Anda di halaman 1dari 3

Menulis untuk Keabadian

Karya: Muhammad Asep Yudistira

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam
masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Pramoedya Ananta Toer

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang.


Bagaimana dengan manusia?
Kecuali mungkin bila kita menyumbangkan satu atau beberapa organ tubuh kita untuk
dipergunakan kembali, maka tidak ada substansi apapun yang bisa kita tinggalkan ketika mati
untuk mereka yang masih hidup.
Kita perlahan akan dilupakan. Hilang.
Ambil contoh, Marilyn Monroe, Albert Einstein, atau Pramoedya Ananta Toer. Mereka
memang sudah meninggal dunia. Jasad mereka sudah menyatu dengan tanah. Atau dengan kata
lain, hilang.
Tetapi, apakah mereka dilupakan? Tidak. Marilyn Monroe adalah seorang simbol
seksual, sebuah ikon dalam dunia perfilman Hollywood; Albert Einstein menyumbangkan
banyak hal dalam perkembangan dunia fisika yang membantu kita mencapai era teknologi
seperti saat ini; dan Pramoedya Ananta Toer merupakan seorang ikon dalam jagat kesusastraan
dan intelektual Indonesia yang bertabur penghargaan nasional maupun internasional. Hal-hal
ini memberikan alasan bagi puluhan bahkan ratusan generasi setelah kematiannya untuk tidak
melupakan mereka.
Mengapa?
Karena mereka meninggalkan substansi nyata; karya.
Inilah yang saya sadari: hanya dengan karya kita bisa membuat dirimu abadi, tidak
dilupakan meski tubuh kita sudah lapuk diurai tanah. Berbicara mengenai abadi, saya sendiri
suka membaca komik pahlawan super sedari kecil. Salah satu karakter favorit saya adalah
Wolverine (properti intelektual dari Marvel Comics), yang memiliki kemampuan untuk
meregenerasi atau menyembuhkan dirinya dengan cepat, sehingga ia bisa dikatakan hidup
abadi (immortal). Sebagai orang yang sangat takut akan konsep bahwa seratus tahun lagi, nama
saya akan hilang dan tidak diingat lagi, saya sangat menginginkan hal itu. Tentu saja saya
menyadari hal itu tidak mungkin dapat terjadi dalam dunia nyata. Namun, saya menemukan,
bahwa saya pun bisa hidup abadi seperti Wolverine. Mungkin tidak secara fisik, tetapi tentu
saja melalui cara yang lain.
Sewaktu SMA, saya menamatkan buku Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta
Toer. Dari sana, saya bisa membayangkan pikiran-pikiran beliau ketika menulis karya ini,
seakan-akan beliau masih hidup bersama saya. Saya bisa membayangkan persepsi Pram
terhadap budaya patriarki melalui karakter Minke dan Nyai Ontosoroh, saya bisa
membayangkan pula persepsi beliau terhadap politik Indonesia, dan pada akhirnya, saya bisa
membayangkan mengapa novel ini dicekal oleh rezim Soeharto saat itu.
Inilah inti dari apa yang hendak saya sampaikan. Saya tidak mengenal Pramoedya
secara langsung. Saat ini, yang tersisa dari fisiknya hanyalah tulang belulang semata, namun
Pramoedya seolah-olah tetap hidup di kepala saya, memberikan saya nuansa pikiran yang
serupa dengan miliknya, karena ia menulis. Nama Pramoedya bisa dianggap kekal dan tak
berkesudahan di dunia ini. Tentu saja bukan hanya untuk saat ini. Namun untuk masa-masa
yang akan datang. Dan itu semua terjadi karena Pram menulis, memberikan sebuah substansi
nyata berupa karya untuk direkam dan dicatat sebagai sejarah supaya dunia mengetahui tentang
hal-hal yang bergejolak di kepalanya, dan pada akhirnya, supaya dunia mengingat bahwa Pram
pernah ada.
Dalam kata lain, Pramoedya abadi.
Bukankah itu yang saya inginkan? Kemampuan untuk selalu hidup dan ada di dunia—
dalam kata lain, keabadian—seperti Wolverine, seperti Pramoedya Ananta Toer? Maka dari
itu, saya mulai menulis. Saya juga ingin menghasilkan sebuah substansi nyata berupa karya.
Bukan semata-mata hanya bertujuan untuk membuat nama saya abadi saja, tetapi saya juga
berharap substansi nyata saya dapat berguna bagi masyarakat luas, menginspirasi generasi
mendatang, dan berpengaruh besar terhadap perkembangan dunia, seperti bagaimana Bumi
Manusia berpengaruh terhadap pandangan politik masyarakat Indonesia.
Orang sepintar, seterampil, dan sevisioner apapun, bila tidak menuangkan pikirannya
dalam bentuk tulisan, tidak akan menghasilkan pengaruh dan manfaat apapun kecuali bagi
orang-orang di sekitarnya. Ketika ia meninggal dunia, ilmu, keahlian, dan visi di kepalanya
tidak terekam dan tersimpan di dunia untuk generasi mendatang, melainkan ikut pulang
bersamanya ke liang lahat. Selain itu, menulis juga merupakan sebuah sarana yang baik untuk
mengaktualisasi diri, termasuk ide-ide kita. Bila kita menelaah teori hierarki kebutuhan dari
Abraham Maslow, kita akan mengetahui bahwa kebutuhan aktualisasi diri merupakan tingkat
tertinggi kebutuhan manusia, yang mencakup pemenuhan keberadaan diri (self-fulfillment),
perasaan lebih signifikan, realisasi seluruh potensi, peningkatan kualitas dan kuantitas diri, dan
kebutuhan untuk menjadi kreatif. Mereka yang telah mencapai tingkat ini akan menjadi lebih
manusiawi serta lebih asli dalam mengekspresikan diri; dan semua bentuk kepuasan ini bisa
dicapai dengan menulis.
Pada intinya, saya adalah seseorang yang ingin tetap selalu diingat dan dikenang; kekal,
tidak berkesudahan, atau dalam kata lain: abadi. Saya menyadari bahwa usia saya tak akan
mampu menyamai usia Wolverine, ataupun usia dunia, maka dari itu saya akan menyambung
usia saya dengan tulisan-tulisan saya. Dengan menulis, maka suara-suara saya tidak akan
padam ditelan angin. Suara-suara saya akan terus bergema ke ujung dunia, terus abadi, sampai
jauh, jauh di kemudian hari, selamanya. Atau mungkin, hingga selamanya itu usai.
Saya menulis, maka saya ada.

Depok, 9 September 2018

Referensi:
1. McLeod, Saul. “Maslow’s Hierarchy of Needs”. 9 September 2018.
https://www.simplypsychology.org/maslow.html
2. Noer, Muhammad. “Menulis untuk Keabadian”. 9 September 2018.
https://www.muhammadnoer.com/menulis-untuk-keabadian/

Anda mungkin juga menyukai