Anda di halaman 1dari 10

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN

VOLUME 14 No. 02 Juni z2011 Halaman 68 - 77


Eri Supriyanti, dkk.: Redesign Pelayanan Farmasi ...
Artikel Penelitian

REDESIGN PELAYANAN FARMASI


DENGAN METODE FAILURE MODE AND EFFECT ANALYSIS
REDESIGN PHARMACEUTICAL SERVICE
USING FAILURE MODE AND EFFECT ANALYSIS METHODE

Eri Supriyanti1, Erna Kristin2, Hanevi Djasri3


1
Magister Manajemen Rumah Sakit, FK UGM, Yogyakarta
2
Bagian Farmakologi dan Toksikologi, FK UGM, Yogyakarta
3
Bagian Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UGM, Yogyakarta

ABSTRACT ABSTRAK
Background: Pharmacy service is a high risk area in the Latar belakang: Pelayanan farmasi merupakan wilayah
support of health service quality. PKU Muhammadiyah Hospital berisiko tinggi dalam menunjang mutu sebuah pelayanan
is a hospital that respons to systematic movement in services kesehatan. Rumah Sakit (RS) PKU Muhammadiyah merupakan
that focus on patient safety such as minimizing the incidence rumah sakit yang merespons gerakan sistematis dalam
of medication error that often happens. This condition requires pelayanan yang berfokus pada keselamatan pasien dan salah
new design that can minimize risk for the incidence of medication satunya adalah menekan kejadian medication error yang masih
errorr by implementing Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) sering terjadi. Melihat hal tersebut dibutuhkan desain baru yang
method as a systematic and proactive method that improves dapat meminimalkan risiko kejadian medication error dengan
quality of hospital service. menerapkan metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
Objective: To design new service quality at PKU sebagai metode yang sistematis dan proaktif dalam memperbaiki
Muhammadiyah Hospital Yogyakarta by identifying risk for mutu pelayanan di rumah sakit.
medication error in the process of drug use, factors that can Tujuan: Merancang desain mutu pelayanan yang baru di RS
induce the incidence of medication error in the process drug PKU Muhammadiyah Yogyakarta dengan mengidentifikasi risiko
use and make new design that can minimize risk for medication medication error pada proses penggunaan obat, faktor-faktor
error of PKU Muhammadiyah Hospital Yogyakarta. yang dapat memicu munculnya medication error pada proses
Method: This study used action research. This design was penggunaan obat, serta membuat desain baru sistem
chosen to involve subject of the study more actively in doing the penggunaan obat yang dapat meminimalkan risiko kejadian
redesign of pharmacy service using FMEA method to minimize medication error di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
risk for the incidence of medication error. Subject of the study Metode: Penelitian ini menggunakan jenis penelitian action
were all incidents of medication error in the process of drug use research. Penelitian action research dipilih untuk lebih
including related health staff involved in the process of drug melibatkan secara aktif subyek penelitian dalam melakukan
use. Primary were data obtained from indepth interview, group desain ulang pelayanan farmasi dengan menggunakan metode
discussion, focuses group discussion, and workshop. FMEA untuk meminimalkan risiko kejadian medication error.
Result: Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) method was Subyek penelitian adalah semua kejadian medication error pada
expected to minimize errors in drug use system at outpatient proses penggunaan obat termasuk didalamnya tenaga
pharmacy service at PKU Muhammadiyah Hospital Yogyakarta. kesehatan yang terkait dalam proses penggunaan obat. Data
Through FMEA method it was identified that the highest Risk primer diperoleh melalui wawancara mendalam, wawancara
Priority Number (RPN) was failure in confirmation with doctors kelompok, kelompok diskusi terarah, dan workshop.
(294), failure in identifying drug name (216). In this study new Hasil: Metode FMEA diharapkan dapat meminimalkan kesalahan
designs proposed as pilot project were change of layout of dalam sistem penggunaan obat pada pelayanan farmasi rawat
drug identification color sticker according to therapy class; the jalan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Melalui metode FMEA
determination of standard operating procedure of ini diketahui tingkat RPN tertinggi yaitu pada kegagalan dalam
communication with doctors giving prescription, confirmation konfirmasi ke dokter sebesar 294, dilanjutkan dengan kegagalan
with doctors for non cito prescription and procedure of dalam mendeteksi nama obat sebesar 216. Pada penelitian ini
implementation of outpatient pharmacy service supervision. dibuat disain baru dalam bentuk perubahan layout stiker warna
Trial of layout of drug identification color sticker was carried penandaan obat sesuai kelas terapi dan pembuatan SOP
because it did not need high cost and was relatively easy to komunikasi ke dokter penulis resep, konfirmasi ke dokter untuk
socialize and do. The result of evaluation after new design resep non cito dan prosedur pelaksanaan supervisi pelayanan
intervention was declining value of RPN for failure in farmasi rawat jalan. Uji coba layout stiker warna penandaan
communication with doctors (from 294 to 196) and failure in obat ini dilakukan karena tidak membutuhkan biaya yang cukup
identifying drug name (from 216 to 144). tinggi dan mudah disosialisasikan dan dilakukan. Hasil evaluasi
Conclusion: The new design implemented was relatively setelah dilakukan intervensi desain baru adalah berkurangnya
effective in minimizing errors in identifying drug name and nilai RPN untuk kegagalan komunikasi ke dokter menjadi 196,
minimizing failure in communication with doctors. untuk kegagalan mendeteksi nama obat nilai RPN menjadi
sebesar 144.
Keywords: medication error, failure mode and effect analysis,
redesign

