Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious
disease).Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae,
yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil,
nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan
difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh
karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 %
kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama
permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari
kematian bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat
penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan
sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan
buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT
(Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin
imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan
tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan
vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran
pernafasan ini
Tonsilitis atau yang lebih sering dikenal dengan amandel adalah massa yang
terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus
didalamnya, bagian organ tubuh yang berbentuk bulat lonjong melekat pada kanan
dan kiri tenggorok. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil
palatina, dan tonsil faringeal yang membentuk lingkaran yang disebut cincin
waldeyer.
Tonsil adalah salah satu jaringan limfoid pada tubuh manusia selain kelenjar limfe,
limpa, timus, adenoid, apendiks (usus buntu), agregat jaringan limfoid di lapisan
dalam saluran pencernaan yang disebut bercak Peyer atau gut associated lymphoid
tissue (GALT), dan sum-sum tulang. Jaringan limfoid mengacu secara kolektif pada
jaringan yang menyimpan, menghasilkan, atau mengolah limfosit. Limfosit yang
menempati tonsil berada di tempat yang strategis untuk menghalang mikroba-
mikroba yang masuk melalui inhalasi atau dari mulut (Sherwood, 2001). Tonsilitis
sendiri adalah inflamasi pada tonsila palatine yang disebabkan oleh infeki virus atau
bakteri. Saat bakteri dan virus masuk ke dalam hidung atau mulut. Tonsil berfungsi
sebagai filter / penyaring yang menyelimuti biota yang berbahaya tersebut dengan
sel-sel darah putih. Tetapi bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri
atau virus tersebut maka akan timbul tonsilitis. Dalam beberapa kasus ditemukan 3
macam tonsillitis, yaitu tonsillitis akut, tonsilitis membranosa, dan tonsilitis
kronis. Oleh karena itu penting bagi perawat untuk mempelajari patofisiologi dari
tonsilitis, manifestasi klinis, prosedur diagnostik dan asuhan keperawatan yang
komprehensif pada klien tonsilitis beserta keluarganya
Pneumonia merupakan penyakit yang sering terjadi dan setiap tahunnya
menyerang sekitar 1% dari seluruh penduduk Amerika. Meskipun sudah ada
kemajuan dalam bidang antibiotic, pneumonia tetap merupakan penyebab keatian
keenam di Amerika Serikat.Pneumonia sering terjadi pada anak usia 2 bulan – 5
tahun, pada usia dibawah 2 bulan pneumonia berat ditandai dengan frekuensi
pernafasan sebanyak 60 kali/menit juga disertai penarikan kuat pada dinding dada
sebelah bawah kedalam.
Pada usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, frekuensi pernafasan sebanyak
50 kali/menit dan pada usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun frekuensi
pernafasan sebanyak 40 kali/menit.Pneumonia berat ditandai dengan adanya gejala
seperti anak tidak bisa minum atau menetek, selalu memuntahkan semuanya,
kejang dan terdapat tarikan dinding dada kedalam dan suara nafas bunyi krekels
(suara nafas tambahan pada paru) saat inspirasi.
Kasus terbanyak terjadi pada anak dibawah 3 tahun dan kematian terbanyak pada
bayi yang berusia kurang dari 2 bulan. Apabila anak diklasifikasikan menderita
pneumonia berat di puskesmas atau balai pengobatan, maka anak perlu segera
dirujuk setelah diberi dosis pertama antibiotik yang sesuai. Munculnya orhanisme
nosokomial, yang resisten terhadap antibiotic, ditemukannya organism- organisme
baru (seperti Legionella), bertambahnya jumlah pejamu yang lemah daya tahan
tubuhnya dan adanya penyakit seperti AIDS semakin memperluas spectrum dan
derajat kemungkinan penyebab-penyebab pneumonia, dan ini juga menjelaskan
mengapa pneumonia masih merupakan masalah kesehatan yang mencolok.
B. Rumusan masalah?
1. Apa konsep dasar difteri?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak difteri?
3. Apa konsep dasar tonsillitis?
4. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak tonsillitis
5. Apa konsep dasar pneumonia?
6. Bagaimanaasuhan keperawatan pada anak pneumonia?
C. Tujuan
Mahasiswa mendapat gambaran dan pengalaman tentang penetapan proses asuhan
keperawatan secara komprehensif terhadap klien difteri, tonsillitis, Pnemonia
Tujuan Khsusus
1. Untuk mengetahui konsep dasar penyakit difteri
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada anak difteri
3. Untuk mengetahui konsep dasar tonsillitis
4. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada anak tonsillitis
5. Untuk mengetahui konsep dasar pneumonia
6. Untuk mengethahui suhan keperawatan pada anak pnemonia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Difteri
1. Definisi
Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheria, suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini ditandai
dengan sakit tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan ditemukan
pseudomembran pada tonsil, faring, dan / atau rongga hidung. Difteri adalah
penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung atau droplet dari penderita.
Pemeriksaan khas menunjukkan pseudomembran tampak kotor dan berwarna
putih keabuan yang dapat menyebabkan penyumbatan karena peradangan tonsil
dan meluas ke struktur yang berdekatan sehingga dapat menyebabkan bull neck.
Membran mudah berdarah apabila dilakukan pengangkatan.
Menurut beberapa para ahli pengertian difteri adalah sebagai berikut: Difteri
adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik (racun)
Corynebacterium diphteriae. (Iwansain.2008).
Difteri adalah infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae dengan bentuk basil batang gram positif
(Jauhari,nurudin. 2008).
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun
Corynebacterium diphteriae. (Fuadi, Hasan. 2008).
Jadi kesimpulannya difteri adalah penyakit infeksi mendadak yang disebabkan
oleh kuman Corynebacterium diphteriae
Komplikasi dari difteri dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, miokarditis,
paralisis otot palatum, otitis media dan juga dapat menyebar ke paru-paru
menyebabkan pneumonia. Pencegahan dengan melakukan imunisasi, pengobatan
karier, dan penggunaan APD.
Grafik 1. Perkembangan difteri di Indonesia mulai 2010-2017

