Anda di halaman 1dari 18

HUBUNGAN AGAMA DENGAN POLITIK

Dalam konsepsi sebagian besar masyarakat Indonesia, kehidupan politik juga seharusnya
dilandasi oleh nilai-nilai agama. Konsepsi ini agak berbeda dengan politik di negara Barat yang
memisahkan secara tegas antara politik dan agama. Politik dan posisi-posisi politik harus
dipisahkan secara tegas dengan agama. Konsepsi ini menghendaki agar pemimpin agama tidak
terlibat dalam politik praktis.
Mengkaji masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari faktor negara atau
politik. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam merupakan faktor berpengaruh terhadap politik.
Ada dua alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, karena secara kuantitas umat Islam di Indonesia
merupakan mayoritas. Kedua, karena adanya pemikiran dalam umat Islam sendiri bahwa
memang Islam dan politik tidak dapat dipisahkan. Deliar Noer termasuk orang yang
berpandangan bahwa Islam mempunyai konsep negara dan Islam dengan politik tidak dapat
dipisahkan. Menurut Deliar Noer, sebagai sebuah konsep (bukan nama) negara Islam dilandasi
oleh:
1. Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai pegangan hidup bernegara,
2. Hukum harus dijalankan,
3. Prinsip Syura (Musyawarah) dijalankan,
4. Kebebasan diberikan tempat,
5. Toleransi antar agama.
Kebijakan keagamaan di Indonesia telah menempuh jalan yang panjang. Hingga tahun
1960-an, persoalan keagamaan yang beraneka ragam di tanah air belum banyak tersentuh.
Pemerintah sejak lama memandang keanekaragaman agama ini sebagai potensi penghambat
pembangunan Indonesia yang satu dan kuat. Kementerian agama yang di bentuk pada tahun
1946 memiliki tugas yang eksplisit antara lain mengawasi kegiatan keagamaan dan aliran-
aliran/paham-paham, melakukan bimbingan dan pembinaan terhadap gerakan mistik agar
kembali ke agama induk dan mengharuskan mereka untuk menegakkan hukum dan peribadatan
agama khususnya Islam.
Tugas-tugas ini menunjukan bahwa negara mulai menerapkan pemikiran sistemik secara
lebih tegas. Selain itu, tugas pokok lain adalah membimbing dan membina masyarakat penganut
agama resmi seperti Islam, Kristen Prostetan, Katolik, Hindu dan Budha (Muhammadiyah dalam
Gonjang-ganjing Politik. Penerbit Media Pressindo. Hal. 53).

1
Pemerintah sendiri membuat definisi agama resmi yang diakui pemerintah sebagai sistem
keyakinan kepada Tuhan yang memiliki kitab suci, nabi-nabi dan ajaran-ajaran. Dalam hal
kebijakan keagamaan ini paling tidak pemerintah melakukan tiga hal. Pertama, membina umat
yang sudah beragama di seluruh pelosok; Kedua, Memberagamakan warga masyarakat yang
dianggap belum beragama; Ketiga, Pemerintah memerankan diri sebagai wasit sekaligus pemain
dalam hubungan antarumat beragama.
Dari sudut pandang intrinsik, maka secara sederhana agama adalah keyakinan akan
entitas spiritual. Jika kita menggunakan definisi yang lebih kompleks. maka agama adalah suatu
sistem simbol yang bekerja memantapkan suasana jiwa dan motivasi yang kuat, mendalam dan
bertahan lama pada diri manusia dengan memformulasikan konsepsi-konsepsi keteraturan umum
mengenai keberadaan dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas
sehingga suasana jiwa dan motivasi tersebut seolah-olah secara unik nyata ada.
Dinamika hubungan antara agama dan negara berlangsung dalam konteks
instrumentalisasi yang kerap kali ditempeli oleh muatan potensi integratif maupun disintegratif.
Dengan konkretisasi, interpretasi dan formalisasi agama dalam kehidupan yang nyata, manusia
memiliki legitimasi untuk menjadikannya sebagai instrument kekuasaan.
Ada tiga kemungkinan skenario politik keagamaan.: Pertama, agama dan negara terpisah
satu sama lain. Doktrin agama hanya menjadi pedoman hidup manusia sebatas dalam keluarga
dan masyarakat yang berwadahkan keorganisasian dalam masjid, gereja, kuil, dan lain-lain.
Segala sesuatu yang berurusan dengan agama diselesaikan dalam institusi kegamaan tersebut.
Prinsip utamanya adalah “Agama adalah Agama”. Dalam kenyataan, sukar menemukan pada
abad global ini suatu institusi agama yang tidak tercemar sama sekali dengan pergumulan
duniawi di luar dari agama.
Kedua, Agama dan Negara terikat satu sama lain (Integralistik) dalam pengertian agama
memberi corak dominan atas negara. Dalam konteks ini agama bermain penuh sebagai
instrumen, yakni aktualisasi agama di dalam sebagian besar institusi negara seperti institusi
politik, ekonomi, hukum dan lainnya.
Ketiga, Agama ditempatkan dalam suatu sistem negara yang mengutamakan harmoni dan
keseimbangan. Agama direduksi menjadi salah satu unsure saja dari sistem yang dipandang
saling tergantung dengan unsur-unsur lain. Kebijakan kebijakan yang merupakan konkretisasi
pendekatan sistemik ini jelas sekali menekankan kontrol yang tegas terhadap unsur-unsurnya,

