Anda di halaman 1dari 35

CASE REPORT I

HIPERTENSI EMERGENSI DENGAN VERTIGO

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Dokter Umum


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Stase Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing :
dr. Auliya Andriyati, Sp.PD

Diajukan Oleh :
Oka Iramda Saputra
J510170014

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
CASE REPORT I

HIPERTENSI EMERGENSI DENGAN VERTIGO


Oleh :
Oka Iramda Saputra
J510170014

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari Selasa, 18 Juli 2017.

Pembimbing:
dr. Auliya Andriyati, Sp.PD. (.............................................)

Dipresentasikan dihadapan:
dr. Auliya Andriyati, Sp.PD. (.............................................)

Disahkan Ka Program Profesi:


dr. Flora Ramona S. P., Sp.KK, M.Kes (.............................................)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hipertensi atau sering disebut dengan tekanan darah tinggi termasuk
salah satu penyakit pembuluh darah (vascular disease). Definisi hipertensi
menurut Ganong (2010), Guyton (2014), WHO (2013) and JNC VIII adalah
suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah didalam arteri diatas
140/90 mmHg pada orang dewasa dengan sedikitnya tiga kali pengukuran
secara berurutan.1,2,3
Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia dan
berkaitan erat dengan pola perilaku hidup masyarakat itu sendiri. Selama kurun
waktu kehidupannya, penderita hipertensi bisa mengalami peningkatan tekanan
darah yang mendadak yang disebut sebagai hipertensi emergensi. Keadaan ini
dapat menyebabkan kerusakan organ target yang pada akhirnya akan
meningkatkan angka kematian akibat hipertensi.
Berbagai gambaran klinis dapat menunjukkan keadaan hipertensi
emergensi dan secara garis besar, The Fifth Report of the Joint National
Comitte on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC
V) membagi hipertensi ini menjadi 2 golongan yaitu : hipertensi emergensi
(darurat) dan hipertensi urgensi (mendesak). Membedakan kedua golongan
hipertensi ini bukanlah dari tingginya tekanan darah, tapi dari kerusakan organ
sasaran. Seberapa besar tekanan darah yang dapat menyebabkan hipertensi
emergensi tidak dapat dipastikan, sebab ini juga bisa terjadi pada penderita
yang sebelumnya normotensi atau hipertensi ringan/sedang.
Penderita hipertensi emergensi dapat mengalami kerusakan organ
seperti otak, mata, jantung, ginjal, dan arteri perifer. Salah satu tanda kerusakan
organ yang terjadi pada otak dan mata adalah terjadinya vertigo. Vertigo
merupakan persepsi gerakan yang salah, baik persepsi dalam diri pasien
terhadap keadaan sekitarnya, sebagai akibat dari ketidakseimbangan input
vestibuler. Pasien mengeluh bahwa dunia sekitar seolah berputar disekeliling

1
2

mereka, dan disertai dengan mual , muntah, dan hilangnya keseimbangan.


Vertigo memiliki banyak istilah awam sebagai pusing, pening, rasa berputar -
putar, seempoyongan, rasa melayang, atau merasakan badan atau sekelilingnya
berputar - putar dan jungkir balik.
Kejadian hipertensi emergensi diperkirakan akan meningkat pada
masyarakat sejalan dengan meningkatnya data hipertensi. Untuk mencegah
timbulnya kerusakan organ akibat hipertensi emergensi di indonesia, perlu
dilakukan upaya pengenalan dini dan penatalaksanaan hipertensi emergensi
yang disepakati bersama sehingga dapat dilaksanakan oleh para dokter di
pelayanan primer ataupun di rumah sakit. 4,5,6
Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa berputar
mengelilingi pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi lingkungan
sekitar. Vertigo tidak selalu sama dengan dizziness. Dizziness adalah sebuah
istilah non spesifik yang dapat dikategorikan ke dalan 4 subtipe tergantung
gejala yang digambarkan oleh pasien.7
Terdapat empat tipe dizziness yaitu vertigo, lightheadedness,
presyncope, dan disequilibrium. Yang paling sering adalah vertigo yaitu sekitar
54% dari keluhan dizziness yang dilaporkan pada primary care. 8

B. Tujuan Penulisan
1. Penulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada tenaga medis
dan dokter mengenai hipertensi emergensi dengan vertigo sehingga dapat
dilakukan pengobatan dengan cepat.
2. Penulisan ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD
Sukoharjo.
C. Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapakan dapat memberikan manfaat kepada penulis
dan pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat lebih
mengetahui dan memahami mengenai kasus hipertensi emergensi dengan
vertigo.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Ny. S
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 76 tahun
Alamat : Guntur 1/1 Pandeyan, Grogol, Sukoharjo
Agama : Islam
Status Pernikahan : Janda
Tanggal Masuk RS : 28 Mei 2017
No. CM : 193xxx
Tanggal Pemeriksaan : 30 Mei 2017
B. Anamnesis
1. Keluhan utama : Pusing berputar
2. Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke IGD RSUD Sukoharjo
dengan keluhan pusing berputar terus-menerus terutama ketika ingin duduk,
sehingga membuat pasien hanya berbaring, keluhan disertai nyeri tengkuk
(+), mual (+), muntah (+), dan telinga berdenging (+) sejak 2 hari yang lalu
SMRS. Pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan pasien
mengatakan mempunyai riwayat hipertensi (+).
3. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat hipertensi : diakui
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat penyakit asma : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat Gastritis : diakui
Riwayat Rawat Inap : diakui, lebih dari 3 kali.