Grafik 2. Case fatality rate berdasarkan kelompok umur


2. Etiologi
Penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan
melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri ini
berkembangbiak pada atau disekitar selaput lender mulut atau tenggorokan dan
menyebabkan peradangan. Pewarnaan sediaan langsung dapat dialkuakan dengan
biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung
dari lesi.
Menurut Staf Ilmu Kesehatan Anak FKUI dalam buku kuliah ilmu kesehatan
anak, sifat bakteri Corynebacterium diphteriae :
a) Gram positif
b) Aerob
c) Polimorf
d) Tidak bergerak
e) Tidak berspora
Disamping itu bakeri ini dapat mati pada pemanasan 60º C selama 10
menit, tahan beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah
mengering.Terdapat tiga jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas
dasar perbedaan bentuk koloni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium
telurit. Basil Difteria mempunyai sifat:
a) Mambentuk psedomembran yang sukar dianggkat, mudah berdarah, dan
berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena.terdiri dari fibrin,
leukosit, jaringan nekrotik dan kuman.
b) Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan
setelah beberapa jam diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang
khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf.
3. Patofisiologi
Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas
terutama bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain.Selain itu
dapat juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat
tersebut basil membentuk pseudomembran dan melepaskan
eksotoksin.Pseudomembran timbul lokal kemudian menjalar kefaring, tonsil, laring,
dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening sekitarnya akan membengkak dan
mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan menyebabkan
miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralysis
terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada
hati dan ginjal, yang dapat menimbulkan nefritis interstitialis. Kematian pasien
difteria pada umumnya disebabkan oleh terjadinya sumbatan jalan nafas akibat
pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena miokardititis, atau
gagal nafas akibat terjadinya bronkopneumonia.
Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi
dapat juga melalui perantaraan alat atau benda yang terkontaminasi oleh kuman
difteria.Penyakit dapat mengenai bayi tapi kebayakan pada anak usia balita.
Penyakit Difteria dapat berat atau ringan bergantung dari virulensi, banyaknya basil,
dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan hanya berupa keluhan sakit menelan dan
akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan pada anak jika daya tahan
tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien datang berobat sering dalam keadaan
berat seperti telah adanya bullneck atau sudah stridor atau dispnea. Pasien difteria
selalu dirawat dirumah sakit karena mempunyai resiko terjadi komplikasi seperti
mioarditis atau sumbatan jalan nafas (Ngastiyah, 1997).
Menurut Iwansain,2008 secara sederhana pathofisiologi difteri yaitu :
1. Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat
juga pada vulva, kulit, mata.
2. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.
Pseudomembran timbul lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas
atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin.
3. Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya
miokarditis dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.
4. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring
dan trakea dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.
4. Manifestasi klinis
Tergantung pada berbagai faktor, manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari
tanpa gejala sampai keadaan berat dan fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas
pejamu, virulensi serta toksigenitas C. diphteriae (kemampuan kuman membentuk
toksin) dan lokasi penyakit secara anatomis. Difteria mempunyai masa tunas 2-6
hari. Berikut ini adalah beberapa jenis difteri menurut lokasinya.
a) Difteri saluran napas
Fokus infeksi primer yang sering, yaitu pada tonsil atau pharynx kemudian
hidung dan larynx. Infeksi dari nares anterior lebih sering terjadi pada bayi,
menyebabkan sekret serosanguinis, purulen, dan rhinitis erosiva dengan
pembentukan membran. Ulkus dangkal dari nares eksternal dan bibir atas
merupakan tanda khas. Pada difteria tonsilar dan pharyngeal, sakit tenggorokan
merupakan gejala yang pertama kali muncul. Separuh pasien memiliki gejala
demam dan sebagian lagi mengeluhkan disfagia, suara serak, malaise atau sakit
kepala. Injeksi pharyngeal ringan diikuti dengan pembentukan membran tonsilar
baik uni maupun bilateral yang bisa meluas ke uvula (bisa mengakibatkan paralisis
yang dimediasi oleh toksin), palatum molle, oropharynx posterior, hypopharynx,
atau area glotis.
b) Difteri hidung
Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek,
kemudian secret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari
pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat mencapai faring dan laring.
Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold dengan gejala pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi
serosanguinus dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan
bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.
Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga
diagnosis lambat dibuat.
c) Difteri tonsil dan faring (Difteri Fausial)
Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa
penderita akibat gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin ringan
tanpa pembentukan pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan
imunitas pada penderita. Pada kondisi yang lebih berat diawali dengan radang
tenggorokan dengan anoreksia, malaise, demam ringan. Dalam 1-2 hari kemudian
timbul membran yang mudah berdarah, melekat, berupa bercak putih keabu-abuan
yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring dapat menutup tonsil dan dinding
faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea,
nafas berbau, dan ada pembengkakan regional leher tampak seperti leher sapi
(bull’s neck) bisa dikarenakan terjadnyi limfadenitis servikalis dan submandibular,
bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas
sehingga timbul bullneck. Dapat terjadi sakit saat menelan, dan suara serak serta
stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring.
Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas
membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan dan sirkulasi,
paralisi palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan
regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur dan bisa disertai
penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan, membran akan terlepas dalam
7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
d) Difteri laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada difteria
laring gejala toksik kurang jika dibandingkan difteri faring karena mukosa laring
mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga
gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala gangguan nafas berupa
suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat timbul sesak nafas hebat,
sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Ada bull’s neck, laring
tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi oleh
pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali perlu dilakukan
trakeostomi sebagai pertolongan pertama.
e) Difteri kulit
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada
dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteria kulit merupakan infeksi
nonprogresif yang ditandai dengan ulkus superfisial, ektima, indolent dengan
membran coklat kelabu di atasnya, sulit dibedakan dengan impetigo akibat
Stapyllococcus/ Streptococcus dan biasanya bersamaan dengan infeksi kulit ini. Pada
banyak kasus infeksi, difteri merupakan infeksi sekunder pada dermatosis, laserasi,
luka bakar, tersengat atau impetigo. Ekstremitas lebih sering terkena daripada leher
atau kepala. Infeksi simtomatik atau kolonisasi kuman di traktus respiratorius
dengan komplikasi toksin terjadi pada sebagian kecil penderita difteria kulit.
f) Difteri pada tempat lain
C. diphteriae dapat menyebabkan infeksi mukokutaneus pada tempat lain,
seperti di telinga (otitis eksterna), mata (purulen dan ulseratif konjungtivitis) dan
