Anda di halaman 1dari 37

KETUBAN PECAH DINI, DAN PERANAN

AMNIOPATCH DALAM PENATALAKSANAAN


KETUBAN PECAH DINI PRETERM

dr. AAN. Jaya Kusuma, SpOG(K)

BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2011

1
BAB I
PENDAHULUAN

Ketuban pecah dini (KPD) merupakan masalah penting dalam


obstetriberkaitan dengan berbagai komplikasi yang ditimbulkannya, yang
berdampak pada peningkatkan morbiditas dan mortalitasperinatal maupun
maternal.1
Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya
kekuatanmembran, atau meningkatnya tekanan intrauterin, atau oleh kedua faktor
tersebut.Penatalaksanaan ketuban pecah dinimemerlukan pertimbangan usia
gestasi, adanya infeksi pada komplikasi ibu danjanin, dan adanya tanda-tanda
persalinan.
Minimnya upaya-upaya penyelamatan kehamilan pada KPD seringkali berujung
pada tindakan terminasi yang sudah sangat jelas meningkatkan morbiditas dan
mortalitas perinatal.1
Tidak bisa dipungkiri bahwa tuntutan kebutuhan masyarakat untuk
mendapatkan hasil kehamilan yang optimal belakangan ini semakin
meningkat.Hal ini kemudian diimbangi dengan penemuan-penemuan terbaru
termasuk kemajuan dalam bidang fetoskopi dan bedah janin seperti pada kasus
kehamilan monokhorionik terkomplikasi, hernia diafragmatika kongenital,
myelomeningokel, dan obstruksi saluran kemih bawah.Disisi lain semua tindakan
tersebut sedikit tidaknya akan berdampak pada kehamilan itu sendiri, termasuk
kejadian iatrogenic PROM, (KPD yang terjadi pasca prosedur intra uterin) dengan
segala implikasinya yang dapat merugikan kehamilan itu sendiri.2 Menjadi ironis
bila upaya perbaikan kondisi intra uterin justru menimbulkan masalah baru bagi
kehamilannya. Dengan demikian amat penting untuk menyusun strategi untuk
menyumbat defek selaput ketuban atau merangsang perbaikan spontan pada
selaput ketuban pada waktu dilakukan prosedur.3
Beragam terapi potensial telah dikemukakan untuk penatalaksanaan
ketuban pecah dini preterm, dimana beberapa telah berhasil, terutama pada kasus
post prosedural ketuban pecah dini (KPD iatrogenik) pada kehamilan sebelum 37

2
minggu (PPROM). Salah satu dari upaya tersebut yang dianggap paling berhasil
adalah penggunaan injeksi platelet dan cryopresipitat kedalam cairan amnion,
yang lebih dikenal dengan istilah “Amniopatch”.Penelitian menunjukkan hal ini
secara fisiologis dan secara signifikan dapatmemperpanjang masakehamilan,
sehingga meningkatkan hasilpersalinan.Meski belum menjawab semua
permasalahan KPD,tidaklah berlebihan bila Amniopatch layak untuk diketahui
lebih jauh.3

3
BAB II
KETUBAN PECAH DINI

2.1 Definisi
Ketuban pecah dini memiliki bermacam-macam batasan, teori
dandefinisi.Beberapa penulis mendefinisikan ketuban pecah dini atauPremature
Rupture of the Membranes(PROM) adalah keadaan pecahnyaselaput ketuban
sebelum proses persalinan,(4,5) ada juga yang menyatakanKetuban Pecah Dini
(KPD) ialah pecahnya selaputketuban secara spontan pada saat belum inpartu, bila
diikuti satu jam kemudian tidak timbul tanda-tanda awal persalinan.Penggunaan
istilah Premature Rupture of the Membranes(PROM) pada beberapa literatur
sedikit membingungkan. Istilah ini cukup tepat jika digunakan pada pasien yang
usia kehamilannya diatas 37 minggu atau aterm, datang dengan ketuban yang
pecah spontan, dan tanpa tanda-tanda persalinan. Sedangkan Preterm Premature
Rupture of the Membranes(PPROM) adalah pecahnya ketuban pada pasien
dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu.6Pendapat lain menyatakan dalam
ukuran pembukaanservik pada kala I, yaitu bilaketuban pecah sebelum
pembukaan padaprimigravida kurang dari 3 cm danpada multigravida kurang dari
5 cm.7 Dalam keadaan normal selaput ketuban pecah dalam prosespersalinan.4

2.2Insidens
Dalam keadaan normal 8-10 % perempuan hamil aterm akanmengalami
ketubanpecah dini. KPD preterm terjadi 1% dari seluruhkehamilan. KPD preterm
menyebabkan terjadinya1/3 persalinan preterm dan merupakan penyebab utama
morbiditasdanmortalitas perinatal.4
KPD iatrogenik yang dikelola secara ekspektatif memiliki angka kematian
perinatal sebesar 60%.Hampir sepertiganya meninggal dalam kandungan.
Hipoplasi paru terjadi pada 50% kasus yang terdiagnosa sebelum usia kehamilan

4
19 minggu. Sequelae yang berat terjadi pada bayi yang selamat antara lain
kebutaan, penyakit paru kronis dan serebral palsi.8
2.3Anatomi dan Fisiologi Selaput Ketuban
Selaput ketuban(amniotic sac)yang membatasi rongga amnion terdiriatas
amnion dan khorion yang sangaterat ikatannya.Selaput amnionmerupakan
jaringan avaskular yang lenturtapi kuat.Struktur avaskular inimemiliki peran
penting dalam kehamilanpada manusia. Pada banyak kasusobstetri, pecahnya
selaput ketuban secaradini pada kehamilan yang masih mudamerupakan penyebab
tersering kelahiran preterm.(4,5)
Bagian dalam selaput berhubungan dengan cairan amnion
yangmerupakanjaringan sel epitel kuboid yang berasal dari ektoderm
embrionik.Epitelini melekat erat kesebuah membran basal yangberhubungan
dengan lapisaninterstisial mengandung kolagen I, III, dan V.Bagian luar dari
selaput ialahjaringan mesenkim yang berasal darimesoderm. Lapisan amnion
iniberhubungan dengan korion leave.Lapisan dalam amnion merupakan mikrovili
yang berfungsimentransfercairan dan metabolik. Lapisan ini menghasilkan
zatpenghambatmetalloproteinase-1.(4,5)
Gambar 1. Lapisan MembranAmnion

5
Sel masenkim berfungsi menghasilkan kolagen sehingga
selaputmenjadilentur dan kuat. Di samping itu, jaringan tersebut
menghasilkansitokinIL-6, IL-8, MCP-1 (monosit chemoattractant protein-1); zat
inibermanfaat untuk melawan bakteri. Disamping itu, selaputamnionmenghasilkan
zat vasoaktif: endotelin-1 (vasokonstriktor), dan PHRP(parathyroid hormone
related protein), suatu vasorelaksan. Dengandemikian, selaput amnion mengatur
peredarandarah dan tonus pembuluhlokal.(4,5)
Selaput amnion juga meliputi tali pusat. Sebagian cairan akanberasalpula
dari difusi pada tali pusat. Pada kehamilan kembardikorionik-diamniotik terdapat
selaput amnion dari masing-masing yangbersatu.Namun, ada jaringan korionleave
ditengahnya (pada USG tampak sebagaihuruf Y, pada awal kehamilan);sedangkan
pada kehamilan kembar dikorion-monoamniotik (kembar satu telur)tidak akan ada
jaringan korion diantarakedua amnion (pada USG tampakgambaran huruf T).(4,5)
Masalah pada klinik ialah pecahnya ketuban berkaitan
dengankekuatanselaput.Pada perokok dan infeksi terjadi pelemahan
padaketahananselaput sehingga mudah pecah.Pada kehamilan normal hanya ada
sedikitmakrofag.Pada saat kelahiran leukosit akan masuk ke dalam cairan
ketubansebagaireaksi terhadap peradangan. Pada kehamilan normal tidak ada IL-
1B,tetapi pada persalinan preterm IL-1B akan ditemukan. Hal iniberkaitandengan
terjadinya infeksi.5
Sejak awal kehamilan cairan ketuban telah
dibentuk.Cairanketubanmerupakan pelindung dan bantalan untuk proteksi
sekaligusmenunjang pertumbuhan. Osmolalitas, kadar natrium, ureum,
kreatinintidak berbedadengan kadar serum ibu, artinya kadar di cairan
ketubanmerupakan hasildifusi dari ibunya. Cairan ketuban mengandung banyak
seljanin (lanugo,verniks kaseosa). Fungsi cairan ketuban yang juga penting
ialahmenghambatbakteri karena mengandung zat seperti fosfat dan seng.4