2
termasuk unsur agama agar selalu terwujud keteraturan yang harmonis tanpa guncangan. Setiap
kali ada gejolak sekecil apapun, langsung diredam oleh negara (pemerintah) sehingga
keseimbangan tercapai kembali.
Pendekatan ini langsung menempatkan negara (pemerintah) dalam kedudukan sentral
yang lambat laun seolah melepaskan diri dari sistem dan bahkan mengontrol sistem. Keadaan ini
membuat negara (pemerintah) semakin kuat karena sistem posisinya merosot menjadi
subordinat, kehilangan kekuatan untuk mengontrol negara. Negara cenderung otoriter karena
akumulasi kekuasaan berada di tangannya. Bagi KH Sahal, kepolitikan merupakan realitas
historis atau Sunatullah yang tidak bisa terelakkan, menurutnya bahwa dalam proses hidupnya
manusia tidak lepas dari pengaruh watak politik.
Telah menjadi sunatullah barangkali setiap kelompok ada yang dikuasai dan ada yang
menguasai, ada yang memerintah dan yang diperintah serta ada yang dipengaruhi dan
mempengaruhi, itulah konteks politik. Politik merupakan kebutuhan hidup menurut naluri
manusiawi. Artinya bahwa Agama dan Negara tidak dapat dipisahkan. Kata din wasiyasah
sesungguhnya menggambarkan bentuk integrasi agama dan negara. Meskipun negara (politik)
dan agama tidak dapat dipisahkan, namun bukan berarti negara beserta produk-prosuknya harus
berlabel Islam.
Relasi agama bagi K.H Sahal mengacu pada “simbiosis mutualisme” keduanya saling
mempengaruhi dan membutuhkan untuk kemaslahatan umat. Negara harus di beri keleluasaan
untuk mengatur aspek ideologis, karena bagaimanapun juga bagi bangsa Indonesia yang
memiliki bermacam-macam agama, agama akan lebih berfungsi positif bila dilepaskan dari
permasalahan ideologis.
Di lain pihak, independensi agama dalam hal yang menyangkut ibadah dan ajaran
keimanan haruslah dihormati oleh negara. Pengaturannya selama ini masih dapat dititipkan pada
sejumlah perangkat formal seperti undang-undang keormasan. Tetapi pada masa-masa yang akan
datang hubungan itu akan lebih hidup bila dikembangkan melalui dialog budaya yang hidup dan
berlingkup luas.
Kekuasaan politik haruslah sejalan dengan tujuan syariat, yaitu memelihara agama (din),
akal (aql), jiwa (nafs), harta (mal) dan keturunan (nasl). Sementara pemimpin tidak hanya
mereka yang memegang jabatan formal-struktural, mereka yang memegang kekuasaan kultural
juga disebut pemimpin. Kepemimpinan politik kultural mempunyai fungsi yang strategis yakni

3
sebagai kekuatan untuk mendinamisir masyarakat, memberikan pendidikan politik tentang hak
dan kewajiban seorang warga negara di akar rumput (grass root).
Dalam konteks hubungan agama dan negara (ulama dan penguasa) dapat dijelaskan
dengan prinsip “akomodasi kritis”, yaitu prinsip yang menuntut kemampuan para ulama untuk
menjadikan Islam sebagai kekuatan yang integratif terhadap agama. Islam harus di pandang
sebagai faktor komplementer bagi komponen-komponen lain, Islam dalam hal ini difungsikan
sebagai faktor integratif yang mendorong timbulnya partisipasi penuh dalam rangka membentuk
Indonesia yang kuat, demokratis dan berkeadilan.
Agama secara hakiki berhungan dengan politik. Kepercayaan agama dapat
mempengaruhi hukum, perbuatan yang oleh rakyat dianggap dosa, seperti sodomi dan incest,
sering tidak legal. Seringakali agamalah yang memberi legitimasi kepada pemerintahan. Agama
sangat melekat dalam kehidupan rakyat dalam masyarakat industri maupun nonindustri, sehingga
kehadirannya tidak mungkin tidak terasa di bidang politik. Sedikit atau banyak, sejumlah
pemerintahan di seluruh dunia menggunakan agama untuk memberi legitimasi pada kekuasaan
politik.
Hubungan politik dengan agama tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik
berbuah dari hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan keyakinan
bahwa seluruh aktifitas manusia, tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama;
kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang paling banyak membutuhkan
legitimasi adalah bidang politik, dan hanya agamalah yang dipercayai mampu memberikan
legitimasi yang paling meyakinkan karena sifat dan sumbernya yang transcendent.

Pendekatan Agama Buddha terhadap politik


Pendekatan Agama Buddha terhadap politik adalah kemoralan dan tanggung jawab
penggunaan kekuatan masyarakat. Sang Buddha mengkotbahkan Tanpa Kekerasan dan
Kedamaian sebagai pesan universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau penghancuran
kehidupan dan mengumumkan bahwa tidak ada satu hal yang dapat disebut sebagai suatu perang
'adil'. Beliau mengajarkan, "Yang menang melahirkan kebencian, yang kalah hidup dalam
kesedihan. Barang siapa yang melepaskan keduanya baik kemenangan dan kekalahan akan
berbahagia dan damai". Sang Buddha tidak hanya mengajarkan Tanpa Kekerasan dan

4
Kedamaian, Beliau mungkin guru agama pertama dan satu-satunya yang pergi ke medan perang
secara pribadi untuk mencegah pecahnya suatu perang. Beliau menguraikan ketegangan antara
suku Sakya dan suku Koliya yang siap berperang atas air Sungai Rohini. Beliau juga meminta
Raja Ajatasattu supaya jangan menyerang Kerajaan Vajji. Sang Buddha mendiskusikan penting
dan perlunya suatu pemerintahan yang baik. Beliau memperlihatkan bagaimana suatu negara
dapat menjadi korup, merosot nilainya dan tidak bahagia ketika kepala pemerintahan menjadi
korup dan tidak adil. Beliau berbicara menentang korupsi dan bagaimana suatu pemerintahan
harus bertindak berdasarkan pada prinsip- prinsip kemanusiaan. Suatu kali Sang.Buddha berkata,
"Ketika penguasa suatu negara adil dan baik para menteri menjadi adil dan baik; ketika para
menteri adil dan baik, para pejabat tinggi adil dan baik; ketika para pejabat tinggi adil dan baik,
rakyat jelata menjadi baik; ketika rakyat jelata menjadi baik, orang-orang menjadi adil dan baik".
(Anguttara Nikaya).
Agama Buddha dapat atau harus tidak terlibat dalam proses politik, yang merupakan
suatu realitas sosial. Bagaimanapun kehidupan anggota masyarakat dibentuk oleh hukum-hukum
dan peraturan-peraturan, aturan-aturan ekonomi, lembaga-lembaga, yang dipengaruhi oleh
penataan politik dari masyarakat tersebut. Namun, jika seorang umat Buddha berharap untuk
terlibat dalam politik, dia harus tidak menyalahgunakan agama untuk memperoleh kekuatan
politik. Juga tidak dianjurkan bagi mereka yang telah melepaskan kehidupan duniawi untuk
menjalani suatu kehidupan agama yang murni untuk secara aktif terlibat dalam politik.