3
4

5. Riwayat penyakit keluarga


Riwayat hipertensi : diakui, yaitu pada ibu pasien.
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat penyakit asma : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
C. Anamnesis Sistem
1. Sistem cerebrospinal : lemas (+), pusing berputar (+), gelisah (-)
2. Sistem cardiovaskular : sianosis (-), anemis (-), akral dingin (-)
3. Sistem respiratorius : Sesak napas (-), SDV (+/+), Batuk (-)
4. Sistem genitourinarius : Buang air kecil lancar, tidak ada keluhan
5. Sistem gastrointestinal : Buang air besar (+), Nyeri perut (-), mual (-),
muntah (-)
6. Sistem musculoskeletal : Edema tungkai (-), nyeri sendi/ tulang (-), kaku
pada ekstremitas (-), tremor (-)
7. Sistem integumentum : Pucat (-), ruam/ bintik kemerahan (-)
D. Pemeriksaan Fisik
1. Status generalis
a. Keadaan umum : Lemas
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Vital Sign : TD : 200/110 mmHg Nadi : 88 x/menit
S : 36,1˚C RR : 28 x/menit
2. Status Lokalis
Kepala : normochepal
Mata : konjungtiva anemis (-/-),,sclera ikterik (- /-)
Mulut : bibir sianosis (-) bibir kering (-), lidah kotor (-)
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : bentuk normal, tidak terlihat adanya kelainan pada dinding
dada
5

Paru
Inspeksi : Gerakan dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus paru kanan sama dengan paru kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, batas paru normal
Auskultasi: Suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba, tidak kuat angkat bergeser sedikit ke
lateral
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi: Suara jantung I, II tunggal, regular, gallop(-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Dinding perut lebih rendah dari dada, kulit ikterik (-),
tidak tampak massa
Auskultasi: peristaltik normal (6x/menit)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor
kulit baik
Perkusi : timpani, ascites (-)
Ekstremitas
Ekstremitas superior dextra : hangat (+), oedema (-)
Ekstremitas superior sinistra : hangat (+), oedema (-)
Ekstremitas inferior dextra : hangat (+), oedema (-)
Ekstremitas inferior sinistra : hangat (+), oedema (-)
6

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium Darah Lengkap dengan Diff Count
Kamis, 28 Mei 2017
No Nama Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Normal
1 Lekosit 6.9x 103/ul 3.6 - 11.0
2 Eritrosit 5.02 x 106/ul 3.80 - 5.20
3 Hemoglobin 13.3 g/dl 11.7 – 15.5
4 Hematokrit 39,2 % 35 – 47
5 Index Eritrosit
MCV 78.1 fL 80 – 100
MCH 26.5 pg 26 – 34
MCHC 33.9 g/dL 32 – 37
6 Trombosit 285 x 103/ul 150 – 450
7 RDW-CV 12.3 % 11.5 – 14.5
8 PDW 10.2 fL
9 MPV 10.1 fL
10 P-LCR 23.6 %
11 PCT 0.29 %
12 DIFF COUNT
NRBC 0.00 % 0–1
Neutrofil 44.1 % 53 – 75
Limfosit 47.8 % 25 – 40
Monosit 5.90 % 2–8
Eosinofil 1.90 % 2.00 – 4.00
Basofil 0.30 % 0–1
IG 0.30 %
13 Golongan Darah O
7

Kimia Klinik
No Nama Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Normal
1 GDS H 108 mg/dL 70 – 120
2 Ureum 34.7 mg/dL 0 – 31
3 Kreatinin 0.80 mg/dL 0.50 – 0.90
4 SGOT 19.19 U/L 0 – 35
5 SGPT 8.8 U/L 0 – 35

Sero Imunologi
No Nama Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Normal
1 HBs Ag Non Reaktif Non Reaktif

2. Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG)


8

F. Diagnosis
Hipertensi Emergency dengan Vertigo
G. Terapi
O2 3 Lpm
Infus RL 20 tpm
Injeksi Furosemid 1A/12 jam
Injeksi Antalgin 1A/8 jam
Injeksi Ondancentron 4mg/8 jam
Injeksi Ranitidin 1A/12 jam
Captopril 3x25mg
Betahistin 3x1
H. Follow Up
1. Senin, 29 Mei 2017
Subjektif : Pasien dengan keluhan pusing berputar semakin memberat
sehingga membuat pasien hanya berbaring, keluhan disertai
9

nyeri tengkuk (+), mual (-), muntah (-), dan telinga


berdenging (+), nyeri pinggang (+).
Objektif : Keadaan umum sedang , Kesadaran kompos mentis, TD:
160/80 mmHg, Respirasi: 28 kali/ menit, Nadi: 88 kali/
menit, Suhu: 36,20C, Sklera ikterik (-/-), Conjunctiva anemis
(-/-), Pembesaran kelenjar getah bening (-), Thorax : Bunyi
Jantung I-II: tunggal, regular, Paru: Suara dasar vesikuler
+/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-, Abdomen : supel, peristaltik
(+), Ekstremitas hangat dan tidak terlihat adanya oedema
Assesment : Hipertensi Emergency
Planning : O2 3 Lpm, Infus aminofluid:RL = 1:1 20 tpm, Injeksi
Esomeprazole drip 1A dalam NaCl 100cc habis dalam 1 jam,
Injeksi Antalgin 1A/8 jam, Captopril 3x25mg, Betahistin 3x1,
HCT 1x 25mg
- Konsul saraf
- Diet rendah garam
2. Selasa, 30 Mei 2017
Subjektif : Pasien dengan keluhan pusing berputar (+) sehingga
membuat pasien hanya berbaring, keluhan disertai nyeri
tengkuk (+), mual (-), muntah (-), dan telinga berdenging (+),
nyeri pinggang (+).
Objektif : Keadaan umum baik, Kesadaran kompos mentis, TD: 150/90
mmHg, Respirasi: 20 kali/ menit, Nadi: 80 kali/ menit, Suhu:
36,50C, Sklera ikterik (-/-), Conjunctiva anemis (-/-),
Pembesaran kelenjar getah bening (-), Thorax : Bunyi
Jantung I-II: tunggal, regular, Paru: Suara dasar vesikuler
+/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-, Abdomen : supel, peristaltik
(+), Ekstremitas hangat dan tidak terlihat adanya oedema
Assesment : Hipertensi Emergensi dengan Vertigo
Planing : Infus aminofluid:RL = 1:1 20 tpm, Injeksi Esomeprazole
drip 1A dalam NaCl 100cc habis dalam 1 jam, Injeksi
10