68 z Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Kesimpulan: Pada penelitian ini desain yang diterapkan dapat partisipasi (participation) dan unsur tindakan
meminimalkan kesalahan dalam mendeteksi nama obat dan (action).6 Subjek penelitian ini adalah seluruh risiko
mengurangi kegagalan berkomunikasi dengan dokter.
munculnya kejadian medication error yang potensial
Kata kunci: medication error, Failure Mode and Effect dalam sistem penggunaan obat (medication use
Analysis, redesaign system) dan tenaga kesehatan yang terlibat pada
proses penggunaan obat di RS PKU Muhammadiyah
PENGANTAR Yogyakarta yaitu dokter, apoteker, asisten apoteker
Pelayanan farmasi merupakan wilayah paling dan perawat. Adapun pada tahap pengukuran subjek
berisiko dalam lingkup kegiatan di rumah sakit yang yang diteliti adalah semua risiko munculnya kejadian
menunjang mutu sebuah pelayanan kesehatan.1 medication error yang potensial meliputi proses
California Health Care Foundation (CHCF) pada peresepan dan tindakan yang terkait dengan
tahun 2001 melaporkan setidaknya ada 7000 kasus pemilihan, penyiapan, dan penggunaan obat. Jenis
kematian tiap tahunnya di Amerika Serikat data yang dikumpulkan adalah data primer dan data
diakibatkan medication error.2 Penelitian yang sekunder. Data primer diperoleh dari hasil workshop
dilakukan di RS PKU Muhammadiyah mengenai dengan tim FMEA RS PKU Muhammadiyah
kejadian yang terkait dengan potensi masalah Yogyakarta. Tim FMEA tersebut terdiri dari Ketua
peresepan dengan menggunakan pendekatan Komite Medis, Ketua PFT, Kepala Instalasi Farmasi
analisis Drug Related Problem (DRP) ditemukan sekaligus sebagai Sekretaris PFT, Ketua Patient
5,60% atau 435 resep dari 7706 resep yang potensial Safety, Ketua Quality Management Representatif,
mengalami kesalahan atau biasa disebut Potential Perwakilan Dokter Umum dan Dokter Spesialis,
Drug Related Problem. Pada tahun 2007 di Unit Supervisor Farmasi Rawat Inap dan Rawat Jalan,
Pelayanan Farmasi Rumah Sakit PKU serta Ketua Keperawatan. Data sekunder diperoleh
Muhammadiyah Yogyakarta, Laporan Kejadian dari data kejadian medication error dalam sistem
Tidak Diinginkan (KTD) yang diambil berdasarkan penggunaan obat, peresepan dan catatan tindakan
laporan kegiatan harian Instalasi Farmasi ditemukan yang terkait pemilihan, penyiapan, penggunaan obat
data bahwa selama bulan Oktober–Desember 2007 serta laporan kegiatan harian di Instalasi Farmasi
terjadi sejumlah 12 laporan KTD yang merupakan yang mencatat KTD pada bulan Januari - Desember
kejadian dispensing error seperti kesalahan 2008. Cara pengambilan sampel dengan non
pengambilan obat, kesalahan pengetikan, kesalahan probability sampling (purposif sampling) dengan jenis
pemberian dan kesalahan transkripsi resep.3 maximum variation sampling yaitu mencari dan
Salah satu metode yang telah dikembangkan mengidentifikasi berbagai variasi untuk mengetahui
untuk mengidentifikasi, mengukur dan mencegah semua kejadian medication error dalam sistem
terjadinya medication error adalah Failure Modes and penggunaan obat di RS PKU Muhammadiyah
Effect Analysis (FMEA).4 The Institute of Health Care Yogyakarta.
Improvement mendefinisikan FMEA sebagai metode Instrumen yang dipergunakan untuk mengukur
sistematis dan proaktif untuk mengevaluasi suatu mutu pelayanan dalam penelitian ini adalah metode
proses untuk mengidentifikasi di mana dan FMEA dengan menerapkan ke-8 langkah FMEA,
bagaimana suatu proses dapat gagal dan mengkaji data sekunder dengan membuat form
memperkirakan faktor kegagalan yang lain, sehingga skoring untuk setiap jenis medication error dalam
diketahui bagian mana dari suatu proses itu yang sistem penggunaan obat.5,6 Adapun pengumpulan
paling memerlukan pengembangan. 5 Dalam data dengan menggunakan workshop, Kelompok
penelitian ini dilakukan pengembangan penelitian Diskusi Terarah (Focus Group Discussion/FGD),
tentang bagaimana membuat desain baru pelayanan wawancara mendalam dan observasi. Jalannya
farmasi untuk meminimalkan risiko kejadian penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
medication error dengan penerapan metode FMEA
di RS PKU Yogyakarta. Tahap
“Diagnosing”

FMEA langkah 1-5


BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Tahap “Planning
Penelitian mengenai redesign pelayanan farmasi Tahap “Evaluating
Action” FMEA
Action” FMEA
dengan metode FMEA di RS PKU Muhammadiyah langkah 8
langkah 6
Tahap “Taking
Yogyakarta adalah penelitian action research. Action” FMEA
Penelitian ini menggunakan action research karena langkah 7

memenuhi persyaratan sebagai penelitian action


research yaitu unsur penelitian (research), unsur Gambar 1.Jalannya penelitian dengan menggunakan
Action Research dan FMEA

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011 z 69


Eri Supriyanti, dkk.: Redesign Pelayanan Farmasi ...

