Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam GBHN, dinyatakan bahwa pola dasar pembangunan Nasional


pada hakekatnya adalah Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia. Jadi jelas bahwa hubungan antara usaha
peningkatan kesehatan masyarakat dengan pembangunan, karena tanpa modal
kesehatan niscaya akan gagal pula pembangunan kita.

Usaha peningkatan kesehatan masyarakat pada kenyataannya tidaklah


mudah seperti membalikkan telapak tangan saja, karena masalah ini sangatlah
kompleks, dimana penyakit yang terbanyak diderita oleh masyarakat terutama
pada yang paling rawan yaitu ibu dan anak, ibu hamil dan ibu meneteki serta
anak bawah lima tahun.

Salah satu penyakit yang diderita oleh masyarakat terutama adalah


ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yaitu meliputi infeksi akut saluran
pernapasan bagian atas dan infeksi akut saluran pernapasan bagian bawah.
ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh anak- anak, baik
dinegara berkembang maupun dinegara maju dan sudah mampu. dan banyak
dari mereka perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat.
Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat
pula memberi kecacatan sampai pada,masa dewasa. dimana ditemukan adanya
hubungan dengan terjadinya Chronic Obstructive Pulmonary Disease.

ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena


menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1
dari 4 kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode
ISPA setiap tahunnya. 40 % -60 % dari kunjungan diPuskesmas adalah oleh
penyakit ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup

1
2

20 % -30 %. Kematian yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia dan


pada bayi berumur kurang dari 2 bulan.

Program pemberantasan ISPA secara khusus telah dimulai sejak tahun


1984, dengan tujuan berupaya untuk menurunkan angka kesakitan dan
kematian khususnya pada bayi dan anak balita yang disebabkan oleh ISPA,
namun kelihatannya angka kesakitan dan kematian tersebut masih tetap tinggi
seperti yang telah dilaporkan berdasarkan penelitian yang telah disebutkan di
atas.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan diatas maka penulis ingin


mencoba untuk mengemukakan upaya pemberantasan ISPA. Mengingat
tujuan pembangunan kesehatan dalam upaya menurunkan angka mortalitas
dan morbilitas, sehingga tujuan pembangunan nasional untuk memperoleh
sumber daya manusia yang berkualitas baik, fisik maupun mental akan
tercapai.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ISPA

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan istilah yang


diadaptasi dari istilah bahasa inggris Acute Respiratory Infections (ARI) yaitu
penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu atau lebih dari saluran
pernapasan, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah)
beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura
(Hartono dan Rahmawati, 2012).
Istilah ISPA meliputi tiga unsur penting yaitu infeksi, saluran
pernafasan, dan akut. Dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah
masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan
adalah organ yang mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya
seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Dengan demikian ISPA
secara otomatis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernapasan
bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran
pernapasan. Sesuai dengan batasan ini maka jaringan paru-paru termasuk
dalam saluran pernapasan (respiratorytract). Infeksi akut adalah infeksi yang
berlangsung sampai 14 hari. Batas 14 haridiambil untuk menunjukkan proses
akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA
proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes, 2010).

B. DISTRIBUSI PENYAKIT
Salah satu penyakit yang diderita oleh masyarakat terutama adalah
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yaitu meliputi infeksi akut saluran
pernapasan bagian atas dan infeksi akut saluran pernapasan bagian bawah.
ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh anak- anak, baik
dinegara berkembang maupun dinegara maju dan sudah mampu. dan banyak

3
4

dari mereka perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat.
Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat
pula memberi kecacatan sampai pada,masa dewasa. dimana ditemukan adanya
hubungan dengan terjadinya Chronic Obstructive Pulmonary Disease.

C. ANGKA KESAKITAN DAN MORTALITAS


ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena
menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari
4 kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA
setiap tahunnya. 40 % -60 % dari kunjungan diPuskesmas adalah oleh penyakit
ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20 % -30
%. Kematian yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia dan pada bayi
berumur kurang dari 2 bulan.
Hingga saat ini angka mortalitas ISPA yang berat masih sangat tinggi.
Kematian seringkali disebabkan karena penderita datang untuk berobat dalam
keadaan berat dan sering disertai penyulit-penyulit dan kurang gizi. Data
morbiditas penyakit pneumonia di Indonesia per tahun berkisar antara 10 -20 %
dari populasi balita. Hal ini didukung oleh data penelitian dilapangan
(Kecamatan Kediri, NTB adalah 17,8 % ; Kabupaten Indramayu adalah 9,8 %).
Bila kita mengambil angka morbiditas 10 % pertahun, ini berarti setiap tahun
jumlah penderita pneumonia di Indonesia berkisar 2,3 juta .Penderita yang
dilaporkan baik dari rumah sakit maupun dari Puskesmas pada tahun 1991
hanya berjumlah 98.271. Diperkirakan bahwa separuh dari penderita
pneumonia didapat pada kelompok umur 0-6 bulan.
Program pemberantasan ISPA secara khusus telah dimulai sejak tahun
1984, dengan tujuan berupaya untuk menurunkan angka kesakitan dan
kematian khususnya pada bayi dan anak balita yang disebabkan oleh ISPA,
namun kelihatannya angka kesakitan dan kematian tersebut masih tetap tinggi
seperti yang telah dilaporkan berdasarkan penelitian yang telah disebutkan di
atas.
5

D. PENYEBAB ISPA

Depkes (2004) menyatakan penyakit ISPA dapat disebabkan


oleh berbagai penyebab seperti bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan
lain-lainnya. ISPA bagian atas umumya disebabkan oleh virus,
sedangkan ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri,
umumnya mempunyai manifestasi klinis yang berat sehingga
menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya.

Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus


Streptococcus,Stapilococcus, Pneumococcus, Haemophyllus,
Bordetella dan Corynobacterium.Virus penyebab ISPA antara lain
golongan Paramykovirus (termasuk di dalamnya virus Influenza, virus
Parainfluenza dan virus campak), Adenovirus,
Coronavirus,Picornavirus, Herpesvirus dan lain-lain. Di negara-
negara berkembang umumnyakuman penyebab ISPA adalah
Streptocococcus pneumonia dan Haemopylusinfluenza.

Jumlah penderita infeksi pernapasan akut kebanyakan pada


anak. Etiologi dan infeksinya mempengaruhi umur anak, daya tahan,
musim, kondisi tempat tinggal, dan masalah kesehatan yang ada.
Banyaknya patogen pada sistem pernapasan yang muncul dalam
wabah selama musim semi dan dingin, tetapi mycoplasma sering
muncul pada musim gugur dan awal musim semi. (Hartonodan
Rahmawati, 2012).

E. MASA INKUBASI DAN PENULARAN

ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung


sampai 14 hari. Yang dimaksud dengan saluran pernapasan adalah
organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ
disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru.
6

Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat


ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan
antibiotik, namun demikian anak akan menderita pneumoni bila infeksi
paru ini tidak diobati dengan antibiotik dapat mengakibat kematian.

Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit


ISPA dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia.
Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia
berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis,
faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya
digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian besar
penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan
terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang
ditemukan pada balita. Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotik
penisilin, semua radang telinga akut harus mendapat antibiotik.

ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara


pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat
kesaluran pernapasannya.

Kelainan pada sistem pernapasan terutama infeksi saluran


pernapasan bagian atas dan bawah, asma dan ibro kistik, menempati
bagian yang cukup besar pada lapangan pediatri. Infeksi saluran
pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering
terjadi pada semua golongan masyarakat pada bulan-bulan musim
dingin.

Tetapi ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi


pada anak kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi
dengan keadaan lingkungan yang tidak hygiene. Risiko terutama
terjadi pada anak-anak karena meningkatnya kemungkinan infeksi
silang, beban immunologisnya terlalu besar karena dipakai untuk
7

penyakit parasit dan cacing, serta tidak tersedianya atau berlebihannya


pemakaian antibiotik

F. CARA PENULARAN

Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkhus dilapisi oleh


membran mukosa bersilia, udara yang masuk melalui rongga hidung
disaring, dihangatkan dan dilembutkan. Partikel debu yang kasar dapat
disaring oleh rambut yang terdapat dalam hidung, sedangkan partikel
debu yang halus akan terjerat dalam membran mukosa. Gerakan silia
mendorong membran mukosa ke posterior ke rongga hidung dan ke
arah superior menuju faring.

Penyebaran melalui kontak langsung atau tidak langsung dari


benda yang telah dicemari virus dan bakteri penyebab ISPA (hand to
hand transmission) dan dapat juga ditularkan melalui udara tercemar
(air borne disease) pada penderita ISPA yang kebetulan mengandung
bibit penyakit melalui sekresi berupa saliva atau sputum, bibit penyakit
masuk kedalam tubuh melalui pernapasan (Depkes, 2007).

Mikroorganisme penyebab ISPA ditularkan melalui udara.


mikroorganisme yang ada diudara akan masuk kedalam tubuh melalui
saluran pernapasan dan menimbulkan infeksi dan penyakit ISPA.
Selain itu mikroorganisme penyebab ISPA berasal dari penderita yang
kebetulan terinfeksi,baik yang sedang jatuh sakit maupun yang
membawa mikroorganisme di dalam tubuhnya (Hartono dan
Rahmawati, 2012).

Mikroorganisme di udara umumnya berbentuk aerosol yakni


suatu suspensi yang melayang di udara, dapat seluruhnya berupa bibit
penyakit atau hanya sebagian. Adapun bentuk aerosol dari penyebab
penyakit ISPA tersebut yakni droplet nuclei dan dust. Droplet nuclei
adalah partikel yang sangat kecil sebagai sisa dari sekresi saluran
8

pernapasan yang mengering dan melayang di udara. Pembentukannya


melalui evaporasi droplet yang dibatukkan atau dibersinkan ke udara,
karena ukuran sangat kecil, dapat bertahan diudara untuk waktu yang
cukup lama dan dapat dihirup pada waktu bernapas dan masuk ke
saluran pernapasan. Dust adalah partikel dengan berbagai ukuran
sebagai hasil dari resuspensi partikel yang menempel di lantai, di
tempat tidur serta dapat tertiup angin bersama debu lantai/tanah.

G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko Kejadian ISPA

Beberapa faktor seperti status demografi, faktor internal/faktor


balita dan faktor eksternal/kondisi rumah, dapat mempengaruhi
kejadian ISPA.

1.Status Sosial Demografi

Pendidikan dan Penghasilan Orang Tua


Status sosial ekonomi diantaranya unsur pendidikan, serta
penghasilan keluarga, juga berperan penting dalam menciptakan
rumah sehat. Tingkat pendidikan masyarakat berkaitan erat dengan
perolehan pekerjan yang layak bagi orang tua. Tingkat pendidikan
yang rendah menyebabkan hasil yang diperoleh juga rendah atau pas-
pasan. Tingkat penghasilan yang rendah menyebabkan orang tua sulit
menyediakan fasilitas perumahan yang baik, perawatan kesehatan dan
gizi anak yang memadai. Rendahnya status gizi anak menyebabkan
daya tahan tubuh berkurang dan mudah terkena penyakit infeksi
termasuk ISPA.