Antalgin 1A/8 jam, Captopril 3x25mg, Betahistin 3x1, HCT


1x 25mg, Flunarizine 1x1.
3. Rabu, 31 Mei 2017
Subjektif : Pasien dengan keluhan pusing berputar (+) sehingga
membuat pasien hanya berbaring, keluhan disertai nyeri
tengkuk (+), mual (-), muntah (-), dan telinga berdenging
(+), nyeri pinggang (+).
Objektif : Keadaan umum baik, Kesadaran kompos mentis, TD:
140/100 mmHg, Respirasi: 20 kali/ menit, Nadi: 84 kali/
menit, Suhu: 36,30C, Sklera ikterik (-/-), Conjunctiva
anemis (-/-), Pembesaran kelenjar getah bening (-), Thorax :
Bunyi Jantung I-II: tunggal, regular, Paru: Suara dasar
vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-, Abdomen : supel,
peristaltik (+), Ekstremitas hangat dan tidak terlihat adanya
oedema
Assesment : Hipertensi Emergensi dengan Vertigo
Planing : Infus aminofluid:RL = 1:1 20 tpm, Injeksi Esomeprazole
drip 1A dalam NaCl 100cc habis dalam 1 jam, Injeksi
Antalgin 1A/8 jam, Captopril 3x25mg, Betahistin 3x1, HCT
1x 25mg, Flunazine 1x1.
4. Jum’at, 02 Mei 2017
Subjektif : Pasien dengan keluhan pusing berputar (+) sudah mulai
membaik, keluhan disertai nyeri tengkuk (+), mual (-),
muntah (-), dan telinga berdenging (+), nyeri pinggang (+).
Objektif : Keadaan umum baik, Kesadaran kompos mentis, TD: 140/90
mmHg, Respirasi: 20 kali/ menit, Nadi: 88 kali/ menit, Suhu:
36,20C, Sklera ikterik (-/-), Conjunctiva anemis (-/-),
Pembesaran kelenjar getah bening (-), Thorax : Bunyi
Jantung I-II: tunggal, regular, Paru: Suara dasar vesikuler
+/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-, Abdomen : supel, peristaltik
(+), Ekstremitas hangat dan tidak terlihat adanya oedema
11

Assesment : Hipertensi Emergensi dengan Vertigo


Planing : Infus aminofluid:RL = 1:1 20 tpm, Injeksi Esomeprazole
drip 1A dalam NaCl 100cc habis dalam 1 jam, Injeksi
Antalgin 1A/8 jam, Captopril 3x25mg, Betahistin 3x1, HCT
1x 25mg, Flunazine 1x1.
5. Sabtu, 03 Mei 2017
Subjektif : Pasien dengan keluhan pusing berputar sudah mulai
membaik dan pasien sudah dapat duduk, keluhan disertai
nyeri tengkuk membaik, mual (-), muntah (-), dan telinga
berdenging (-), nyeri pinggang (-).
Objektif : Keadaan umum baik, Kesadaran kompos mentis, TD: 130/80
mmHg, Respirasi: 20 kali/ menit, Nadi: 80 kali/ menit, Suhu:
36,60C, Sklera ikterik (-/-), Conjunctiva anemis (-/-),
Pembesaran kelenjar getah bening (-), Thorax : Bunyi
Jantung I-II: tunggal, regular, Paru: Suara dasar vesikuler
+/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-, Abdomen : supel, peristaltik
(+), Ekstremitas hangat dan tidak terlihat adanya oedema
Assesment : Hipertensi Emergensi dengan Vertigo perbaikan
Planing : Pasien diperbolehkan pulang. Captopril 3x25mg, HCT
1x25mg, Ranitidin 2x1
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hipertensi Emergency
1. Definisi
Hipertensi emergensi (darurat), yaitu peningkatan tekanan darah
sistolik > 180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg secara mendadak disertai
kerusakan organ target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi segera
mungkin dalam satu jam dengan memberikan obat – obatan anti hipertensi
intravena.9
2. Etiologi
Penyebab dari hipertensi emergensi adalah semua yang dapat
meningkatkan tekanan darah. Tingkat kenaikan tekanan darah berbanding
lurus dengan resiko terjadinya hipertensi emergensi. Keadaan hipertensi
kronik menurunkan kemungkinan terjadinya hipertensi emergensi.
Sebaliknya pada individu tanpa riwayat hipertensi sebelumnya, hipertensi
emergensi dapat terjadi pada nilai tekanan darah yang lebih rendah.10.
Tabel 1. Etiologi Hipertensi Emergensi

Hipertensi Primer
Penyakit Parenkim Ginjal Glomerulonefritis Akut
Vaskulitis
Sindrom Uremik Hemolitik
Trombotik Trombositopenik Purpura
Penyakit Vaskular Renal Stenosis Arteri Renal
Kehamilan Eklampsia
Endokrin Pheokromositoma
Sindrom Cushing
Renin-Secreting tumor
Hipertensi mineralocorticoid
Obat-obatan Kokain, simpatomimetik, eritropoietin,
siklosporin
Withdrawal antihipertensi
Interaksi dengan Tyramin (MAOi)
Amfetamin, lead intoxication
Hipereakivitas autonomic Guillain-Barre syndrome, porphyria
intermittent akut
Penyakit Susunan Saraf Pusat Injuri serebral, infark/pendarahan
serebral, tumor otak

12
13

3. Epidemiologi
Penderita hipertesi 1% akan mengalami hipertensi emergensi
dengan gangguan kerusakan organ seperti infark serebral (24,5%),
ensefalopati (16,3%), dan perdarahan intraserebral atau subaraknoid
(4,5%), gagal jantung akut dengan edema paru (36,8%), miokard infark
akut atau angina tidak stabil (12%), diseksi aorta (2%), eklamsia (4,5%)
dan ginjal (1%).
Kejadian hipertensi emergensi diperkirakan akan meningkat pada
masyarakat sejalan dengan meningkatnya data hipertensi. Untuk mencegah
timbulnya kerusakan organ akibat hipertensi emergensi di Indonesia, perlu
dilakukan upaya pengenalan dini dan penatalaksanaan hipertensi
emergensi yang disepakati bersama sehingga dapat dilaksanakan oleh para
dokter di pelayanan primer ataupun di rumah sakit.
4. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya hipertensi emergensi hingga saat ini belum
diketahui secara jelas. Teori yang berkembang menghubungkan kejadian
hipertensi emergensi dengan kenaikan resistensi vaskular secara
mendadak. Peningkatan resistensi vaskular dapat dipicu oleh beberapa
agen vasokonstriktor seperti angiotensin II atau norepinephrin atau dapat
terjadi karena hasil dari keadaan hipovolemia relatif. Penelitian terhadap
hewan menunjukkan bahwa aktivasi dari renin-angiotensin-aldosteron
merupakan bagian yang penting dari proses terjadinya hipertensi
emergensi.10
Selama terjadinya kenaikan tekanan darah, endothelium
berkompensasi dengan keadaan resistensi vaskular dengan meningkatkan
pengeluaran dari molekul vasodilator seperti nitric oxide. Hipertensi yang
bertahan atau parah, respon kompensasi dari vasodilator tidak lagi mampu
mengatasi keadaan tersebut, mengakibatkan terjadinya dekompensasi
endothelial yang nantinya akan menyebabkan peningkatan yang lebih lagi
dari tekanan darah dan terjadinya kerusakan endotel. Kejadian lanjutan
yang terjadi adalah siklus kegagalan homeostasis yang menyebabkan
14

peingkatan resistensi vaskular dan kerusakan endotel yang lebih jauh.


