, 2010)

C1. Patofisiologi Konstipasi


Konstipasi dapat terjadi apabila salah satu atau lebih faktor yang terkait
dengan faktor anatomi dan fisiologi dalam proses mekanisme defekasi
terganggu. Gangguan dapat terjadi pada kekuatan propulsif, sensasi rektal
ataupun suatu obstruksi fungsional pengeluaran (functional outlet). Konstipasi
dikatakan idiopatik apabila tidak dapat dijelaskan adanya abnormalitas
anatomik, fisiologik, radiologik dan histopatologik sebagai penyebabnya
(Alpha Fardah dkk, 2006).
Proses defekasi yang normal memerlukan keadaan anatomi dan inervasi
yang normal dari rektum, otot puborektal dan sfingter ani. Tekanan pada
dinding rektum akan merangsang sistem saraf intrinsik rektum dan
menyebabkan relaksasi sfingter ani interna, yang dirasakan sebagai keinginan
untuk defekasi. Sfingter anal eksterna kemudian menjadi relaksasi dan faeses
dikeluarkan mengikuti peristaltik kolon melalui anus. Bila relaksasi sfingter
interna tidak cukup kuat, maka sfingter anal eksterna akan berkontraksi secara
reflek, selanjutnya sesuai dengan kemauan. Otot puborektal akan membantu
sfingter anal eksterna sehingga keinginan defekasi juga menghilang (Alpha
Fardah dkk, 2006).
Pada konstipasi, faeses yang terkumpul di rektum dalam waktu lebih dari
satu bulan menyebabkan dilatasi rektum. Akibatnya mengurangi aktivitas
peristaltik yang mendorong faeses keluar sehingga menyebabkan retensi
faeses yang semakin banyak. Peningkatan volume faeses pada rektum
menyebabkan kemampuan sensorik rektum berkurang sehingga retensi faeses
makin mudah terjadi (Alpha Fardah dkk, 2006).
Patofisiologi Defekasi

REKTUM
Isi usus
REFLEKS
SARAF INTRINSIK
DEFEKASI HILANG

RELAKSASI lemah
SFINGTER INTERNA

kuat
KONSTRIKSI
LAMA
SFINGTER EXTERNA
RELAKSASI
SFINGTER EXTERNA Otot
puborektal
KONSTRIKSI ANUS
DEFEKASI

Gambar 1. Patofisiologi Defekasi


Konstipasi dibedakan menjadi konstipasi primer dan sekunder berdasarkan
penyebabnya. Konstipasi primer atau idiopatik ditandai dengan normal transit
constipation, slow transit constipation, dan dyssynergic defecation. Pada tipe
normal transit constipation motilitas kolon tidak berubah dan pasien
cenderung mengalami feses yang keras pada gerakan normal. Pada slow
transit constipation motilitas kolon menurun sehingga menyebabkan
menurunnya ferkuensi buang air besar dan feses yang keras. Pada dyssynergic
defecation (atau dikenal juga dengan pelvic floor dysfunction), penderita telah
kehilangan kemampuan untuk mengendurkan anal sphincter sementara terjadi
kontraksi otot pada pelvic floor (Chisholm-Burns et al., 2008).
Berikut adalah beberapa penyebab konstipasi sekunder:
1. Kondisi endokrin atau metabolik (diabetes mellitus, hipertiroidisme,
hiperkalsemia)
2. Kondisi saluran cerna (diverticulitis, hemoroid)
3. Kondisi neurogenik (trauma otak, penyakit parkinson)
4. Kondisi psikogenik (kondisi psikiatrik)
5. Obat-obatan (opiat, analgesik, diuretik, antasida, klonidin, calcium chanel
blockers)
6. Lain-lain (imobilitas, pola makan yang buruk, penyalahgunaan obat
pencahar, gangguan hormonal). (Chisholm-Burns et al., 2008)