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Mulai A/1
Penelitian action research tentang redesign
pelayanan farmasi di RS PKU Muhammadiyah Apoteker/Asisten Apoteker Asisten Apoteker

Yogyakarta ini menggunakan metode FMEA diawali


dengan melakukan tahap diagnosing, dilanjutkan Apoteker/Asisten Apoteker Asisten Apoteker
dengan tahap planning action, selanjutnya tahap
taking action dan diakhiri dengan tahap evaluating. T
Apoteker/Asisten Apoteker
Sesuai Apoteker/Asisten Apoteker
Adapun hasil dari proses action research pada Y Menyerahkan oba kebagian
sistem pelayanan farmasi dengan menerapkan Apoteker/Asisten Apoteker

metode FMEA dapat diuraikan sebagai berikut: Apoteker/Asisten Apoteker


Y
Proses
Sesuai
Penerimaa
1. Tahap Diagnosing T
Sesuai
Y

Tahap diagnosing merupakan tahap untuk Bon


Prose T
bon/piutang
mengetahui apakah kejadian medication error pada Apoteker/Asisten Apoteker

proses pelayanan farmasi secara umum telah terjadi, Apoteker/Asisten Apoteker

dan pada tahap ini dilakukan langkah FMEA 1 sampai Menyerahkan resep
Apoteker/Asisten Apoteker

dengan 5 yaitu mulai dari memilih faktor yang berisiko


A/2 selesai
tinggi dan membentuk tim, menyusun flowchart
proses pelayanan, menentukan kemungkinan
Gambar 2. Flowchart pelayanan farmasi rawat jalan
penyebab kegagalan, menetapkan kemungkinan
tingkat keparahan dan efek kegagalan dengan skoring
Selanjutnya menentukan failure mode dari alur
(Risk Priority Number), dan melakukan identifikasi
proses pelayanan farmasi dapat dilihat pada Tabel 1.
masalah dengan fishbone. Pengumpulan data dengan
Kemudian dilanjutkan dengan menetapkan
melakukan workshop Tim FMEA tersebut terdiri dari
kemungkinan tingkat keparahan dan efek kegagalan
Ketua Komite Medis, Ketua PFT, Kepala Instalasi
(Risk Priority Number). Pada langkah menetapkan
Farmasi sekaligus sebagai Sekretaris PFT, Ketua
tingkat keparahan dan efek kegagalan ini tim
Patient Safety, Ketua Quality Management
memulai menentukan tingkat keparahan (saverity)
Representatif, Perwakilan Dokter Umum dan Dokter
dengan berupa skor untuk masalah sistem utama
Spesialis, Supervisor Farmasi Rawat Inap dan Rawat
dan menengah dan juga luka ringan dan berat,
Jalan, serta Ketua Keperawatan. Hasil yang
selanjutnya melakukan skor frekuensi terjadinya
didapatkan bahwa dari data sekunder diketahui bahwa
suatu kemungkinan kegagalan (occurance) yaitu bila
data mengenai KTD selama 1 tahun yaitu pada tahun
kemungkinannya kecil diberi skor 1 dari 100.000
2008, diketahui bahwa yang tercatat paling potensial
kesempatan atau kemungkinannya terjadi tinggi
terjadi kesalahan adalah pada unit farmasi rawat jalan
diberi skor 1 dari 10. Kemudian tim melanjutkan
dengan kesalahan obat terjadi 16 kali, salah serah
dengan melakukan skor terhadap kemudahan untuk
obat 10 kali dan salah pemberian etiket 7 kali. Dari
di deteksi (detectable). Adapun hasil yang
kejadian ini maka ditetapkan bahwa unit pelayanan
didapatkan, RPN tertinggi adalah pada kegagalan
farmasi rawat jalan memiliki potensial risiko yang tinggi
dalam komunikasi ke dokter dengan nilai sebesar
dengan setidaknya lima sebab yaitu pelayanan
294 (occurance =7, saverity = 7,dan detectable 6),
farmasi rawat jalan menimbulkan komplain yang lebih
dan untuk validasi resep yaitu pada kegagalan dalam
besar, setiap proses pelayanan farmasi tergantung
mendeteksi nama obat memiliki nilai skoring RPN
intervensi dari petugas farmasi, langkah-langkah dalam
sebesar 216 (occurance =6, saverity=6 dan
proses penyiapan obat terkait satu sama lain, apabila
detectable =6). Kedua proses ini yang akan menjadi
ada kesalahan dalam proses penyiapan obat pada
prioritas untuk melakukan desain yang harapannya
pelayanan farmasi rawat jalan tidak dapat langsung
dapat meminimalkan risiko terjadinya kesalahan
ditangani, dan kontrol yang rendah dari petugas
dalam proses pelayanan farmasi rawat jalan. Secara
farmasi karena langsung berhadapan dengan pasien.
rinci dapat dilihat pada Tabel 2.
Adapun dapat dilihat pada Gambar 2.

70 z Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011


Tabel 1. Kemungkinan penyebab kegagalan di setiap alur proses pelayanan farmasi rawat jalan