2. Faktor Internal/Faktor Pada Balita

Menurut Depkes (2004) faktor internal merupakan suatu


keadaan didalam diri penderita (balita) yang memudahkan untuk
9

terpapar dengan bibit penyakit (agent) ISPA yang meliputi jenis


kelamin, umur, berat badan lahir, status gizi, dan status imunisasi.

a. Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan faktor resiko terhadap kejadian ISPA
yaitu laki-laki lebih beresiko di banding perempuan, hal ini disebabkan
aktivitas anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan sehingga
peluang untuk terpapar oleh agent lebih banyak. Penelitian yang
dilakukan oleh Yusuf dan Lilis (2006), didapatkan hasil bahwa
proporsi kasus ISPA menurut jenis kelamin tidak sama, yaitu laki-laki
59% dan perempuan 41%, terutama pada anak usia muda.

b. Umur
Umur mempunyai pengaruh cukup besar untuk terjadinya
ISPA. Anak dengan umur <2 tahun merupakan faktor resiko terjadinya
ISPA. Hal ini disebabkan karena anak dibawah dua tahun imunitasnya
belum sempurna dan saluran napas lebih sempit. Kejadian ISPA pada
bayi dan balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih besar
dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan balita
merupakan kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya secara
optimal proses kekebalan secara alamiah.

Hasil penelitian analisis faktor resiko yang dilakukan oleh Erna


(2005) didapatkan bahwa umur merupakan salah satu faktor resiko
penyebab kematian pada balita yang sedang menderita ISPA. Anak
yang berumur 1-2 tahun lebih peka lima kali terkena ISPA
dibandingkan anak dengan umur di atas lima tahun.

c. Status Gizi Balita


Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup
kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi.
Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan
menurun yang berarti kemampuan tubuh untukmempertahankan diri
10

terhadap serangan infeksi menjadi turun. Oleh karena itu, setiap bentuk
gangguan gizi sekalipun dengan gejala defisiensi yang ringan
merupakan pertanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap
penyakit. Penelitian yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan
bahwa infeksi protozoa pada anak-anak yang tingkat gizinya buruk
akan jauh lebih parah dibandingkan dengan anak-anak yang gizinya
baik (Notoatmodjo, 2011).

Status gizi yang kurang merupakan salah satu faktor yang


berpengaruh terhadap kejadian ISPA balita. Maksud dari gizi kurang
adalah kekurangan energi protein yang terkandung didalam makanan
sehari-hari yang mempengaruhi keadaan gizi anak. Gizi yang buruk
dapat menurunkan pertahanan tubuh baik sistemik maupun lokal.
Status gizi pada balita berdasarkan hasil pengukuran antropometri
dengan melihat criteria yaitu: berat badan per umur (BB/U), tinggi
badan per umur (TB/U), berat badan per tinggi badan (BB/TB).

d. Status Imunisasi
Imunisasi berarti memberikan kekebalan terhadap suatu
penyakit tertentu. Salah satu strategi untuk mengurangi kesakitan dan
kematian akibat ISPA pada anak adalah dengan pemberian imunisasi.
Pemberian imunisasi dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian
pada balita tertutama penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Setiap anak harus mendapatkan imunisasi dasar terhadap tujuh
penyakit utama sebelum usia satu tahun yaitu imunisasi BCG, DPT,
hepatitis B, polio, campak. Imunisasi bermafaat untuk mencegah
beberapa jenis penyakit infeksi seperti campak, polio, TBC, difteri,
pertusis, tetanus dan hepatitis B. Bahkan imunisasi juga dapat
mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit

tersebut. Sebagian besar kasus ISPA merupakan penyakit yang dapat


dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat
11

dicegah dengan imunisasi adalah difteri dan batuk rejan. Hasil


penelitian Sadono (2005) dengan diperoleh bahwa ada hubungan
bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada bayi
denga nilai p = 0,027 dan ratio Prevalens 1,8, artiya bayi dengan status
imunisasi tidak lengkap merupakan faktor resiko terjadinya ISPA.

3. Faktor Eksternal/Kondisi Rumah

Faktor eksternal merupakan suatu keadaan yang berada diluar


diri penderita (balita) berupa lingkungan fisik, biologis, sosial dan
ekonomi yang memudahkan penderita untuk terpapar bibit penyakit
(agent) meliputi:

a. Ventilasi Rumah

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama


adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap
segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni
rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan
O2 (oksigen) didalam rumah yang berarti kadar CO2 (karbondioksida)
yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Tidak
cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara didalam
ruangan naik karena terjadinya proses penguapan dari kulit dan
penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk
bakteri-bakteri, patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit). Membuat
ventilasi udara serta pencahayaan di dalam rumah sangat di perlukan
karena akan mengurangi polusi asap yang ada dalam rumah sehingga
dapat mencegah seseorang menghirup asap tersebut yang lama
kelamaan bisa menyebabkan terkena penyakit ISPA (Notoatmodjo,
2011).

Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar kedalam suatu


ruangan dan pengeluaran udara kotor suatu ruangan tertutup baik
12

alamiah maupun secara buatan. Ventilasi harus lancar diperlukan


untuk menghindari pengaruh buruk yang dapat merugikan kesehatan
manusia pada suatu ruangan kediaman yang tertutup atau kurang
ventilasi.

Fungsi kedua daripada ventilasi adalah membebaskan udara


ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri patogen karena disitu
selalu terjadi aliran udara yang terus-menerus. Bakteri yang terbawa
oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga
agar ruangan rumah selalu tetap di dalam kelembaban (humidity) yang
optimum.