2.4Pembentukan Cairan Ketuban


Pada kehamilan sangat muda, air ketuban merupakan ultrafiltrasi dari
plasma maternal dan dibentuk oleh sel amnionnya.Pada trimester II kehamilan, air

6
ketuban dibentuk oleh difusi ekstraseluler melalui kulit janin sehingga
komposisinya mirip dengan plasma janin.Selanjutnya, setelah trimester II, terjadi
pembentukan zat tanduk kulit janin dan menghalangi difusi plasma janin sehingga
sebagian besar air ketubannya dibentuk oleh; sel amnionnya, dan air kencing
janin.4
Ginjal janin mulai mengeluarkan urin sejak usia 12 minggu dan setelah
mencapai usia 18 minggu sudah dapat mengeluarkan urin sebanyak 7-14 cc/hari.
Janin aterm mengeluarkan urin 27 cc/jam atau 650 cc dalam sehari. Dengan
demikian, komposisi yang membentuk air ketuban adalah mengikuti suatu
postulat bahwa bertambahnya air ketuban bukan merupakan kenaikan linier, tetapi
bervariasi sebagai berikut :
a. Bertambah 10 cc sampai usia 8 minggu
b. Bertambah 60 cc sampai usia 21 minggu
c. Terjadi penurunan produksi sampai usia kehamilan 33 minggu
d. Pertambahan tetap sampai usia aterm dan mencapai jumlah sekitar 800
sampai dengan 1500 cc
e. Melewati usia kehamilan 42 minggu, terjadi penurunan sekitar 150
cc/minggu sehingga akan cenderung terjadi oligohidramnion.
Setelah usia kehamilan melebihi 12 minggu, yang ikut membentuk air ketuban
adalah; ginjal janin (sehingga dijumpai urea, kreatinin, asam urat), deskuamasi
kulit janin (sel kulit, rambut lanugo, vernik kaseosa), sekresi dari paru janin,
transudat dari permukaan amnion plasenta, hormonal ataupun zat mirip hormon
dalam air ketuban.
Sementara itu regulasi air ketuban sangat penting artinya sehingga
jumlahnya dapat dipertahankan dengan tetap. Pengaturannya dipengaruhi oleh tiga
komponen penting berikut, yaitu; produksi yang dihasilkan oleh sel amnion,
jumlah produksi air kencing, serta jumlah air ketuban yang ditelan janin. Lebih
jauh regulasi air ketuban pada kehamilan aterm meliputi jumlah yang diminum
oleh janin ± 500-1000 ml, masuk ke dalam paru ± 170 ml, serta dari tali pusat dan
amnion ± 200-500 ml. Sedangkan jumlah cairan yang dikeluarkan oleh janin ke
rongga amnion adalah dari sekresi oral ± 25 ml, sekresi dari traktus respiratorius±

7
170 ml, urin ± 800-1200 ml, serta transmembran dari amnion ± 10 ml. Dengan
demikian tampak bahwa urin janin menjadi dominan dalam produksi cairan
ketuban, dan rata-rata regulasi mendekati aterm mencapai 500 cc/hari.

Gambar 2. Volume Cairan Ketuban menurut Usia Kehamilan. 9

Dikutip dari : Brace RA, Wolf EJ. Normal Amniotic Fluid Volume Changes Throughout
Pregnancy. Am J Obstet Gynecol, 161:382, 1989

Gambar 3. Perubahan Mingguan Volume Air Ketuban Menurut Usia


Kehamilan. 9

Dikutip dari : Brace RA, Wolf EJ. Normal Amniotic Fluid Volume Changes Throughout
Pregnancy. Am J Obstet Gynecol, 161:382, 1989
8
2.5Fungsi Cairan Ketuban
Cairan ketuban mempunyai peranan penting dalam menunjang proses
kehamilan dan persalinan. Di sepanjang kehamilan normal kompartemen dari
cairan ketuban menyediakan ruang bagi janin untuk tumbuh bergerak dan
berkembang. Tanpa cairan ketuban rahim akan mengkerut dan menekan janin,
pada kasus–kasus dimana tejadi kebocoran cairan ketuban pada awal trimester
pertama janin dapat mengalami kelainan struktur termasuk distrorsi muka, reduksi
(9,10,11,12)
tungkai, dan cacat dinding perut akibat kompresi rahim.
Menjelang pertengahan kehamilan cairan ketuban menjadi semakin penting
untuk perkembangan dan pertumbuhan janin , antara lain perkembangan paru-
parunya, bila tidak ada cairan ketuban yang memadai selama pertengahan
kehamilan janin akan sering disertai hipoplasia paru dan berlanjut pada
kematian.Selain itu cairan ini juga mempunyai peran protektif pada janin.Cairan
ini mengandung agen-agen anti bakteria dan bekerja menghambat
(9,10,11, 13,14)
pertumbuhanbakteri yang memiliki potensi patogen.
Selama proses persalinan dan kelahiran cairan ketuban terus bertindak sebagai
medium protektif pada janin untuk membantu dilatasi servik. Selain itu cairan
ketuban juga berperan sebagai sarana komunikasi antara janin dan ibu.
Kematangan dan kesiapan janin untuk lahir dapat diketahui dari hormon urin janin
(9,10)
yang diekskresikan ke dalam cairan ketuban. .
Cairan ketuban juga dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk melihat
adanya kelainan-kelainan pada proses pertumbuhan dan perkembangan janin
(9,10)
dengan melakukan kultur sel atau melakukan spectrometer.
Fungsi lain cairan ketuban juga dapat melindungi janin dari trauma,
sebagai media perkembangan musculoskeletal janin, menjaga suhu tubuh janin,
meratakan tekanan uterus pada partus, membersihkan jalan lahir sehingga bayi
kurang mengalami infeksi, serta menjaga perkembangan dan pertumbuhan normal
dari paru-paru dan traktus gastro intestinalis.15

9
2.6Etiologi
Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan
membran atau meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor
tersebut.Berkurangnya kekuatan membran disebabkan oleh adanya infeksiyang
dapatberasal dari vagina dan serviks.Beberapa hal masih merupakan kontroversi
di bidang obstetri. Penyebab lainnya adalah sebagaiberikut:1
a. Serviks inkompeten, kanalis sevikalis yang selalu terbuka
olehkarenakelainan pada servik uteri (akibat persalinan, kuretase, atau
tindakan bedah obstetri lainnya).
b. Ketegangan rahim berlebihan (tekanan intra uterin
meningkatsecaraberlebihan/overdistensiuterus:seperti pada keadaan
trauma, kehamilan ganda, hidramnion).
c. Kelainan letak janin dan rahimmisalnya: letak sungsang dan letak lintang,
sehingga tidak ada bagianterendah yang menutupi pintu ataspanggul
(PAP) yang dapat menghalangitekanan terhadap membranbagian bawah.
d. Kemungkinan kesempitan panggul dimanabagian terendah belum masuk
PAP misalnyapada Cephalo Pelvic Disproportion (CPD).
e. Infeksi yang menyebabkan terjadinya biomekanik pada selaputketuban
dalambentuk preteolitik sel sehingga memudahkan ketubanpecah
(Amnionitis/Korioamnionitis).
f. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin Crendah, ataupun
kelainangenetik).
g. Akhirnya, pecahnya selaput ketuban juga dapat disebabkan oleh trauma
dan setelah fetoskopi atau amniosentesis (iatrogenic).3

Masa interval sejak ketuban pecah sampaiterjadi kontraksi disebutfase


laten. Makin panjang fase laten, makintinggi kemungkinan infeksi.Makin muda
kehamilan, makin sulit upaya penatalaksanaannya tanpamenimbulkan morbiditas
janin.

