Pneumonia (BP)

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 31

Laporan Kasus

BRONKOPNEUMONIA

Diajukan sebagai salah satu syarat Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSMH Palembang

Oleh:
Gerry Armando, S.Ked 04054821719144
Jovina Johny, S.Ked 04054821719145

Pembimbing:
dr. K. Yangtjik, Sp.A(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Topik
BRONKOPNEUMONIA

Oleh
Gerry Armando, S.Ked 04054821719144
Jovina Johny, S.Ked 04054821719145

Pembimbing
dr. K. Yangtjik, Sp.A(K)

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Univesitas
Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 24 Juli 2017 – 2 Oktober 2017.

Palembang, Agustus 2017


Pembimbing,

dr. K. Yangtjik, Sp.A(K)

ii
DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan .............................................................................................. ii


Daftar Isi ................................................................................................................ iii
BAB I Pendahuluan ................................................................................................ 1
BAB II Status Pasien .............................................................................................. 3
BAB III Tinjauan Pustaka .................................................................................... 11
BAB IV Analisis Kasus ............................................................................................
Daftar Pustaka ..........................................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan
interstitial. Pneumonia didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, serta perjalanan
penyakitnya. World Health Organization (WHO) mendefinisikan pneumonia hanya
berdasarkan penemuan klinis pada inspeksi dan frekuensi pernapasan.1 Gejala penyakit
pneumonia adalah batuk dan/atau sukar bernafas, dengan atau tanpa demam, adanya nafas
cepat atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, adanya retraksi pada saat inspirasi,
dan terkadang disertai wheezing. Populasi yang rentan adalah anak usia kurang dari 2
tahun, usia lanjut lebih dari 65 tahun, dan orang yang memiliki masalah kesehatan, seperti
malnutrisi dan gangguan imunologi.2
Pneumonia dapat disebabkan oleh agen infeksius yang bermacam-macam, termasuk
virus, bakteri dan fungi. Penyebab paling sering adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae tipe B (Hib), respiratory syncytial virus (RSV), dan pada pasien
HIV pneumocystis jiroveci. S. Pneumoniae merupakan penyebab tersering pneumonia
bakterial pada semua kelompok umur, sedangkan virus lebih sering ditemukan pada anak
kurang dari 5 tahun. RSV merupakan virus penyebab tersering pada anak kurang dari 3
tahun.1,3 Pneumonia dapat ditularkan melalui kontaminasi droplet di udara atau infeksi
blood-borne. Anak-anak rentan terkena penyakit ini terutama pada anak dengan sistem
imun yang compromised dan anak dengan kurang gizi. Lingkungan juga mempengaruhi
seperti padatnya rumah dan paparan terhadap polusi udara atau rokok.3
Pneumonia, “the forgotten killer of children”, membunuh hampir 1 dari 5 anak di
dunia, dan menempati 19% dari semua kematian anak dengan umur di bawah 5 tahun.
Kematian akibat pneumonia pada anak (2 juta) melebihi kombinasi angka kematian akibat
AIDS (300.000), malaria (800.000), dan campak, sedangkan pneumonia mendapatkan
perhatian dan dana yang kurang dibandingkan penyakit tersebut sehingga pneumonia
disebut sebagai “a forgotten pandemic”.4 Insiden pneumonia anak <5 tahun di negara maju
adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan di negara berkembang 10-20 kasus/100
anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian per tahun pada anak balita
di negara berkembang.1 Insiden pneumonia di negara berkembang mencapai 10 kali lebih
tinggi, dengan kematian pneumonia anak 2.000 kali lebih tinggi pada negara berkembang
dibandingkan negara maju.5 Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan tingkat kematian

1
balita akibat pneumonia tertinggi, dengan angka kematian 147 ribu balita pada tahun 2015.
Setiap satu jam terdapat 2-3 balita yang meninggal akibat pneumonia.6
Kompetensi dokter umum untuk kasus bronkopneumonia adalah tingkat
kemampuan 4A, yaitu lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan
penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. Pemahaman mengenai kasus
bronkopneumonia sangat dibutuhkan untuk mengenali gejala dan tanda awal, serta
memberikan tatalaksana yang tepat dan mencegah komplikasi akibat keterlambatan
penatalaksanaan bronkopneumonia