C2. Patofisiologi Diare


Diare adalah kodisi tidakseimbangan absorpsi dan sekresi air dan
elektrolit. Terdapat 4 mekanisme patofisiologis yang mengganggu
keseimbangan air dan elektrolit yang mengakibatkan terjadinya diare, yaitu :
1. Perubahan transport ion aktif yang disebabkan oleh penurunan
absorpsi natrium atau peningkatan sekresi klorida
2. Perubahan motilitas usus
3. Peningkatan osmolaritas luminal
4. Peningkatan tekanan hidrostatik jaringan
Mekanisme tersebut sebagai dasar pengelompokan diare secara klinik, yaitu :
1. Secretory diarrhea, terjadi ketika senyawa yang strukturnya mirip
(contoh : Vasoactive Intestinal Peptida (VIP) atau toksin bakteri)
meningkatkan sekresi atau menurunkan absorpsi air dan elektrolit
dalam jumlah besar.
2. Osmotic diarrhea, disebabkan oleh absorpsi zat-zat yang
mempertahankan cairan intestinal.
3. Exudative diarrhea, disebabkan oleh penyakit infeksi saluran
pencernaan yang mengeluarkan mukus, protein atau darah ke
dalam saluran pencernaan.
a. Motilitas usus dapat berubah dengan mengurangi waktu kontak di
usus halus, pngosongan usus besar yang prematur dan
pertumbuhan bakteri yang berlebihan.

D1. Tanda dan Gejala Konstipasi


1. Pasien mengeluh tentang rasa tidak nyaman dan kembung pada perut,
pergerakan usus yang hilang timbul, sakit kepala, feses dengan ukuran
kecil atau kering, keras,perasaan penuh, atau kesulitan atau sakit pada saat
mengeluarkan feses.
2. Implikasi dari konstipasi dapat bervariasi mulai dari rasa tidak nyaman
sampai gejala kanker usus besar atau penyakit serius lainnya.
3. Terapi pasien dengan mengetahui frekuensi pergerakan usus dan tingkat
keparahan konstipasi, makanan, penggunaan laksatif, penggunaan
obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi.
(ISO farmakoterapi dan Dipiro, et al,)

D2. Tanda dan Gejala Diare


1. Pasien dengan diare akut memiliki onset yang tiba-tiba berupa feses yang
longgar, berair, atau semi-terbentuk.
2. Kram perut dan nyeri tekan, urgensi rektal, mual, kembung, dan demam
mungkin ada.
3. Gangguan ini umumnya terbatas sendiri, berlangsung 3 hingga 4 hari
bahkan tanpa pengobatan.
4. Pasien dengan diare infeksi akut dari organisme invasif juga memiliki tinja
berdarah dan nyeri perut yang parah.