Bentuk-Bentuk Politik Buddhis


Banyak masyarakat Buddhis yang tidak terlalu perduli dengan politik, terlebih
pendidikan politik. Penulis melihat fenomena itu sebagai kekeliruan besar dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara. Kekeliruan ini akan mempengaruhi sikap masyarakat Buddhis
yang aktif atau pasif terhadap politik. Sikap ini bisa dirubah jika ideologi masyarakat Buddhis
sudah terdidik dalam interen Buddhis, mengingat dalam Buddhisme juga ada bentuk-bentuk
pendidikan politik. Hal itu akan berguna dalam prilaku politik masyarakat Buddhis.
Definisi ilmu politik akan menunjukkan hal yang termasuk kriteria dan hal yang bukan
termasuk kriteria pembahasan ilmu politik. Kriteria pembahasan ilmu politik akan
mempermudah pengambilan konsep-konsep dari ajaran Buddha tentang politik. Definisi ilmu
politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau politics atau kepolitikan (Budiardjo, 2008: 13).

5
Dalam buku Pengantar Ilmu politik, Rudy (2003:10) mengelompokkan objek ilmu
politik dari beberapa filsuf politik menjadi lima yaitu, negara (the state), pemerintahan
(government), kekuasaan dan kewenangan (power and authority), kelembagaan masyarakat
(organization of society), serta kegiatan dan tingkah laku politik (political activity and behavior).
Pengelompokan tentang lima objek ilmu politik ini berasal dari beberapa filsuf yang berusaha
mendefinisikan ilmu politik. Definisi mengenai objek dalam ilmu politik terdapat beberapa
perbedaan, hal itu karena persepsi masing-masing orang yang berbeda. Lebih lanjut Rudy
menjelaskan perbedaan itu adalah kekurangan dalam ilmu politik, karena belum ada kesepakatan
mengenai suatu definisi ilmu politik.
Dari lima objek kajian dalam ilmu politik yang dikemukakan Rudy penulis akan
mengkorelasikannya dengan nilai-nilai ajaran Buddha tentang ilmu politik. Korelasi antara
keduanya akan menjelaskan dan menunjukkan bentuk-bentuk pendidikan politik dalam agama
Buddha. Berikut objek-objek kajian yang berkenaan dengan ilmu politik Buddhis, yaitu:
1. Negara (the state)
Bentuk pendidikan politik yang terkandung dalam nilai-nilai ajaran Buddha salah
satunya adalah negara. Soltau menjelaskan, negara adalah agen (agency) atau kewenangan
(authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama
masyarakat (the state is an agency or authority managing or controling these (common) affairs on
behalf of and in the name of the comunity) (dalam Budiardjo, 2008: 48). Untuk menjelaskan
definisi negara dalam Buddhisme, perlu diketahui proses terbentuknya negara. Awal
terbentuknya negara tidak lepas dari proses munculnya masyarakat, dan munculnya masyarakat
tidak lepas dari proses munculnya manusia.

2. Pemerintahan (government)
Pemerintahan adalah bagian dari bidang kajian ilmu politik. Hal ini selaras dengan
hakikat politik itu sendiri, yang secara sederhana dapat didefinisikan sebagai segala hal-ikhwal
yang berkaitan dengan atau menyangkut kekuasaan (Rudy, 2003: 29). Dalam pembahasan ini,
termasuk cara-cara memperoleh kekuasaan, keabsahan kekuasaan, cara-cara penyelenggaraan
pemerintahan, batasan batasan pemerintahan, bentuk-bentuk pemerintahan dan hubungan-
hubungan pemerintahan (baik antar penguasa, maupun antara penguasa dengan rakyatnya).
Dasar kajian pemerintahan dalam ilmu politik ini yang akan dijadikan dasar pembahasan

6
pemerintahan dalam Buddhisme. Dasar pembahasan pemerintahan ini agar lebih jelas, akan
ditambah pembahasan awal terbentuknya pemerintahan menurut Buddhisme.
Kewajiban atau tugas seorang rãjã juga dijelaskan Buddha dalam Nandiyamigga
Jātaka. Buddha (Cowell, 2005: 174) menjelaskan sepuluh kewajiban seorang pemimpin
pemerintah atau rãjã, yaitu :
1). Dana (kedermawanan)
Seorang pemimpin patut memperhatikan kesejahteraan, dan kemakmuran hidup rakyat.
Pemerintah yang ideal hendaknya menyediakan kebutuhan hidup yang cukup untuk
kesejahteraan rakyatnya.
2). Sila (moralitas)
Seorang pemimpin selalu mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan tidak bermoral;
seperti membunuh, mencuri, berzinah, berkata tidak benar, minum-minuman keras. Hal ini
dapat menjaga kredibilitas seorang pemimpin.
3). Paricagga (pengorbanan diri)
Seorang pemimpin selalu siap mengorbankan dirinya demi kepentingan rakyat banyak,
kepentingkan bangsa lebih penting daripada kepentingan pribadi atau kelompok.
4). Ajjava (integritas)
Bersikap tulus dalam menjalankan kewajibannya dengan menjujung tinggi kebenaran. Jika
status hubungan dan jabatan dapat diikat dengan janji resmi dan sumpah, tetapi pemerintah
harus terikat pada hukum kebenaran dalam pikiran, ucapan dan perbuatannya.
5). Maddava (berani bertanggung jawab)
Mengurus pemerintahan menuntut pertanggungjawaban terhadap segala tindakan sesuai
dengan harapan rakyat.
6). Tapa (sederhana)
Seorang pemimpin siap hidup sederhana, puas dalam hidup sederhana, tidak serakah, tidak
berkeinginan yang berlebihan sementara rakyatnya diabaikan.
7). Akkhodha (tanpa kemarahan)
Seorang pemimpin hendaknya berusaha melepaskan segala permusuhan, niat buruk,
sentimen pribadi, maupun kebencian dan dendam.