10
2.7Mekanisme Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan
olehkontraksiuterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada
daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkanselaputketuban
inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh.4
Terdapat keseimbangan antara sintesis dan
degradasimatriksekstraselular.Perubahan struktur, jumlah sel dan katabolisme
kolagenmenyebabkan aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan
selaputketubanpecah.Degradasi kolagen dimediasioleh matriks metalloproteinase
(MMP)yang dihambat oleh inhibitor jaringanspesifik dan inhibitor
protease.Mendekati waktu persalinan, keseimbanganantara MMP dan tissue
inhibitors metalloproteinase-1 (TIMP-1)mengarah pada degradasi proteolitik dari
matriksekstraselular dan membran janin. Aktivitas degradasi proteolitik
inimeningkat menjelangpersalinan.4
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda.Pada trimester
ketigaselaput ketuban mudah pecah.Melemahnya kekuatan selaput
ketubanadahubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, serta
gerakanjanin.Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia pada
selaputketubansehingga pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan
halfisiologis.Ketuban pecah dini pada kehamilan preterm disebabkan oleh adanya
faktor-faktor eksternal misalnya infeksi yang menjalar darivagina. Disamping itu
ketuban pecah dini pretermjuga sering terjadi padapolihidramnion,inkompeten
servik, serta solusio plasenta.4
Banyak teori, mulai dari defek kromosom, kelainan
kolagen,sampaiinfeksi.Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan
denganinfeksi(sampai 65%). Termasuk diantaranya; high virulensiyaitu
Bacteroides, dan low virulensiyaitu Lactobacillus.4
Kolagen terdapat pada lapisan kompaktaketuban, fibroblast,
jaringanretikuler korion dan trofoblas.Sintesismaupun degradasi jaringan

11
kolagendikontrol oleh sistem aktifas dan inhibisi interleukin-1 (iL-1)
danprostaglandin.
Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas iL-1danprostaglandin,
menghasilkan kolagenase jaringan, sehinggaterjadidepolimerasi kolagen pada
selaput korion/amnion, menyebabkanketubantipis, lemah dan mudah pecah
spontan.4

2.8 Diagnosis
a.Anamnesis
Pasien merasakan basah pada vagina, atau mengeluarkancairanyang
banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir atau “ngepyok”.Cairanberbau khas dan
perlu diperhatikan warnanya. Menentukanusiakehamilan dari hari pertama
menstruasi terakhir (HPHT) atau dariUSG.
b.Inspeksi
Tentukan pecahnya selaput ketuban dengan adanya cairanketuban keluar
dari vagina.
c.Pemeriksaan dengan speculum
Pemeriksaan dengan speculum pada KPD akantampak keluar cairan dari
Orifisium Uteri Eksternum (OUE), kalau belumjuga tampak keluar, fundus uteri
ditekan, penderita diminta batuk,mengejan, ataubagian terendah digoyangkan,
akan tampak keluar cairan dari ostiumuteridan terkumpul pada fornik anterior.

Gambar 4 : Ketuban Pecah Dini

12
d.Pemeriksaan dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketubansudah tidak ada
lagi.Pemeriksaan Vaginal Toucher (VT) perludipertimbangkan,terutama pada
kehamilan yang kurang bulan yang belum dalampersalinan sangat dibatasi
dilakukan pemeriksaan dalam (VT), karena pada waktupemeriksaan dalam, jari
pemeriksa akan mengakumulasi segmenbawahrahim dengan flora vagina yang
normal. Mikroorganismetersebut bisadengan cepat menjadi pathogen.Pemeriksaan
dalamvagina hanya dilakukanpada kasus KPD yang sudah dalam persalinanatau
yang dilakukan induksipersalinan.

2.9Pemeriksaan penunjang
a.Pemeriksaan Laboratorium
Untuk menentukan ada atau tidaknya infeksi, kriteria laboratorium yang
digunakan adalah adanya Leukositosis maternal (WBC yang lebih dari
16.000/uL), adanya peningkatan C-reactive protein cairan ketuban dan gas-liquid
chromatography, serta Amniosentesis untuk mendapatkan bukti yang kuat
(misalnya cairan ketuban yang mengandung leukosit yang banyak atau bakteri
pada pengecatan gram maupun pada kultur aerob maupun anaerob).16
Tes lakmus (tes Nitrazin) digunakan, yaitu jika kertas lakmus merah
berubahmenjadi birumenunjukkan adanya air ketuban (alkalis).Normalnya pH air
ketuban berkisar antara 7-7,5.Darahdan infeksi vagina dapat menghasilkan tes
yangpositif palsu.(1,4)
Mikroskopik (tes pakis), yaitu dengan meneteskan air ketuban padagelas
objekdan dibiarkan kering.Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran
daunpakis..(1,4)

b.Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

13
Pemeriksaan ini dimaksudkan untukmelihat jumlah cairanketuban dalam
kavum uteri.Dikenal tiga cara pengukuran cairan ketuban, yaitu secara subyektif,
semikuantitatif (pengukuran satu kantong), dan pengukuran empat kuadran
menurut Phelan. Sayangnya tidak ada satupun metode pengukuran volume cairan
ketuban tersebut yang dapat dijadikan standar baku emas. Penilaian subyektif oleh
seorang pakar dengan menggunakan USG “real-time” dapat memberikan hasil
yang baik.17
Penilaian subyektif volume cairan ketuban berdasarkan atas pengalaman
subyektif pemeriksa didalam menentukan volume tersebut berdasarkan apa yang
dilihatnya pada saat pemeriksaan. Dikatakan normal bila masih ada bagian janin
yang menempel pada dinding uterus, dan bagian lain cukup terisi cairan ketuban.
Bila sedikit, maka sebagian besar tubuh janin akan melekat pada dinding uterus,
sedangkan bila hidramnion, maka tidak ada bagian janin yang menempel pada
dinding uterus.17
Pengukuran semikuantitatif dilakukan melalui pengukuran dari satu
kantong (single pocket)ketuban terbesar yang terletak antara dinding uterus dan
tubuh janin, tegak lurus terhadap lantai.Tidak boleh ada bagian janin yang terletak
didalam area pengukuran tersebut. Klasifikasinya dapat dilihat dalam table 1.
dibawah ini.