traktus genitalis (purulen dan ulseratif vulvovaginitis). Difteria pada mata dengan
lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.
Pada vagina berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan
membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri,
luka yang terjadi justru tidak terasa apa-apa.
Menurut tingkat keparahannya, Staff Ilmu Kesehatan Anak FKUI membagi
penyakit ini menjadi 3 tingkat yaitu :
a) Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan
gejala hanya nyeri menelan.
b) Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding
belakang rongga mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
c) Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan anggota
gerak) dan nefritis (radang ginjal).
5. Penatalaksanaan Medis
Tata laksana terdiri dari penggunaan antitoksin spesifik dan eliminasi
organisme penyebab. Tujuan pengobatan penderita difteria adalah meng- inaktivasi
toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit
yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya, pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan
serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas
serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
Khusus
1. Antitoksin: Anti difteri serum (ADS).
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria, dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan
uji kulit atau uji mata terlebih dahulu. Pemberian ADS dapat terjadi reaksi
anafilaktik sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji
kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 mL ADS dakam larutan garam fisiologis
1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.
Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam
fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20
menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit
atau mata positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji
hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara
drip/intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit
dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien. Pemberian ADS intravena
dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan
terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian
antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya
reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi
toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin (40-50 mg/kgBB/hari, dosis
terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram per hari), Penisilin V Oral 125-
250 mg, 4 kali sehari, kristal aqueous pensilin G (100.000 – 150.000 U/kg/hari, dosis
terbagi setiap 6 jam IV atau IM), atau Penisilin prokain (25.000-50.000 IU/kgBB/hari,
dosis terbagi setiap 12 jam IM). Terapi diberikan untuk 14 hari. Pada pasien yang
dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
Beberapa pasien dengan difteria kutaneus sembuh dengan terapi 7-10 hari.
Eliminasi bakteri harus dibuktikan dengan setidaknya hasil 2 kultur yang negatif dari
hidung dan tenggorokan (atau kulit) yang diambil 24 jam setelah terapi selesai.
Terapi dengan eritromisin diulang apabila hasil kultur didapatkan C. diphteriae.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat
membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu.
Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan
trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot,
dapat diberikan strikin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.
4. Pengobatan penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap
baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan
indikasi tindakan trakeostomi.
5. Pengobatan kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti
setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi
harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid
difteria.
6. Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluh- an, mempunyai uji
Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan
yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/iv atau eritromisin 40
mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/
adenoidektomi.
7. Upaya Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya, setelah seorang
anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga
perlu imunisasi. Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan
pengobatan karier.
Imunitas pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap
difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama 2-3
minggu. Imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau
inapparent infection serta imunisasi toksoid difteria. Imunisasi DPT sangat penting
untuk mempertahankan kadar antibodi tetap tinggi diatas ambang pencegahan dan
imunisasi ulangan sangat diperlukan agar lima kali imunisasi sebelum usia 6 tahun.
Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan uji Schick dan uji Moloney.
Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan imunisasi primer DPT tiga kali
dengan interval masing-masing 4-6 minggu. Apabila imunisasi belum lengkap segera
dilengkapi (lanjutkan dengan imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu diulang),
dan yang telah lengkap imunisasi primer (<1 tahun) perlu dilakukan imunisasi DPT
ulangan umur 18 bulan dan 5 tahun.
• DPT-HB-Hib untuk anak usia <5 tahun
• DT untuk anak usia 5 tahun sampai <7 tahun
• Td untuk usia 7 tahun keatas
Test kekebalan:
• Schick test : Menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap difteri. Tes
dilakukan dengan menyunti- kan toksin difteri (dilemahkan) secara intrakutan. Bila
tidak terdapat kekebalan antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test
positif.
• Moloney test : Menentukan sensitivitas terhadap produk kuman difteri. Tes
dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid diphtheri toxoid secara suntikan
intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema >10 mm. Ini berarti
bahwa :
1. Pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas.
2. Pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.
B. Asuhan Keperawatan Difteri pada Anak
1. Pengkajian
a) Biodata
1. Umur : Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang
ditemukan pada bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15
tahun
2. Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin
3. Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman
yang rapat-rapat, higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang
b) Keluhan Utama
Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala,
anoreksia, lemah
c) Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala,
anoreksia
d) Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan
saluran nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
f) Pola Fungsi Kesehatan
I. Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan adanya anoreksia
II. Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
III. Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur
IV. Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan
nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia
g) Pemeriksaan fisik
Pada diptheria tonsil – faring:
a. Malaise
b. Suhu tubuh < 38,9 º c
c. Pseudomembran ( putih kelabu ) melekat dan menutup tonsil dan
d. dinding faring
e. Bulneck
Pada Diptheriae laring:
a. Stridor
b. Suara parau
c. Batuk kering
d. Pada obstruksi laring yang berat terdpt retraksi suprasternal,
sub costal dan supraclavicular
Pada Diptheriae hidung:
a. Pilek ringan
b. Sekret hidung serosanguinus mukopurulen
c. Lecet pada nares dan bibir atas
d. Membran putih pada septum nasi.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis cepat harus segera dilakukan berdasarkan gejala klinis, laboratorium
(swab tenggorok, kultur, atau PCR) untuk penanganan lebih awal. Diagnosis difteria
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium. Ditemukan kuman
difteria dengan pewarnaan Gram secara langsung kurang dapat dipercaya. Cara
yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara flourescent antibody technique,
tetapi untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C. diphteriae
dengan pembiakan pada media Loeffler atau dengan media baru Amies dan Stewart
dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek).
Diagnosa yang dapat timbul ialah :
1. Pola nafas napas tidak efektif b/d edema laring.
2. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia.
3. Nyeri akut b/d proses inflamasi.
3. Intervensi Keperawatan