Ada 2 macam ventilasi, yakni :

1) Ventilasi alamiah, di mana aliran udara di dalam ruangan tersebut


terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin,
lubang-lubang pada dinding dan sebagainya. Di pihak lain
ventilasi alamiah ini tidak menguntungkan karena juga merupakan
jalan masuknya nyamuk dan serangga lainnya ke dalam rumah.
Untuk itu harus ada usaha-usaha lain untuk melindungi kita dari
gigitan-gigitan nyamuk tersebut.
2) Ventilasi buatan, yaitu dengan mempergunakan alat-alat khusus
untuk mengalirkan udara tersebut, misalnya kipas angin
(ventilating, fan atau exhauster) atau air conditioning dan mesin
pengisap udara. Tetapi jelas alatini tidak cocok dengan kondisi
rumah di pedesaan. Perlu di perhatikan disini
bahwa sistem pembuatan ventilasi harus dijaga agar udara tidak
mandeg atau membalik kembali, harus mengalir. Artinya dalam
rumah harus ada jalan masuk dan keluarnya udara (Notoatmodjo,
2011).
13

Suatu studi melaporkan bahwa upaya penurunan angka


kesakitan ISPA berat dan sedang dapat dilakukan di antaranya dengan
membuat ventilasi yang cukup untuk mengurangi polusi asap dapur
dan mengurangi polusi udara lainnya termasuk asap rokok. Anak yang
tinggal di rumah yang padat (<10m2/orang) akan mendapatkan risiko
ISPA sebesar 1,75 kali dibandingkan dengan anak yang tinggal
dirumah yang tidak padat (Achmadi, 2003 dalam Naria, dkk. 2008).
Hasil penelitian lain yang tidak mendukung di lakukan oleh Dewi,
(2012) dengan uji chi-square dengan p value 0,18 menyatakan bahwa
tidak ada hubungan luasventilasi rumah dengan kejadian ISPA.

Menurut Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang


ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal secara umum penilaian
ventilasi rumah dapat dilakukan dengan cara melihat indikator
penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan
adalah lebih dari/sama dengan 10% dari luas lantai rumah dan luas
ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah kurang dari
10% dari luas lantai rumah. Pertukaran hawa (ventilasi) yaitu proses
penyediaan udara segar dan pertukaran udara kotor secara alamiah atau
mekanis harus cukup. Berdasarkan peraturan pembangunan nasional,
lubang hawa suatu bangunan harus memenuhi aturan sebagai berikut:
luas bersih dari jendela/lubang hawa sekurang-kurangnya 1/10 dari
luas lantai ruangan, jendela/ruang hawa harus meluas kearah atas
sampai setinggi mimimal 1,95 m dari permukaan lantai,

adanya lubang hawa yang berlokasi di bawah langit-langit sekurang-


kurangnya 0,35% luas lantai yang bersangkutan.

b. Pencahayaan

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak


kurang dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke
dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang
14

nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup
dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak
cahaya di dalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat
merusak mata. Cahaya dapat dibedakan menjadi dua,yakni:

1) Pencahayaan Alam

Pencahayaan alam diperoleh dengan masuknya sinar matahari


ke dalam ruangan melalui jendela, celah-celah atau bagian ruangan
yang terbuka. Sinar sebaiknya tidak terhalang oleh bangunan, pohon-
pohon maupun tembok pagar yang tinggi. Cahaya ini penting karena
dapat membunuh bakteri-bakteri patogen dalam rumah, misalnya basil
TBC. Sebaiknya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-
kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat dalam
ruangan. Perlu diperhatikan dalam membuat jendela diusahakan agar
sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, tidak
terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela di sini, di samping
sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuknya cahaya (Notoatmodjo,
2011).

Kebutuhan standar cahaya alam yang memenuhi syarat


kesehatan untuk kamar keluarga dan kamar tidur menurut WHO 20-40
Lux.

Pemenuhan kebutuhan cahaya untuk penerangan alamiah


sangat ditentukan oleh letak dan lebar jendela. Untuk memperoleh
jumlah cahaya matahari pada pagi hari secara optimal sebaiknya
jendela kamar tidur menghadap ke timur. Luas jendela yang baik
paling sedikit mempunyai luas 10-20 % dari luas lantai. Apabila luas
jendela melebihi 20 % dapat menimbulkan kesilauan dan panas,
sedangkan sebaliknya kalau terlalu kecil dapat menimbulkan suasana
gelap dan pengap.

2) Pencahayaan buatan
15

Menurut Notoatmodjo (2011) “cahaya buatan yaitu,


menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu
minyak tanah, listrik, dan sebagainya”. Penerangan pada rumah tinggal
dapat diatur dengan memilih sistem penerangan dengan suatu
pertimbangan hendaknya penerangan tersebut dapat menumbuhkan
suasana rumah yang lebih menyenangkan. Lampu Flouresen (neon)
sebagai sumber cahaya dapat memenuhi kebutuhan penerangan karena
pada penerangan yang relatif rendah mampu menghasilkan cahaya
yang baik bila dibandingkan dengan penggunaan lampu pijar. Bila
ingin menggunakan lampu pijar sebaiknya dipilih yang warna putih
dengan dikombinasikan beberapa lampu neon.

Untuk penerangan malam hari dalam ruangan terutama untuk


ruang baca dan ruang kerja, penerangan minimum adalah 150 lux sama
dengan 10 watt lampu TL, atau 40 watt dengan lampu pijar.

c. Kepadatan Hunian
Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai
fungsinya. Penentuan bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu
memperhatikan standarminimal jumlah ruangan. Sebuah rumah tinggal
harus mempunyai ruangan yaitu kamar tidur, ruang tamu, ruang
makan, dapur, kamar mandi dan kakus.