2
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI
a. Nama : An. MRA
b. Umur : 2 tahun 2 bulan
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Nama Ayah : M Darwis
e. Nama Ibu : Kamilia
f. Bangsa : Indonesia
g. Alamat : Terusan Muara, Banyuasin
h. Dikirim Oleh : IGD
i. MRS Tanggal : 10-08-2017
j. No. Rekam Medis : 1019062

II. ANAMNESIS
Tanggal : 11-08-2016 pukul 09.00 WIB
Diberikan Oleh : Ibu pasien
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : Sesak nafas
Keluhan Tambahan : Batuk berdahak
Riwayat Perjalanan Penyakit :
Kisaran 3 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh batuk dan pilek.
Batuk tidak berdahak disertai sekret dari hidung (+) berwarna putih. Penderita belum
mengeluh sesak nafas. Keluhan disertai demam (+) tidak terlalu tinggi, BAB cair (+)
tidak disertai lendir dan darah, dan muntah (+). Penderita masih mau makan dan
minum. Penderita berobat ke bidan dan diberikan sirup parasetamol dan sirup untuk
diare yang diminum 3 kali sehari. Keluhan BAB cair berkurang.
Kisaran 1 hari yang lalu, penderita mengeluh batuk berdahak disertai pilek.
Sesak (-), batuk (+) berdahak, dahak berwarna kuning kehijauan, dahak tidak disertai
darah, demam (+) tidak terlalu tinggi, BAB cair (-), muntah (-). Pasien tidak dibawa
berobat.
Kisaran 12 jam sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh tiba-tiba sesak
nafas saat bangun tidur. Sesak tidak dipengaruhi posisi dan cuaca, tidak berkurang

3
saat istirahat. Demam (+) tidak terlalu tinggi, mual (-), muntah (-), BAB dan BAK
normal. Penderita dibawa ke puskesmas, kemudian dirujuk ke RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang.

b. Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit


1. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa kehamilan : 39 minggu
Partus : Spontan, pervaginam, langsung menangis
Tanggal : 7 Juni 2015
BB : 3.200 gram
PB : 45 cm
2. Riwayat Makanan
ASI : ASI eksklusif sampai 6 bulan, dan diteruskan sampai sekarang
Susu Botol :-
Bubur Nasi : Mulai ketika berumur 6 bulan sampai umur 10 bulan
Nasi biasa : Mulai ketika berumur 10 bulan sampai sekarang

c. Riwayat Imunisasi
Imunisasi Dasar
Umur Umur Umur
BCG 1 bulan DPT 2 3 bulan DPT 3 4 bulan
DPT 1 2 bulan Hepatitis B 2 3 bulan Hepatitis B 3 4 bulan
Hepatitis B 1 2 bulan Hib 2 3 bulan Hib 3 4 bulan
Hib 1 2 bulan Polio 2 2 bulan Polio 3 3 bulan
Polio 1 1 bulan Polio 4 4 bulan
Campak 9 bulan
Kesan: Imunisasi Dasar Lengkap

d. Riwayat Keluarga
Keluhan sesak nafas dalam keluarga (+) pada kakek
Ayah merupakan perokok aktif (1 bungkus 3 hari)

4
e. Riwayat Sosioekonomi
Penderita merupakan anak ke-2 dari 2 bersaudara. Pendidikan terakhir ibu dan ayah
penderita adalah SD. Ayah penderita bekerja sebagai petani dengan penghasilan Rp
1.000.000,- dan ibu penderita merupakan ibu rumah tangga.