NO DX TUJUAN INTERVENSI RASIONAL

1 I Setelah dilakukan 1. Observasi tanda- 1. Untuk


tindakan tanda vital. mengetahui
keperawatan tentang 2. Posisikan pasien keadaan umum
terapi oksigen selama semi fowler. klien
1x24 jam diharapkan 3. Anjurkan pasien 2. Agar pasien
pola nafas kembali agar tidak terlalu merasa lebih
normal. banyak bergerak nyaman
Kriteria Hasil : 4. Kolaborasi dengan 3. Agar sesak tidak
a. Frekuensi tim medis dalam bertambah
pernafan pemberian terapi 4. Mempertahankan
dibawah batas oksigen. kebutuhan oksigen
normal yang maksimal dari
b. Irama nafas pasien
sesuai dengan
yang diharapkan
c. Pengeluaran
sputum pada
jalan nafas
d. Tidak ada suara
nafas tambahan
e. Bernafas mudah
f. Tidak dispnea
2 II Setelah dilakukan 1. Monitor intake 1. Untuk
tindakan kalori dan kualitas mengetahui
keperawatan selama konsumsi pemasukan/intake
1x24 jam nutrisi klien makanan. makanan.
dapat terpenuhi. 2. Berikan porsi kecil 2. Makanan porsi
Kriteria Hasil : dan makanan kecil mudah
a. Klien dapat lunak/lembek. dikonsumsi oleh
mengetahui 3. Berikan makan klien dan mencegah
tentang penyakit sesuai dengan terjadinya
yang dideritanya. selera. anoreksia.
b. Adanya minat 4. Timbang BB tiap 3. Meningkatkan
dan selera hari. intake makanan.
makan. 4. Mengetahui
c. Porsi makan kurangnya BB dan
sesuai kebutuhan efektifitas nutrisi
d. BB meningkat yang diberikan.
3 III Setelah dilakukan 1. Lakukan 1. Untuk
tindakan pengkajian nyeri mengetahui lokasi
keperawatan selama secara nyeri dan derajat
1x24 jam diharapkan menyeluruh nyeri, sehingga
nyeri berkurang atau meliputi lokasi, dapat dilakukan
hilang. durasi, frekuensi, pengobatan yang
Kriteria Hasil : kualitas, tepat.
a. Pasien dapat keparahan nyeri 2. Agar dapat
mengatakan dan faktor mengetahui tingkat
nyeri yang pencetus nyeri. nyeri pada klien.
dirasakan 2. Observasi 3. Relaksasi dapat
b. Nyeri berkurang ketidaknyamanan merelaksasikan
c. Wajah tidak nonverbal. otot-otot sehingga
meringis 3. Ajarkan untuk nyeri dapat
d. Skala nyeri menggunakan berkurang dan klien
berkurang (0-2) teknik non bisa rileks.
e. TTV normal farmakologi, misal 4. Lingkungan yang
relaksasi, guided tenang dapat
imageri, terapi menjadikan klien
musik dan mudah istirahat.
distraksi. 5. Agar nyeri
4. Kendalikan faktor berkurang dan klien
lingkungan yang cepat sembuh.
dapat
mempengaruhi
respon klien
terhadap
ketidaknyamanan
misalh suhu,
lingkungan,
cahaya, dan
kegaduhan.
5. Pemberian
analgetik sesuai
indikasi

Implementasi
4. Evaluasi

C. Pendidikan Kesehatan tentang Difteri


A. Konsep dasar Tonisilis
1) Definisi/ Pengertian
Tonsilitis adalah massa jaringan limfoid yang terletak di rongga faring. Tonsil
menyaring dan melindungi saluran pernafasan serta saluran pencernaan dari invasi
organisme patogen dan berperan dalam pembentukan antibodi. Meskipun ukuran
tonsil bervariasi, anak-anak umumnya memiliki tonsil yang lebih besar daripada
remaja atau orang dewasa. Perbedaan ini dianggap sebagai mekanisme
perlindungan karena anak kecil rentan terutama terhadap ISPA. (Wong, 2008 : 940)

Jika sering trinfeksi, tonsil dapat menjadi sumber infeksi. Dengan berulangnya
infeksi, jaringan limfoid dapat menjadi hipertrofi atau mengecil dan fibrotik. Karena
itu tonsil pada anak yang lebih tua dapat besar atau kecil. Dengan adanya tonsilitis
berulang, seringkali jaringan limfoid tonsil membesar. Kadang-kadang, meskipun
jarang, pembesaran tonsil menyebabkan obstruksi pada waktu bernapas, terutama
malam hari. Kemudian terjadi serangan apnea yang dapat berlanjut terus. Juga
terjadi pembesaran adenoid. Pada keadaan ini, aliran udara tersumbat dan anak
kemudian bernapas dengan mulut. Juga, karena tuba Eustasius tersumbat, dapat
terjadi otitis media atau glue ear, menyebabkan tuli. (Jhon Rendle-Short,
1994 :205)