7
8). Avihimsa (tanpa kekerasan)
Kekerasan bukan penyelesaian masalah, karena kekerasan hanya akan mengakibatkan
kebencian dan penderitaan.
9). Khanti (kesabaran)
Seorang pemimpin hendaknya siap menerima pujian ataupun celaan dengan kesabaran.
Kesabaran akan mengkondisikan pikiran tenang, sehingga akan membuat pangamatan jernih
dalam fenomena politik yang terjadi.
10). Avirodha (tidak menentang kehendak rakyat)
Seorang pemimpin tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani rakyat.
Hak pemimpin berasal dari rakyat, oleh karena itu jangan sampai terjadi ketimpangan antara
yang dilakukan dengan kehendak rakyat.

3. Kekuasaan dan Kewenangan (power and authority)


Dasar-dasar ilmu politik masih digunakan sebagai dasar dalam pembahasan kekuasaan
dan kewenangan dalam Buddhisme. Jika melihat definisi-definisi ilmu politik, yang sampai kini
banyak ragamnya, dapat kita pahami bahwa ilmu politik dalam pembahasannya berkenaan
dengan hubungan antar manusia satu sama lainnya. Hubungan ini dalam bentuk adanya
pemahaman, penghayatan, sampai pengaturan mengenai hal-hal memperoleh, mempertahankan,
dan menyelenggarakan kekuasaan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal itu termasuk yang
timbul dari hasrat manusia sendiri dalam kehidupan kelompok (berorganisasi), maupun yang
timbul dari proses interaksi di dalam masyarakat atau kesatuan yang terorganisasi.

4. Kelembagaan Masyarakat (organization of society)


Ilmu politik adalah mempelajari kelembagaan masyarakat. Kogekar menjelaskan “a
study of the organization of society in its widest sense, including all organization, the family the
trade union, and state, with special reference to one aspect of human behaviour; the exercise of
control and the randering of obedience”I (Studi tentang organisasi masyarakat dalam arti luas,
termasuk semua organisasi, keluarga serikat buruh, dan negara, dengan referensi khusus untuk
salah satu aspek dari perilaku manusia, pelaksanaan kontrol dan randering ketaatan) (dalam
Rudy, 2003: 14). Penjelasan Kogekar tentang ilmu politik yang mencakup studi organisasi

8
masyarakat menunjukkan kajian kelembagaan masyarakat dalam pendidikan politik adalah
penting.
5. Kegiatan dan Tingkah Laku Politik (political activity and behavior)
Ilmu politik mempelajari kegiatan dan tingkah laku politik. Anderson, Rodee dan
Christol (dalam Rudy, 2003: 14) menjelaskan:
viewed some what more broadly, (political science) also includes “political” (power seeking)
behaviour in or by groups, organization, and institutions which are more or less distinct from the
state but which seek to influence public polici and the direction of social change. (dilihat
beberapa hal yang lebih luas, (ilmu politik) juga mencakup "politik" (pencarian kekuasaan)
perilaku atau oleh kelompok, organisasi, dan lembaga yang kurang lebih berbeda dari negara,
tetapi berusaha untuk mempengaruhi ketertiban publik dan arah perubahan sosial.)
Penjelasan ini menunjukkan kegiatan tingkah laku politik dalam pembahasan ilmu politik perlu
dijelaskan. Hal itu penting karena dalam pendidikan politik dapat dijadikan dasar pembelajaran
mengenai sikap yang tepat oleh para politikus.

Buddhisme dan Politik


Sang Buddha berasal dari sebuah kasta ksatria yang mengondisikan Beliau banyak
bergaul dengan para raja, pangeran, dan menteri.Walaupun demikian, Beliau tidak pernah
memaksakan pengaruh kekuatan politik untuk memperkenalkan ajarannya. Ataupun
memperbolehkan ajarannya disalahgunakan untuk memperoleh kekuatan politik. Tetapi, saat ini
banyak politisi mencoba menyeret nama Agama Buddha ke dalam politik dengan
memperkenalkan Beliau sebagai komunis, kapitalis, atau bahkan seorang imperialis. Mereka
telah lupa bahwa filosofi politik baru yang telah kita kenal berkembang di dunia Barat jauh
setelah masa Sang Buddha. Usaha untuk mencampuradukkan agama dengan politik pun sering
terjadi. Padahal, kalau dilihat agama berdasarkan pada moralitas, kemurnian, dan keyakinan,
sedangkan dasar politik adalah kekuatan. Dilihat dari sejarah masa lalu, agama telah sering
digunakan untuk memberi hak bagi orang-orang yang berkuasa. Agama digunakan untuk
membenarkan perang dan penaklukan, penganiayaan, kekejaman, pemberontakan, penghancuran
karya~karya seni dan kebudayaan. Ketika agama.digunakan sebagai perantara tindakan-tindakan
politik, agama tidak lagi dapat memberikan keteladanan moral yang tinggi dan derajatnya
direndahkan oleh kebutuhan-kebutuhan politik duniawi.