f. Riwayat Penyakit Yang Pernah Diderita


Penderita pernah mengalami sesak nafas disertai demam pada usia 7 bulan.
Riwayat kontak dengan penderita batuk lama disangkal.
Riwayat bersin pada pagi hari disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Kesan Umum : Tampak sakit sedang, sesak
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital : N : 136x/mnt, isi dan tegangan cukup, irama reguler
RR : 42x/menit
S : 37,8˚C
SpO2 : 96% (tanpa oksigen kanul)
Status : BB: 10 kg BB/U: -2 < z score < 0 ( normal)
Antropometri PB: 79 cm PB/U: -3 < z score < -2 (perawakan pendek)
BB/PB: -2 <z score < 0 (normal)
Kesan: Gizi Baik
Kepala : Normocephali (lingkar kepala 49 cm), rambut hitam.
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil
isokor 3 mm/3 mm
Telinga : Bentuk normal, simetris, otore -/-
Hidung : Bentuk normal, pernapasan cuping hidung (+), konka
nasal hiperemis (+), sekret (-)
Mulut Mukosa bibir lembab, sianosis (-), faring hiperemis,
: Tonsil T1-T1 hiperemis
Leher : Simetris, tidak ada deviasi trakhea, tidak teraba
pembesaran kelenjar getah bening
Dada : Pulmo:

5
I: Dinding dada simetris statis dan dinamis, retraksi
intercostal (+) retraksi subcostal (+)
P: Stem fremitus tidak dilakukan
P: Tidak dilakukan
A:Vesikuler mengeras, ronkhi (+) basah halus nyaring,
wheezing (-)
Cor:
I: Tidak tampak iktus cordis
P: Iktus cordis tidak teraba
P: Tidak dilakukan
A: BJ I dan II normal, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen : I: Datar, simetris
P: Dinding abdomen lemas, hepar dan lien tidak teraba,
turgor kulit baik
P: Timpani
A: Bising usus (+) normal, 3x/menit
Alat Kelamin : O , Fimosis (-), Eritema (-)

Ekstremitas : Edema (-), sianosis (-), capillary refill 2 detik, akral


hangat, clubbing finger (-), scar BCG (+) deltoid kanan

IV. STATUS NEUROLOGIKUS


Lengan Lengan
Fungsi motorik Kaki kanan Kaki kiri
Kanan Kiri
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - - - -
Refleks
Tidak dilakukan pemeriksaan
fisiologis
Refleks
Tidak dilakukan pemeriksaan
patologis
Gejala rangsang
Tidak dilakukan pemeriksaan
meningeal

6
Fungsi motorik Dalam batas normal
Nervi craniales Dalam batas normal
Refleks primitif Tidak dilakukan pemeriksaan

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan darah rutin dan imunoserologi sebagai
petanda infeksi, dengan hasil yaitu:
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hemoglobin (Hb) 11,3 g/dL 11,1-14,4 g/dL
Eritrosit (RBC) 4,77 x 106/mm3 3,71-4,25 x 106/mm3
Leukosit (WBC) 15,5 x 103/mm3 4,5-13,5 x 103/mm3
Hematokrit 35% 35-41%
Trombosit (PLT) 360 x 103/ μL 271-497 x 103/ μL
Hitung Jenis Leukosit 0/0/82/13/5 0-1/1-6/50-70/20-40/2-8
LED 59 mm/jam <15 mm/jam
CRP kualitatif 16 mg/L Negatif

VI. RESUME
M Rafa, laki-laki umur 2 tahun 2 bulan, masuk rumah sakit dengan keluhan sesak
nafas dan batuk berdahak. Sesak nafas tidak berkurang saat istirahat. Kisaran 3 hari
sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh batuk pilek, disertai demam (+) tidak
terlalu tinggi. Keluhan disertai BAB cair dan muntah. Pasien berobat ke bidan dan diberi
sirup parasetamol dan sirup untuk diare. Keluhan BAB cair berkurang. Kisaran 1 hari
sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh batuk berdahak dan pilek. Dahak
berwarna hijau kekuningan, sesak (-), demam (+) tidak terlalu tinggi. Kisaran 12 jam
sebelum masuk rumah sakit, penderita mengalami sesak nafas saat bangun tidur.
Penderita berobat ke puskesmas kemudian di rujuk ke RSMH pada tanggal 10/08/2017.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak sakit sedang. Anak tampak sesak,
nafas cuping hidung (+), retraksi intercostal (+), dan retraksi subcostal (+). Pasien
menderita demam subfebris 37,8oC. Pasien juga mengalami batuk berdahak, dahak
berwarna kuning kehijauan dan tidak disertai darah. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan
suara vesikuler mengeras dan ronkhi basah halus nyaring pada kedua lapangan paru.