Infeksi akut saluran nafas bagian atas pada anak-anak merupakan hal yang
sering dijumpai oleh dokter umum. banyak terdapat antara pengobatan dengan
operasi dan pengobatan medikamentosa pada penyakit-penyakit ini, karena baik
pengobatan medikamentosa ataupun pengobatan dengan operasi ditentukan oleh
perubahan fisiologis yang terjadi selama masa pertumbuhan anak. Sangat diketahui
lebih dalam mengenai fisiologi tonsil dan adenoid. Tonsil dan adenoid membentuk
cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan yang
dikenal sebagai cincin waldeyer. Bagian-bagian lain cincin ini dibentuk oleh tonsil
lidah dan jaringan limfe di mulut tuba eustachii. Kumpulan jaringan ini pada pintu
masuk saluran nafas dan saluran pencernaan, melindungi anak terhadap infeksi
melalui udara dan makanan. Seperti halnya jaringan-jaringan limfe yang lain,
jaringan limfe pada cincin waldeyer menjadi hipertrofi pada masa anak-anak dan
menjadi atrofi pada masa pubertas. Karena
kumpulan jaringan ini berfungsi sebagai suatukesatuan, maka pada fase
aktifnya, pengangkatan suatu bagian jaringan tersebut menyebabkan hipertrofi sisa
jaringan. Tonsil-tonsil dan adenoid ukurannya kecil pada waktu lahir. Selama masa
anak-anak keduanya mengalami hipertrofi fisiologis, adenoid pada umur 3 tahun,
dan tonsil pada usia 5 tahun. Karena adenoid membesar, terbentuk pernafasan
melalui mulut, tonsil akibatnya menghadap udara inspirasi, sehingga tonsil
membesar. Pada umur 5 tahun, anak mulai sekolah dan lebih terbuka kesempatan
untuk terinfeksi dari anak yang lain. Hal ini juga menyebabkan tonsil membesar.
Setiap usia 5 tahun kedua struktur ini menciut, tetapi tonsil membesar lagi pada
usia 10 tahun. Kedua struktur ini akirnya mengalami atrofi pada usia pubertas,
adenoid menghilang keseluruhannya, sedangkan tonsil-tonsil menjadi sangat kecil.
(R. Pracy, J siegler, P.M. Stell, 1983 : 114)

2) Etiologi
Tonsilitis sering terjadi bersama faringitis karena banyaknya jaringan limfoid
dan sering terjadi ISPA. Tonsilitis merupakan penyebab morbiditas yang banyak
terjadi pada anak kecil. Agens penyebabnya adalah dapat berupa virus atau bakteri.
(Wong, 2008 : 940)
Menurut Adams George (1999) Tonsilitis bakterialis supuralis akut. paling
sering disebabkan oleh streptokokus beta hemolitikus grup A.
- Pneumococcus
- Staphilococcus
- Haemalphilus influenza
- Kadang streptococcus non hemoliticus atau streptococcus viridens.
Menurut Iskandar N (1993) Bakteri merupakan penyebab pada 50 % kasus.
- Streptococcus B hemoliticus grup A
- Streptococcus viridens
- Streptococcus pyogenes
- Staphilococcus
- Pneumococcus
- Virus
- Adenovirus
- ECHO
- Virus influenza serta herpes

Menurut Medicastore Firman S (2006) Penyebabnya adalah infeksi bakteri


streptococcus atau infeksi virus. Tonsil berfungsi membantu menyerang bakteri dan
mikroorganisme lainnya sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi. Tonsil bisa
dikalahkan oleh bakteri maupun virus, sehingga membengkak dan meradang,
menyebabkan tonsillitis.

3) Patofisiologi

Menurut Iskandar N (1993), patofisiologi tonsillitis yaitu :Kuman menginfiltrasi


lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan
reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear.
Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang
disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang
terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis lakunaris, bila
bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsillitis lakonaris.
Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu
(Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang
berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut
sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus,
proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengkapan
dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfe submandibula.

4) Tanda dan Gejala

Nyeri tenggorokan atau nyeri menelan ringan, yang menghebat waktu


serangan akut
Kadang rasa benda asing di tenggorokan dan mulut berbau
- Badan lesu
- nafas menurun
- sakit kepala
- Obstruksi nasi
- sering pilek-pilek
- telinga rasa buntu/ pendengaran kurang (oklsusi tuba/atitis media)
- tenggorokan terasa kering
- nyeri pada tenggorok yang makin hebat untuk menelan karena sakitnya anak
tidak mau makan
- Nyeri yang hebat itu sering memancar ke telinga disebut referred pain
- Panas badan sangat tinggi
- Nyeri kepala
- Muntah
- Pada pemeriksaan tonsil membesar dengan permukaan tidak rata
- kriptus membesar dan terisi detritus
- Nyeri abdomen
- Pucat
- Letargi
- Disfagia (sakit saat menelan)
- Suara serak
- sakit pada otot dan sendi
(pedoman diagnosis dan terapi, 1988 : 33,36)