Tabel 1: Pengukuran Semikuantitatif (Satu Kantong) Volume Cairan Ketuban


HASIL PENGUKURAN INTERPRETASI
> 2 cm, < 8 cm Volume cairan ketuban normal
> 8 cm Polihidramnion
 8-12 cm  Polihidramnion ringan
 12-16 cm  Polihidramnion sedang
 >16 cm  Polihidramnion berat
≥ 1 cm, ≤ 2 cm Volume cairan ketuban meragukan
normal (borderline)
< 1 cm Oligohidramnion

14
Sumber : Weber G, Merz E. Amniotic Fluid. Ultrasound in Obstetrics and Gynecology. 2005:409-414

Pengukuran volume cairan ketuban empat kuadran atau indeks cairan


amnion (ICA)/amnion fluid index (AFI) diajukan oleh Phelan, dkk (1987) lebih
akurat dibandingkan cara lainnya. Pada pengukuran ini, abdomen ibu dibagi atas
empat kuadran.Garis yang dibuat melalui umbilikus vertikal ke bawah dan
transversal.Kemudian transduser ditempatkan secara vertikal tegak lurus lantai
dan cari diameter terbesar dari kantong ketuban, tidak boleh ada bagian janin atau
umbilikus didalam kantong tersebut. Setelah diperoleh empat pengukuran,
kemudian dijumlahkan dan hasilnya ditulis dalam millimeter atau sentimeter.17

Tabel 2. Indeks CairanKetubanBerdasarkan Pengukuran Empat Kuadran (Phelan)

HASIL PENGUKURAN INTERPRETASI


50 – 250 mm Normal
>250 mm Polihidramnion
< 50 mm Oligohidramnion

Sumber : modifikasi dari Weber G, Merz E. Amniotic Fluid. Ultrasound in Obstetrics and Gynecology.
2005:409-414

2.10Penatalaksanaan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan KPD adalah;
memastikan diagnosis, menetukan umur kehamilan, mengevaluasi ada tidaknya
infeksi maternal ataupun infeksi janin, serta apakah dalam keadaan inpartu, atau
terdapat kegawatan janin.(1,4,5)
Prinsip penanganan Ketuban Pecah Dini adalah memperpanjang
kehamilan sampai paru-paru janin matang atau dicurigai adanya atau terdiagnosis
khorioamnionitis.

a. KPD Dengan Kehamilan Aterm.


1) Diberikan antibiotika prafilaksis, Ampisilin 4 x 500 mg selama 7 hari
2) Dilakukan pemeriksaan "admision test" bila hasilnya patologis dilakukan
terminasi kehamilan

15
3) Observasi temperaturrektal setiap 3 jam, bila ada kecenderungan meningkat
lebih atau sama dengan 37,6° C, segera dilakukan terminasi

4) Bila temperatur rektal tidak meningkat, dilakukan observasi selama 12 jam.


Setelah 12 jam bila belum ada tanda-tanda inpartu dilakukan terminasi.
5) Batasi pemeriksaan dalam, dilakukan hanya berdasarkan indikasi obstetrik
6) Bila dilakukan terminasi, lakukan evaluasi Pelvic Score (PS) :
a. Bila PS lebih atau sama dengan 5, dilakukan induksi dengan oksitosin
drip.
b. Bila PS kurang dari 5, dilakukan pematangan servik dengan Misoprostol
50 µgr setiap 6 jam per oral maksimal 4 kali pemberian.

Tabel 3 :Pelvic Score (PS)menurut Bishop


SKOR 0 1 2 3
Pembukaan serviks
0 1-2 3-4 5-6
(cm)
Pendataran serviks 0-30% 40-50% 60-70% 80%
Penurunan kepala
diukur dari bidang -3 -2 -1.0 +1,+2
Hodge III (cm)
Konsistensi serviks Keras Sedang Lunak
Searah
Kearah
Posisi serviks Kebelakang sumbu jalan
depan
lahir

b.KPD Dengan Kehamilan Pre Term.


1) Penanganan di rawat di RS
2) Diberikan antibiotika : Ampicillin 4 x 500 mg selama 7 hari.
3) Untuk merangsang maturasi paru diberikan kortikosteroid (untuk UK
kurang dari 35 minggu) : Deksametason 5 mg setiap 6 jam.

16
4) Observasi di kamar bersalin :
a. Tirah baring selama 24 jam, selanjutnya dirawat di ruang obstetri.
b. Dilakukan observasi temperatur rektal tiap 3 jam, bila ada
kecenderungan terjadi peningkatan temperatur rektal lebih atau sama
dengan 37,6° C, segera dilakukan terminasi.
5) Di ruang Obstetri :
a. Temperatur rektal diperiksa setiap 6 jam.
b. Dikerjakan pemeriksaan laboratorium : leukosit dan laju endap darah
(LED) setiap 3 hari.
6) Tata cara perawatan konservatif :
a. Dilakukan sampai janin viable
b. Selama perawatan konservatif, tidak dianjurkan melakukan
pemeriksaan dalam
c. Dalam observasi selama 1 minggu, dilakukan pemeriksaan USG untuk
menilai air ketuban:
 Bila air ketuban cukup, kehamilan diteruskan.
 Bila air ketuban kurang (oligohidramnion), dipertimbangkan untuk
terminasi kehamilan.
d. Pada perawatan konservatif, pasen dipulangkan pada hari ke-7 dengan
saran sebagai berikut :
 tidak boleh koitus.
 tidak boleh melakukan manipulasi vagina.
 segera kembali ke RS bila ada keluar air ketuban lagi
e. Bila masih keluar air, perawatan konservatif dipertimbangkan dengan
melihat pemeriksaan laboratorium. Bila terdapat leukositosis atau
peningkatan LED, lakukan terminasi.

17
Bagan 1. Penatalaksanaan KPD1

Ketuban Pecah Dini

Masuk Rumah Sakit :


 Antibiotik
 Batasi Pemeriksaan Dalam
 Observasi tanda infeksi dan fetal distress

Hamil Prematur : Kehamilan Aterm


 Observasi : temperatur, fetal distress
 Kortikosteroid

Kelainan Obstetri : Letak Kepala


 Fetal distress
 Letak sungsang
 CPD Indikasi Induksi:
 ROB  Infeksi
 Grandemultipara  Waktu
 Ederly primigravida
 Infertilitas
 Persalinan Obstruktif

Seksio sesarea Gagal : Berhasil:


 Reaksi uterus tidak ada  Persalinan vaginal
 Kelainan letak kepala
 Fase laten & aktif
memanjang
 Fetal distress
 RUI
 CPD

18
Beberapa peneliti menekankan pada pentingnya usia kehamilan dalam
penatalaksanaan KPD seperti tampak dalam Bagan 2.13

Bagan 2. Penatalaksanaan KPD Berdasarkan Umur Kehamilan

Algorithm for evaluation and management of preterm premature rupture of the membranes
(pPROM).(Mercer BM: Premature rupture of the membranes. Obstet Gynecol 101:178–193, 2003)

19
c. Terminasi Kehamilan:
 Induksi persalinan dengan drip oksitosin.
 Seksio sesaria bila prasyarat drip oksitosin tidak terpenuhi atau bila drip
oksitosin gagal.
 Bila skor pelvik jelek, dilakukan pematangan dan induksi persalinan
dengan Misoprostol 50 µgr oral tiap 6 jam, maksimal 4 kali pemberian.

