Anda di halaman 1dari 4

A.

Manajemen awal dalam menangani pasien dengan cedera tusuk leher, terutama yang
mengenai platysma, harus menerapkan lanjutan pedoman dukungan kehidupan trauma
(advanced trauma life support guidelines), yang menyediakan kerangka kerja dalam
mengidentifikasi pasien dengan cedera yang mengancam jiwa dan memprioritaskan
penatalaksanaan dengan tepat. Pasien yang menunjukkan '‘hard signs’ atau
“ketidakstabilan hemodinamik” membutuhkan transfer yang lebih cepat ke ruang
operasi bisa ditunda jika pengamanan saluran nafas yang tidak stabil teratasi, dengan
surgical airway jika pencobaan intubasi oral-trakeal tidak berhasil, dan percobaan
penggunaan tamponade bisa dipraktikaan untuk pendarahan aktif saat dalam
perjalanan. Jika tekanan langsung dilakukan tidak dapat meminimalkan pendarahan
aktif secara signifikan, penggunaan tamponade balon kateter mungkin bermanfaat.

B. Paparan operatif untuk cedera tusuk leher dengan ‘hard signs’ atau “ketidakstabilan
hemodinamik” ditentukan berdasarkan cedera zona anatomi (anatomic zone of injury).
Sebagian besar cedera tusuk leher bisa dilakukan melalui insisi sternokleidomastoid
anterior. Cedera leher pada zona I mungkin memerlukan sternotomi median dengan
ekstensi insisi sternokleidomastoid anterior atau insisi supraklavikula dengan atau
tanpa diagnosis dan manajemen. Untuk cedera transervikal pada Zona II, sayatan
melintang servikal leher (transverse cervical collar incision) dapat memberikan akses
pada kedua sisi bagian leher, dengan potensi untuk memperpanjang anterior otot
sternokleidomastoid. Zona III merupakan zona anatomi cedera leher yang sulit untuk
kontrol vaskular distal. Subluksasi, dislokasi, atau reseksi mandibula mungkin
memerlukan operasi kontrol pembuluh darah. Teknik endovaskular telah menjadi
teknik tambahan yang berguna dalam manajemen pasien cedera akut. Tergantung pada
ketersediaan institusional, cedera vaskular pada zona I atau zona III akan dapat manfaat
dari manajemen endovaskular untuk kontrol vaskular atau perawatan definitif; jika
terdapat stabilitas hemodinamik atau perdarahan yang stabil , teknik endovaskular ini
dapat dilakukan dengan cara cepat di dalam ruang operasi. Cedera arteri vertebral dapat
menjadi tantangan kerana sulit diakses, external bone wax compression dapat
mengkontrol perdarahan sementara, berpotensi memungkinkan waktu untuk operasi
definitif dalam mengkontrol perdarahan atau memungkinkan waktu untuk endovascular
teknik untuk mendapatkan kontrol perdarahan yang pasti, jika diperlukan. Sebagai
alternatif, ligasi proksimal pada pembuluh darah atau pemasangan kateter Fogarty ke
vertebra proksimal arteri untuk kontrol oklusif dapat dilakukan. Apabila cedera
common carotid artery atau common internal artery teridentifikasi dapat dilakukan
dengan eksplorasi leher, konsensus saat ini bersetuju bahwa perbaikan utama arteri
lebih praktis daripada melakukan ligasi, tanpa memandang kelainan apa pun dalam
preoperatif fokal penemuan pemeriksaan neurologik. Mayoritas cedera vena jugularis
mungkin tidak ditemukan tanpa eksplorasi karena sistem vena bertekanan rendah.
Mayoritas cedera vena jugularis dapat dikelola dengan aman tanpa dioperasi. Jika
terjadi terjadi perdarahan yang signifikan saat dilakukan eksplorasi, tindakan ligasi
dapat dilakukan.