5) Penatalksanaan Medis

Penderita dengan daya tahan tubuh cukup baik, penyakit akan sembuh sendiri
dan cukup dengan :
1. Istirahat
2. Makan lunak
3. Analgetika, antiperetika
4. Gargarisma kan
a. Penatalaksanaan tonsilitis akut
- Antibiotik
Golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur atau obat isap
dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau klindomisin.
Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk
mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik. Umumnya serangan
tonsillitis akibat virus dapat tanpa antibiotika. Antibiotika diberikan apabila : tidak
ada perbaikan setelah diobati secara penatalaksanaan untuk selama dua hari dan
demamnya tetap tinggi. Dan kedua bila penyebabnya adalah kuman steptokokus
hemolitikus.
Penisilin masih merupakan obat yang cocok untuk tonsillitis akut. Sebaiknya
diberikan intramuskuler dengan dosis 250.000 unit tiap 6 jam. Dosis oral 125 mg
tiap 6 jam selama 5 hari agar tidak mudah residif. Tetrasiklin tidak berkasiat lagi
terhadap streptokokus hemolitikus karena itu sebaiknya tidak diberikan lagi. (R.
Pracy, J siegler, P.M. Stell, 1983 : 117)
Selain itu jenis anti biotik yang dapat diberikan juga yaitu Eritromisin 25-50 mg/kg.
BB dibagi dalam 3-4 x sehari, selama 5 hari, Ampisilin, 25-50 mg/kg. BB bagi dalam
3-4 x sehari, selama 5 hari (pedoman diagnosis dan terapi, 1988 : 33,36)
- Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari komplikasi
kantung selama 2-3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3x negatif.
- Pemberian antipiretik.
b. Penatalaksanaan tonsilitis kronik
- Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur / hisap.
- Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi
konservatif tidak berhasil.
c. Operasi tonsilektomi/ pengangkatan tonsil (tonsilektomi) dilakukan jika :
- Tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih / tahun.
- Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 2 tahun.
- Tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 3 tahun.
- Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.

6) Upaya pencegahan

Tidak ada cara yang khusus bagi penyakit tonsilitis atau amandel ini dalam
pencegahannya. Pada umumnya pencegahan dilakukan agar mencegah menularnya
infeksi rongga mulut dan tenggorokan yang bisa mengakibatkan adanya infeksi
tonsil. Tapi akan lebih baik jika usaha dibawah ini dilakukan. Diantaranya adalah:
a. Lakukan kebiasaan mencuci tangan secara rutin dan sesering mungkin agar
mencegah terjadinya penyebaran mikro-organisme atau bakteri yang bisa
menimbulkan tonsilitis.
b. Hindari kontak dengan penderita infeksi tanggorokan, paling tidak sampai 24 jam
setelah penderita infeksi tenggorokan mendapatkan antibiotika dari dokter.
B. Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian

1. keluhan utama
sakit tenggorokan, nyeri telan, demam dll
2. riwayat penyakit sekarang : serangan, karakteristik, insiden,
perkembangan, efek terapi dll
3. riwayat kesehatan lalu
- riwayat kelahiran
- riwayat imunisasi
- penyakit yang pernah diderita ( faringitis berulang, ISPA, otitis media )
- riwayat hospitalisasi
4. pengkajian umum
usia, tingkat kesadaran, antopometri, tanda – tanda vital dll
5. pernafasan
kesulitan bernafas, batuk
ukuran besarnya tonsil dinyatakan dengan :
- T0 : bila sudah dioperasi
- T1 : ukuran yang normal ada
- T2 : pembesaran tonsil tidak sampai garis tengah
- T3 : pembesaran mencapai garis tengah
- T4 : pembesaran melewati garis tengah
6. nutrisi
sakit tenggorokan, nyeri telan, nafsu makan menurun, menolak makan dan minum,
turgor kurang
7. aktifitas / istirahat
anak tampak lemah, letargi, iritabel, malaise
8. keamanan / kenyamanan
kecemasan anak terhadap hospitalisasi

b. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada tonsilitis akut adalah :


1. hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi pada faring dan tonsil
2. nyeri berhubungan dengan pembengkakan pada tonsil
3. resiko perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan adanya anoreksia
4. intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan
5. gangguan persepsi sensori : pendengaran berhubungan dengan
adanya obstruksi pada tuba eustakii
c. intevensi
1. DP : hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi pada tonsil
Intervensi :
- Pantau suhu tubuh anak ( derajat dan pola ), perhatikan menggigil atau tidak
- Pantau suhu lingkungan
- Batasi penggunaan linen, pakaian yang dikenakan klien
- Berikan kompres hangat
- Berikan cairan yang banyak ( 1500 – 2000 cc/hari )
- Kolaborasi pemberian antipiretik
2. DP : nyeri berhubungan dengan pembengkakan pada tonsil
Intervensi :
- Pantau nyeri klien(skala, intensitas, kedalaman, frekuensi )
- Kaji TTV
- Berikan posisi yang nyaman
- Berikan tehnik relaksasi dengan tarik nafas panjang melalui hidung dan
mengeluarkannya pelan – pelan melalui mulut
- Berikan tehnik distraksi untuk mengalihkan perhatian anak
- Kolaborasi pemberian analgetik
3. DP : resiko perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan adanya anoreksia
Intervensi :
- Kaji conjungtiva, sclera, turgor kulit
- Timbang BB tiap hari
- Berikan makanan dalam keadaan hangat
- Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering sajikan makanan dalam bentuk
yang menarik
- Tingkatkan kenyamanan lingkungan saat makan
- Kolaborasi pemberian vitamin penambah nafsu makan
4. DP : intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan
Intervensi :
- Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas
- Observasi adanya kelelahan dalam melakukan aktifitas
- Monitor TTV sebelum, selama dan sesudah melakukan aktifitas
- Berikan lingkungan yang tenang
- Tingkatkan aktifitas sesuai toleransi klien
5. DP : gangguan persepsi sensori : pendengaran berhubung dengan adanya
obstruksi pada tuba eustakii
Intervensi :
- Kaji ulang gangguan pendengaran yang dialami klien
- Lakukan irigasi telinga
- Berbicaralah dengan jelas dan pelan
- Gunakan papan tulis / kertas untuk berkomunikasi jika terdapat kesulitan dalam
berkomunikasi
- Kolaborasi pemeriksaan audiometri
- Kolaborasi pemberian tetes telinga
C. Pendidikan kesehatan tentang tonisilitis
A. Konsep dasar Pnemonia
a. Definisi/ pengertian
Pneumonia adalah suatu peradangan atau inflamasi pada parenkim paru yang
umumnya disebabkan oleh agent infeksi. Pneumonia adalah peradangan pada
paru-.paru dan bronkiolus yang disebabkan oleh bakteri, jamur ,virus, atau aspirasi
karena makanan atau benda asing. Pneumonia adalah infeksi pada parenkim paru,
biasanya berhubungan dengan pengisian cairan didalam alveoli hal ini terjadi akibat
adanya infeksi agen/ infeksius atau adanya kondisi yang mengganggu tekanan
saluran trakheabronkialis. (Ngastiyah, 1997)
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli).
Selain gambaran umum di atas, Pneumonia dapat dikenali berdasarkan pedoman
tanda-tanda klinis lainnya dan pemeriksaan penunjang (Rontgen, Laboratorium).
(Wilson, 2006)