E1. Diagnosis Konstipasi


Langkah pertama yang penting dilakukan adalah menyingkirkan
kemungkinan pseudokonstipasi. Pseudokonstipasi merujuk pada keluhan orang
tua bahwa anaknya menderita konstipasi padahal tidak ada konstipasi. Pada
anamnesis perlu ditanyakan mengenai konsistensi tinja dan frekuensi defekasi.
Pada pemeriksaan fisik, palpasi abdomen yang cermat dan colok dubur perlu
dilakukan. Banyak orang tua mengeluh bayinya sering menggeliat, wajahnya
memerah, dan tampak mengejan kesakitan waktu berhajat. Semua itu normal
dan bukan pertanda adanya konstipasi. Bila tinja anak lunak dan pada
pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan, maka tidak ada konstipasi berapa
kalipun frekuensi defekasi. Orang tua merasa anaknya memiliki masalah
defekasi bila tidak melihat anaknya defekasi dalam sehari. Oleh karena itu,
sebelum memikirkan berbagai etiologi konstipasi, penting sekali
mengidentifikasi kasus pseudokonstipasi dan memberi edukasi kepada orang
tua mengenai hal ini. (USU. Konstipasi. 2011)
Bila memang terdapat konstipasi, langkah berikut adalah membedakan
apakah konstipasi berlangsung akut atau kronis. Dikatakan konstipasi akut bila
keluhan berlangsung kurang dari 1 – 4 minggu dan konstipasi kronis bila
keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan. (USU. Konstipasi. 2011)
Penyebab konstipasi akut yang paling sering adalah konstipasi fungsional,
fisura ani, infeksi virus dengan ileus, diet, dan obat. Tetapi perlu dipikirkan
kelainan yang mengancam kehidupan, seperti obstruksi usus, dehidrasi dan
botulisme infantil. Salah satu penyebab tersering konstipasi akut adalah infeksi
virus. Infeksi virus dapat menyebabkan ileus nonspesifik dan berkurangnya
frekuensi defekasi. Anak juga mengalami anoreksia serta kehilangan banyak
cairan melalui saluran nafas dan demam (USU. Konstipasi. 2011).
Pada konstipasi kronis keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan. Konstipasi
kronis biasanya fungsional, tetapi perlu dipertimbangkan adanya penyakit
Hirschsprung karena berpotensi menimbulkan komplikasi yang serius (USU.
Konstipasi. 2011).
1. Anamnesis : penting untuk diagnosis, riwayat bab (frekuensi, ukuran,
konsistensi feses, kesulitan saat bab, bab berdarah, nyeri saat bab), riwayat
makanan, masalah psikologi, dan gejala lain seperti nyeri abdomen.
2. Pemeriksaan fisik : dapat teraba massa feses pada abdomen kiri, pada
pemeriksaan anorektal ditentukan lokasi anus, adanya prolaps, peradangan
perianal, fissura, dan tonus dari saluran anus.
3. Pemeriksaan penunjang : radiografi sederhana dari abdomen, barium
enema, manometri anorektal, waktu transit usus, dan biopsi rectum
(Dipiro et al., 2005)

E2. Diagnosis Diare


Pasien dengan diare harus ditanyai tentang timbulnya gejala, riwayat
penyakit, diet, sumber air, dan penggunaan obat-obatan. Pertimbangan penting
lainnya termasuk lama dan keparahan diare bersama dengan adanya kehadiran
nyeri perut atau muntah, darah dalam tinja, konsistensi tinja, penampilan tinja,
frekuensi tinja, dan penurunan berat badan. Meskipun sebagian besar kasus
diare terbatas, bayi, anak-anak, orang lanjut usia, dan pasien dengan kekebalan
tubuh beresiko mengalami peningkatan morbiditas. Temuan pada pemeriksaan
fisik dapat membantu dalam menentukan status hidrasi dan keparahan
penyakit. Kehadiran darah dalam tinja menunjukkan organisme invasif, proses
inflamasi, atau mungkin neoplasma. Tinja bervolume besar menunjukkan
gangguan usus kecil, sedangkan tinja volume kecil menunjukkan gangguan
kolon atau rektum. Pasien dengan gejala yang berkepanjangan atau berat
mungkin memerlukan evaluasi kolonoskopi untuk mengidentifikasi penyebab
yang mendasari.

F1. Pemeriksaan Penunjang Konstipasi


Beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan pada kasus-kasus tertentu
yang diduga mempunyai penyebab organik (Alpha Fardah, 2006).
1. Pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat kaliber kolon dan massa
tinja dalam kolon. Pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan colok
dubur tidak dapat dilakukan atau bila pada pemeriksaan colok dubur tidak
teraba adanya distensi rektum oleh massa tinja.
2. Pemeriksaan barium enema untuk mencari penyebab organik seperti
Morbus Hirschsprung dan obstruksi usus. .
3. Pemeriksaan darah terutama pemeriksaan fungsi tiroid T4 dan TSH
dilakukan untuk memastikan diagnosis, apabila ditemukan kadar T4
rendah disertai kadar TSH yang meningkat maka diagnosis bisa
ditegakkan untuk menyingkirkan diagnosis banding lainnya.
4. Pemeriksaan radiologis berupa pemeriksaan osifikasi tulang (bone age).
Biasanya pada hipotiroidisme ada ketidak sesuaian antara bone age dan
chronological age