Berdasarkan Kepmenkes RI No.829 tahun 1999 tentang


kesehatan perumahan menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal
8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam
satu kamar tidur. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan
jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya oksigen di
dalam ruangan sehingga daya tahan penghuninya menurun, kemudian
cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan seperti ISPA.

Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak


sesuai dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang
16

disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan


kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut. Dengan demikian,
semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka semakin cepat
udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan
banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan
diikuti oleh peningkatan CO2 dan dampak peningkatan CO2 dalam
ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan. Hal ini
sejalan dengan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nuryanto,
(2010) yang mengatakan bahwa ada hubungan bermakna antara
kepadatan hunian dengan penyakit ISPA balita.

e. Suhu Ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu
optimum 18-30°C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah
18°C atau di atas 30°C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat.
Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor
resiko terjadinya ISPA pada balitasebesar empat kali. Suhu dalam
ruangan berperan untuk menjaga rumah dalam kelembaban optimal
untuk membebaskan bakteri dan virus (Erna, 2005: 77).

Mikroorganisme akan melakukan interaksi atau hubungan


dengan lingkungannya untuk mempertahankan hidup. Masing-masing
mikroorganisme mempunyai suhu optimum, minimum dan maksimum
untuk pertumbuhannya. Hal ini disebabkan dibawah suhu minimum
dan diatas suhu maksimum aktivitas enzim akan berhenti, bahkan pada
suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terdenaturasinya enzim
mikroorganisme tersebut yang akibatnya memimbulkan kematian pada
mikroorganisme (Entjang, 2011).

f. Kelembaban Ruangan
Kelembaban rumah yang tinggi dapat mempengaruhi
penurunan daya tahan tubuh seseorang dan meningkatkan kerentanan
17

tubuh terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Kelembaban juga


dapat meningkatkan daya tahan hidup bakteri. Menurut Kemenkes No.
829/Menkes/SK/VII/1999 kelembaban dianggap baik jika memenuhi
40-70% dan buruk jika kurang dari 40% atau lebih dari 70%.
Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara
yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah
menjadi rendah sehingga kelembaban udaranya tinggi. Sebuah rumah
yang memiliki kelembaban udara tinggi memungkinkan adanya tikus,
kecoa dan jamur yang semuanya memiliki peran besar dalam
pathogenesis penyakit pernafasan.

g. Pencemaran udara dalam rumah (polusi udara)


Udara yang bersih merupakan komponen utama dalam rumah
dan sangat diperlukan oleh manusia untuk hidup sehat. Sirkulasi udara
yang bersih berkaitan dengan masalah ventilasi rumah yang tidak
mempunyai jendela dan lubang angin menyebabkan udara yang
tercemar tidak dapat keluar. Pencemaran udara yang diduga banyak
timbul adalah CO, selain itu juga terdapat bahan pencemar lainnya
seperti NH3 dan H2S. Semua gas-gas ini di dalam ambang tertentu
dapat menimbulkan gangguan seketika, sedangkan dalam jumlah besar
dapat menyebabkan iritasi pada saluran nafas (Achmadi, 2003 dalam
Naria, dkk. 2008).

Polusi udara dapat dibagi menjadi dua yaitu polusi udara dalam
ruangan (Indoor Air Pollution=IAP) dan polusi udara luar ruangan
(outdoor AirPollution).World Health Organization (WHO)
melaporkan sekitar 12,8 jutakematian didunia disebabkan oleh
pengaruh polusi udara dalam ruangan. Pencemar udara umumnya
berupa gas, debu, dan partikulat (butiran amat halus). Partikulat
berukuran 7 mikron umumnya menempel atau mengenai bagian luar
tubuh manusia seperti kepala, rambut mata. Sedangkan ukuran kecil
(0,4-2,5 mikron) terhirup bersama udara dan masuk sampai ke jaringan
18

paru-paru. Komponen debu yang tercemar dalam ruangan diperkirakan


mengandung 5 juta bakteri per gram.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor


829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan,
dapur yang sehat harus memiliki lubang asap dapur. Dapur yang tidak
memiliki lubang asap dapur akan menimbulkan banyak polusi asap ke
dalam rumah dan kondisi ini akan

berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita karena asap akan


dapat mengiritasi saluran pernafasan.

Dapur rumah sehat harus mempunyai ruangan tersendiri karena


asap hasil pembakaran (kayu bakar atau minyak tanah) dapat
membawa dampak negatif terhadap kesehatan. Polusi udara dapur
dipengaruhi jenis bahan bakar yang dipakai, kayu bakar dan arang
sebagai faktor resiko infeksi saluran pernapasan. Ruangan dapur harus
memiliki ventilasi yang baik sehingga asap/udara dari dapur dapat
dialirkan keluar. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukamawa, dkk.
(2006) dengan menggunakan Uji statistik regresi logistik menunjukkan
tidak ada pengaruh pencemaran dalam rumah terhadap kejadian ISPA
ada anak Balita.