Mekanisme pasti dari kerusakan fungsi endotel belum dapat dijelaskan.
Mekanisme yang dipertimbangkan adalah respon proinflamasi yang dipicu
oleh “mechanical stretching” seperti pengeluaran sitokin-sitokin dan
monocyte chemotatic protein 1, peningkatan konsentrasi endothelial cell
cytosolic calcium, pengeluaran vasokonstriktor endothelin 1 dan
peningkatan ekspresi dari endothelial adhesion molecule. Peningkatan
ekspresi dari vaskular adhesion molecule seperti P-selectin, E-selectine
atau intracellular adhesion molecule 1 oleh sel endotel memicu inflamasi
lokal dan menyebabkan kerusakan tambahan dari fungsi endotel.10

Gambar 1. Patofisiologi vaskular Hipertensi Emergens4


A: Sel endothelium mengatur resistensi vaskular dengan mengeluarkan
Nitric Oxide (NO) dan Prostasiklin. B: Perubahan akut resistensi vaskular
karena produksi berlebihan dari katekolamin, angiotensin II, vasopressin,
aldosteron, tromboxan dan endotelin 1. Atau produksi rendah dari
vasodilator endogen seperti NO dan PGI2. Kenaikan tekanan darah secara
mendadak dapat memicu ekspresi dari Cellular Adhesion Molecule(CAMs)
15

oleh endothelium. C: Keadaan hipertensi emergensi, sel endotel tidak


dapat lagi mengontrol tonus vaskular menyebabkan terjadinya hiperperfusi
end-organ, nekrosis fibrioid arterial dan peningkatan permeabilitas
vaskular dengan edema perivaskular. Berkurangnya aktivitas fibrinolitik
ditambah dengan aktivasi koagulasi dan trombosit menyebabkan
terjadinya disseminated intravaskular coagulation (DIC).
Semua kejadian molekular ini pada akhirnya akan memicu
terjadinya peningkatan permeabilitas endotel, menghambat fibrinolitik
lokal dari endothel dan mengaktifkan jalur koagulasi. Agregasi trombosit,
dan degranulasi pada endothelium yang telah rusak, dapat memicu
terjadinya inflamasi yang lebih parah, trombosis dan vasokonstriksi.10
5. Manifestasi Klinis
a. Emergensi Neurologis
Hipertensi neurologis merupakan hipertensi emergensi yang
disertai kerusakan pada sistem saraf. Manifestasi yang sering terjadi
adalah ensefalopati hipertensi, stroke iskemik akut, pendarahan
intracranial, emboli otak dan pendarahan subaraknoid. Emergensi
neurologis sangat susah dibedakan satu sama lain. Ensefalopati
hipertensi dapat ditegakkan setelah yang lain dapat disingkirkan. Stroke
baik yang disebabkan oleh trombosis atau pendarahan dapat didiagnosis
dengan melihat adanya defisit neurologis fokal atau dengan
menggunakan pemeriksaan penunjang seperti Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Pendarahan subaracnoid dapat didiagnosis dengan
pungsi lumbar.11 Perbedaan dan persamaan dari emergensi neurologis
dapat terlihat pada Tabel 2.
16

Tabel 2. Persamaan dan Perbedaan pada Emergensi Neurologis

Infark
Pendarahan Pendarahan Ensefalopati
Serebral
Subarachnoid Intraparenkim Hipertensi
Akut

Anamnesis
Durasi Akut akut Akut Sub-akut
Nyeri
Kepala bervariasi parah bervariasi Parah

Riwayat Umum,
Umum, tetapi Umum, tetapi
Hipertensi tetapi bervariasi bervariasi
Universal
bervariasi
Pemeriksaan Fisik
Retinopati 0-IV 0-IV 0-IV II-IV
Jarang;
Defisit Sesuai bervariasi
Neurologi Sesuai lokasi
lokasi Bervariasi sesuai
s Fokal pendarahan
Infark tekanan
darah
Laboratorium
Pungsi Biasanya Xanthocromic Xanthocromic Biasanya
Lumbar normal atau berdarah atau berdarah normal
Computed Dapat Terkadang dapat
Axial menunjukk Biasanya menunjukkan Biasanya
Tomograp an daerah normal daerah normal
hy Scan infark pendarahan

b. Hipertensi Kardiak
Manifestasi hipertensi emergensi yang pada sistem kardiak yang
paling sering terjadi adalah infark atau iskemi miokard akut, edema
paru dan diseksi aorta. Pasien dengan kenaikan tekanan darah yang
signifikan seharusnya dilakukan pemeriksaan EKG untuk
mengidentifikasi adanya iskemia kardiak, auskultasi pada paru dan
pemeriksaan lain untuk mencari apakah ada gagal jantung. Pemeriksaan
lainnya adalah dilakukan foto thoraks untuk melihat vaskularisasi pada
paru-paru dan diameter dari aorta.11
17