7
VII. DAFTAR MASALAH
1. Sesak nafas
2. Batuk
3. Demam

VIII. DIAGNOSIS BANDING


1. Bronkopneumonia
2. Bronkitis akut
3. Asma

IX. DIAGNOSIS KERJA


Bronkopneumonia berat

X. TATALAKSANA
a. Pemeriksaan Anjuran
Foto thoraks AP/Lateral
Pemeriksaan mikrobiologi dari sputum dan swab nasopharyngeal
Analisis gas darah
b. Non-farmakologis
O2 nasal kanul 1 liter/menit
IVFD D5 ¼ NS gtt X/menit  kebutuhan 1000 cc/24 jam
c. Farmakologis
1. Inj Ampisilin 250 mg IV tiap 8 jam
2. Inj Gentamisin 25 mg IV tiap 12 jam
3. Paracetamol syrup 125 mg bila demam (T>38,5˚C)
4. Nebulisasi ventolin + NaCl 2,5 cc tiap 4 jam
d. Diet
Diet 1000 kkal/hari (3 kali makanan biasa ditambah 2 kali snack)
e. Edukasi
1. Bila anak bertambah sesak (RR > 50x/menit) maka sementara anak dipuasakan
terlebih dahulu dan dipasang NGT
2. Bila anak demam, berikan obat penurun panas
3. Edukasi orang tua untuk berhenti merokok atau tidak merokok di sekitar anaknya
4. Edukasi untuk memberikan imunisasi lanjutan

8
XI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : ad dubia

XII. FOLLOW UP

Tanggal Subjektif, Objektif, & Assessment Penatalaksanaan

10 S: Sesak nafas (+), batuk (+), demam (+) IVFD DS ¼ N5 500cc/hari


Agustus gtt 5 makro
O: Sensorium CM, Nadi 136x/m, RR 42x/m,
2017
temp 38,3 SpO2 98% Injeksi ampicillin 3x250 mg

Kepala: Nafas Cuping Hidung (+), konjungtiva Injeksi gentamicin 2x25 mg


anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), faring
Nebulisasi ventolin + NaCl
hiperemis (-/-)
2,5cc/4 jam
Thorax: Simetris retraksi (+) intercostal dan
Parasetamol syrup 125 mg
suprasternal

Cor: Bunyi jantung I & II normal, murmur (-),


gallop (-)

Pulmo: vesikuler mengeras, ronkhi basah halus


(+)

Abdomen: datar, lemas, bising usus normal,


hepar dan lien tidak teraba

Extremitas: Akral hangat, CRT<2 detik

A: Bronkopneumonia

11 S: Sesak nafas berkurang, batuk (+), demam IVFD DS ¼ N5 500cc/hari


Agustus gtt 5 makro
O: Sensorium CM, Nadi 136x/m, RR 40x/m,
2017
temp 37,3 SpO2 98% Injeksi ampicillin 3x250 mg

9
Kepala: Nafas Cuping Hidung (+), konjungtiva Injeksi gentamicin 2x25 mg
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), faring
Nebulisasi ventolin + NaCl
hiperemis (-/-)
2,5cc/4 jam
Thorax: Simetris retraksi (+) intercostal dan
Parasetamol syrup 125 mg
suprasternal

Cor: Bunyi jantung I & II normal, murmur (-),


gallop (-)

Pulmo: vesikuler mengeras, ronkhi basah halus


(+)

Abdomen: datar, lemas, bising usus normal,


hepar dan lien tidak teraba

Extremitas: Akral hangat, CRT<2 detik

12 S: batuk (+) IVFD DS ¼ N5 500cchari


Agustus gtt 5 makro
O: Sensorium CM, Nadi 136x/m, RR 32x/m,
2017
temp 37,3 SpO2 98% Injeksi ampicillin 3x250 mg