Beberapa pencemaran ruangan yang perlu mendapat perhatian


diantaranya: Karbon Monoksida (CO), asap dari kayu bakar, asap
rokok dan obat nyamukbakar. Sumber-sumber karbon monoksida (CO)
yang signifikan menimbukan pencemaran dalam ruangan terutama
berasal dari rokok, cerutu, oven, kompor gas, kompor minyak tanah
dan tungku kayu bakar, pembakaran arang biomasa. Jika tidak ada
ventilasi yang baik, CO dapat cepat memenuhi ruangan dapur pada saat
ibu-ibu aktif memasak. Kadar CO yang dapat ditimbulkan oleh kompor
yang menyala selama setengah jam adalah 10 ppm. Apabila sumbu
kompor tidak terkontrol akan menghasilkan CO yang tidak tertolerir.
19

Hal ini dapat merangsang sakit kepala, batuk, iritasi kerongkongan dan
membawa risiko berat berupa penyakit paru-paru dan jantung.

Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk


memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme
pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini
dapat terjadi pada rumah yang ventilasinya kurang dan dapur terletak
di dalam rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan
balita bermain.

Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh asap dalam


ruangan yang bersumber dari perokok, penggunaan bahan bakar
kayu/arang atau asap. Di samping itu ditentukan oleh ventilasi,
kepadatan penghuni, suhu ruangan, kelembaban, penerangan alami,
jenis lantai, dinding, atap, saluran pembuangan air limbah, tempat
pembuangan sampah, ketersediaan air bersih, dan debu/polutan
(Safitri, 2006).

Tingkat polusi yang dihasilkan bahan bakar menggunakan kayu


jauh lebih tinggi dibandingkan bahan bakar menggunakan gas.
Sejumlah penelitian menunjukkan paparan polusi dalam ruangan
meningkatkan risiko kejadian ISPA pada anak-anak. Berdasarkan hasil
penelitian Naria, dkk di wilayah kerja Puskesmas Tuntungan tahun
2008 menunjukkan proporsi balita yang tinggal di rumah yang
menggunakan bahan bakar kayu menderita ISPA sebanyak 39 orang
(81,25%), sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 9 orang
(19,75%). Hasil uji Chi Square diperoleh bahwa ada hubungan yang
bermakna antara bahan bakar dengan kejadian ISPA pada balita dengan
nilai p=0,001. Nilai Ratio Prevalens kejadian ISPA pada balita yang
menggunakan bahan bakar kayu dibanding dengan balita yang
menggunakan bahan bakar minyak/gas adalah 1,715. Artinya
20

penggunaan bahan bakar kayu merupakan faktor risiko terjadinya


ISPA.

J. PENGOBATAN

Pengobatan

• Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik


parenteral, oksigendan sebagainya.
• Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila
penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan
pemberian kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat
dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau
penisilin prokain.
• Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan
perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk
tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang
merugikan seperti kodein,dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila
demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita
dengan gejala batuk pilek bilapada pemeriksaan tenggorokan
didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran
kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang
tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik
(penisilin) selama 10 hari.
Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan tanda bahaya harus
diberikan perawatan khusus untuk pemeriksaan selanjutnya.
Petunjuk dosis dapat dilihat pada lampiran.

K. Perawatan dirumah

Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi


anaknya yang menderita ISPA.
21

 Mengatasi panas (demam)


Untuk anak usia 2 bulan samapi 5 tahun demam diatasi dengan
memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2
bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol
diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk waktu 2 hari. Cara
pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian
digerus dan diminumkan. Memberikan kompres, dengan
menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air
es).

 Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan
tradisional yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan
kecap atau madu ½ sendok teh , diberikan tiga kali sehari.
 Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi
berulang-ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika
muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap
diteruskan.

 Pemberian minuman

Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya)


lebih banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan
dahak, kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang
diderita.

 Lain-lain

Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang


terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam.
Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat
kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah.
22

Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang


berventilasi cukup dan tidak berasap. Apabila selama
perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan
untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan. Untuk
penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas
usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan
benar selama 5 hari penuh. Dan untuk penderita yang
mendapatkan antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak
dibawa kembali kepetugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang.

L. Pencegahan dan Pemberantasan


Pencegahan dapat dilakukan dengan :
• Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.
• Immunisasi.
• Menjaga kebersihan prorangan dan lingkungan.
• Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.
Pemberantasan yang dilakukan adalah :Penyuluhan kesehatan yang
terutama di tujukan pada para ibu
• Immunisasi
23

M. Pelaksana Pemberantasan

Tugas pemberatasan penyakit ISPA merupakan tanggung


jawab bersama. Kepala Puskesmas bertanggung jawab bagi
keberhasilan pemberantasan di wilayah kerjanya.

Sebagian besar kematiaan akibat penyakit pneumonia terjadi


sebelum penderita mendapat pengobatan petugas Puskesmas. Karena
itu peran serta aktif masyarakat melalui aktifitas kader akan
sangat'membantu menemukan kasus-kasus pneumoniayang perlu
mendapat pengobatan antibiotik (kotrimoksasol) dan kasus-kasus
pneumonia berat yang perlusegera dirujuk ke rumah sakit . Dokter
puskesmas mempunyai tugas sebagai berikut :

• Membuat rencana aktifitas pemberantasan ISPA sesuai dengan


dana atau sarana dan tenaga yang tersedia.
• Melakukan supervisi dan memberikan bimbingan penatalaksanaan
standar kasus-kasus ISPA kepada perawat atau paramedis.
• Melakukan pemeriksaan pengobatan kasus- kasus pneumonia
berat/penyakit dengan tanda-tanda bahaya yang dirujuk oleh
perawat/paramedis dan merujuknya ke rumah sakit bila dianggap
perlu.
• Memberikan pengobatan kasus pneumonia berat yang tidak bisa
dirujuk ke rumah sakit.
• Bersama dengan staff puskesmas memberi kan penyuluhan kepada
ibu-ibu yang mempunyai anak balita. perihal pengenalan tanda-
tanda penyakit pneumonia serta tindakan penunjang di rumah,
• Melatih semua petugas kesehatan di wilayah puskesmas yang di
beri wewenang mengobati penderita penyakit ISPA,
• Melatih kader untuk bisa, mengenal kasus pneumonia serta dapat
memberikan penyuluhan terhadap ibu-ibu tentang penyaki ISPA,
24

• Memantau aktifitas pemberantasan dan melakukan evaluasi


keberhasilan pemberantasan penyakit ISPA. menditeksi hambatan
yang ada serta menanggulanginya termasuk aktifitas pencatatan
dan pelaporan serta pencapaian target.