Proses Failure mode Cause failure Effect failure Keparahan Frekuensi Kemungkinan di deteksi
(langkah) kejadian
1.Menerima resep Apoteker gagal mendeteksi kesalahan Tidak dilakukan skrining identitas Pasien mendapatkan obat Sedang Jarang Susah dideteksi
identitas pasien (salah nama pasien, resep langsung d letakkan yang, waktu tunggu pasien
pasien, tertukar resep pasien) dikotak,tidak ada tatap muka,tidak ada lama
komunikasi Proses lain tidak berjalan
Tidak ada petugas jaga yang di loket
penerimaan
2.Validasi resep 1. Kegagalan dalam membaca nama Tulisan dokter yang tidak jelas, petugas Salah dalam penyiapan Parah Jarang Mudah dideteksi
obat yang kurang berpengalaman (kompetensi obat, terapi tidak sempurna,
2. Kegagalan dalam mendeteksi jumlah kurang), kurang teliti kesalahan dalam penggunaan
obat dosis
3. Kegagalan dalam mendeteksi cara
penggunaan
4. Kegagalan dalam mendeteksi
petunjuk khusus
5. Kegagalan dalam perhitungan dosis
3. Konfirmasi ke dokter penulis Kegagalan komunikasi dengan dokter Adanya rasa sungkan dan ketakutan oleh Akan terjadi salah interpretasi Parah Jarang Susah dideteksi
resep petugas apotek untuk konfirmasi ke resep sehingga mengakibatkan
dokter salah dosis,salah obat, salah
Dokter lupa karena banyak sekali pasien aturan pakai
4. Buat nota 1. Kegagalan dalam entri data Kurang teliti petugas Biaya tinggi, biaya tidak Tidak paraah Jarang Mudah dideteksi
2. Kegagalan dalam pemberian harga tertagihkan
obat
3. Kegagalan memberikan harga
kategori pasien
5. Penyerahan resep ke bagian Kegagalan dalam penyerahan resep Kesalahan pengambilan urutan Lama waktu tunggu, salah Tidak parah Tidak sering Mudah dideteksi
peracikan pengerjaan resep peracikan
6. AA mengambil/meracik obat 1. Kegagalan dalam mengambil obat Letak obat yang berdekatan, nama obat Kegagalan pengobatan/terapi, Parah Sering Mungkin deteksi
2. Kegagalan dalam meracik obat yang hampir sama, kurangnya kompetensi penyembuhan yang tidak
3. Kegagalan dalam menimbang dan petugas berhasil, adanya efek samping
mengukur Letak penyimpanan yang belum rapi, tidak
4. Kegagalan dalam penggunaan ada penanda nama obat yang mirip, alat
pelarut tidak dikalibrasi
5. Kegagalan dalam pembagian obat
racikan
7. Membuat etiket 1. Kegagalan dalam menulis aturan Kurang kompetensi,ruangan yang Kesalahan dosis pemakaian Parah Jarang Mudah dideteksi
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

pakai gelap,tulisan terlalu kecil,petugas kurang obat, kesalahan aturan pakai


2. Kegagalan dalam menempel etiket teliti
3. Kegagalan dalam pemberian label
8. Apoteker/AA menyerahkan Kegagalan dalam penyerahan obat ke Beban kerja yang tinggi, tidak teliti Dapat terjadi salah Tidak parah Jarang Mudah dideteksi
obat kebagian penyerahan bagian penyerahan pasien, tertukar obat
9. Koreksi oleh apoteker Tidak dilakukan koreksi Kelelahan karena proses yang cukup Dapat terjadi salah obat, salah Parah Jarang Mudah dideteksi
panjang, beban kerja tinggi pasien, salah etiket, salah
pemberian obat
10. Apoteker menyerahkan 1. Kegagalan dalam memberikan Kurang teliti apoteker, nama yang mirip, Kegagalan pengobatan,pasien Parah Sering Sulit dideteksi
obat kepada pasien informasi beban kerja yang tinggi semakin parah, pasien tidak
2. Kegagalan dalam memberikan obat sembuh, pasien tidak
(salah obat) mendapatkan informasi
3. Kegagalan dalam pemberian ke
pasien (salah pasien)

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011 z


71
Eri Supriyanti, dkk.: Redesign Pelayanan Farmasi ...

Tabel 2. Menetapkan kemungkinan tingkat keparahan dan efek kegagalan


kepada pasien tersebut (critical index)
Tahapan Proses Kegagalan OCC SEV DET RPN Prioritas
1 Menerima resep oleh 1. Apoteker/AA gagal mendeteksi kesalahan 2 5 3 30
AA/Apoteker identitas pasien (salah nama pasien, tertukar
resep pasien)
2 Validasi resep 1. Kegagalan dalam mendeteksi nama obat 6 6 6 216 2
2. Kegagalan dalam mendeteksi jumlah obat 1 2 7 14
3. Kegagalan dalam mendeteksi cara 4 5 6 120
penggunaan
4. Kegagalan dalam mendeteksi petunjuk khusus 7 3 6 126
5. Kegagalan dalam perhitungan dosis 5 5 6 150
3 Konfirmasi ke dokter penulis 1. Kegagalan komunikasi dengan dokter 7 7 6 294 1
resep
4 Buat Nota 1. Kegagalan dalam entri data 5 3 2 30
2. Kegagalan dalam pemberian harga obat 2 3 2 12
3. Kegagalan memberikan harga kategori pasien 3 2 2 12
5 AA menyerahkan resep 1. Gagal dalam menyerahkan resep ke bagian 1 1 1 1
kebagian peracikan peracikan
6 AA mengambil/meracik obat 1. Kegagalan dalam mengambil obat 4 7 6 168 5
2. Kegagalan dalam meracik obat 5 3 3 45
3. Kegagalan dalam menimbang dan mengukur 2 5 7 70
4. Kegagalan dalam pembagian obat racikan 2 6 3 36
7 Membuat etiket 1. Kegagalan dalam menuliskan aturan pakai 3 4 6 72
2. Kegagalan dalam menempel etiket 2 2 2 8
8 AA menyerahkan obat 1. Kegagalan dalam penyerahan obat ke bagian 2 2 2 8
kebagian penyerahan penyerahan
9 Koreksi oleh Apoteker 1. Tidak dilakukan koreksi 7 5 2 70
10 Apoteker menyerahkan obat 1. Kegagalan dalam memberikan informasi 4 6 7 168 3
kepada pasien 2. Kegagalan dalam memberikan obat (salah 3 8 7 168 4
obat)
3. Kegagalan dalam pemberian ke pasien (salah 3 8 4 96
pasien)

Langkah terakhir pada proses diagnosing adalah identifikasi penentuan penyebab dibatasi pada aspek
melakukan identifikasi masalah dari kegagalan petugas (personal), metode, pasien, lingkungan,
dengan RPN yang tertinggi dengan model diagram sarana dan prasarana, dan material. Adapun
fish bone yaitu untuk menentukan penyebab identifikasi masalah dengan menggunakan metode
kegagalan setiap proses pelayanan farmasi rawat fish bone untuk setiap failure mode dapat dilihat pada
jalan akan dilakukan identifikasi masalah dengan Gambar 3.
metode fish bone. Curah pendapat untuk melakukan
SDM/Man PASIEN