Kepala: Nafas Cuping Hidung (-), konjungtiva Injeksi gentamicin 2x25 mg


anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), faring
hiperemis (-/-)

Thorax: Simetris, retraksi (-)

Cor: Bunyi jantung I & II normal, murmur (-),


gallop (-)

Pulmo: vesikuler mengeras, ronkhi basah halus


(-)

Abdomen: datar, lemas, bising usus normal,


hepar dan lien tidak teraba

Extremitas: Akral hangat, CRT<2 detik

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi Saluran Pernafasan


Fungsi pernafasan yang utama adalah untuk mengambil oksigen (O2) dari atmosfer
ke dalam sel-sel tubuh dan untuk mentranspor karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan sel-
sel tubuh kembali ke atmosfer. Oleh karena itu, baik anatomi maupun fisiologi paru
disesuaikan dengan fungsi ini. Secara anatomi, fungsi pernafasan ini dimulai dari hidung
sampai ke parenkim paru. Secara fungsional saluran pernafasan dibagi atas bagian yang
berfungsi sebagai konduksi (penghantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi
(pertukaran gas). Pada bagian konduksi, udara seakan-akan bolak-balik diantara atmosfir
jalan nafas. Oleh karena itu, bagian ini seakan-akan tidak berfungsi, dan disebut dengan
“dead space”. Akan tetapi, fungsi tambahan dari konduksi, seperti proteksi dan
pengaturan kelembaban udara, justru dilaksanakan pada bagian ini. Adapun yang
termasuk dalam konduksi ialah rongga hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea, sinus
bronkus dan bronkiolus nonrespiratorius. Pada bagian respirasi akan terjadi pertukaran
udara (difusi) yang sering disebut dengan unit paru (lung unit), yang terdiri dari bronkiolus
respiratorius, duktus alveolaris, atrium dan sokus alveolaris.7,8
Bila ditinjau dari traktus respiratorius, maka yang berfungsi sebagai konduksi
adalah trakea, bronkus utama, bronkus lobaris, bronkus segmental, bronkus subsegmental,
bronkus terminalis, bronkiolus, dan bronkiolus nonrespiratorius. Organ yang bertindak
sebagai respirasi adalah bronkiolus respiratorius, bronkiolus terminalis, duktus alveolaris,
sakus alveolaris dan alveoli. Percabangan trakea sampai kepada sakus alveolaris dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: bronkus utama sebagai percabangan utama, bronkus
lobaris sebagai percabangan kedua, bronkus segmental sebagai percabangan ketiga,
bronkus subsegmental sebagai percabangan keempat, hingga sampai bagian yang keenam
belas sebagai bagian yang berperan sebagai konduksi, sedangkan bagian percabangan
yang ketujuh belas sampai ke sembilan belas yang merupakan percabangan bronkiolus
respiratorius dan percabangan yang kedua puluh sampai kedua puluh dua yang merupakan
percabangan duktus alveolaris dan sakus alveolaris adalah percabangan terakhir yang
seluruhnya merupakan bagian respirasi.7,8 Secara rinci dapat dilihat pada gambar.

11
Gambar 1. Anatomi Saluran Pernafasan.

3.2. Definisi Bronkopneumonia


Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan pada
parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk
bercak-bercak (patchy distribution). Konsolidasi bercak berpusat disekitar bronkus yang
mengalami peradangan multifokal dan biasanya bilateral. Konsolidasi pneumonia yang
tersebar (patchy) ini biasanya mengikuti suatu bronkitis atau bronkiolitis.9,10

3.3. Morfologi Bronkopneumonia


Bronkopneumonia ditandai dengan lokus konsolidasi radang yang menyebar
menyeluruh pada satu atau beberapa lobus. Seringkali bilateral di basal sebab ada
kecenderungan sekret untuk turun karena gravitasi ke lobus bawah. Lesi yang telah
berkembang penuh agak meninggi, kering granuler, abu-abu merah, sampai kuning, dan
memiliki batas yang tidak jelas. Ukuran diameter bervariasi antara 3 sampai 4 cm.
pengelompokan fokus ini terjadi pada keadaan yang lebih lanjut (florid) yang terlihat
sebagai konsolidasi lobular total. Daerah fokus nekrosis (abses) dapat terlihat di antara
daerah yang terkena.9 Substansi paru di sekelilingi daerah konsolidasi biasanya agak
hiperemi dan edematosa, tetapi daerah yang luas diantaranya pada umumnya normal.