Paramedis Puskesmas Puskesmas pembantu

• Melakukan penatalaksanaan standar kasus-kasus ISPA sesuai


petunjuk yang ada.
• Melakukan konsultasi kepada dokter Puskesmas untuk kasus-kasus
ISPA tertentu seperti pneumoni berat, penderita dengan weezhing
dan stridor.
• Bersama dokter atau dibawah, petunjuk dokter melatih kader.
• Memberi penyuluhan terutama kepada ibu-ibu.
• Melakukan tugas-tugas lain yang diberikan oleh pimpinan
Puskesmas sehubungan dengan pelaksanaan program
pemberantasan penyakit ISPA.

Kader kesehatan

• Dilatih untuk bisa membedakan kasus pneumonia (pneumonia


berat dan pneumonia tidak berat) dari kasus-kasus bukan
pneumonia.
• Memberikan penjelasan dan komunikasi perihal penyakit batuk
pilek biasa (bukan pneumonia) serta penyakit pneumonia kepada
ibu-ibu serta perihal tindakan yang perlu dilakukan oleh ibu yang
anaknya menderita penyakit
• Memberikan pengobatan sederhana untuk kasus-kasus batuk pilek
(bukan pneumonia) dengan tablet parasetamol dan obat batuk
tradisional obat batuk putih.
25

• Merujuk kasus pneumonia berat ke Puskesmas/Rumah Sakit


terdekat.
• Atas pertimbangan dokter Puskesmas maka bagi kader-kader di
daerah-daerah yang terpencil (atau bila cakupan layanan
Puskesmas tidak menjangkau daerah tersebut) dapat diberi
wewenang mengobati kasus-kasus pneumonia (tidak berat) dengan
antibiotik kontrimoksasol.
• Mencatat kasus yang ditolong dan dirujuk
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyakit ISPA adalah salah satu penyakit yang banyak diderita


bayi dan anak-anak, penyebab kematian dari ISPA yang terbanyak
karena pneumonia. Klasifikasi penyakit ISPA tergantung kepada
pemeriksaan dan tanda-tanda bahaya yang diperlihatkan penderita,
Penatalaksanaan dan pemberantasan kasus ISPA diperlukan kerjasama
semua pihak, yaitu peranserta masyarakat terutama ibu-ibu, dokter, para
medis dam kader kesehatan untuk menunjang keberhasilan menurunkan
angka, kematian dan angka kesakitan sesuai harapan pembangunan
nasional.

B. Saran
Karena yang terbanyak penyebab kematian dari ISPA adalah
karena pneumonia, maka diharapkan penyakit saluran pernapasan
penanganannya dapat diprioritaskan. Disamping itu penyuluhan kepada
ibu-ibu tentang penyakit ISPA perlu ditingkatkan dan dilaksanakan secara
berkesinambungan, serta penatalaksanaan dan pemberantasan kasus ISPA
yang sudah dilaksanakan sekarang ini, diharapkan lebih ditingkatkan lagi.

26
DAFTAR PUSTAKA

Somantri Irman. 2012. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan Edisi 2. Jakarta. Salemba Medika

Magnus Manya. 2007. Buku Ajar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta. Buku
Kedokteran EGC

Kandun, I Nyoman. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular edisi 7

Dirjen P2PL. Modul Pelatihan Bagi Pengelola Program Pengendalian Penyakit di


Indonesia. Jakarta : Depkes RI; 2007.

27
28

DISKUSI

1. Rahmadiyanti Bagulu : Bagaimana cara Program Pengendalian Penyakit


ISPA bekerja, Seperti apa kegiatannya? Apakah Program tersebut sudah
dijalankan di Provinsi Gorontalo?
Jawab :
- Program Pengendalian Penyakit ISPA sudah mulai diberlakukan sejak
tahun 1984 dan sudah banyak hasil survey dan penelitian terkait
program tersebut
- Kegiatan yang dijalankan lebih menitikberatkan pada Manajemen
seperti Pembentukan atau Pengorganisasian TIM yang berperan dalam
menggolongkan Penyakit ISPA dalam 2 golongan, ISPA Pneumonia
dan ISPA bukan Pneumonia, kemudia Kegiatan Lokakarya Mini
berupa kegiatan Pengobatan Medis dan Penyuluhan perawatan Non
Medis dan Pencegahannya
- Program ini belum menjadi Prioritas Program Kegiatan di Unit
Pelayanan Utama seperti Puskesmas, Program ini sudah diberlakukan
di Provinsi Gorontalo tetapi bentuk kegiatannya bukan menjadi
kegiatan utuh disuatu program tetapi diselipkan di beberapa program
seperti Program PHBS dan Imunisasi
2. Muh.Fadlun Utiarahman : Mengapa Imunisasi menjadi salah satu faktor
internal yang dapat menyebabkan ISPA?
Jawab :
Seperti yang kita ketahui bahwa Imunisasi berarti memberikan kekebalan
terhadap suatu penyakit tertentu. Salah satu strategi untuk mengurangi
kesakitan dan kematian akibat ISPA pada anak adalah dengan pemberian
imunisasi. Pemberian imunisasi dapat menurunkan angka kesakitan dan
kematian pada balita tertutama penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Setiap anak harus mendapatkan imunisasi dasar terhadap tujuh
penyakit utama sebelum usia satu tahun yaitu imunisasi BCG, DPT,
hepatitis B, polio, campak. Imunisasi bermafaat untuk mencegah beberapa
29