Dokter

z Dokter tidak mau


dikonfirmasi oleh AA

z Sifat Dokter terkadang emosional


Petugas Farmasi
z Dokter pergi tanpa menunjuk z Karakter petugas yang
dokter pengganti sehingga sulit/ tergesa-gesa
tidak bisa dikonfirmasi oleh petugas
AA
z Petugas takut konfirmasi dokter

Kegagalan Konfirmasi ke
Dokter Penulis Resep

Prosedur Konfirmasi z Telp poli rusak


tidak jelas

z Prosedur penerimaan resep


didalam box mengakibatkan
resep tidak diverifikasi z HP dokter tidak bisa
sehingga pada saat ada dihubungi
ketidakjelasan dokter sudah SOP
meninggalkan poli
z SOP komunikasi dengan
Dokter belum ada

METODE SARANA/PRASARANA LINGKUNGAN

Gambar 3a.Kegagalan konfirmasi ke dokter

72 z Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

SDM/Man PASIEN MATERIAL/OBAT

Petugas Farmasi
z Look Like Sound Like
z Petugas farmasi kurang (LASA)
teliti
z Belum baiknya penandaan
z Karakter yang tergesa-gesa obat yang memiliki nama
dan kemasan yang mirip
z Kurang mengenali nama obat (LASA)

z Kurang kompetensi

z Tulisan dokter tidak terbaca


Kegagalan Konfirmasi ke
Dokter Penulis Resep
z Petugas salah interpretasi
Prosedur Validasi
tidak jelas
z Informasi tentang obat

z Tidak adanya mekanisme baru kurang memadai


kroscek antar petugas
farmasi

z SOP tidak dijalankan dengan baik z Suhu ruangan kurang


nyaman

METODE SARANA/PRASARANA LINGKUNGAN

Gambar 3b. Kegagalan mendeteksi nama obat

2. Tahap Planning Action dispensing practise yang difokuskan bagi seluruh


Tahap planning action adalah tahap melakukan asisten apoteker RS PKU Muhammadiyah
langkah FMEA yang ke-6 yaitu pada tahap ini Yogyakarta. Design baru yang akan diujicobakan
pengumpulan data dilakukan dengan cara untuk adalah pembuatan SOP tata cara berkomunikasi
melakukan design ulang pada setiap failure mode. dengan dokter, prosedur konfirmasi farmasi ke dokter
Adapun desain ulang yang akan dilakukan adalah penulis resep, prosedur melakukan supervisi
memperbaiki komunikasi dengan dokter yaitu pelayanan farmasi rawat jalan serta pembuatan
dengan dibuatnya SOP komunikasi dengan dokter layout stiker warna penandaan obat. Tahap ini diawali
dan SOP konfirmasi ke dokter untuk resep-resep dengan pembuatan instrumen layout stiker warna
non cito. Standard Operating Procedure (SOP) ini yang berbeda di setiap kelas terapi. Kemudian
diharapkan dapat meminimalkan risiko akan resep dilanjutkan dengan pembuatan SOP komunikasi
yang tidak terbaca, karena dengan SOP ini petugas dengan dokter penulis resep, SOP konfirmasi ke
farmasi dapat segera menghubungi dokter untuk dokter, SOP pelaksanaan supervisi pelayanan
dapat melakukan konfirmasi. Untuk kegagalan dalam farmasi rawat jalan.
mendeteksi nama obat ditetapkan membuat labeling
obat dengan menggunakan stiker warna yang 4. Tahap Evaluasi
berbeda di setiap kelas terapi. Untuk Tahap evaluasi ini dilakukan setelah
pendokumentasian dan pencatatan serta implementasi desain baru yaitu SOP dan penandaan
pemantauan yang baik dibuat SOP pelaksanaan obat. Tahap ini dilakukan observasi tingkat
supervisi pada pelayanan farmasi rawat jalan. keberhasilan desain baru dengan melakukan
Standard Operating Procedure (SOP) ini bertujuan wawancara dengan asisten apoteker untuk
agar pemantauan kejadian kesalahan dapat dideteksi mengetahui apakah dengan penandaan obat tersebut
dengan baik. mengurangi kesalahan dalam hal pengambilan obat
dan mempermudah asisten apoteker dalam
3. Tahap Taking Action pelayanan obat ke pasien. Untuk evaluasi desain
Pada tahap ini dilakukan langkah FMEA yang SOP, dilakukan dengan melihat kepatuhan terhadap
ke-7 adalah uji coba desain yang berfokus pada SOP tersebut apakah dilaksanakan sesuai langkah-
kegagalan dalam konfirmasi ke dokter penulis resep langkah yang ada. Pada evaluasi desain penandaan
dan proses kegagalan dalam mendeteksi nama obat. obat dengan menggunakan stiker warna diperkuat
Uji coba desain ini diawali dengan terlebih dahulu dengan wawancara dengan asisten apoteker. Dari
melakukan sosialisasi kepada supervisor farmasi wawancara dapat ditarik kesimpulan bahwa desain
rawat jalan dan asisten apoteker. Desain ini akan penandaan obat dapat diterima dengan baik, namun
diawali dengan pelatihan dan pencegahan medication pada tahap melakukan adaptasi dengan desain yang
error dan serta melaksanakan pelatihan good baru untuk minggu pertama yaitu membiasakan mata

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011 z 73


Eri Supriyanti, dkk.: Redesign Pelayanan Farmasi ...