2.11 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang seringkali ditimbulkan dari KPD sangat
berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas bayi serta dampak terhadap
ibunya sendiri, diantaranya adalah :(1,4)
a. Persalinan prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul olehpersalinan.Periode
laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90%terjadi dalam 24 jam
setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan
dalam 24 jam.Pada kehamilan kurangdari 26minggu persalinan seringkali terjadi
dalam 1 minggu.
b. Infeksi
Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecahdini.Pada ibu
terjadi korioamnionitis.Pada bayi dapat terjadiseptikemia,pneumonia, omfalitis.
Umumnya terjadi korioamnionitissebelumjanin terinfeksi. Pada ketuban pecah
dini preterm, infeksi lebih seringdaripada aterm. Secara umum insiden infeksi
sekunder padaketubanpecah dini meningkat sebanding dengan lamanya periode
laten.
Kriteria klinis infeksi yang digunakan pada KPDyaitu; adanya febris,
uterinetenderness (di periksa setiap 4 jam), takikardia (denyut nadi maternal lebih
dari 100x/mnt), serta denyut jantung janin yang lebih dari 160 x/mnt.

c. Hipoksia dan asfiksia


Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidamnionsehingga bagian kecil
janin menempel erat dengan dinding uterus yang dapatmenekan tali pusat hingga

20
terjadi asfiksia atau hipoksia.Terdapathubungan antara terjadinya gawat janin dan
derajatoligohidamnion,semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.

d. Sindrom deformitas janin


Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dinimenyebabkanpertumbuhan
janin terhambat, kelainan disebabkan kompresimukadan anggota badan janin,
serta hipoplasi pulmonary.18

2.12Penyembuhan Selaput Ketuban


Secara umum setiap luka yang terjadi pada bagian tubuh akan melalui
beberapa tahapan, yaitu :fase Inflamasi, Proliferasi, dan Maturasi. Masing-masing
fase melibatkan banyak komponen serta mekanisme yang berbeda, diantaranya :
a. Fase Inflamasi.
Fase inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan seluler yang terjadi
akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai
adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing,
sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan.
Pada awal fase ini, kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya
platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka
(clot) dan juga mengeluarkan substansi “vasokonstriksi” yang mengakibatkan
pembuluh darah kapiler vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel
yang akan menutup pembuluh darah.Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit,
dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler stimulasi saraf sensoris (local
sensoris nerve ending), local reflex action, dan adanya substansi vasodilator:
histamin, serotonin dan sitokins. Histamin kecuali menyebabkan vasodilatasi juga
mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah
keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi
edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis.Eksudasi ini
jugamengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra vaskuler.
Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan bakteri di daerah

21
luka selama 3 hari dan kemudian akan digantikan oleh sel makrofag yang
berperan lebih besar jika dibanding dengan netrofil pada proses penyembuhan
luka. Fungsi makrofag disamping fagositosis adalah: sintesa kolagen,
pembentukan jaringan granulasi bersama-sama dengan fibroblast, memproduksi
growth factor yang berperan pada re-epitelisasi, serta pembentukan pembuluh
kapiler baru atau angiogenesis.

b.Fase Proliferasi
Proses kegiatan seluler yangpentingpadafase ini adalah memperbaiki dan
menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat
besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan
menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses
rekonstruksi jaringan.Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan),
pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks
jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari
jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang
(proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic
acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperan dalam membangun
(rekonstruksi) jaringan baru.Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam
di dalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan
proses proliferasi fibroblas dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia.
Respons yang dilakukan fibroblas terhadap proses fibroblasia adalah: proliferasi,
migrasi, deposit jaringan matriks, dan kontraksi luka. Angiogenesis merupakan
suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru didalam luka, mempunyai arti
penting pada tahap proleferasi proses penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler
akibat penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid)
mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis.
Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons
untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena biasanya
pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada
fase ini fibroblasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan

22
dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (growth
factors).Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas mengeluarkan
KeratinocyteGrowth Factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel
epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk
barier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblas,
pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan
mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan
baru tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi
myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan.
Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan
dengan defek luka minimal. Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan
lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh
berbagai growth factor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet.

c. Fase Maturasi
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai
kurang lebih 12 bulan.Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan
terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan
bermutu.Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna
kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat
fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan
dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah
perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan
dilanjutkan pada fase maturasi. Kecuali pembentukan kolagen juga akan terjadi
pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda ( gelatinous collagen)
yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih
matang, yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik (proses re-modelling).19
Karena selaput ketuban manusia tidak memiliki persarafan dan hanya
memiliki sedikit vaskularisasi, respon penyembuhan luka yang meliputi
peradangan, pembentukan jaringan parut, dan regenerasi jaringan, seperti pada
kulit dan organ lainnya, sulit terjadi.Bukti klinis mengenai potensi penyembuhan

23
selaput ketuban sebagian besar berkaitan dengan pecahnya selaput setelah
amniosentesis.Beberapa laporan kasus menyebutkan bertahannya defek selaput
ketuban selama beberapa minggu setelah prosedur invasif.Sebagian besar kasus
amniorhexis pasca amniosentesis sembuh dengan sendirinya dan menghasilkan
luaran kehamilan yang baik.Terkadang pasien dengan KPD preterm spontan
berhenti mengalami kebocoran cairan ketuban.Pasien-pasien ini juga memiliki
luaran kehamilan yang baik karena mereka bersalin pada rata-rata umur
kehamilan 38 minggu.Hal ini menunjukkan bahwa selaput ketuban memiliki
kemampuan untuk menyumbat defek yang timbul baik secara spontan atau buatan.
Namun demikian, defek tersebut dapat ditutupi, atau dapat menyumbat kembali
melalui retraksi, pergeseran, kontraksi, dan jaringan parut pada lapisan
myometrial dan desidua uterus, daripada melibatkan mekanisme penyembuhan
aktif pada tingkatan selaput fetal.3

2.12.1 Penyembuhan Selaput Ketuban In Vitro


Sel satu lapis yang diperoleh dari galur sel yang berasal dari ketuban
(FL[ATCC,CCL-62]) ditemukan mampu memperbaiki defek bedah mikro sentral,
dimana 75-80% defek tersebut diperbaiki dalam waktu 24 jam. Menggunakan
galur sel yang sebanding (WISH[ATCC,CCL-25]), ditemukan perbaikan yang
dirangsang oleh peningkatan kadar epidermal growth factor dan insulin-like
growth factor-1 pada media kultur. Pada amniosit yang diperoleh dari selaput
ketuban manusia segar yang telah dicerna, kapasitas perbaikan sel satu lapis
tersebut ditemukan sesuai dengan usia kehamilan, dengan sel yang diperoleh pada
umur kehamilan lebih muda menunjukkan laju proliferasi yang lebih tinggi dan
penutupan defek sentral yang lebih cepat. Dengan susunan yang sama, perbedaan
antara jaringan preterm dan aterm hanya terdapat pada sel mesenkim dari
ketuban.3
Penelitian pada trauma pembedahan pada selaput ketuban manusia yang
telah dikultur sampai ketebalan penuh hanya menunjukkan mekanisme perbaikan
yang terbatas. Walaupun telah terdapat bukti proliferasi sel epitel, migrasi,serta
hidupnya sel explants pada kultur selama 12 hari, ukuran keseluruhan defek tetap

24
tidak berubah. Model ini menawarkan keuntungan yaitu melibatkan semua lapisan
selaput ketuban, namun demikian, jaringan explants in vitro menjadi makin tidak
sehat seiring berjalannya waktu, dan hal ini tampaknya mempengaruhi
kemampuan penyembuhannya.3

2.12.2 Penyembuhan Selaput Ketuban pada Model Binatang


Model binatang pertama yang digunakan pada penelitian respon
penyembuhan luka pada selaput ketuban adalah tikus.Selaput ketuban tikus yang
dilubangi menggunakan jarum yang amat halus diperiksa secara makroskopis dan
histologis.Terdapat penurunan signifikan pada ukuran luka seiring waktu,
sebagian besar disebabkan oleh kontraksi luka.Dicatat sedikit perubahan
histologis berupa penebalan, fusi selaput, perlekatan, dan pembentukan
clot.Integritas membran tidak pulih selama 5 hari setelah penusukan selaput, dan
tidak terdapat proliferasi jaringan aktif.Pada model kelinci dengan KPD preterm
iatrogenik, 40% kelinci telah mengembalikan integritas selaput ketuban 1 minggu
setelah KPD preterm iatrogenik. Kadar metalloproteinase-2 dan -9,serta inhibitor
jaringan enzim-enzim metalloproteinase semuanya ditemukan meningkat pada
cairan ketuban 1 minggu setelah pecahnya selaput, yang mungkin merupakan
sebuah mekanisme remodeling aktif selaput ketuban yang melibatkan aktivasi
gelatinase. Bukti yang telah diperoleh pada domba dan monyet rhesus
mengkonfirmasi bahwa selaput ketuban memiliki kemampuan penyembuhan yang
amat terbatas (Gambar 5).3

Gambar 5.Defek Fetoscopy


menunjukkan lokasi akses fetoskopi
pada selaput ketuban seekor monyet
rhesus 6 minggu setelah dilakukan
fetoskopi. Defek tetap terbuka tanpa
ada bukti penyembuhan.