9
Tujuan Buddha Dhamma tidak diarahkan pada penciptaan lembaga-lembaga politik baru
dan menyusun rencana-rencana politik. Pada dasarnya, agama mencari pendekatan masalah-
masalah kemasyarakatan dengan memperbaiki individu-individu dalam masyarakat tersebut dan
menganjurkan beberapa prinsip umum untuk dituntun ke arah nilai-nilai kemanusiaan yang
tinggi. Memperbaiki kesejahteraan anggota-anggotanya dan lebih adil dalam membagi sumber
daya-sumber daya. Sistem politik dapat menjaga kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat, tapi
ada batasannya, Bagaimanapun idealnya suatu sistem politik, tidak dapat menimbulkan
kedamaian dan kebahagiaan selama orang-orang dalam sistem tersebut dikuasai keserakahan,
kebencian, dan kebodohan.
Sebagai tambahan, tidak peduli sistem politik apa yang diambil, ada faktor-faktor
universal tertentu yang harus dialami anggota-anggota masyarakat, yaitu pengaruh-pengaruh
kamma baik dan buruk, kurangnya kepuasan sejati atau kebahagiaan abadi dalam dunia yang
bersifatdukkha (ketidakpuasan), anicca (ketidakkekalan), anatta (tanpa keakuan). Bagi umat
Buddha tiada tempat dalam samsara di mana ada kebebasan sejati bahkan tidak di surga-surga
atau dunia para Brahma. Meskipun suatu sistem politik yang baik dan adil menjamin hak asasi
manusia dan mengawasi keseimbangan, penggunaan kekuatan adalah suatu kondisi penting bagi
suatu kehidupan bahagia dalam masyarakat.
Masyarakat seharusnya tidak membuang-buang waktunya dengan pencarian tanpa akhir bagi
sistem politik muktahir di mana manusia dapat bebas sepenuhnya. Karena kebebasan penuh tidak
dapat ditemukan dalam sistem apapun melainkan hanya dalam batin yang bebas. Untuk menjadi
bebas, orang-orang harus mencari ke dalam pikiran mereka sendiri dan bekerja ke arah
pembebasan diri mereka sendiri dari belenggu kebodohan dan keinginan. Kebebasan dalam arti
sebenarnya hanya mungkin ketika manusia menggunakan Dhamma untuk mengembangkan
sifatnya melalui perkataan, perbuatan yang baik dan melatih pikirannya sedemikian rupa untuk
mengembangkan potensi mentalnya dan mencapai tujuan akhir yaitu penerangan. Sementara
mengetahui manfaat memisahkan agama dari politik dan keterbatasan sistem politik dalam
menimbulkan kedamaian dan kebahagiaan.
Ada beberapa aspek dari ajaran Sang Buddha yang mempunyai hubungan dekat dengan
perencanaan politik masa kini.
Pertama-tama, Sang Buddha berbicara tentang kesamaan dari semua manusia jauh
sebelum Abraham Lincoln. Dan kelas-kelas juga kasta-kasta adalah pembatas buatan yang

10
didirikan oleh masyarakat. Satu-satunya klasifikasi manusia, menurut Sang Buddha, adalah
berdasarkan pada kualitas perbuatan moral mereka.
Kedua, Sang Buddha mendorong jiwa kerjasama sosial dan partisipasi aktif dalam
masyarakat modern.
Tiga, karena tak seorang pun ditunjuk oleh Sang Buddha sebagai penerus, anggota-
anggota Sangha dituntun oleh Dhamma dan Vinaya, atau singkatnya, Aturan Hukum. Hingga
hari ini setiap anggota Sangha mematuhi Aturan Hukum yang menentukan dan menuntun
perbuatan mereka.
Keempat, Sang Buddha mendorong jiwa konsultasi dan proses demokrasi. Ini
diperlihatkan dalam kelompok Sangha yang semua anggotanya mempunyai hak untuk
memutuskan masalah-masalah umum.
Ketika.suatu pernyataan serius timbul dan membutuhkan perhatian, persoalan- persoaian
dihadapkan kepada para bhikkhu dan dibahas dalam sikap demokrasi sistem Dewan Perwakilan
Rakyat yang digunakan masa kini. Prosedur pemerintahan ini mungkin mengejutkan bagi banyak
orang yang mengetahui bahwa dalam majelis Agama Buddha di India lebih dari 2500 tahun yang
lalu dapat ditemukan dasar praktik Dewan Perwakilan Rakyat masa kini. Seorang petugas khusus
yang serupa dengan “Tuan Pembicara” ditunjuk untuk menjaga martabat majelis. Petugas kedua,
yang berperan serupa dengan kepala penggerak Dewan Perwakilan Rakyat juga ditunjuk untuk
melihat apakah kuorum tercapai. Masalah-masalah diajukan dalam bentuk suatu mosi yang
terbuka untuk diskusi. Dalam beberapa kasus hal itu dilakukan satu kali, dalam kasus lain tiga
kali.
Demikian praktik Dewan Perwakilan Rakyat, suatu rancangan dibaca tiga kali sebelum
menjadi hukum. Jika diskusi memperlihatkan suatu perbedaan pendapat, hal itu harus
diselesaikan dengan pengambilan suara mayoritas melalui pemungutan suara. Pendekatan
Agama Buddha terhadap politik adalah kemoralan dan tanggung jawab penggunaan kekuatan
masyarakat. Sang Buddha mengkotbahkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian sebagai pesan
universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau penghancuran kehidupan dan mengumumkan
bahwa tidak ada satu hal yang dapat disebut sebagai suatu perang ‘adil’. Beliau mengajarkan,
“Yang menang melahirkan kebencian, yang kalah hidup dalam kesedihan. Barang siapa yang
melepaskan keduanya baik kemenangan dan kekalahan akan berbahagia dan damai”. Sang
Buddha tidak hanya mengajarkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian, Beliau mungkin guru agama