dengan warna-warna yang beraneka ragam. Untuk waktu terbatas. 8 Langkah selanjutnya adalah
minggu-minggu selanjutnya asisten apoteker sudah mengidentifikasi failure mode, efek failure mode
terbiasa dengan warna. Kemudian akhir dari tahap yang berpotensi terjadi. Hasil identifikasi sebagai
evaluasi ini adalah berkurangnya angka RPN dari failure mode yang potensial adalah kegagalan dalam
FMEA pada failure mode kegagalan dalam mendeteksi nama obat, kegagalan dalam
komunikasi dengan dokter dan kegagalan dalam mendeteksi jumlah obat, cara penggunaan obat dan
mengambil obat. Adapun hasil RPN evaluasi failure perhitungan dosis. Pada setiap failure mode tersebut
mode setelah dilakukan desain ulang dapat dilihat memiliki efek yaitu pasien akan diberi obat yang
pada Tabel 3. salah, dosis yang salah, pasien akan mendapatkan

Tabel 3. Menetapkan kemungkinan tingkat keparahan dan efek kegagalan setelah


diimplementasikan desain baru pelayanan farmasi rawat jalan
Nilai RPN sebelum Nilai RPN setelah
No Tahapan proses Kegagalan desain baru desain baru Prioritas
OCC SEV DET RPN OCC SEV DET RPN
1. Konfirmasi ke Kegagalan komunikasi 7 7 6 294 7 7 4 196 1
dokter penulis resep dengan dokter
2. Penulis resep Kegagalan dalam 6 6 6 216 6 6 4 144 2
membaca nama obat

PEMBAHASAN jumlah obat yang lebih atau kurang. Melalui curah


Action research pada penelitian redesign pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pada
pelayanan farmasi dengan menerapkan metode setiap proses ternyata memiliki failure mode lebih
FMEA ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan dari satu dan setiap failure mode memiliki satu atau
yang lainnya karena pada action research memiliki lebih efek yang akan didapatkan oleh pasien.
empat siklus yang harus dilakukan secara bertahap, Pada proses penentuan tingkat keparahan dan
di mana setiap siklus selalu melibatkan partisipasi efek kegagalan kepada pasien, hasil dari
aktif dari subyek yang diteliti dalam memperbaiki kesepakatan yang dibuat oleh tim FMEA adalah
sistem dan pengembangan pengetahuan baru. bahwa kegagalan dalam komunikasi ke dokter
memiliki tingkat Risk Priority Number (RPN) tertinggi
1. Tahap Diagnosing yaitu sebesar 294 dengan nilai occurance (sering
Penelitian ini diawali dengan tahap diagnosing tidak terjadi) sebesar 6 yaitu menurut Tim FMEA
yang menurut Campbell disebut sebagai tahap untuk pada satu tahun kejadian untuk kegagalan dalam
memahami perspektif dari para stakeholder. Di komunikasi ke dokter terjadi, namun jarang,
samping itu tahap ini bermanfaat untuk menilai sedangkan untuk tingkat kefatalan dan
baseline situation. 7 Pada tahap diagnosing ini keparahan,tim FMEA memberikan skor 7 dan untuk
dilakukan langkah melakukan redesain pelayanan nilai detectable (mudah dideteksi) tim memutuskan
farmasi dengan metode FMEA yang diawali dengan memberikan skor 6 yaitu kemungkinan terdeteksi
menentukan proses yang berisiko tinggi melalui sedang karena langsung bisa dilihat pada lembaran
workshop. Secara umum hasil kesepakatan resep. Untuk nilai RPN pada proses validasi resep
workshop menunjukkan bahwa pelayanan farmasi yaitu dalam proses kegagalan dalam mendeteksi/
rawat jalan merupakan faktor yang berisiko tinggi membaca nama obat yang berakibat salah
dikarenakan pelayanan yang termasuk menimbulkan pengambilan obat adalah sebesar 216, dengan nilai
komplain yang lebih besar , pelayanannya kompleks occurance adalah 6, saverity sebesar 6 dan
karena terkait satu dengan yang lain, apabila ada detectable sebesar 6. Hal ini senada dengan
kesalahan tidak dapat langsung tertangani karena penelitian yang mengatakan bahwa 88% dari total
kontrol yang rendah,dan bergantung pada faktor kejadian error berupa penyerahan obat yang salah,
petugas farmasi. Hasil kesepakatan workshop ini kesalahan kekuatan obat sebagai akibat dari salah
sejalan dengan karakteristik proses berisiko tinggi ambil.9 Pada tahap melakukan penggalian penyebab
yang dikeluarkan oleh JCAHO yaitu memiliki input dengan metode diagram fish bone, tim menyepakati
yang bervariasi, pelayanan kesehatan cenderung bahwa faktor penyebab dari setiap kegagalan ada
memiliki tahap yang banyak dan kompleksitas yang beberapa faktor yaitu petugas atau SDM, metode
tinggi, kurang standar, prosesnya berkaitan erat, (work method), sarana dan prasarana, material,
bergantung campur tangan manusia, dan memiliki lingkungan. Dari tahap diagnosis ini secara