F2. Pemeriksaan Penunjang Diare


1. Tes laboratorium Diare kronis
a. Semua tes dijelaskan untuk diare akut akan digunakan untuk
mendiagnosis diare kronis karena diagnosis tersebut lebih rumit. Data
yang diperoleh dapat mengkategorikan diare sebagai encer, padat, atau
lemak, mempersempit fokus pada gangguan primer.
b. Kolonoskopi memberikan visualisasi dan biopsi dari usus besar lebih
mudah jika darah telah ditemukan dalam tinja atau jika pasien mengidap
AIDS.
2. Tes laboratorium di Akut Diare
a. Kultur feses dapat membantu mengidentifikasi penyebab infeksi.
Metodologi baru menggunakan polymerase chain reaction (PCR) dan
dapat mempersingkat waktu pelaporan.
b. Feses juga dapat dianalisa untuk lendir, lemak, osmolalitas, leukosit
fecal, dan pH. Adanya lendir menunjukkan keterlibatan kolon. Lemak
dalam tinja mungkin karena gangguan malabsorpsi.
c. Volume feses dan elektrolit dapat dinilai dalam tinja encer dalam jumlah
yang banyak untuk menentukan apakah diare osmotik atau sekretori.
d. CBC dapat membantu pada pasien yang gejalanya menetap. Adanya
anemia, leukositosis, atau neutropenia dapat memberikan petunjuk lebih
lanjut untuk penyebab yang mendasari.
( Dipiro, 2008)
G1. Algoritma Konstipasi

Alogaritma Konstipasi (Dipiro) et al, 2005

G2. Algoritma Diare


( Dipiro, 2008)
BAB III

METODOLOGI

A. Tanggal dan Waktu


Praktikum Farmakoterapi dilaksanakan pada Hari : Ju’mat , Tanggal : 28
September 2018 di Laboratorium Farmakoterapi Universitas Prof. DR.
HAMKA

B. Judul Praktikum

- Untuk memberikan terapi obat yang sesuai pada penyakit diare dan
konstipasi
- Untuk memberikan cara minum obat yang benar, tepat dosis, tepat indikasi,
tepat pasien
- Untuk memberikan penjelasan (SWAMEDIKASI) pada pasien.
- Untuk memberikan penjelasan terapi obat yang baik dan yang cocok pada
pasien diare anak-anak serta konstipasi yang tepat pada pasien wanita hamil.

C. Resep dan Pertanyaan

KASUS 1
SWAMEDIKASI DIARE

Seorang wanita (30 tahun) datang ke apotek untuk membeli obat untuk
anaknya (3 tahun) yang sedang diare setelah mengkonsumsi makanan pedas
(sebelumnya tidak pernah makan pedas). Wanita tersebut meminta dipilihkan
obat diare untuk anaknya.

Riwayat penyakit (pasien) sekarang: diare sejak tadi malam

Keluhan utama: buang air besar 3 kali semalam, dengan konsistensi encer
(tanpa buih, tanpa darah), tidak ada muntah maupun demam.

Pasien belum menggunakan obat apapun, hanya minum air putih, tidak ada
riwayat penyakit keluarga.

Instruksi mahasiswa:
1. Lakukan penggalian informasi terkait pasien

2. Pilihkan sediaan obat diare yang tepat sesuai dengan gejala yang diderita
pasien. (Ada 5 sediaan yang tersedia, anda diminta memilih dan
menyerahkan obat tersebut pada pasien).

Obat yang tersedia:


Oralit sachet
Zink tablet
Neo kaolana suspensi
New diatab tablet
Imodium tablet
3. Berikan informasi saat penyerahan obat

KASUS 2
SWAMEDIKASI KONSTIPASI

KASUS :
Seorang perempuan (30 tahun) sedang hamil datang ke apotek untuk
melakukan swamedikasi. Perempuan tersebut meminta dipilihkan obat
konstipasi.