C. Pasien tanpa indikasi wajib untuk eksplorasi leher pada pasien dengan hemodinamik
yang stabil dapat dikelola dengan observasi/pemeriksaan serial atau melakukan
evaluasi radiografi dengan lebih lanjut, tergantung pada kecurigaan tingkat cedera
yakni gejala ditunjukkan oleh pasien, dan zona anatomi cedera. Pasien tanpa gejala
seperti disfagia, perubahan suara, hemoptisis, hematemesis, penemuan kelainan sinar-
X, atau bisa terjadi bruit/thrill aman dikelola dengan pemeriksaan serial dan melakukan
observasi. Pemeriksaan fisik menyeluruh dengan cedera tusuk leher telah terbukti
sangat sensitif (>95%) untuk mendeteksi cedera pembuluh darah arteri tetapi
mempunyai sensitivitas yang lebih rendah untuk cedera saluran aerodigestive.
Pasien yang tidak menunjukkan gejala dengan cedera pada Zona I, memiliki indeks
kecurigaan yang tinggi karena berdasarkan penemuan pemeriksaan fisik didapat secara
anatomis tidak jelas. Pada studi prospektif, studi multisenter, 453 pasien yang
dievaluasi lebih dari 31 bulan, sebanyak189 pasien tanpa penemuan pemeriksaan fisik
didapatkan pasien mengalami cedera vaskular atau cedera aerodigestive diamati dan
dikeluarkan tanpa cedera yang terlewatkan (berarti, 2.6-hari tindak lanjut). Namun,
karena morbiditas yang lebih besar dan mortalitas yang terkait dengan manajemen
tertunda cedera esofagus dan potensi sensitivitas pemeriksaan fisik yang lebih rendah,
praktik klinis terbaru merekomendasikan bahwa pemeriksaan fisik saja tidak memadai
untuk menyingkirkan cedera pada saluran aerodigest. Pemeriksaan fisik terbukti
memiliki sensivitas yang lebih rendah dalam mendeteksi cedera vena dibandingkan
dengan computed tomographic angiography (CTA); Namun, sebagian besar cedera
vena tidak memerlukan intervensi. Pasien yang stabil dengan luka tembak transcervical
dapat dilakukan dengan evaluasi radiografi karena potensi cedera yang lebih besar dan
kemungkinan melibatkan lebih dari satu anatomi pada zona cedera.

D. Pasien dengan Zona I tanpa indikasi eksplorasi leher harus menjalani pencitraan CTA
dada dan leher untuk mengevaluasi cedera vaskular dan aerodigestif. Pencitraan CTA
terutama dipertimbangkan karena kemampuannya untuk mendeteksi cedera vaskular,
tetapi seri yang lebih baru telah menunjukkan sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi
cedera saluran aerodigestif.Tidak ada literatur spesifik yang berfokus pada pengelolaan
cedera tusuk dalam Zona I, tetapi karena pilihan eksposur bedah yang lebih sulit dan
teknik endovaskular yang berkembang tersedia itu dapat bermanfaat bagi pasien yang
stabil dengan cedera vaskular, dengan pencitraan CTA, yang mencirikan lokasi dan
tingkat cedera vaskular dan menunjukkan lintasan atau saluran luka untuk potensi
cedera aerodigestif, adalah penting dalam perencanaan manajemen.

E. Pada pasien dengan hemodinamik stabil dengan bukti pencitraan CTA pada cedera zona
I, intervensi lebih lanjut biasanya diperlukan. Pendekatan endovaskular untuk cedera
arteri menggunakan stent tertutup untuk cedera Zona I telah didokumentasikan,
meskipun utamanya sebagai laporan kasus dan seri kecil. Ketika teknik endovaskular
tidak diindikasikan, tidak tersedia, atau tidak berhasil, stamdar teknik bedah terbuka
menggunakan kontrol vaskular proksimal dan vascular distal diperlukan untuk cedera
arteri/vena. Pasien dengan hemodinamik stabil dengan cedera aerodigestive zona I
berdasarkan hasil temuan pencitraan CTA harus segera dilakukan intervensi operasi
seperti dalam mayoritas kasus karena memiliki hasil yang lebih baik. Strategi
pengobatan untuk cedera esofagus biasanya ditentukan oleh klinis status pasien, cedera
terkait, luasnya dan lokasi cedera esofagus. Akses bisa dari leher atau dada, atau
kadang-kadang, keduanya diperlukan. Tujuan awal manajemen operasi termasuk
debridemen esofagus, penutupan primer dengan menopang jika memungkinkan, dan
drainase yang adekuat. Cedera trakea biasanya bisa diperbaiki dengan menggunakan
jahitan yang dapat diserap setelah digunakan debridemen. Interposisi jaringan yang
tervaskularisasi baik kombinasi dari cedera trakea dan esofagus penting untuk
mengurangi risiko pembentukan fistula. Pasien tanpa cedera aerodigestif berdasarkan
pencitraan CTA harus menjalani evaluasi lebih lanjut dengan esophagoscopy atau
esophagography dan bronkoskopi, kemungkinan intraoperatif jika cedera lain sedang
dirawat secara operasi.