25
BAB III
AMNIOPATCH

Utuhnya selaput ketuban janin selama masa kehamilan sangat penting


untuk mempertahankan homeostasis cairan ketuban dan sebagai pertahanan
terhadap infeksi askending. Walaupun hubungan antara kejadian ketuban pecah
dini dan hasil akhir dari kehamilan belum dapat dijabarkan dengan jelas, data
tentang kapasitas selaput ketuban janin yang mengalami proses penyembuhan
masih terbatas. Beragam terapi potensial telah dikemukakan untuk pengobatan
ketuban pecah dini preterm, dimana beberapa telah berhasil, terutama pada kasus
post procedural ketuban pecah dini (iatrogenik).3
Amniopatch adalah suatu tehnik penambalan selaput ketuban (amnio-
chorion membrane) pada ketuban pecah dini yang terjadi pada kehamilan sebelum
37 minggu atau preterm premature rupture of the membranes (PPROM). Idenya
adalah memberikan kesempatan pada platelet untuk menemukan area yang cedera
lalu clot yang terjadi distabilisasi dengan kriopresipitat. Terapi Amniopatch ini
menyerupai “patch darah” yang digunakan pada kasus nyeri kepala spinal setelah
kebocoran cairan cerebrospinal iatrogenik. Hal ini didukung oleh data eksperimen
in vitro yang menunjukkan bahwa platelet melekat pada ketuban yang terluka dan
membentuk sumbatan yang distabilisasi oleh cryopresipitate. Proposal pertama
dari metode yang mendukung memperbaiki membran sudah diusulkan sejak 1986
(Baumgarten) dan 1994 (Uchide) yang berdasarkan Instilasi Transcervical
Fibrin.Sampai tahun 1996 tidak ada penanganan yang tersedia untuk KPD
iatrogenik.Sampai saat itu (1996) penanganan untuk KPD iatrogenik sebelum 23
minggu sering berupa induksi persalinan karena adanya risiko infeksi untuk ibu
disertai dengan kemungkinan hidup yang rendah untuk bayi. Pada tahun 1996
penanganan KPD iatrogenik dengan injeksi platelet dan kriopresipitat kedalam
cairan ketuban dilaksanakan dengan sukses, sejak Quintero, dkk melakukan
intra-amniotic infusion konsentrat trombosit (platelet) yang bertujuan menutup

26
defek kantong ketuban yang terjadi akibat tindakan fetoscopy untuk mengikat tali
pusat dari janin acardiac pada kehamilan kembar monoamniotik.(3,8,20)
3.1 Dasar Teori
Telah diketahui bahwa selaput ketuban manusia tidak memiliki persarafan
dan avaskuler, sehingga respon penyembuhan luka yang meliputi inflamasi,
pembentukan jaringan parut, dan regenerasi jaringan, seperti pada kulit dan organ
lainnya, sulit terjadi. Pengalaman beberapa penelitian menunjukkan bahwa
ketuban dapat ditutup dengan platelet dan cryopresipitate, serta data eksperimen
in vitro yang menunjukkan bahwa platelet melekat pada ketuban yang terluka dan
membentuk sumbatan yang distabilisasi oleh cryopresipitate.Mekanisme pasti
bagaimana amniopatch bekerja masih belum diketahui dengan pasti.Quintero dkk,
mencoba menjawab permasalahan ini dengan penelitian mereka yang untuk
pertama kalinya berhasil menyumbat kebocoran membran pada KPD
Iatrogenik.Mereka berpendapat bahwa Alpha-granul trombosit mengandung
perekatprotein, protein plasma, mitogens selular, faktor koagulasi, dan protease
inhibitor, yang akan dikeluarkan selamaaktivasi platelet dalam sistem hemostasis,
inflamasi, dan penyembuhanluka. Fibrin bertindak sebagai kisi-kisi bersama
fibroblas,endothelial sel, dan sel-sel lainnya yang diharapkan akan bermigrasi
menuju tempat ruptur ataupun mengikuti proses penyembuhan luka pada
umumnya. Mereka berspekulasi bahwa pemberian trombosit ke lokasi ruptur
dalam rongga amnion, bersama dengan fibrinogen,fibronektin, dan protein
haemostatic lainnya dalam cryoprecipitate, dapat menyediakan unsur-unsur yang
tidak ada dalam membran avaskuler yang sangat diperlukanuntuk penyembuhan
luka. (6,8)
Infus intra-amniotic trombosit konsentrat (platelet) bertujuan untuk
menyumbat/menutup kebocoran cairan dari selaput ketuban (amniotic sac) yang
terjadi selama fetosocopy. Vaskularisasi yang buruk dari membran amniotic
menyebabkan prosedur ini kurang begitu efektif, khususnya pada kasus dimana
trauma jarum menyebabkan ketuban lepas dari chorion,akan tetapi tidak dapat
diharapkan pembentukan platelet dan faktor koagulasi yang mencapai tempat
ruptur melalui pembuluh darah (avaskular). Point yang perlu diperhatikan adalah

27
lepasnya chorion dari ketuban yang sangat sering terjadi dalam robekan
iatrogenikdan sangat jarang terjadi dalam ruptur spontan. Hal ini dapat
menyebabkan peningkatan infeksi yang sering kali tidak terdeteksi dan terletak
dalam bagian caudal dari kantung dekat cervix dan vagina. Bahkan dengan
menggunakan infusi sederhana larutan garam, yang akan menyebabkan tekanan
intra-amniotic kembali normal, membantu kedua membran bersatu kembali dan
menutup ruptur yang terjadi. Infusi konsentrat trombosit diikuti dengan
cryoprecipitate yang mengandung fibrinogen, fibronektin, faktor pertumbuhan
PDGE, TGF-beta, Faktor Von Willebrand, F VIII dan F XIII dalam konsentrasi
tinggi dalam suhu dingin mengembalikan hubungan amnio-chorial yang
terganggu oleh trauma iatrogenik, sehingga menyebabkan proses perbaikan
menjadi lebih efektif.20

3.2 Prosedur
Sebelumnya diagnosis KPD dibuat dengan pemeriksaan spekulum yang
steril (untuk melihat kebocoran cairan ketuban pada vagina), tes ferning dan
nitrazin positif.Sebagai tambahan USG dipergunakan untuk melihat jumlah air
ketuban dan melihat apabila ada pelepasan selaput ketuban dari dinding uterus.
Pelepasan selaput ketuban kadang tidak diikuti kebocoran cairan ketuban dari
vagina, yang mana dalam kasus ini kemungkinan dapat diterapi dengan
amniopatch mengingat kemungkinan terjadi kebocoran yang komplit sangat tinggi
risikonya. Amniopatch khususnya ditawarkan pada beberapa pasien dengan
kriteria; umur kehamilan lebih atau sama dengan 16 minggu, serta pada KPD
iatrogenik atau pelepasan membran yang tidak menutup spontan. Amniopatch
sendiri tidak ditawarkan pada pasien; yang sudah mengalami inpartu atau ada
HIS, serta bila ada tanda-tanda infeksi intrauterin seperti demam, nyeri tekan
uterus, ketuban bau, dan fetal takikardi.(21,22)
Pasien kemudian diberi antibiotik intravena dan tirah baring selama
seminggu untuk memberi kesempatan membran menutup secara spontan. Bila
penyembuhan spontan tidak terjadi (tindakan konservatif gagal), setelah dilakukan