Riwayat penyakit (pasien) sekarang: konstipasi

Keluhan utama: tidak buang air besar selama 5 hari.

Pasien belum menggunakan obat apapun, hanya minum air putih, tidak ada
riwayat penyakit keluarga.

Pola makan: minum air cukup, tidak suka makan sayur

Instruksi mahasiswa:

1. Lakukan penggalian informasi terkait pasien

2. Pilihkan sediaan obat diare yang tepat sesuai dengan informasi gejala yang
anda peroleh dari pasien. (Ada 4 sediaan yang tersedia, anda diminta
memilih dan menyerahkan obat tersebut kepada pasien)
Obat yang tersedia:
Compolax syrup
Bisacodyl tablet
Microlax®
Laxadine®
3. Lakukan komunikasi, informasi dan edukasi kepada pasien tentang
sediaan tersebut, dengan sikap profesional yang baik
BAB IV

PEMBAHASAN

A1. Konstipasi

Pada praktikum farmakoterapi terdapat kasus Konstipasi yang terjadi pada ibu
hamil yang berumur 30 tahun. Kasus ini sebagai berikut :

KASUS :

Seorang perempuan (30 tahun) sedang hamil datang ke apotek untuk melakukan

swamedikasi. Perempuan tersebut meminta dipilihkan obat konstipasi. Riwayat


penyakit (pasien) sekarang: konstipasi

Keluhan utama: tidak buang air besar selama 5 hari.

Jawaban :

Karena penangan utama pada konstipasi yang aman untuk ibu hamil yang baik,
serta tepat dosis, tepat indikasi adalah microlax. Pemberian microlax bekerja
dengan menurunkan tegangan permukaan feses merangsang gerak peristaltik di
sistem pencernaan, membuat tekstur tinja menjadi lebih lunak serta dan
melancarkan proses BAB (Buang Air Besar). Microlax juga melumasi bagian
bawah rektum sehingga feses mudah dikeluarkan. Obat ini juga tidak
mempengaruhi kondisi otot-otot pada rahim. Sehingga tidak membahayakan
kandungan.

Microlax Rectal Tube

Komposisi Tiap 5 ml tube mengandung Natrium Lauril


Sulfoasetat 0,045 g, PEG 4000,625 g, Sorbitol 4,465 g,
(Basic pharmacology Asam Sorbat 0,005 g, Natrium Sitrat 0,450 g, Air
& Drug Notes, 2017) murni hingga 6,25 g
Indikasi Sakit buang air besar, khususnya diberikan pada
(Basic Pharmacology penderita yang harus tinggal ditempat tidur, dewasa
& Drug Notes, 2017) anak lanjut usia, dan wanita hamil.
Dosis menurut Resep 1x1 sehari sekali 1 rectal tube tiap susah BAB
Efek Samping Belum pernah ada laporan efek samping. Penggunaan
berlebihan dapat menyebabkan diare dan kekurangan
cairan
Dosis Dewasa dan anak-anak < 3 tahun : ! tube per rectal
Microlac bekerja 5-15 menit setelah pemberian

Mengapa tidak dipilih compolax, bsacodyl, dan laxadine

Bisacodyl dan compolax (Parafin, Phenopthalein, Gliceryl) tidak boleh


digunakan untuk ibu hamil karena termasuk golongan stimulant laxative yang
dapat meningkatkan rangsangan otot uterus sehingga dapat terjadi kontraksi
uterus dan termasuk golongan obat C menurut FDA (Food and Drug
Administration).