jenis penyakit infeksi seperti campak, polio, TBC, difteri, pertusis, tetanus
dan hepatitis B. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari
akibat penyakit-penyakittersebut. Sebagian besar kasus ISPA merupakan
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong
ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri dan batuk rejan.
Jadi seseorang yang tidak diberi Imunisasi lebih rentan terkena penyakit
ISPA karena pada umumnya Anak umur ≤ 2 tahun mempunyai saluran
pernapasan yang masih sempit dan Imunitas tubuhnya belum terbentuk
dengan baik.
3. Eka Fidyastuti Yunus : Mengapa bayi rentan terkena penyakit ISPA?
Dan Bagaimana Ibu Hamil mengobati Penyakit ISPA sedangkan Ibu
Hamil tidak bisa mengonsumsi obat-obatan & Bagaimana pencegahan
ISPA pada Ibu Hamil?
Jawab :
- Bayi rentan terkena penyakit ISPAkarena pada umumnya Anak umur
≤ 2 tahun mempunyai saluran pernapasan yang masih sempit dan
Imunitas tubuhnya belum terbentuk dengan baik.
- Pengobatan Non Medis yang dapat dilakukan oleh Ibu Hamil yang
menderita ISPA
 Mengatasi panas (demam)
Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih,
celupkan pada air hangat (tidak perlu air es).

 Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan
tradisional yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan
kecap atau madu ½ sendok teh , diberikan tiga kali sehari.
 Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi
berulang-ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika
30

muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap


diteruskan.
 Pemberian minuman
Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya)
lebih banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan
dahak, kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang
diderita.

 Lain-lain
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang
terlalu tebal dan rapat, Jika pilek, bersihkan hidung yang
berguna untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari
komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan tempat
tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak
berasap. Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak
memburuk maka dianjurkan untuk membawa kedokter atau
petugas kesehatan.

- Pencegahan ISPA pada Ibu Hamil :


 Sebisa mungkin, hindari menyentuh bagian wajah, seperti
mulut, hidung, dan mata untuk meminimalisir penyebaran virus
dan bakteri
 Selalu mencuci tangan, terutama setelah beraktivitas di tempat
umum
 Hindari merokok dan lingkungan berasap
 Tutup mulut dan hidung dengan menggunakan Tissue saat
batuk atau bersin
 Gunakan Masker ketika pergi beraktivitas di tempat umum
 Konsumsi makanan yang mengandung nutrisi tinggi
4. Marni Abdurahman Abdillah : Apakah anak dibawah umur atau bayi
dan balita yang menderita ISPA dapat berpengaruh terhadap Pertumbuhan
& Perkembangannya saat dewasa?
31

Jawab :
Berpengaruh atau tidak itu tergantung seberapa parah Penyakit ISPA yang
dideritanya karena penyakit ISPA itu terdiri dari dari 2 golongan,ISPA
Pneumonia dan ISPA bukan Pneumonia& tergantung dari sistem imunitas
orang itu sendiri. Kalaupun penyakit ini berpengaruh, itu dapat
menyebabkan penderitanya terkena penyakit OMA karena Penyakit ISPA
itu sendiri merupakan penyakit pernapasan yang berhubungan langsung
tuba eustachius yang dapat membawa virus dan bakteri ke dalam telinga.
5. Mohamad Deden Adam : Bagaimana pengobatan dan pencegahan ISPA
dilihat dari Sisi Medis dan Paramedis ?
Jawab :
Pengobatan dari sisi medis :

• Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik


parenteral, oksigendan sebagainya.
• Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila
penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan
pemberian kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat
dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau
penisilin prokain.
• Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan
perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk
tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang
merugikan seperti kodein,dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila
demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita
dengan gejala batuk pilek bilapada pemeriksaan tenggorokan
didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran
kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang
tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik
(penisilin) selama 10 hari.
32

Pengobatan dari sisi paramedis :


 Mengatasi panas (demam)
Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih,
celupkan pada air hangat (tidak perlu air es).

 Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan
tradisional yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan
kecap atau madu ½ sendok teh , diberikan tiga kali sehari.
 Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi
berulang-ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika
muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap
diteruskan.
 Pemberian minuman
Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya)
lebih banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan
dahak, kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang
diderita.

 Lain-lain
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang
terlalu tebal dan rapat, Jika pilek, bersihkan hidung yang
berguna untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari
komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan tempat
tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak
berasap. Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak
memburuk maka dianjurkan untuk membawa kedokter atau
petugas kesehatan.

Pencegahan ;
33

 Sebisa mungkin, hindari menyentuh bagian wajah, seperti


mulut, hidung, dan mata untuk meminimalisir penyebaran virus
dan bakteri
 Selalu mencuci tangan, terutama setelah beraktivitas di tempat
umum
 Hindari merokok dan lingkungan berasap
 Tutup mulut dan hidung dengan menggunakan Tissue saat
batuk atau bersin
 Gunakan Masker ketika pergi beraktivitas di tempat umum
 Konsumsi makanan yang mengandung nutrisi tinggi

JAWABAN

1.

Anda mungkin juga menyukai