b. Etologi

Beberapa penyebab dari pneumonia yaitu:


1. Bakteri : streptococus pneumoniae, staphylococus aureus.
2. Virus : Influenza, parainfluenza, adenovirus.
3. Jamur : Candidiasis, histoplasmosis, aspergifosis, coccidioido mycosis,
ryptococosis, pneumocytis carini.
4. Aspirasi : Makanan, cairan, lambung.
5. Inhalasi : Racun atau bahan kimia, rokok, debu dan gas.

Pneumonia virus bisa disebabkan oleh:Virus sinsisial pernafasan, Hantavirus,


Virus influenza,Virus parainfluenza,Adenovirus, Rhinovirus, Virus herpes simpleks,
Micoplasma (pada anak yang relatif besar). Pada bayi dan anak-anak penyebab yang
paling sering adalah:

1. virus sinsisial pernafasan


2. adenovirus
3. virus parainfluenza
4. virus influenza.

c. Patofisiologi

Sebagian besar pneumonia didapat melalui aspirasi partikel infektif. Ada


beberapa mekanisma yang pada keadaan normal melindungi paru dari infeksi.
Partikel infeksius difiltrasi di hidung, atau terperangkap dan dibersihkan oleh mukus
dan epitel bersilia di saluran napas. Bila suatu partikel dapat mencapai paru-paru,
partikel tersebut akan berhadapan dengan makrofag alveoler, dan juga dengan
mekanisme imun sistemik, dan humoral. Bayi pada bulan-bulan pertama kehidupan
juga memiliki antibodi maternal yang didapat secara pasif yang dapat
melindunginya dari pneumokokus dan organisme-organisme infeksius lainnya.
Perubahan pada mekanisme protektif ini dapat menyebabkan anak mudah
mengalami pneumonia misalnya pada kelainan anatomis kongenital, defisiensi imun
didapat atau kongenital, atau kelainan neurologis yang memudahkan anak
mengalami aspirasi dan perubahan kualitas sekresi mukus atau epitel saluran napas.
Pada anak tanpa faktor-faktor predisposisi tersebut, partikel infeksius dapat
mencapai paru melalui perubahan pada pertahanan anatomis dan fisiologis yang
normal. Ini paling sering terjadi akibat virus pada saluran napas bagian atas. Virus
tersebut dapat menyebar ke saluran napas bagian bawah dan menyebabkan
pneumonia virus. Kemungkinan lain, kerusakan yang disebabkan virus terhadap
mekanisme pertahan yang normal dapat menyebabkan bakteri patogen
menginfeksi saluran napas bagian bawah. Bakteri ini dapat merupakan organisme
yang pada keadaan normal berkolonisasi di saluran napas atas atau bakteri yang
ditransmisikan dari satu orang ke orang lain melalui penyebaran droplet di udara.
Kadang-kadang pneumonia bakterialis dan virus ( contoh: varisella, campak, rubella,
CMV, virus Epstein-Barr, virus herpes simpleks ) dapat terjadi melalui penyebaran
hematogen baik dari sumber terlokalisir atau bakteremia/viremia generalisata.
Setelah mencapai parenkim paru, bakteri menyebabkan respons inflamasi akut yang
meliputi eksudasi cairan, deposit fibrin, dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear di
alveoli yang diikuti infitrasi makrofag. Cairan eksudatif di alveoli menyebabkan
konsolidasi lobaris yang khas pada foto toraks. Virus, mikoplasma, dan klamidia
menyebabkan inflamasi dengan dominasi infiltrat mononuklear pada struktur
submukosa dan interstisial. Hal ini menyebabkan lepasnya sel-sel epitel ke dalam
saluran napas, seperti yang terjadi pada bronkiolitis.

d. Tanda dan gejala

Batuk nonproduktif, Ingus (nasal discharge), Suara napas lemah, Retraksi


intercosta, Penggunaan otot bantu nafas, Demam, Ronchii, Cyanosis, Leukositosis,
Thorax photo menunjukkan infiltrasi melebar, Batuk, Sakit kepala, Kekakuan dan
nyeri otot, Sesak nafas, Menggigil, Berkeringat, Lelah.
Gejala lain yang mungkin ditemukan adalah:
- kulit yang lembab
- mual dan muntah
- kekakuan sendi.
-
e. Penatalaksanaan Medis

Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tapi karena hal
itu perlu waktu dan pasien pneumonia diberikan terapi secepatnya :
- Penicillin G: untuk infeksi pneumonia staphylococcus.
- Amantadine, rimantadine: untuk infeksi pneumonia virus
- Eritromisin, tetrasiklin, derivat tetrasiklin: untuk infeksi pneumonia
mikroplasma.
- Menganjurkan untuk tirah baring sampai infeksi menunjukkan tanda-tanda.
- Pemberian oksigen jika terjadi hipoksemia.
- Bila terjadi gagal nafas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup.

