OLEH:
BAB I
PENDAHULUAN
perjam atau 1 orang balita tiap menit. Usia yang rawan adalah usia bayi
(dibawah 1 tahun), karena sekitar 60-80% kematian pneumonia terjadi pada
bayi (Maryunani, 2013).
Lima Provinsi dengan ISPA tertinggi yaitu, Nusa Tenggara Timur
(NTT) (41,7%), Papua (31,1 %), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (NTB)
(28,3%), dan Jawa Timur (28,3 %). Berdasarkan Riskesdas tahun 2013
karakteristik penduduk dengan ISPA tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-
4 tahun (25,8%). Sedangkan menurut SIRS 2013 persentase pasien anak
balita rawat inap berjenis kelamin laki-laki sebesar 54,18% (5.983 jiwa) dan
berjenis kelamin perempuan sebesar 45,82% (5.060 jiwa), tidak jauh berbeda
dengan pasien anak balita rawat jalan berjenis kelamin laki-laki sebesar
51,89% (44.702 jiwa) dan berjenis kelain perempuan sebesar 48,11% (41.448
jiwa). Menurut pelayanan di Rumah Sakit per provinsi di Indonesia tahun
2013 yaitu provinsi NTB jumlah pasien balita yang menjalani rawat inap
yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 67 jiwa dan berjenis kelamin
perempuan sebesar 61 jiwa. Sedangkan pasien balita yang menjalani rawat
jalan yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 1.060 jiwa dan berjenis kelamin
perempuan sebesar 862 jiwa (Datin Kemenkes RI, 2015).
Angka kesakitan pada penduduk berasal dari community based data
yang diperoleh melalui pengamatan terutama yang diperoleh dari fasilitas
pelayanan kesehatan melalui pencatatan dan pelaporan rutin dan insidentil.
Kasus penyakit yang paling banyak diderita masyarakat di Provinsi NTB
berdasarkan Laporan Bulanan (LB1) kesakitan di puskesmas dan jaringannya
yaitu penyakit ISPA yang merupakan penyakit urutan teratas dari 10 penyakit
terbanyak di Puskesmas Provinsi NTB pada tahun 2014 dan 2015 dengan
jumlah kasus sebesar 224.542 pada tahun 2014 dan 267.264 pada tahun 2015
(Profil Kesehatan NTB, 2015).
Tabel 1.1 Laporan Program Pengendalian ISPA Provinsi NTB Tahun 2013-2015
Tahun
Jumlah Balita 2013 2014 2015
No Kabupaten Batuk Batuk Batuk
Pneumonia Pneumonia Pneumonia
2013 2014 2015 Pneumonia Bukan Pneumonia Bukan Pneumonia Bukan
Berat Berat Berat
Pneumonia Pneumonia Pneumonia
1 Mataram 40.338 42.614 45.023 3.756 95 38.007 3.510 53 30.357 3.718 64 30.873
(K)
2 Lombok 63.549 63.717 65.483 5.365 290 35.484 5.390 884 38.076 5.329 294 41.399
Barat
3 Lombok 85.931 86.021 86.021 3.914 154 29.429 2.449 114 22.116 3.103 104 27.505
Tengah
4 Lombok 114.109 116.403 116.403 5.679 503 73.331 6.631 697 62.462 6.901 1.145 80.943
Timur
5 Sumbawa 11.611 12.012 12.400 551 16 4.420 411 19 4.274 293 32 3.761
Barat
6 Sumbawa 42.768 43.991 43.991 1.849 67 20.242 624 67 11.537 999 27 16.149
7 Dompu 21.748 21.948 22.822 301 41 7.371 569 110 5.672 618 30 6.586
8 Bima (K) 45.289 45.627 45.626 1.091 25 16.241 996 46 15.758 1.119 37 14.034
9 Kota 14.244 14.244 14.630 523 13 8.588 386 18 8.412 179 22 9.172
Bima
10 Lombok 21.072 21.552 21.551 1.343 230 14.724 1.143 61 18.071 832 26 14.302
Utara
Jumlah 460.659 468.129 263.645 24.372 1.434 247.837 22.109 2.069 216.735 23.091 1.781 244.724
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi NTB Tahun 2013-2015
Salah satu penyebab ISPA pada balita yaitu sanitasi rumah yang tidak
sehat (Supraptini, 2008). Menurut data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS) tahun 20010, di Indonesia rumah sehat dibagi menjadi tiga
kategori yaitu kategori baik, kategori sedang dan kategori kurang. Persentase
rumah sehat di Indonesia kategori baik mencapai 35,3%, kategori sedang
39,8% dan kategori kurang 24,9%. Target rumah sehat di Indonesia sebesar
80%, dari kategori rumah sehat di atas tidak ada yang memenuhi target,
sehingga rumah sehat di Indonesia belum tercapai (Depkes RI, 2010).
Perumahan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, bahwa
kontruksi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan
merupakan faktor risiko sumber penularan berbagai jenis penyakit. Sanitasi
rumah dan lingkungan erat kaitannya dengan angka kejadian penyakit
menular, terutama ISPA (Taylor, 2002). Beberapa hal yang dapat
mempengaruhi kejadian penyakit ISPA pada balita adalah kondisi fisik
rumah, kebersihan rumah, kepadatan penghuni dan pencemaran udara dalam
rumah (Iswarini dan Wahyu, 2009). Selain itu juga faktor kepadatan
penghuni, ventilasi, suhu dan pencahayaan (Ambarwati dan Dina, 2011).
Menurut Notoatmodjo (2013), rumah yang luas ventilasinya tidak
memenuhi syarat kesehatan akan mempengaruhi kesehatan penghuni rumah,
hal ini disebabkan karena proses pertukaran aliran udara dari luar ke dalam
rumah tidak lancar, sehingga bakteri penyebab penyakit ISPA yang ada di
dalam rumah tidak dapat keluar. Ventilasi juga menyebabkan peningkatan
kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit,
oleh karena itu kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang
baik untuk perkembangbiakan bakteri penyebab penyakit ISPA.
Menurut Ranuh (2007), rumah yang jendelanya tidak memenuhi
persyaratan menyebabkan pertukaran udara tidak dapat berlangsung dengan
baik, akibatnya asap dapur dan asap rokok dapat terkumpul dalam rumah,
bayi dan anak yang sering menghisap asap tersebut di dalam rumah lebih
mudah terserang ISPA. Rumah yang lembab dan basah karena banyak air
yang terserap di dinding tembok dan cahaya matahari pagi yang sulit masuk
dalam rumah juga memudahkan anak-anak terserang ISPA. Berdasarkan hasil
3