Laxadine tersedia dalam sediaan syrup 30 ml, 60 ml dan 60 ml dengan


kekuatan dosis tiap sendok takarnya (5 ml) mengandung: Phenolphtalein 55 mg.
Paraffin cair 1.200 mg. Glycerin 378 mg. Laxadine harus diperhatikan
penggunaannya pada ibu hamil atau berikan hanya jika diresepkan oleh dokter.
Hal ini karena glycerin yang merupakan bahan aktif obat ini diketahui masuk
dalam kategori C untuk obat ibu hamil sementara bahan aktif lainnya juga
disarankan untuk dihindari penggunaannya pada ibu hamil terutama pada
kehamilan ditrisemester awal. Bahan aktif Laxadine diketahui dapat terekstraksi
ke dalam ASI dan berpotensi mempengaruhi kesehatan bayi. Untuk itu
penggunaannya sebaiknya dihindari atau digunakan jika sudah diresepkan oleh
dokter.

A2. Diare

Pada praktikum, dilakukan pengamatan terhadap kasus diare yang terjadi pada
anak berumur 3 tahun. Kasus ini sebagai berikut :

KASUS

Seorang wanita (30 tahun) datang ke apotek untuk membeli obat untuk anaknya (3
tahun) yang sedang diare setelah mengkonsumsi makanan pedas (sebelumnya
tidak pernah makan pedas).Wanita tersebut meminta dipilihkan obat diare untuk
anaknya. Riwayat penyakit (pasien) sekarang: diare sejak tadi malam Keluhan
utama: buang air besar 3 kali semalam, dengan konsistensi encer (tanpa buih,
tanpa darah), tidak ada muntah maupun demam. Pasien belum menggunakan obat
apapun, hanya minum air putih, tidak ada riwayat penyakit keluarga.

Maka penanganan yang tepat untuk kasus ini yaitu menggunakan obat yang paling
tepat diantara yang diresep tersebut yaitu kombinasi obat oralit dan zink.

Oralit

Oralit adalah campuran garam elektrolit seperti natrium klorida (NaCl), kalium
klorida (KCl), dan trisodium sitrat hidrat, serta glukosa anhidrat.

Manfaat Oralit

Diberikan untuk mengganti cairan dan elektrolit dalam tubuh yang terbuang saat
diare. Walaupun air sangat penting untuk mencegah dehidrasi, air minum tidak
mengandung garam elektrolit yang diperlukan untuk mempertahankan
keseimbangan elektrolit dalam tubuh sehingga lebih diutamakan ORALIT.
Campuran glukosa dan garam yang terkandung dalam ORALIT dapat diserap
dengan baik oleh usus penderita diare.

Tabel Formula Larutan Rehidrasi oral menurut WHO & UNICEF, Desember
2006

Komposisi dalam % Komposisi dalam mmol /


gram/liter liter

Natrium klorida 2,6 12,683 Natrium 75

Glukosa, 13,5 65,854 Klorida 65


anhidrat

Kalium klorida 1,5 7,317 Glukosa, anhidrat 75

Trisodium sitrat, 2,9 14,146 Kalium 20


anhidrat
Sitrat 10
Total 20,5 100,00 Total Osmolaritas 245

Sejak tahun 2004, WHO/UNICEF merekomendasikan ORALIT dengan


osmolaritas rendah. Berdasarkan penelitian dengan ORALIT osmolaritas rendah
diberikan kepada penderita diare akan:

a. Mengurangi volume tinja hingga 25%


b. Mengurangi mual muntah hingga 30%
c. Mengurangi secara bermakna pemberian cairan melalui intravena sampai
33%.

Membuat Dan Memberikan Larutan Oralit

1. Cara Membuat/Mencampur Larutan Oralit

a. Cuci tangan dengan air dan sabun


b. Sediakan 1 gelas air minum yang telah dimasak/air teh (200 cc)
c. Masukkan satu bungkus ORALIT 200 cc
d. Aduk sampai larut benar
e. Berikan larutan ORALIT kepada balita.