11
pertama dan satu-satunya yang pergi ke medan perang secara pribadi untuk mencegah pecahnya
suatu perang. Beliau menguraikan ketegangan antara suku Sakya dan suku Koliya yang siap
berperang atas air Sungai Rahini. Beliau juga meminta Raja Ajatasattu supaya jangan menyerang
Kerajaan Vajji. Sang Buddha mendiskusikan penting dan perlunya suatu pemerintahan yang
baik. Beliau memperlihatkan bagaimana suatu negara dapat menjadi korup, merosot nilainya dan
tidak bahagia ketika kepala pemerintahan menjadi korup dan tidak adil. Beliau berbicara
menentang korupsi dan bagaimana suatu pemerintahan harus bertindak berdasarkan pada prinsip-
prinsip kemanusiaan. Suatu kali Sang.Buddha berkata,
“Ketika penguasa suatu negara adil dan baik para menteri menjadi adil dan baik; ketika para
menteri adil dan baik, para pejabat tinggi adil dan baik; ketika para pejabat tinggi adil dan baik,
rakyat jelata menjadi baik; ketika rakyat jelata menjadi baik, orang-orang menjadi adil dan
baik”.(Anguttara Nikaya) di dalam Cakkavatti Sihananda Sutta, Sang Buddha berkata
bahwa kemerosotan moral dan kejahatan seperti pencurian, pemalsuan, kekerasan, kebencian,
kekejaman, dapat timbul dari kemiskinan.
Para raja dan aparat pemerintah mungkin menekan kejahatan melalui hukuman, tetapi
menghapus kejahatan melalui kekuatan, takkan berhasil. Dalam Kutadanda Sutta, Sang Buddha
menganjurkan pengembangan ekonomi sebagai ganti. Kekuatan untuk mengurangi kejahatan.
Pemerintahan harus menggunakan sumber daya negara untuk memperbaiki keadaan ekonomi
negara. Hal itu dapat dimulai pada bidang pertanian dan pengembangan daerah pedalaman,
memberikan dukungan keuangan bagi pengusaha dan perusahaan, memberi upah yang cukup
bagi pekerja untuk menjaga suatu kehidupan yang layak sesuai dengan martabat manusia.
Dalam Jataka, Sang Buddha telah memberikan10 aturan untuk pemerintahan yang baik, yang
dikenal sebagai “Dasa Raja Dhamma”. Kesepuluh aturan ini dapat diterapkan bahkan pada
masa kini oleh pemerintahan manapun yang berharap dapat mengatur negaranya. Peraturan-
peraturan tersebut sebagai berikut :
01. Bersikap bebas / tidak picik dan menghindari sikap mementingkan diri sendiri.
02. Memelihara suatu sifat moral tinggi.
03. Siap mengorbankan kesenangan sendiri bagi kesejahteraan rakyat.
04. Bersikap jujur dan menjaga ketulusan hati.
05. Bersikap.baik hati dan lembut.
06. Hidup sederhana sebagai teladan rakyat.

12
07. Bebas dari segala bentuk kebencian.
08. Melatih tanpa kekerasan.
09. Mempraktikkan kesabaran, dan
10. Menghargai pendapat masyarakat untuk meningkatkan kedamaian dan harmoni.
Mengenai perilaku para penguasa, Beliau lebih lanjut menasihatkan:
1. Seorang penguasa yang baik harus bersikap tidak memihak dan tidak berat sebelah terhadap
rakyatnya.
2. Seorang penguasa yang baik harus bebas.dari segala bentuk kebencian terhadap rakyatnya.
3. Seorang penguasa yang baik harus tidak memperlihatkan ketakutan apapun dalam
penyelenggaraan hukum jika itu dapat dibenarkan.
4. Seorang penguasa yang baik harus memiliki pengertian yang jernih akan hukum yang
diselenggarakan.
Hukum harus diselenggarakan tidak hanya karena penguasa mempunyai wewenang untuk
menyelenggarakan hukum. Dan.dikerjakan dalam suatu sikap yang masuk akal dan dengan
pikiran sehat, (Cakkavati Sihananda Sutta) Dalam Milinda Panha dinyatakan: Jika seseorang
yang tidak cocok, tidak mampu tidak bermoral, tidak layak, tidak berkemampuan, tidak berharga
atas kedudukan sebagai raja, telah mendudukkan dirinya sendiri sebagai seorang raja atau
seorang penguasa dengan wewenang besar, dia akan menjadi sasaran penyiksaan. Menjadi
sasaran berbagai macam hukuman oleh rakyat. Karena dengan keberadaannya yang tidak cocok
dan tidak berharga, dia telah menempatkan dirinya secara tidak tepat dalam kedudukannya.
Sang penguasa seperti halnya orang lain yang kejam dan melanggar moral etika dan
aturan dasar dari semua hukum-hukum sosial umat manusia, adalah sebanding sebagai sasaran
hukuman dan lebih lagi, yang pantas menjadi kecaman adalah penguasa yang berbuat sendiri
sebagai seorang perampok masyarakat. Dalam suatu cerita Jataka, disebutkan bahwa seorang
penguasa yang menghukum orang yang tidak bersalah dan tidak menghukum orang telah
melakukan kejahatan, tidak cocok untuk mengatur suatu negara. Raja yang selalu memperbaiki
dirinya sendiri dan secara hati-hati memeriksa tingkah lakunya baik perbuatan, ucapan dan
pikiran, mencoba untuk menemukan dan mendengar pendapat publik apakah dia telah bersalah
atau tidak dalam mengatur kerajaannya. Jika ditemukan bahwa dia telah mengatur secara tidak
benar, masyarakat akan mengeluh bahwa mereka telah dihancurkan oleh penguasa yang jahat
dengan perlakuan yang tidak adil, hukuman, pajak, atau tekanan-tekanan lain termasuk korupsi