c. Emergensi vascular
Emergensi vaskular meskipun jarang terjadi, tetap harus
diwaspadai. Manifestasi dari hipertensi emergensi di vaskular adalah
epistaksis yang parah yang tidak responsive dengan pemberian tampon
anterior maupun posterior.11
d. Hipertensi Emergensi dengan hematuria dan/atau gengguan fungsi
ginjal.
Pasien dengan hipertensi emergensi sering mengalami hematuria
mikroskopik atau penurunan fungsi ginjal akut. Pemeriksaan urinalisis
dan penilaian kadar serum kratinin seharusnya dilakukan pada semua
pasien dengan tekanan darah yang tinggi. Riwayat sebelumnya harus
digali apakah kadar kreatinin serum yang tinggi sekarang merupakan
keadaan yang disebabkan oleh penyakit ginjal terdahulu.11
Keadaan ginjal pada pasien dengan hipertensi emergensi dengan
gangguan ginjal biasanya mengalami fungsi ginjal yang lebih buruk
meskipun tekanan darah telah diturunkan dengan benar, Teori yang
berkembang yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah karena tekanan
darah yang tinggi merupakan respon tubuh untuk menjaga perfusi yang
tepat ke ginjal, dengan penurunan tekanan darah, memperburuk
keadaan dari ginjal. Beberapa kejadian membutuhkan hemodialisis
karena disebabkan oleh penurunan tekanan darah tersebut.11
e. Hipertensi Emergensi dalam Kehamilan
Hipertensi emergensi pada kehamilan biasa terjadi pada keadaan
tekanan darah yang lebih rendah dibandingkan dengan keadaan tidak
hamil karena pada saat hamil, tekanan darah biasanya menurun.
Masalah terbesar dari hipertensi emergensi dalam kehamilan adalah
karena banyak obat-obatan untuk hipertensi yang penggunaannya
kontraindikasi pada masa kehamilan. Contoh obat-obatan tersebut
adalah Nitroprusside yang dimetabolisme menjadi sianida yang toksik
pada janin. ACE inhibitor dan angiotensin II reseptor bloker juga
18

kontraindikasi pada trimester kedua dan ketiga dari kehamilan karena


sifatnya yang nefrotoksik dan efek sampingnya pada janin.4,11
6. Diagnosis
Anamnesis yang dilakukan harus melingkupi durasi secara detail
dan keparahan dari hipertensi sebelumnya dan juga adanya kegagalan
organ yang terjadi sebelumnya. Obat-obatan anti hipertensi derajat
pengontrolan tekanan darah dan obat-obatan yang memicu naiknya
tekanan darah seperti kokain harus ditanya secara detail. Gejala khusus
pada organ terminal harus ditanya dengan lengkap.4,10 Beberapa gejala
yang muncul adalah sebagai berikut.10
a. Nyeri dada
Menggambarkan adanya iskemia myocardial atau miokardia infark atau
diseksi aorta.
b. Nyeri punggung
Menggambarkan adanya diseksi aorta
c. Sesak Nafas
Adanya edema paru atau gagal jantung kongestif
d. Gejala Neurologi seperti kejang atau penurunan kesadaran
Menggambarkan ensefalopati hipertensi
Pemeriksaan Fisik yang dilakukan pertama kali adalah apakah
terdapat kerusakan organ. Tekanan darah dilakukan jika memungkinkan
pada dua posisi untuk mencari tahu apakah ada deplesi volume dalam
intravaskular. Tekanan darah juga sebaiknya dilakukan pada kedua tangan,
apabila terdapat perbedaan yang signifikan, dapat memunculkan
kecurigaan terjadinya diseksi aorta. Pemeriksaan kardiovaskular harus
berfokus pada adanya kegagalan jantung seperti adanya peningkatan
tekanan vena jugular, adanya crakles, atau gallop. Pemeriksaan neurologis
harus dapat menilai tingkat kesadaran, gejala iritasi meningen, lapang
pandang dan gejala-gejala fokal.10
19

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan segera adalah
konsentrasi urea, elektrolit, kreatinin serum, pemeriksaan darah lengkap,
EKG, foto Thoraks dan analisa urin.10
8. Tatalaksana
Seperti keadaan klinik gawat yang lain, penderita dengan krisis
hipertensi sebaiknya dirawat di ruang perawatan intensif. Pengobatan
krisis hipertensi dapat dibagi:
a. Penurunan tekanan darah
Pada dasarnya penurunan tekanan darah harus dilakukan secepat
mungkin tapi seaman mungkin. Tingkat tekanan darah yang akan
dicapai tidak boleh terlalu rendah, karena akan menyebabkan
hipoperfusi target organ. Untuk menentukan tingkat tekanan darah yang
diinginkan, perlu ditinjau kasus demi kasus. Dalam pengobatan krisis
hipertensi, pengurangan Mean Arterial Pressure (MAP) sebanyak 20–
25% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari apakah emergensi atau
urgensi penurunan TD pada penderita aorta diseksi akut ataupun
oedema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15–30
menit dan bisa lebih rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi
lainnya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan TD 25% dalam 2–
3 jam. Untuk pasien dengan infark cerebri akut ataupun pendarahan
intrakranial, pengurangan TD dilakukan lebih lambat (6 – 12 jam) dan
harus dijaga agar TD tidak lebih rendah dari 170 – 180/100 mmHg.
b. Pengobatan target organ
Meskipun penurunan tekanan darah yang tepat sudah
memperbaiki fungsi target organ, pada umumnya masih diperlukan
pengobatan dan pengelolaan khusus untuk mengatasi kelainan target
organ yang terganggu. Misalnya pada krisis hipertensi dengan gagal
jantung kiri akut diperlukan pengelolaan khusus termasuk pemberian
diuretic, pemakaian obat-obat yang menurunkan preload dan afterload.
Pada krisis hipertensi yang disertai gagal ginjal akut, diperlukan
20

pengelolaan khusus untuk ginjalnya, yang kadang-kadang memerlukan


hemodialisis.
c. Pengelolaan khusus
Beberapa bentuk krisis hipertensi memerlukan pengelolaan
khusus, terutama yang berhubungan dengan etiloginya, misalnya
eklampsia gravidarum.
Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD
perlu segera diturunkan. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah :
1). Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari
arterial catether (bila ada indikasi ). Untuk menentukan fungsi
kordiopulmonair dan status volume intravaskuler.
2). Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD
sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah
klinis yang menyertai dan usia pasien.
Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada
krisis hipertensi tergantung dari apakah pasien dengan hipertensi
emergensi atau urgensi. Jika hipertensi emergensi dan disertai dengan
kerusakan organ sasaran maka penderita dirawat diruangan intensive
care unit, ( ICU ) dan diberi salah satu dari obat anti hipertensi
intravena ( IV ).
1). Sodium Nitroprusside : merupakan vasodilator kuat baik arterial
maupun venous.
Secara IV mempunyai onsep of action yang cepat yaitu : 1 – 2 dosis
1 – 6 ug / kg / menit. Efek samping : mual, muntah, keringat, foto
sensitif, hipotensi.
2). Nitroglycerin : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi
bila dengan dosis tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of
action 2 – 5 menit, duration of action 3 – 5 menit.
Dosis : 5 – 100 ug / menit, secara infus IV.
Efek samping : sakit kepala, mual, muntah, hipotensi.
21

3). Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan


secara IV bolus. Onset of action 1 – 2 menit, efek puncak pada 3 –
5 menit, duration of action 4 – 12 jam.
Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat diulang dengan 25 – 75 mg
setiap 5 menit sampai TD yang diinginkan.
Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi
abdomen, hiperuricemia, aritmia, dll.
4). Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action :
oral 0,5 – 1 jam, IV :10 – 20 menit duration of action : 6 – 12 jam.
Dosis : 10 – 20 mg i.v bolus : 10 – 40 mg i.m.
Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta
Blocker untuk mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk
mengurangi volume intravaskular.
Efek samping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan
cardiac out put, eksaserbasi angina, MCI akut dll.
5). Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep
on action 15 – 60 menit. Dosis 0,625 – 1,25 mg tiap 6 jam i.v.
6). Phentolamine ( regitine ) : termasuk golongan alpha andrenergic
blockers. Terutama untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan
ketekholamin.
Dosis 5 – 20 mg secar i.v bolus atau i.m. Onset of action 11 – 2
menit, duration of action 3 – 10 menit.
7). Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan
menginhibisi sistem simpatis dan parasimpatis.
Dosis : 1 – 4 mg / menit secara infus i.v.
Onset of action : 1 – 5 menit. Duration of action : 10 menit.
Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine, respiratori arrest,
glaukoma, hipotensi, mulut kering.
8). Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent.
Dosis : 20 – 80 mg secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit
secara infus i.v. Onset of action 5 – 10 menit
22

Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit


kepala, bradikardi, dll.
Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam,
duration of action 10 jam dan efek samping hipotensi, respons
unpredictable dan komplikasi lebih sering dijumpai.
9). Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan
sistem syaraf simpatis.
Dosis : 250 – 500 mg secara infus i.v / 6 jam.
Onset of action : 30 – 60 menit, duration of action kira-kira 12 jam.
Efek samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan gastrointestino,
with drawal sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga
dan kasiatnya tidak konsisten, obat ini kurang disukai untuk terapi
awal.
10). Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral.
Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau
i.m.150 ug dalam 100 cc dekstrose dengan titrasi dosis.
Onset of action 5 –10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam
atau beberapa jam.
Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, pusing, mulut kering, rasa sakit
pada parotis. Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan
sindroma putus obat.

B. Vertigo
1. Definisi
Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa
berputar mengelilingi pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi
lingkungan sekitar. Vertigo tidak selalu sama dengan dizziness. Dizziness
adalah sebuah istilah non spesifik yang dapat dikategorikan ke dalan 4
subtipe tergantung gejala yang digambarkan oleh pasien.7
2. Etiologi
Vertigo merupakan suatu gejala,sederet penyebabnya antara lain
akibat kecelakaan,stres, gangguan pada telinga bagian dalam, obat-obatan,
23

terlalu sedikit atau banyak aliran darah ke otak dan lain-lain. Tubuh
merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan melalui organ
keseimbangan yang terdapat di telinga bagian dalam. Organ ini memiliki
saraf yang berhubungan dengan area tertentu di otak. Vertigo bisa
disebabkan oleh kelainan di dalam telinga, di dalam saraf yang
menghubungkan telinga dengan otak dan di dalam otaknya sendiri.14
3. Epidemiologi
Vertigo merupakan gejala yang sering didapatkan pada individu
dengan prevalensi sebesar 7 %. Beberapa studi telah mencoba untuk
menyelidikiepidemiologi dizziness, yang meliputi vertigo dan non
vestibular dizziness. Dizziness telah ditemukan menjadi keluhan yang
paling sering diutarakan oleh pasien, yaitu sebesar 20-30% dari populasi
umum. Dari keempat jenis dizziness vertigo merupakan yang paling sering
yaitu sekitar 54%. Pada sebuah studi mengemukakan vertigo lebih banyak
ditemukan pada wanita disbanding pria (2:1), sekitar 88% pasien
mengalami episode rekuren.8
4. Patofisiologi
Vertigo timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh
yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi
aferen) yang sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf
pusat (pusat kesadaran). Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini
adalah susunan vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus
menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang
berperan ialah sistem optik dan pro-prioseptik, jaras-jaras yang
menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N. III, IV dan VI,
susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis. Informasi yang
berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor
vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan
kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor
visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik.15
24

Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat


integrasi alat keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual
dan proprioseptik kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya
dalam keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons
yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh
dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala
dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi alat keseimbangan
tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak fisiologis,
atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses
pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo
dan gejala otonom. Di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak
adekuat sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus,
unsteadiness, ataksia saat berdiri/ berjalan dan gejala lainnya.16
5. Manifestasi Klinis
Gejala klinis pasien dengan dizziness dan vertigo dapat berupa
gejala primer, sekunder ataupun gejala non spesifik. Gejala primer
diakibatkan oleh gangguan pada sensorium. Gejala primer berupa vertigo,
impulsion, oscilopsia, ataxia, gejala pendengaran. Vertigo, diartikan
sebagai sensasi berputa. Vertigo dapat horizontal, vertical atau rotasi.
Vertigo horizontal merupa tipe yang paling sering, disebabkan oleh
disfungsi dari telinga dalam. Jika bersamaan dengan nistagmus, pasien
biasanya merasakan sensasi pergerakan dari sisi yang berlawanan dengan
komponen lambat. Vertigo vertical jarang terjadi, jika sementara biasanya
disebabkan oleh BPPV. Namun jika menetap, biasanya berasal dari sentral
dan disertai dengan nistagmus dengan gerakan ke bawah atau ke atas.
Vertigo rotasi merupakan jenis yang paling jarang ditemukan. Jika
sementara biasnaya disebabakan BPPV namun jika menetap disebabakan
oleh sentral dan biasanya disertai dengan rotator nistagmus. 17
Impulsi diartikan sebagai sensasi berpindah, biasanya
dideskrepsikan sebagai sensais didorong atau diangkat. Sensasi impulse
25