f. Upaya Pencegahan

- Menjalani vaksinasi. Vaksin merupakan langkah penting agar kita terhindar


dari pneumonia maupun penyakit lain. Harap diingat bahwa vaksin pencegah
pneumonia bagi orang dewasa berbeda dengan anak-anak.
- Menjaga agar sistem kekebalan tubuh tetap kuat. Misalnya dengan teratur
berolahraga, cukup istirahat, serta menerapkan pola makan yang sehat dan
seimbang.
- Menjaga kebersihan agar terhindari dari penyebaran virus, seperti sering
mencuci tangan.
- Jangan merokok karena asap rokok dapat merusak paru-paru sehingga lebih
mudah terinfeksi.
- Hindari konsumsi minuman beralkohol secara berlebihan dan
berkepanjangan. Kebiasaan ini juga akan menurunkan daya tahan paru-paru
Anda sehingga Anda lebih rentan terkena pneumonia beserta komplikasinya.

B. Asuhan keperawatan

a. Pengkajian

1. Aktivitas/istirahat Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia Tanda : letargi,


penurunan toleransi terhadap aktivitas.
2. Sirkulasi Gejala : riwayat adanya Tanda : takikardia, penampilan kemerahan, atau
pucat.
3. Makanan/cairan Gejala : kehilangan nafsu makan, mual, muntah, riwayat
diabetes mellitus Tanda : sistensi abdomen, kulit kering dengan turgor buruk,
penampilan kakeksia (malnutrisi).

4. Neurosensori Gejala : sakit kepala daerah frontal (influenza) Tanda : perusakan


mental (bingung)

5. Nyeri/kenyamanan Gejala : sakit kepala, nyeri dada (meningkat oleh batuk),


imralgia, artralgia. Tanda : melindungi area yang sakit (tidur pada sisi yang sakit
untuk membatasi gerakan)

6. Pernafasan Gejala : adanya riwayat ISK kronis, takipnea (sesak nafas), dispnea.
Tanda :
- sputum: merah muda, berkarat
- perpusi: pekak datar area yang konsolidasi
- premikus: taksil dan vocal bertahap meningkat dengan konsolidasi
- Bunyi nafas menurun
- Warna: pucat/sianosis bibir dan kuku
7. Keamanan Gejala : riwayat gangguan sistem imun misal: AIDS, penggunaan
steroid, demam. Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar

8. Penyuluhan/pembelajaran Gejala : riwayat mengalami pembedahan,


penggunaan alkohol kronis Tanda : DRG menunjukkan rerata lama dirawat 6 – 8
hari Rencana pemulangan: bantuan dengan perawatan diri, tugas pemeliharaan
rumah.

b. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Infeksi Paru
2. 2Defisit Volume Cairan b.d Penurunan intake cairan

c. Intervensi
1. Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Infeksi Paru
Karakteristik :
Batuk (baik produktif maupun non produktif) haluaran nasal, sesak nafas,
Tachipnea, suara nafas terbatas, retraksi, demam, diaporesis, ronchii, cyanosis,
leukositosis. Tujuan :
Anak akan mengalami pola nafas efektif yang ditandai dengan :
- Suara nafas paru bersih dan sama pada kedua sisi
- Suhu tubuh dalam batas 36,5 – 37,2OC
- Laju nafas dalam rentang normal
- Tidak terdapat batuk, cyanosis, haluaran hidung, retraksi dan diaphoresis
Intervensi
- Lakukan pengkajian tiap 4 jam terhadap RR, S, dan tanda-tanda
keefektifan jalan napas. R : Evaluasi dan reassessment terhadap tindakan
yang akan/telah diberikan.
- Lakukan Phisioterapi dada secara terjadwal R : Mengeluarkan sekresi
jalan nafas, mencegah obstruksi
- Berikan Oksigen lembab, kaji keefektifan terapi R : Meningkatkan suplai
oksigen jaringan paru
- Berikan antibiotik dan antipiretik sesuai order, kaji keefektifan dan efek
samping (ruam, diare) R : Pemberantasan kuman sebagai faktor causa
gangguan
- Lakukan pengecekan hitung SDM dan photo thoraks R : Evaluasi terhadap
keefektifan sirkulasi oksigen, evaluasi kondisi jaringan paru
- Lakukan suction secara bertahap R : Membantu pembersihan jalan nafas
- Catat hasil pulse oximeter bila terpasang, tiap 2 – 4 jam R : Evaluasi
berkala keberhasilan terapi/tindakan tim kesehatan.
2. Defisit Volume Cairan b.d Penurunan intake cairan Karakteristik :
Hilangnya nafsu makan/minum, letargi, demam., muntah, diare, membrana
mukosa kering, turgor kulit buruk, penurunan output urine.
Tujuan : Anak mendapatkan sejumlah cairan yang adekuat ditandai dengan :
- Intake adekuat, baik IV maupun oral
- Tidak adanya letargi, muntah, diare
- Suhu tubuh dalam batas normal
- Urine output adekuat, BJ Urine 1.008 – 1,020
Intervensi :
- Catat intake dan output, berat diapers untuk output R : Evaluasi ketat
kebutuhan intake dan output
- Kaji dan catat suhu setiap 4 jam, tanda devisit cairan dan kondisi IV line
R : Meyakinkan terpenuhinya kebutuhan cairan
- Catat BJ Urine tiap 4 jam atau bila perlu R : Evaluasi obyektif sederhana
devisit volume cairan
- Lakukan Perawatan mulut tiap 4 jam R : Meningkatkan bersihan sal cerna,
meningkatkan nafsu makan/minum.

C. Pendidikan Kesehatan Pnemonia

Anda mungkin juga menyukai