13
dalam segala bentuk, dan mereka akan bereaksi menentangnya dalam satu atau lain cara.
Sebaliknya, jika seorang penguasa mengatur dengan cara yang benar mereka akan
memberkahinya dengan “Panjang umur Yang Mulia” (Majjhima Nikaya) Penekanan Sang
Buddha pada tugas moral seorang penguasa untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat telah
mengilhami Raja Asoka pada abad ketiga Sebelum Masehi untuk berbuat demikian.
Raja Asoka, contoh seorang raja berhasil dengan prinsip ini, berketetapan untuk hidup
menurut Dhamma dan mengkhotbahkan Dhamma serta melayani rakyatnya dan semua umat
manusia. Dia mengajarkan tanpa kekerasan kepada tetangga-tetangganya, meyakinkan mereka
dan mengirim utusan kepada para raja membawa pesan perdamaian dan tanpa agresi. Dengan
penuh semangat mempraktekkan kebajikan moral, kejujuran, ketulusan, welas asih, kebaikan
hati, tanpa kekerasan, penuh perhatian dan toleransi terhadap semua manusia, tidak tinggi hati,
tidak tamak, dan melukai binatang. Beliau mendorong kebebasan beragama dan secara berkala
membabarkan Dhamma kepada orang-orang di pedalaman. Beliau menangani pekerjaan
kebutuhan masyarakat, seperti: mendirikan rumah-rumah sakit untuk manusia dan binatang,
memasok obat-obatan, menanam hutan-hutan kecil dan pohon-pohon di tepi jalan, menggali
sumur-sumur, dan membangun tanggul-tanggul air dan rumah-rumah peristirahatan. Beliau juga
melarang bertindak kejam terhadap binatang-binatang. Kadang-kadang Sang Buddha dikatakan
sebagai pembaharu sosial. Antara lain Beliau mencela sistem kasta, memperkenalkan persamaan
manusia, berbicara akan kebutuhan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi,
memperkenalkan pentingnya pembagian kekayaan yang lebih pantas diantara yang kaya dan
yang miskin, meningkatkan status wanita, menganjurkan memasukkan kemanusiaan dalam
pemerintahan dan administrasi, dan mengajarkan bahwa suatu masyarakat harus dijalankan tanpa
keserakahan.
Tetapi dengan penuh pertimbangan dan welas asih bagi rakyat. Meskipun demikian,
kontribusinya terhadap umat manusia jauh lebih besar. Karena Beliau mulai pada titik yang tidak
pernah dilakukan oleh pembaharuan sosial lain, yaitu, dengan masuk ke akar yang terdalam dari
penyakit manusia yang ditemukan dalam batin manusia. Hanya di dalam batin manusia
pembaharuan sejati dapat berpengaruh. Pembaharuan yang dipaksakan mempunyai usia yang
sangat pendek karena tidak mempunyai akar atau pondasi. Tetapi pembaharuan yang bersemi
sebagai hasil transformasi kesadaran dalam (diri) manusia tetap berakar. Sementara cabang-
cabangnya menyebar keluar, menarik makanan dari sumber yang tak pernah gagal yaitu bawah

14
sadar yarig penting seka!i bagi aliran kehidupan itu sendiri. Jadi pembaharuan muncul ketika
pikiran manusia telah menyiapkan jalan untuk mereka, dan mereka hidup selarna manusia
menghidupkannya kembali dengan sumber cinta mereka sendiri akan kebenaran dan keadilan,
terhadap sesama manusia.
Doktrin yang dikhotbahkan Sang Buddha tidak berdasarkan pada filosofi politik. Bukan
pula sebuah doktrin yang mendorong manusia menuju kesenangan duniawi. Doktrin tersebut
menyiapkan jalan ke Nibbana. Dengan kata lain tujuan akhirnya adalah untuk mengakhiri
keinginan (tanha) yang membuat manusia tetap terikat pada dunia. Dhammapada 75menyarikan
dengan baik pernyataan ini, “Jalan yang menuntun kepada perolehan duniawi adalah satu, dan
jalan yang lain menuntun ke Nibbana (dengan menjalani suatu kehidupan agama) “. Betapapun,
ini tidak berarti bahwa agama Buddha tidak dapat atau harus tidak terlibat dalam proses politik,
yang merupakan suatu realitas sosial. Bagaimanapun kehidupan anggota masyarakat dibentuk
oleh hukum-hukum dan peraturan-peraturan, aturan-aturan ekonomi, lembaga-lembaga, yang
dipengaruhi oleh penataan politik dari masyarakat tersebut. Namun, jika seorang umat Buddha
berharap untuk terlibat dalam politik, dia harus tidak menyalahgunakan agama untuk
memperoleh kekuatan politik. Juga tidak dianjurkan bagi mereka yang telah melepaskan
kehidupan duniawi untuk menjalani suatu kehidupan agama yang murni untuk secara aktif
terlibat dalam politik. (Sujayo)

Dalam Buddhist ada 2 hal yang dapat kita jadikan pedoman dalam meningkatkan kualitas diri
kita, yaitu hiri dan ottapa. Hiri artinya rasa malu untuk berbuat jahat sedangkan ottapa berarti
rasa takut akibat perbuatan jahat. Dengan mengembangkan hiri dan ottapa, kita akan terhindar
dari perbuatan yang tidak baik. Itulah sebabnya hiri dan ottapa dikenal dengan sebutan pelindung
dunia. Pada prinsipnya, hiri dan ottapa ini bisa timbul pada diri kita jika kita memiliki
pengetahuan yang benar tentang sebab dan akibat dari perbuatan yang kita lakukan. Kita ambil
sebuah contoh, misalnya mencuri. Jika kita mencuri, akibat apa yang akan kita dapatkan? Bila
mencuri kita bisa ditangkap dan dipenjara, kita juga akan terlahir sebagai orang yang miskin.
Contoh lain lagi, bagaimana jika kita berbohong? Kalau kita sering berbohong orang tidak ada
yang mau percaya dengan kita, tidak ada yang mau berteman dengan kita. Selain itu, orang yang
suka berbohong akan terlahir cacat(mulut sumbing, mulut yang berbau), tidak dipercaya dan

15
sering menjadi sasaran fitnah dan caci maki. Pasti kita tidak mau kan menderita seperti itu, oleh
sebab itu kita harus memiliki sila yang baik dengan tidak membunuh, tidak mencuri, tidak
berbuat asusila, tidak berbohong dan juga tidak mengkonsumsi barang2 yang dapat
menimbulkan lemahnya kesadaran kita. Dan ingatlah selalu untuk berbuat baik dan selalu
mengembangkan hiri dan ottapa.