mengindikasi disfungsi apparatus otolitik pada telinga dalam atau proses


sentral sinyal otolit
Oscilopsia ilusi pergerakan dunia yang dirovokasi dengan
pergerakan kepala. Pasien dengan bilateral vestibular loss akan takut
untuk membuka kedua matanya. Sedangkan pasien dengan unilateral
vestibular loss akan mengeluh dunia seakan berputar ketika pasien
menoleh pada sisi telinga yang mengalami gangguan.
Ataksia adalah ketidakstabilan berjalan, biasnaya universal pada
pasien dengan vertigo otologik dan sentral.
Gejala pendengaran biasanya berupa tinnitus, pengurangan
pendengaran atau distorsi dan sensasi penuh di telinga.
Gejala sekunder meliputi mual, gejala otonom, kelelahan, sakit
kepala, dan sensiivitas visual.
Gejala nonspesifik berupa giddiness dan light headness. Istilah ini
tidak terlalu memiliki makna pada penggunaan biasanya. Jarang dignkan
pada pasien dengan disfungsi telinga namun sering digunakan pada pasien
vertigo yang berhubungan dengan problem medic. 17
6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Sekitar 20 sampai 40% pasien dapat didiagnosis segera setelah anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Diagnosis juga dapat ditentukan berdasarkan
komplek gejala yang terdapat pada pasien.
7. Tatalaksana
Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita seringkali
merasa sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali
menggunakan pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi.
Sebagian besar kasus terapi dapat dihentikan setelah beberapa minggu.
a. Antihistamin
Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti vertigo.
Antihistamin yang dapat meredakan vertigo seperti obat dimenhidrinat,
difenhidramin, meksilin, siklisin. Antihistamin yang mempunyai anti
26

vertigo juga memiliki aktivitas anti-kholinergik di susunan saraf pusat.


Mungkin sifat anti-kholinergik ini ada kaitannya dengan
kemampuannya sebagai obat antivertigo. Efek samping yang umum
dijumpai ialah sedasi (mengantuk). Pada penderita vertigo yang berat
efek samping ini memberikan dampak yang positif.
1). Betahistin
Senyawa Betahistin (suatu analog histamin) yang dapat
meningkatkan sirkulasi di telinga dalam, dapat diberikan untuk
mengatasi gejala vertigo. Efek samping Betahistin ialah gangguan di
lambung, rasa enek, dan sesekali “rash” di kulit.
a). Betahistin Mesylate (Merislon)
Dengan dosis 6 mg (1 tablet) – 12 mg, 3 kali sehari per oral.
b). Betahistin di Hcl (Betaserc)
Dengan dosis 8 mg (1 tablet), 3 kali sehari. Maksimum 6 tablet
dibagi dalam beberapa dosis.
2). Dimenhidrinat (Dramamine)
Lama kerja obat ini ialah 4 – 6 jam. Dapat diberi per oral atau
parenteral (suntikan intramuscular dan intravena). Dapat diberikan
dengan dosis 25 mg – 50 mg (1 tablet), 4 kali sehari. Efek samping
ialah mengantuk.
3). Difhenhidramin Hcl (Benadryl)
Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam, diberikan dengan
dosis 25 mg (1 kapsul) – 50 mg, 4 kali sehari per oral. Obat ini dapat
juga diberikan parenteral. Efek samping mengantuk.
b. Antagonis Kalsium
Dapat juga berkhasiat dalam mengobati vertigo. Obat antagonis
kalsium Cinnarizine (Stugeron) dan Flunarizine (Sibelium) sering
digunakan. Merupakan obat supresan vestibular karena sel rambut
vestibular mengandung banyak terowongan kalsium. Namun, antagonis
kalsium sering mempunyai khasiat lain seperti anti kholinergik dan
27

antihistamin. Sampai dimana sifat yang lain ini berperan dalam


mengatasi vertigo belum diketahui.
1). Cinnarizine (Stugerone)
Mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular. Dapat
mengurangi respons terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis
biasanya ialah 15 – 30 mg, 3 kali sehari atau 1 x 75 mg sehari. Efek
samping ialah rasa mengantuk (sedasi), rasa cape, diare atau
konstipasi, mulut rasa kering dan “rash” di kulit.
c. Fenotiazine
Kelompok obat ini banyak mempunyai sifat anti emetik (anti
muntah). Namun tidak semua mempunyai sifat anti vertigo.
Khlorpromazine (Largactil) dan Prokhlorperazine (Stemetil) sangat
efektif untuk nausea yang diakibatkan oleh bahan kimiawi namun
kurang berkhasiat terhadap vertigo.
1). Promethazine (Phenergan)
Merupakan golongan Fenotiazine yang paling efektif
mengobati vertigo. Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam. Diberikan
dengan dosis 12,5 mg – 25 mg (1 draze), 4 kali sehari per oral atau
parenteral (suntikan intramuscular atau intravena). Efek samping
yang sering dijumpai ialah sedasi (mengantuk), sedangkan efek
samping ekstrapiramidal lebih sedikit disbanding obat Fenotiazine
lainnya.
2). Khlorpromazine (Largactil)
Dapat diberikan pada penderita dengan serangan vertigo yang
berat dan akut. Obat ini dapat diberikan per oral atau parenteral
(suntikan intramuscular atau intravena). Dosis yang lazim ialah 25
mg (1 tablet) – 50 mg, 3 – 4 kali sehari. Efek samping ialah sedasi
(mengantuk).
d. Obat Anti Kholinergik
Obat antikolinergik yang aktif di sentral dapat menekan aktivitas
sistem vestibular dan dapat mengurangi gejala vertigo.
28

1). Skopolamin
Skopolamin dapat pula dikombinasi dengan fenotiazine atau
efedrin dan mempunyai khasiat sinergistik. Dosis skopolamin ialah
0,3 mg – 0,6 mg, 3 – 4 kali sehari.
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Pasien datang ke RSUD Sukoharjo dengan keluhan pusing berputar Pasien