2. Cara Memberikan Larutan Oralit

a. Berikan dengan sendok atau gelas


b. Berikan sedikit-sedikit sampai habis, atau hingga anak tidak kelihatan
haus
c. Bila muntah, dihentikan sekitar 10 menit, kemudian lanjutkan dengan
sabar sesendok setiap 2 atau 3 menit
d. Walau diare berlanjut, ORALIT tetap diteruskan
e. Bila larutan ORALIT pertama habis, buatkan satu gelas larutan ORALIT
berikutnya.
Indikasi Mencegah dan mengobati dehidrasi pada waktu muntaber,
diare dan kolera
Dosis menurut 1-4 kali sehari 1 gelas 200 ml
Resep
Dosis Menurut 2 jam pertama 4 gelas selanjutnya 1 gelas tiap BAB
DIH
DRP
Tepat dosis Tidak tepat karena pada Dih di tuliskan 2 jam pertama 4
gelas selanjutnya 1 gelas setiap BAB sedangkan pada resep
Tepat Indikasi Tepat karena sesuai dengan gejala yang di alami pasien
yaitu, pasien mengalami dehidrasi.
Interaksi Obat Tidak ada interaksi obat dengan obat obat lain yang terdapat
pada resep.

Zink

Penanganan kedua pada diare anak yang baik, serta tepat dosis, tepat indikasi
adalah zink tablet, syrup. Pemberian zink tablet merupakan salah satu zat gizi
mikro yang penting untuk kesehatan dan pertumbuhan anak. Selama diare, tubuh
akan kehilangan zink. Untuk menggantikan zink yang hilang selama diare, anak
dapat diberikan zink yang akan membantu penyembuhan diare serta menjaga agar
anak tetap sehat penyembuhan diare.

Komposisi Zinc mengandung zink sulfate 54,9 mg setara dengan


(ISO hal 441) zink 20 mg
Indikasi Terapi penunjang atau suplemen untuk diare akut dan
(Basic Farmakology non spesifik untuk anak
& Drug Notes, 2017)
Dosis menurut Resep 1x1 sehari 1 sendok the
Efek Samping Penggunaan dosis tinggi (>150 mg/ hari) pada jangka
waktu lama dapat menyebabkan penurunan absorpsi
tembaga. Mual, muntah, rasa pahit pada lidah.
Sediaan Sediaan bubuk 10 mg : orezinc
Sediaan tablet 20 mg : zinc generik, Zincare, Zidiar
dan Interzinc
Sediaan Syrup 20 mg/5 ml : Zirkum Kid;
Syrup 10 mg/5 ml: L-Zinc dan Zinc Kid
Dosis Anak dan bayi > 6 bulan : 20 mg sekali sehari
Bayi < 6 bulan : 10 mg sekali sehari
Zink diberikan selama 10 hari (meskipun diare sudah
berhenti)
Interaksi Obat Zat besi dapat menurunkan penyerapan zink. Jika
diberikan bersamaan dengan zat besi direkomendasi
kan untuk memberikan zink terlebih dahulu yaitu
beberapa jam sebelum memberikan zat besi
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Diare (berasal dari bahasa Yunani dan Latin: dia, artinya melewati, dan
rheein, yang artinya mengalir atau lari) merupakan masalah umum untuk orang
yang menderita “pengeluaran feses yang terlalu cepat atau terlalu encer”
(Goodman dan Gilman, 2003). Diare adalah meningkatnya frekuensi dan
berkurangnya konsistensi buang air besar (BAB) dibanding dengan pola BAB
normalnya. Terjadinya BAB 3x atau lebih dalam sehari dengan konsistensi
lembek atau cair yang tidak seperti biasanya, yang biasanya hanya dua atau tiga
kali dalam seminggu (Elin Yuliana, 2008).
Konstipasi atau sering disebut sembelit adalah kelainan pada sistem
pencernaan dimana seseorang mengalami pengerasan feses atau tinja yang
berlebihan sehingga sulit untuk dibuang atau dikeluarkan dan dapat menyebabkan
kesakitan yang hebat pada penderitanya. Konstipasi sendiri sebenarnya bukanlah
suatu penyakit, tetapi lebih tepat disebut gejala yang dapat menandai adanya suatu
penyakit atau masalah dalam tubuh (Dipiro et al., 2008).
Jadi hasil dari praktikum farmakoterapi pada kasus diare pada anak usia 3
tahun menggunakan terapi kombinasi obat oralit dan zink karena Pemberian oralit
merupakan cairan rehidrasi oral yang merupakan tindakan pertama dalam
pengobatan diare untuk mencegah dan mengatasi kehilangan cairan dan elekrolit
yang berlebihan . Pemberian zink tablet merupakan salah satu zat gizi mikro ynag
penting untuk kesehatan dan pertumbuhan anak. Selama diare, tubuh akan
kehilangan zink.