28
informed consent, maka amniopatch mulai dikerjakan.(8,21)Prosedur selanjutnya
adalah sebagai berikut: 20
a. Melakukan pengambilan 350-400 ml darah dalam 4 kantong sesuai
protokol autotranfusi yang diikuti dengan penyisihanplatelet autolog
(30 ml/Plt volume tot. 81.4X10e9)dan cryoprecipitate (20 ml),yang
disimpan dalam suhu -80oC.
b. Pembersihan lapangan operasi dengan antiseptik betadin pada perut
sekitar umbilikus.
c. Dilakukan evaluasi pre-prosedur dengan USG dan penentuan target
pungsi, jika tidak ada kantong (jumlah cairan sedikit) akan sulit
dilakukan amniopatch.
d. Dilakukan pungsi dengan jarum amniosentesis ukuran 22 (dengan
panduan USG), kemudian dihubungkan dengan satu set tabung
intravena dengan three way stopcock.
e. Dilakukan pembilasan (flushing) dengan NaCl 0,9% sebanyak 5 cc
untuk membuat space antara dinding uterus dengan tubuh janin.
Kemudian akan tampak free space melewati three way stopcock.
f. Dilanjutkan memasukkan trombosit konsentrat autolog 30 ml.
g. Memasukkan cryoprecipitate20 ml.
h. Pembilasan (Flushing) kembali dengan NaCl 0,9 % sebanyak 3 ml.
i. Jeda masing-masing suntikan ± 15 menit.
j. Jarum dicabut.
k. Tempat tusukan jarum ditutup dengan gas betadine.
l. Evaluasi janin dengan USG

Evaluasi post prosedur:(8,20,21)


a. Bed Rest selama 7 hari
b. Evaluasi tanda vital sign, dan tanda infeksi
c. Lanjutkan Antibiotik seperti, Amoxicillin 3x500 mg tab p.o

29
d. Jika ada tanda-tanda kontraksi uterus, diberikan tokolitik seperti;
Nifedipine 3x20 mg tab p.o
e. 12 jam post tindakan jika tidak ada keluhan, pasien boleh pindah ruangan
f. Evaluasi USG kembali dilakukan pada hari ke-3 dan hari ke-7 post
prosedur, untuk melihat kesejahteraan janin, keberhasilan terapi (apakah
masih ada air ketuban yang keluar), tanda-tanda inpartu, ataupun infeksi.
Bila kondisi memungkinkan, amniopatch dapat diulangi lagi, tetapi bila
tidak (kesejahteraan janin terganggu, KPD bertambah berat, ataupun
adanya tanda-tanda infeksi), mungkin diperlukan suatu terminasi
kehamilan.
Gambar 6 : Prosedur amniopatch

3.3 Komplikasi
Amniopatch sebagai suatu pilihan terapi pada KPD bukanlah tanpa risiko.
Bagaimanapun juga Amniopatch adalah suatu tindakan intervensi yang dapat
mengakibatkan beberapa komplikasi diantaranya :21
a. Jarum dapat menembus usus, blass, pembuluh darah pelvic atau melukai
fetus. Hal ini dicegah dengan menusukkan jarum dibawah panduan USG.
b. Potensi infeksi. Dicegah dengan amniosentesis dengan tehnik yang steril.
Infeksi sendiri sering kali diakibatkan ataupun mengakibatkan PPROM, bila
infeksi intra uterin terdeteksi, kehamilan sebaiknya diterminasi.

30
c. Kadang-kadang pasien inpartu setelah amniosentesis. Persalinan dapat
dicetuskan dari KPD ataupun infeksi.
d. Dalam jumlah yang sangat kecil (1:2000-225000) dapat terjadi infeksi setelah
tranfusi platelet dan faktor pembekuan. Hal ini dicegah dengan prosedur
standar saat perlakuan darah di bank darah.
e. Terdapat kematian fetus setelah prosedur amniopatch. Kematian ini akibat
pemberian platelet yang terlalu banyak, yang mengakibatkan perubahan
tekanan darah dan denyut jantung. Jumlah platelet yang disuntikkan
kemudian dimodifikasi menjadi tidak lebih dari 35 cc. Bagaimanapun belum
diketahui berapa kadar platelet yang aman dan efektif.

3.4 Pengalaman Menggunakan Amniopatch


Intra-amniotic infuse konsentrat trombosit (platelet), berhasil dilakukan
pertama kali pada tahun 1996 oleh Quintero, dkk.6Mereka meneliti seorang
wanita, 23 tahun (G4P2)yang telah berhasil dilakukan fetosocopy untuk mengikat
ari-ari dari janin acardiac dalam kehamilan kembar monoamniotic dalam usia
kehamilan 18 minggu. Pada hari keempat pasca tindakan, pasien mengalami KPD
yang menetap dengan penurunan volume cairan ketuban secara bermakna. Setelah
tindakan konservatif, dilakukan informed consent dan pasien menyetujui untuk
terapiamnioinfusion yang diikuti dengan amniopatch. Hari pertama setelah terapi
air ketuban sudah tidak keluar lagi, dan pada hari kedua air ketuban sudah
kembali normal, sampai dua minggu waktu pengawasan. (Gambar 7)

Gambar 7. Kondisi Air Ketuban Sebelum dan Pasca Amniopatch

31
20
Sementara Contino, dkk., mengajukan penelitian yang terdiri dari 5
kasus, dimana 3 pasien dengan KPD iatrogenic, sedangkan 2 pasien dengan KPD
spontan (usia kehamilan antara 17 sampai dengan 23 minggu), yang kemudian
diberikan terapiamniopatch, ditemukan penutupan sempurna pada selaput ketuban
dan air ketuban kembali pulih setelah 7 hari pasca tindakan pada 2 kasus yang
kemudian berakhir dengan partus spontan saat umur kehamilan 41 minggu dan SC
pada 27 minggu. Pada 3 kasus dengan penutupan ketuban yang tidak sempurna, 1
kasus masih keluar air saat umur kehamilan 32 minggu yang kemudian dilakukan
SC dengan gagal konservatif. Kasus lain perlu ditambahkan dua kali amniopatch
lagi yang kemudian di SC pada umur kehamilan 26 minggu. Kasus terakhir pasien
melahirkan di rumah sakit lain setelah 3 minggu dilakukan prosedur pada umur
kehamilan 22 minggu.20
Outcome neonatus berhasil dengan baik pada 3 pasien (41, 32, dan 27
minggu). Yang lainnya, 1 pasien yang dilakukan SC pada umur kehamilan 26
minggu mengalami komplikasi perdarahan intrakranial, sedangkan yang terakhir
dengan abortus spontan pada umur kehamilan 22 minggu. Rata-rata periode waktu
saat pemberian amniopatch dan persalinan antara KPD iatrogenic dengan yang
spontan menunjukkan perpanjangan umur kehamilan yang lebih lama pada KPD
iatrogenik (13,6 minggu berbanding 3 minggu) seperti yang ditunjukkan pada
table 4.20
Tabel 4 : Hasil Akhir Dilakukan Amniopatch
Gestational
Case PROM N.patch Delivery Outcome
age
ME 19 Iatrogenic 1 Ces.sec.32 w Good
VD 17 Iatrogenic 1 Sp.deliv.41 w Good
GM 23 Spontaneous 1 Ces.sec.27 w Good
LA 21 Iatrogenic 3 Ces.sec.26 w Brain hemorr