datang ke IGD RSUD Sukoharjo dengan keluhan pusing berputar terus-menerus
terutama ketika ingin duduk, sehingga membuat pasien hanya berbaring, keluhan
disertai nyeri tengkuk, mual, muntah, dan telinga berdenging sejak 2 hari yang
lalu SMRS. Pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan pasien
mengatakan mempunyai riwayat hipertensi.
Untuk menegakkan diagnosis maka diperlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesis
pasien mengeluh pusing berputar, mual dan muntah. Pemeriksaan fisik yang
didapatkan yaitu keadaan umum pasien sedang, kesadaran compos mentis,
tekanan darah : 200/110 mmHg, nadi : 88 x/menit, suhu: 36,1˚C, pernapasan:
28x/menit. Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan yaitu pemeriksaan paket darah lengkap dimana hasil yang didapatkan
dalam batas normal, pemeriksaan kimia klinik didapatkan ureum 34,7 mg/dL,
HBs Ag: Non reaktif. Sedangkan pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah
pemeriksaan elektrokardiografi (EKG). Berdasarkan kriteria hipertensi emergensi
dimana tekanan darah systole >180 mmHg atau diastolic >120 mmHg disertai
kerusakan organ target pada otak yang ditandai oleh vertigo maka pasien Ny. S
mengalami hipertensi emergensi.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini adalah O2 3 Lpm, Infus
RL 20 tpm sebagai terapi cairan, Injeksi Furosemid 1A/12 jam membantu dalam
menurunkan tekanan darah, Injeksi Antalgin 1A/8 jam untuk mengurangi rasa
nyeri, Injeksi Ondancentron 4mg/8 jam untuk mengurangi rasa mual dan muntah,
Injeksi Ranitidin 1A/12 jam untuk melapisis dinding lambung, Captopril 3 x
25mg untuk menurunkan tekanan darah, Betahistin 3x1 sebagai antihistamin
untuk mengatasi pusing berputar pada pasien. Pada pasien dengan hipertensi
emergensi harus ditangani dengan segera agar tidak merusak organ target dengan
pemeberian obat melalui intravena. Pada kasus diatas Ny. S diberi obat oral

29
30

captopril dan injeksi furosemide dimana keduanya tidak termasuk dalam


penatalaksanaan hipertensi emergensi sehingga pengobatan pada Ny. S kurang
tepat.
Aliran darah otak dipengaruhi terutama oleh 3 faktor yaitu tekanan untuk
memompakan darah dari sistem arteri-kapiler ke system vena, tahanan perrifer
pembuluh darah otak dan factor darah itu sendiri( viskositas dan koagulobilitas).
Tekanan darah arterial fluktuatif, walaupun demikian tekanan arterioral kapiler
otak konstan. Ketika tekanan darah arterial meningkat, arteriole otak konstriksi,
derajatnya bergantung kenaikan tekanan darah. Jika berlangsung bulan samapai
tahun dapat terjadi hialinisasi otot pembuluh darah dan diameter lumen tetap. Hal
ini merupakan bentuk penyait degenerative yang merupakan salah satu penyebab
penyakit saraf.18
BAB V
KESIMPULAN

Hipertensi emergensi (darurat), yaitu peningkatan tekanan darah sistolik >


180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ
target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi segera mungkin dalam satu jam
dengan memberikan obat – obatan anti hipertensi intravena.9
Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa berputar
mengelilingi pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi lingkungan sekitar.
Vertigo tidak selalu sama dengan dizziness. Dizziness adalah sebuah istilah non
spesifik yang dapat dikategorikan ke dalan 4 subtipe tergantung gejala yang
digambarkan oleh pasien.7
Dari hasil pemeriksaan Anamnesis, Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang menunjukkan bahwa pasien mengalami hipertensi emergensi dengan
vertigo.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Ganong, W. F. 2010. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta: EGC.
2. Guyton, A. C., Hall, J.E. 2010. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Penterjemah: M. Djauhari Widjajakusumah dan Antonia Tanzil. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. WHO. 2013. Hipertensi
4. Haas AR, Marik PE. Current diagnosis and management of hypertensive
emergency. Seminar in dialysis. 2006;19: 502-512.
5. Atkins G, Rahman M, Wright, Jr JT. Chapter 70. Diagnosis and Treatment of
Hypertension. In: Fuster V, Walsh RA, Harrington RA, eds. Hurst's The
Heart. 13th ed. New York: McGraw-Hill; 2011.
6. Elliott WJ. Chapter 45. Hypertensive Emergencies & Urgencies. In: Lerma
EV, Berns JS, Nissenson AR, eds. CURRENT Diagnosis & Treatment:
Nephrology & Hypertension. New York: McGraw-Hill; 2009.
7. Sura, DJ, Newell, S. 2010. Vertigo- Diagnosis and management in primary
care, BJMP 2010;3(4):a351
8. Lempert, T, Neuhauser, H. 2009. Epidemiology of vertigo, migraine and
vestibular migraine in Journal Nerology 2009:25:333-338
9. Varon J. Treatment of Acute and Severe Hypertension current and Newer
Agents. Drugs. 2008; 68(3): 283-297.
10. Vaughan JC, Delanti N. Hipertensive emergencies. Lancet. 2000; 356: 411-
17.
11. Vidt DG, Elliot WJ. Clinical features and management of selected
hypertensive emergencies. J Clin Hypertens.2004;6:587-592.
12. Smithburger PL, Kane-Grill SL, Nestor BL, Seybert AL. Recent Advances in
the treatment of Hypertensive Emergencies. CriticalCareNurse.2010: 30: 5.
13. Desai S. Chapter 34. Cardiac Emergencies. In: Humphries RL, Stone C, eds.
CURRENT Diagnosis & Treatment Emergency Medicine. 7th ed. New York:
McGraw-Hill; 2011.
14. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2008
15. Kovar, M, Jepson, T, Jones, S. 2006. Diagnosing and Treating: Benign
Paroxysmal Positional Vertigo in Journal Gerontological of Nursing.
December:2006
16. Swartz, R, Longwell, P. 2005. Treatment of Vertigo in Journal of American
Family Physician March 15,2005:71:6.
17. Antunes MB. CNS Causes of Vertigo [Internet]. WebMD LLC. 03 Mei
2017. Diunduh tanggal 8 April 2011. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/884048-overview#a0104
18. Harsono, Buku Ajar : Neurologi Klinis,Yogyakarta, Gajah Mada university
press, 1996.
19. Nafrialdi. Bab 6: Antihipertensi, dalam Buku Farmakologi dan Terapi, edisi
5, editor Sulistia G.G. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2009. p.341-360.

32
33

20. William and Price. Bab VI: Krisis hipertensi dalam Buku Patoofisiologi,
Edisi 5, Editor Harjianto. Jakarta: EGC. 2002. p.108-110.
21. Houston M. Handbook of Hypertension edition 2. Tennessee: Wiley
Blackwell. 2006. p. 61-62.

Anda mungkin juga menyukai