74 z Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

mengerucut pada intinya adalah mendorong untuk dengan menggunakan electronic prescribing dan
dibuatnya sistem yang baik dalam mendeteksi sistem barcode.
timbulnya medication error dengan menggali lebih Implementasi kegagalan dalam mendeteksi
dalam penyebab terjadinya kegagalan sehingga nama obat: Pada tahap ini dilakukan pembuatan
dapat meminimalkan dan mencegah risiko desain labeling obat dengan menggunakan stiker
kesalahan- kesalahan dalam pelayanan pemberian warna yang berbeda untuk setiap kelas terapi yang
obat di unit farmasi rawat jalan RS PKU ada pada unit pelayanan farmasi rawat jalan. Hal ini
Muhammadiyah Yogyakarta. senada dengan konsep perubahan design
pengelolaan obat-obatan dan anaestesi yang lebih
2. Tahap Planning Action aman banyak diminati peneliti. Royal Collage of
Tim FMEA membuat kesepakatan bahwa untuk Anaesthetist dan Departement of Health UK pada
menurunkan frekuensi kejadian kegagalan dalam tahun 2004 telah berkolaborasi mengusulkan adanya
komunikasi ke dokter adalah dengan memperbaiki standarisasi label warna sesuai standard
komunikasi antar petugas farmasi baik asisten internasional di Inggris untuk obat-obat injeksi
apoteker, apoteker dengan dokter. Untuk itu anestesi. Dari 242 responden rumah sakit di Inggris,
disepakati membuat SOP komunikasi ke dokter 227 (94%) rumah sakit setuju untuk menggunakan
penulis resep, SOP konfirmasi ke dokter untuk resep kode warna dan label terstandar untuk injeksi
non cito. Untuk kegagalan dalam mendeteksi/ anaestesi. Penandaan warna pada golongan obat
mengambil obat tim membuat desain pelebelan injeksi anaestesi secara internasional bisa dibaca
dengan stiker warna pada setiap kelas terapi obat pada standardized colour coding for syringe drug
dengan menggunakan warna-warna yang berbeda, labels. Misalkan induction agents (thiopental)
begitu juga untuk obat-obat yang fase moving. Untuk berwarna kuning, sedatif (midazolam) berwarna
meningkatkan detectable tim membuat SOP oranye, antagonis sedatif (flumazenil) berwarna
pelaksanaan supervisi pelayanan farmasi rawat jalan oranye dengan strip putih, opioid (morphine) berwarna
yang memiliki tujuan melakukan pengawasan setiap dasar biru, dan antagonis opioid (naloxone) berwarna
harinya pada pelaksanaan SOP dan melakukan biru dengan strip putih.10
pengendalian terhadap terjadinya medication error Setelah dilakukan pelabelan sebelum
pada pelayanan farmasi rawat jalan dengan pengukuran untuk melakukan evaluasi, terlebih dahulu
melakukan pengecekan kesesuaian obat dengan dilakukan sosialisasi dan pelatihan good dispensing
resep, memantau obat-obat yang tidak terlayani pada system. Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan
buku laporan obat tentang oabt-obat yang tidak pengetahuan kepada asisten apoteker bagaimana
terlayani, melakukan cek stok obat setiap hari dan melakukan penyiapan obat yang baik dan memberikan
melakukan pemantauan kejadian tidak diharapkan sosialisasi terkait dengan warna-warna labeling obat.
pada buku pelaporan harian KTD. Dari hasil pengamatan desain ini sudah menunjukkan
dapat meminimalkan kesalahan. Hal ini terlihat pada
3. Tahap Taking Action dari 100 resep yang diamati untuk minggu pertama,
Implementasi desain kegagalan dalam 15 kali kesalahan pengambilan obat, untuk minggu
berkomunikasi dengan dokter: Tahap ini dilakukan ke-2 dan ke-3 sudah tidak ada kesalahan.
dengan menerapkan SOP bagaimana berkomunikasi Implementasi SOP pelaksanaan supervisi
yang baik dengan dokter dengan terlebih dahulu pelayanan farmasi rawat jalan: SOP pelaksanaan
memberikan pelatihan pentingnya pencegahan supervisi pelayanan farmasi rawat jalan ini digunakan
medication error kepada asisten apoteker, dan untuk mendetesi setiap adanya kesalahan dalam
dilanjutkan dengan melatih bagaimana pelayanan farmasi rawat jalan. Melalui pelaksanaan
berkomunikasi dengan baik dengan melakukan SOP supervisi harian diharapkan pendokumentasian dapat
cara berkomunikasi dengan baik. Dari pengamatan dilakukan dengan baik dan memberikan pencatatan
desain SOP sudah mulai terlihat dapat yang baik. Pendokumentasian unit farmasi rawat
meminimalkan risiko kegagalan dalam jalan masih tidak baik, diharapkan dengan adanya
berkomunikasi dengan dokter karena dari 50 resep supervisi harian dapat memberikan pelaporan yang
yang diamati tidak ada yang gagal dalam melakukan tersistem. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang
konfirmasi, untuk 5 resep yang tidak dapat terbaca, mengatakan dokumentasi tentang kejadian yang
dapat langsung dikonfirmasi tanpa ada hambatan. tidak diharapkan secara umum berpengaruh terhadap
Namun menurut peneliti, yang lebih efektif dalam kualitas data, sehingga perbaikan sistem pencatatan
meminimalkan terjadinya resep yang tidak terbaca insiden sangat penting.11
atau meminimalkan konfirmasi ke dokter adalah

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011 z 75


Eri Supriyanti, dkk.: Redesign Pelayanan Farmasi ...