32
BS 19 Spontaneous 1 Sp.abort.22 w Miscarriage

Ming Chen, dkk., dalam penelitiannya di Taiwan melaporkan sebuah


pengalaman menggunakan amniopatch, dimana 40 wanita hamil dengan
oligohydramnion dilibatkan dalam penelitian ini. Sebelas wanita dijadikan kasus
dengan intervensi amnioinfusion dan amniopatch, sementara 29 wanita dijadikan
kontrol. Hasilnya adalah terdapat pemanjangan rata-rata usia kehamilan 3 minggu
lebih lama pada kelompok kasus dibandingkan kelompok kontrol setelah
dilakukan prosedur.23
Sementara itu di RSUP Sanglah sendiri sudah pernah dilakukan tehnik
amniopatch oleh dr. Hariyasa Sanjaya, SpOG, pada seorang wanita 28 tahun
(Primigravida, 19-20 minggu), ANC di SpOG sebanyak tiga kali kunjungan, air
ketuban sebelumnya didapatkan normal saat kunjungan ANC. Setelah terjadi
PPROM, air ketuban habis. Pada evaluasi USG tampak kedua ginjal janin dan
terlihat kandung kencing janin.Dilakukan amniopatch setelah hari ketiga (setelah
gagal konservatif). Namun evaluasi dihari ketujuh post amniopatch, air ketuban
tetap keluar dan tidak ditemukan air ketuban di rongga amnion. Prosedur
amniopatch gagal menutup robekan selaput ketuban yang terjadi
spontan.Kemungkinan robekan ini cukup lebar dan tidak berhasil
ditutup.Akhirnya kehamilan diterminasi atas permintaan pasien.
Hingga saat ini cukup banyak penelitian yang dilakukan berkaitan dengan
amniopatch dalam penatalaksanaan KPD preterm, yang sebagian besar berhasil
dalam memperpanjang masa kehamilan.Namun bagaimanapun juga tehnik
amniopatch dalam menyumbat kebocoran selaput ketuban masih banyak memiliki
kelemahan terutama dalam penanganan KPD preterm yang terjadi secara spontan,
sehingga penelitian lanjutan dalam penyempurnaan tehnik ini masih sangat
diperlukan.

33
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1KESIMPULAN
Berbagai faktor dapat menjadi penyebab terjadinya Ketuban Pecah Dini
(KPD), dimana salah satunya adalah pasca tindakan intervensi intrauterin yang
dikenal dengan KPD iatrogenik. Tingginya prosedur tersebut sekaligus
meningkatkan kejadian KPD iatrogenik - disamping KPD spontan - yang
kemudian mendorong berbagai upaya “penyumbatan” selaput ketuban. Salah satu
upaya tersebut yang dianggap paling efektif adalah Amniopatch, yaitu penggunaan
injeksi platelet dan cryoprecipitate kedalam cairan ketuban, dimana
penyembuhan spontan sangat sulit terjadi pada membran yang miskin
vaskularisasi.Prinsip dasar Amniopatch adalah memberikan kesempatan pada
platelet untuk menemukan area yang cedera lalu clot yang terjadi distabilisasi
dengan cryoprecipitate.
Berbagai penelitian telah menunjukkan keberhasilan amniopatch dalam
penatalaksanaan KPD preterm, terutama untuk KPD iatrogenik, yang secara
signifikan dapat memperpanjang kehamilan dan meningkatkan luaran bayi.

4.2SARAN
Prosedur amniopatchmasih perlu terus dikembangkan penyempurnaannya
untuk menjawabpermasalahanPPROM baik yang iatrogenik ataupun spontan,
dengan segala implikasinya.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Sualman K.Penatalaksanaan KetubanPecah Dini pada Kehamilan Preterm.


Universitas Riau, Pekanbaru. 2009
2. Lewi L, Schoubroeck DV, Ranst MV, Bries G, Emonds M-P, Arabin B, et al.
Successful Patching of Iatrogenic Rupture of the Fetal Membranes.Placenta
(2004), 25, 352–356
3. Devlieger R, Millar LK, Bryant G, Lewi L, Deprest JA. Fetal Membrane
Healing After Spontaneous and Iatrogenic Membrane Rupture: A Review of
Current Evidence. American Journal of Obstetrics and Gynecology (2006)
195, 1512–20
4. Wiknyosastro H, Saiffudin AB, Rachimhadi T. Ilmu Kebidanan, Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1999; 85-86
5. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom
KD.Williams Obstetrics. 21 st edition.2001. 1647-1649.
6. Quintero R, Romero R, Dzieczkowski J, Mammen E,Evans MI. Sealing of
Ruptured Amniotic Membranes withIntra-amniotic Platelet-cryoprecipitate
Plug [letter]. Lancet. 1996; 347: 1117.
7. Rustam Mochtar. Sinopsis Obstetri. Ed. 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta. 1998
8. Quintero R, Morales W, Allen M, Bornick P, Arroyo J, LeParc G. Treatment
of Iatrogenic Previable Premature Rupture of Membranes with Intraamniotic
Injection of Platelets and Cryoprecipitate (Amniopatch): Preliminary
Experience. Am J Obstet Gynecol 1999;181:744-749
9. Brace RA, Wolf EJ. Amniotic Fluid Volume Changes Throughout Pregnancy.
Am J Obstet Gynecol, 161:382, 1989

35
10. Durfee RB, Pernoll ML. Premature Rupture of the Membranes In: Current
Obsetrics & Gyecologic Diagnosis & Treatment, Pernoll ML, ed. Lange
Medical Publications, New Jersey; 1991; 332-334

11. Lewi L, Gratacos E, Ortibus E, Schoubroeck DV, Carreras E, Higueras T,


et.al. Pregnancy and infant outcome of 80 consecutive cord coagulations in
complicated monochorionic multiple pregnancies. American Journal of
Obstetrics and Gynecology (2006) 194, 782–9
12. Supono. Ilmu Kebidanan Fisiologis. Bagian Obstetric dan Ginekologi RSUP
Palembang/FK Unsri, 1985
13. Mercer BM. Preterm Premature Rupture of the Membranes. Obstet Gynecol
2003;101:178-93.
14. Siswodarmo R. Obstetri Fisiologis. Edisi 1. Yogyakarta : Andi Offset , 1992
15. Sadller TW. Embriologi kedokteran Langmans. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 1996
16. Parry S, Struss JF. Premature Rupture of Fetal Membranes: a review article.
NEJM 1998;338:663-670.
17. Weber G, Merz E. Amniotic Fluid. Ultrasound in Obstetrics and
Gynecology. 2005:409-414
18. Carnaghan KH, Harrison MR. Presealing of the chorioamniotic membranes
prior to fetoscopic surgery:Preliminary study with unfertilised chicken egg
models. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive
Biology 144S (2009) S142–S145
19. Kalangi, S.J.R. Peran Kolagen Pada Penyembuhan Luka. Dexa Media. 2004.
17(4): 168‐74.
20. Contino B, Armellino F, Brokaj L, Patroncini S. Amniopatch, a Repairing
Technique for Premature Rupture of Amniotic Membranes in Second
Trimester. 27-30. 2004. In http://www.nebi.nlm.nih.gov/pubmed/15301286
21. Quintero R, Morales W, Kalter C, Allen M, Mendoza G, Angel J, et. al.
Transabdominal intra-amniotic endoscopic assessment of previable premature
rupture of membranes. Am J Obstet Gynecol 1998;179:71-6

36
22. Palacio M, Cobo T, Figueras F, Go’mez O, Coll O. Previable Rupture of
Membranes: Effect of Amniotic Fluid on Pregnancy Outcome. European
Journal of Obstetrics & Gynecology andReproductive Biology 138 (2008)
158–163
23. Chen M, Hsieh CY, Cameron AD, Shih JC, Lee CN, Hoz HN, et.al.
Management of Oligohydramnios with Antepartum Amnioinfusion,
Amniopatch and Cerclage. Taiwanese J Obstet Gynecol. December 2005.Vol
44. No. 4.

37

Anda mungkin juga menyukai