F. Pasien dengan cedera pada Zona II yang simtomatik seharusnya dilakukan eksplorasi
leher secara dini dengan baik secara insisi sternokleidomastoid anterior standar atau
cervical collar incision, tergantung pada sifat cedera.

Jika selama eksplorasi operasi evaluasi memadai dari trakea atau esofagus tidak dapat
dilakukan atau trajectory of the wound menimbulkan kekhawatiran yakni cedera
aerodigestive, bronkoskopi dan esofagoskopi dapat dilakukan untuk menyingkirkan
cederaaerodigestif secara signifikan. Pasien yang stabil secara hemodinamik pada
cedera Zona II tanpa gejala atau kecurigaan bisa dikelola dengan
observasi/pemeriksaan serial. Pasien dengan cedera pada Zona II dengan kecurigaan
akan cedera tetapi tanpa pemeriksaan gejala fisik harus menjalani pencitraan CTA leher
untuk dievaluasi baik cedera vaskular maupun aerodigestif.

G. Pada pasien dengan hemodinamik stabil dengan bukti pencitraan CTA pada cedera
Zona II, intervensi operasi biasanya diperlukan karena aksesnya sederhana dan
perbaikannya adalah pasti. Meskipun banyak antusiasme untuk teknik endovascular,
mayoritas cedera vascular pada Zona II harus dikelola melalui standar teknik operasi
terbuka. Peran endovaskular stenting untuk cedera vaskular traumatis kemungkinan
akan meningkat dari waktu ke waktu. Namun, data hasil jangka panjang tentang
penggunaan stent pada saat ini tidak tersedia pada pasien trauma yang berusia muda.
Persyaratan untuk terapi antiplatelet jangka panjang atau antikoagulasi tetap tidak jelas.

H. Pada pasien dengan cedera pada Zona I dan II yang menjalani evaluasi pencitraan CTA
tanpa adanya bukti cedera saluran aerodigestive tetapi sekunder ke lintasan luka
(secondary to wound trajectory), terdapat cedera lain, atau gejala apa pun yang
berkembang, harus menjalani evaluasi tambahan. Beberapa kontroversi mengenai
sensitivitas esofagografi, rigid esofagoskopi, fleksibel esofagoskopi, atau kombinasi
dari studi-studi ini ada dalam literatur. Pedoman praktik saat ini merekomendasikan
bahwa esophagography atau esophagoscopy dapat digunakan untuk menyingkirkan
cedera esofagus dan evaluasi tambahan harus dilakukan karena meningkatnya
morbiditas terkait dengan perbaikan esofagus yang tertunda.

I. Pasien yang secara hemodinamik stabil dengan kecurigaan cedera pada Zona III harus
menjalani pencitraan CTA leher dan kepala dan untuk mengevaluasi cedera vaskular
dan aerodigestif.

J. Pada pasien yang stabil dengan bukti radiografi cedera arteri pada Zona III, intervensi
diagnostik atau terapeutik lebih lanjut sering dibutuhkan. Cedera arteri yang tidak dapat
diatasi dapat diatasi dengan embolisasi apabila vessel bisa dikorbankan atau dengan
stenting tertutup ketika diperlukan patensi.

Cedera tusuk arteri vertebral relatif langka tetapi bisa menantang. Salah satu seri
terbesar untuk trauma tusuk vertebral arteri menunjukkan bahwa kira-kira 20% pasien
membutuhkan operasi darurat kerana ketidakstabilan operasi ligasi arteri vertebral atau
penggunaan bone wax compression, sementara lebih dari 33% diperlukan embolisasi.

Serial yang lebih baru menunjukkan bahwa mayoritas cedera tusuk arteri vertebral
berhasil dikelola melalui pendekatan endovascular.
Cedera pada Zona III yakni aerodigestif atau faring juga membutuhkan diagnosis dan
manajemen yang lebih awal
Cedera tusuk faring menyebabkan risiko serupa yakni delayed sepsis, retropharyngitis
descending, dan mediastinitis seperti cedera esofagus. Dalam studi, menelan kontras
kurang sensitif dalam mendeteksi cedera hypopharyngeal dibandingkan dengan cedera
esofagus dan nasoendoskopi fleksibel atau endoskopi video harus menjadi bagian dari
'ahli bedah trauma' armamentarium. "

Anda mungkin juga menyukai