Hiri dan Otappa

Untuk menunjang pelaksanaan sila pada seseorang, Hiri dan Ottapa akan banyak membantu.

Yang dimaksud dengan Hiri adalah perasaan malu, sikap mental yang merasa malu bila
melakukan kesalahan atau kejahatan. Ottapa artinya tak mau berbuat salah atau jahat, sikap
mental yang merasa enggan merasakan akibat dari perbuatan salah mapun jahat, baik melalui
pikiran, ucapan, atau perbuatan.

Sang Buddha bersabda, “Ada 2 hal yang jelas, Oh Bhikkhu, untuk melindungi dunia. Hiri dan
Ottappa (malu dan enggan), jika kedua hal ini tak menjadi pelindung dunia, maka seseorang tak
menghargai ibunya, tak menghargai bibinya, tak menghargai kakak iparnya, tak menghargai istri
gurunya…..” – (Anguttara Nikaya II.7)

Hiri dan Ottappa disebut juga Dhamma pelindung dunia (Lokapala). Hiri dan Ottappa termasuk
dalam 7 Kekayaan Ariya atau 7 kekuatan Dhamma.

7 Kekayaan Ariya:

1. Saddha = memiliki keyakinan


2. Sila = menjaga ucapan dan perbuatan salah
3. Hiri = mental yang malu melakukan kejahatan
4. Ottappa = mental yang tak mau merasakan akibat perbuatan jahat
5. Bahusacca = mendengarkan Dhamma dan memahami kegunaannya
6. Panna – mengetahui yang berguna dan yang tidak berguna

7 Kekuatan Dhamma (Bala Tujuh):

16
1. Saddha-Bala = kekuatan dari keyakinan
2. Viriya-Bala = kekuatan dari semngat (usaha)
3. Hiri-Bala = Kekuatan dari malu jika berbuat salah (jahat)
4. Ottappa-Bala = kekuatan dari menjaga agar tak berbuat salah (jahat)
5. Sati-Bala = kekuatan dari kesadaran
6. Samadhi-Bala = kekuatan dari konsentrasi
7. Panna-Bala = kekuatan dari kebijaksanaan

Contoh memiliki Hiri dan Ottappa dalam pelaksanaan sila:

Memiliki Hiri :

 Karena malu disebut orang jahat, kita menghindari pembunuhan.


 Karena malu disebut miskin dan hina, kita menghindari pencurian
 Karena malu disebut tak pintar cari cewek, kita menghindari perbuatan zina
 Karena malu disebut tak pintar berkisah, kita menghindari ucapan dusta
 Karena malu disebut krang kreatif, kita menghindari minuman keras

Memiliki Ottappa :

 Karena tak mau dibunuh, kita menghindari pembunuhan


 Karena tak mau kehilangan barang, kita menghindari mencuri
 Karena tak mau mendapat masalah dalam rumah tangga, kita menghindari perbuatan zina
 Karena tak au ditipu, kita menghindari kata-kata dusta
 Karena tak mau hilang kesadaran, kita menghindari minuman keras

Hiri dengan Ottappa :

 Hiri bersumber dari dalam diri sendiri, sedangkan ottappa lebih dipengaruhi hal-hal yang
diluar diri.
 Hiri bersumber dari dalam diri sendiri, sedangkan ottappa lebih dipengaruhi hal-hal yang
di luar diri kita.

17
 Hiri bersifat otonom, timbul sendiri (attadhipati) , sedangkan Ottappa bersifat heteromus;
lebih dipengaruhi oleh lingkunagn dan masyarakat (lokadhipati)
 Hiri terbentuk oleh rasa malu, sedangkan Ottappa dibentuk oleh rasa waspada.
 Hiri ditandai dengan adanya sifat yang konsisten, sedangkan Ottappa ditandai dengan
adanya kemampuan mengenal bahaya dan tak mau merasakan akibat kesalahan.

Sumber subyektif dari Hiri adalah pandangan dan ide-ide yang berhubungan dengan
kelahiran, usia, kedudukan, sosial atau kehormatan diri, dan tingkat pendidikan. Maka seseorang
yang memiliki Hiri akan berpikir, “hanya orang-orang kampung, anak-anak dan orang-orang tak
berpendidikan yang akan berpandangan dan berbuat demikian”, maka oleh karena itu ia akan
menghindari pandangan yang sempit dan perbuatan yang salah.

Sumber eksternal dari Ottappa adalah pandangan dan ide-ie bahwa sesuatu yang berkuasa
(Tuhan, makhluk-makhluk agung, polisi, orang tua, guru, atasan dan sebagainya) akan
mempersalahkannya, maka oleh karenanya ia menghindari perbuatan-perbuatan yang salah.

Dengan Hiri, seseorang bercermin kepada kehormatan dirinya, kelahirannya, gurunya,


kedudukannya, sosialnya, perguruannya, atau masyarakat dimana ia berada. Sedangkan dengan
Ottappa, seseorang menjaga dirinya sendiri, tak mau dipersalahkan orang-orang, tak mau
mendapat balasan Hukum karma, dan tak mau menerima akibatnya pada kehidupan mendatang.

Jika seseorang memiliki Hiri, maka ia sendiri yang paling tepat menjadi guru dan pengawas
yang terbaik. Apabila seseorang lebih sensitif terhadap Ottappa, maka ia sebaiknya mengikuti
bimbingan dan peraturan dari seseorang ataupun dari suatu ajaran yang baik dan diyakininya.

18

Anda mungkin juga menyukai