4. Tahap Evaluation Action berwarna oranye dengan strip putih, opioid (morphine)
Adapun hasil yang didapatkan untuk failure berwarna dasar biru, dan antagonis opioid (naloxone)
mode kegagalan dalam berkomunikasi dengan berwarna biru dengan strip putih. Prinsip ini
dokter RPN awal memiliki nilai 294, setelah adanya mengadopsi pewarnaan yang digunakan pada obat-
intervensi desain nilai RPN menjadi 196. Kegagalan obat injeksi anaestasi yang telah terstandar
dalam mendeteksi nama obat RPN awal memiliki internasional dan telah diterapkan di Amerika serikat,
nilai 216, setelah adanya intervensi desain nilai RPN Canada, New Zealand, dan Australia.13
menjadi 144. Kesepakatan tim FMEA dalam
workshop, evaluasi terakhir menyepakati bahwa nilai KESIMPULAN DAN SARAN
occurance belum bisa diturunkan dikarenakan belum Kesimpulan
memberikan penurunan yang signifikan dan hanya Pada penelitian ini desain yang diterapkan dapat
dilakukan selama 1 pekan pengukuran dengan 50 meminimalkan kesalahan dalam mendeteksi nama
sampel resep. Namun, beberapa tim mengatakan obat dan mengurangi kegagalan berkomunikasi
occurance sudah dapat diturunkan menjadi 6 untuk dengan dokter.
kegagalan dalam komunikasi ke dokter yang pada
awalnya nilai occurance 7, dengan pertimbangan Saran
dengan 50 sampel resep, 5 kali resep dikonfirmasi Membuat standar baku mengenai pola
ke dokter karena tidak terbaca, dan dokter langsung hubungan kesejawatan antara sesama tenaga profesi
bisa di hubungi. Jadi sebenarnya tidak terjadi yaitu apoteker dan dokter untuk meningkatkan
kegagalan konfirmasi. Pada akhir kesepakatan tim komunikasi. Standar baku tersebut mengatur
memutuskan tidak dapat diturunkan. Untuk nilai bagaimana sistem yang baik berkomunikasi antar
detecteble dapat dinaikkan dari 7 menjadi 4. sesama tenaga profesi.
Kesimpulannya tim menyepakati dengan desain baru
mempermudah melakukan deteksi dengan cepat KEPUSTAKAAN
dan baik. Hal ini senada untuk kegagalan dalam 1 Anacleto TA, Perini E, Rosa MB, Cesar CC. Drug
mendeteksi nama obat, tim menyepakati untuk dispensing error in the hospital pharmacy, J Clin
occurance tidak dapat diturunkan tetap pada nilai 6, Sci, 2007; 62(3):243-50.
detectabele dari 6 menjadi 4. Untuk saverity tim 2 Nelson KM, Talbert RL. Drug Related Hospital
memberikan nilai yang tetap dengan alasan saverity Admission Pharmacoterapy, 1996. Available
tidak dapat turun karena yang diintervensi adalah from: < http//www.hcp.nlm.nih.gof/pubmed/
sistem pelayanan pemberian obatnya. Jika terjadi 8840382> Diakses pada 31 Juli 2009.
kesalahan akan tetap berefek sama kefatalannya 3 Anonim. Laporan Kejadian Tak Diinginkan Unit
kepada pasien. Untuk nilai saverity pendapat tim tidak Farmasi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta
senada dengan literatur mengatakan bahwa nilai Tahun 2004-2005, Tim Keselamatan Pasien RS
saverity dapat turun atau berubah sesuai dengan PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Unpublished,
skenario desain yang akan diintervensi. Yogyakarta. 2006
Menurut peneliti desain yang lebih efektif untuk 4 Sharon, Cornrow, Comden, Carley MM, Marx
meningkatkan detectable adalah dengan D, Young J. Risk Models to Improve Long-Term
menambahkan pelabelan warna yang berbeda Care Medication Safety, ASQ, World Conference
dengan membuat koding pada setiap jenis obat. Jadi on Quality Improvement Proceedings, ABI/
dapat dicontohkan untuk antibiotik menggunakan Informal Global. 2004
warna merah (A) dengan amoxixilin codingnya (A.1), 5 Institute for Healtcare Improvement (IHI) Intensive
amoxan codingnya (A.2) dan seterusnya. Hal ini Safety Effort Cuts Falls, Ulcers, and Drug Errors
sesuai dengan Institute for Healthcare Improvement at Once Disgraced FL Hospital. Clinical
(IHI) dalam Institute for Safe Medication Practices12 Resource Management. 2000; Oct 1(10):148-51.
mengenai Color Coding: Best Practices for Labeling 6 Greenwood DJ, Levin M. Introduction to Action
of Intravenous Lines for Patients with Multiple Research: Social Research for Social Change,
Simultaneous Infusions. Selain itu perlu dilakukan Sage Publication, London. 1998.
perbaikan penggunaan warna. Obat-obat yang 7 Campbell SM, Brasbenning I, Hutchinson A,
berlawanan efek farmakologinya memiliki warna yang Marshall M. Research Methods Used in
sama tetapi dibedakan dengan strip pada efek Developing and Applying Quality in Indicators
antagonisnya. Misalkan sedatif (midazolam) in Primary Care, Qual. Saf. Health Care.
berwarna oranye, antagonis sedatif (flumazenil) 2002;11:358-64.

76 z Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

8 Joint Commision on Accreditation of Healthcare 11 Perneger R, MacKinnon NJ, David U, Hartnell


Organization. Failure Mode and Effect Anallysis NR, Levy AR, Gurnham ME, Nguyen TT.
in Health Care, Proactive risk reduction, Joint Development of Canadian Safety Indicator for
Commission Resources, Oakbrook. 2005. Medication Use, Healtcare Quarterly. 2008;
9 Kohn LT, Corrigan JM, Donaldson MS. To Err is 11,Special Isseu:47-53.
Human: Building A Safer Health System, National 12 Valley H, Pennsylvania. Color Coding: Best
Academy Press, Washington D.C. 1999. Practices for Labeling of Intravenous Lines for
10 Institute for Healthcare Improvement (IHI). Color Patients with Multiple Simultaneous Infusions,
Coding:pBest Practices for Labeling of Institute for Safe Medication Practices (ISMP),
Intravenous Lines for Patients with Multiple USA. 2008.
Simultaneous Infusions dalam Institute for Safe 13 Christie IW, Hill MR. Standardized Colour Coding
Medication Practices. 2009;Oct 1(10):148-51. for Syringe Labels: a National Survey. 2004.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011 z 77

Anda mungkin juga menyukai