Untuk menggantikan zink yang hilang selama diare, anak dapat diberikan
zink yang akan membantu penyembuhan diare serta menjaga agar anak tetap sehat
penyembuhan diare. Zink juga meningkatkan sistem kekebalan tubuh sehingga
dapat mencegah resiko terulang nya diare selama 2-3 bulan setelah anak sembuh
dari diare. Sedangkan pada kasus konstipasi pada wanita hamil mnggunakan salah
satu obat yang diserepkan yaitu microlac karena Pemberian microlax bekerja
dengan menurunkan tegangan permukaan feses dan secara bersamaan menyerap
air ke dalam usus besar sihangga feses menjadi lunak. Microlax juga melumasi
bagian bawah rektum sehingga feses mudah dikeluarkan.

B. Saran
Pada pasien diare pada anak disarankan jangan makan makanan yang
berasa pedas berlebih, kemudian disarankan sebelum makan selalu mencuci
tangan dan jaga kebersihan. Pada pasien konstipasi ibu hamil disarankan untuk
mengomsusi sayur dan minum yang cukup serta makan- makanan yang
mengandung serat.
DAFTAR PUSTAKA

Alpha Fardah A., IG. M. Reza Gunadi Ranuh, Subijanto Marto Sudarmo. 2006.
Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya

Arif, Mansjoer, dkk., ( 2000 ), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica


Aesculpalus, FKUI, Jakarta.
Chisholm-Burns,Marie A et al., 2008. Pharmacotherapy Principles & Practice,
New York, hal. 651-657.
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education
Companies, Inggris.
Dipiro JT, Talbert RI and Yee GC. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic
Approach. 7th Ed.Syamford: Appleton & Lange, 2008.
DiPiro, T.J., Talbert, L.R., Yee, C.G., Matzke, R.G., Wells, G.B., dan
Posey, M.L., Eds, Pharmacotherapy - A Pathophysiologic Approach
7th ed, The McGraw-Hill Companies, Inc., New York-USA.
Dipiro, J. T., Robert, L.T., Gary, C., Barbara, G.W., Michael, P.
2005. Pharmacotherapy :A Pathophysiologic Approach Seventh
Edition. The McGraw-Hill Companies. New York.
Dipiro, J.T., Wells, B.G., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Posey, L.M.,
2005, Pharmacotherapy, 6th Edition, Appleton ang Lange, New York.
1-13

E. Behrman, Richard. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 12 Bagian 3. Penerbit


Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Elin Y. S., dkk. 2008. Iso Farmakoterapi. Jakarta : PT. ISFI. 349-353
Mansjoer, Arif. Konstipasi. Kapita Selekta Kedokteran – Gastroenterologi Anak.
Media Aesculapius FKUI. Jakarta :2000
NIDDK (National Istitute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease). 2001,
Understanding Adult Obesity.

Perry, P. d. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan


Praktik, Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC.
Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak FKUI . Buku kuliah jilid 1 Ilmu Kesehatan
Anak hal 266. InfoMedika.Jakarta: 1985.

USU. Konstipasi. 2011 [cited 2012 oktober 15]. Available from


:repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31236/4/Chapter II.pdf

Wilkinson, Judith.M, 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan (Edisi 7), Jakarta :
EGC

Anda mungkin juga menyukai