12
Pleuritis fibrinosa atau supuratif terjadi bila fokus peradangan berhubungan dengan
pleura, tetapi ini tidak biasa. Dengan meredanya penyakit, konsolidasi dapat larut bila
tidak ada pembentukan abses, atau dapat menjadi terorganisasi meninggalkan sisa fokus
fibrosis. Secara histologis, reaksi itu terdiri dari eksudat supuratif yang memenuhi bronki,
bronkioli dan rongga alveolar yang berdekatan. Netrofil dominan dalam eksudasi ini dan
biasanya hanya didapatkan sejumlah kecil fibrin. Seperti yang diharapkan, abses ditandai
oleh nekrosis dari arsitektur dasar.9

3.4. Etiologi Bronkopneumonia


Bronkopneumonia dapat juga dikatakan suatu peradangan pada parenkim paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur.11 Bakteri seperti Diplococus pneumonia,
Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus, Haemophilus influenza, Basilus
friendlander (Klebsial pneumonia), dan Mycobacterium tuberculosis. Virus seperti
Respiratory syntical virus, Virus influenza, dan Virus sitomegalik. Jamur seperti
Citoplasma capsulatum, Criptococcus nepromas, Blastomices dermatides, Cocedirides
immitis, Aspergillus sp, Candinda albicans, dan Mycoplasma pneumonia.12
Meskipun hampir semua organisme dapat menyebabkan bronkopneumonia,
penyebab yang sering adalah stafilokokus, streptokokus, H. influenza, Proteus sp dan
Pseudomonas aeruginosa.9 Keadaan ini dapat disebabkan oleh sejumlah besar organisme
yang berbeda dengan patogenitas yang bervariasi. Virus, tuberkolosis dan organisme
dengan patogenisitas yang rendah dapat juga menyebabkan bronkopneumonia, namun
gambarannya bervariasi sesuai agen etiologinya.10

3.5. Patogenesis Bronkopneumonia


Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di
dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Bila
pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke
alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah
itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi
empat stadium, yaitu10,13 :

13
3.5.1. Stadium I/Hiperemia (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon peradangan
permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel
mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan
cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh
oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
3.5.2. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus terisi oleh
sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena
adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi
merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3.5.3. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 – 8 hari)
Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada
stadium ini eritrosit di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat karena
berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak
lagi mengalami kongesti.
3.5.4. Stadium IV/Resolusi (7 – 11 hari)
Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda,
sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan
kembali ke strukturnya semula.

14
3.6. Epidemiologi Bronkopneumonia
3.6.1. Distribusi Bronkopneumonia
a. Distribusi Bronkopneumonia Berdasarkan Orang
Berdasarkan hasil SKRT 2001, angka prevalensi ISPA 2% dari lima penyakit
yang disurvei (ISPA, infeksi saluran nafas kronik, hipertensi, kulit, dan sendi), dengan
prevalensi tinggi pada golongan bayi (39%) dan balita (42%). ISPA merupakan
penyebab utama kematian pada bayi dan balita dengan CFR masingmasing (27,6%),
dan (22,8%). Angka kematian bayi dan balita menjadi indikator derajat kesehatan
14
masyarakat. Prevalensi ISPA di Indonesia berdasarkan Surkesnas (Survei
Kesehatan Nasional) 2001 masih sangat tinggi yaitu 38,7% pada umur dibawah 1
tahun dan 42,2% umur 1-4 tahun. Cause Specific Death Rate (CSDR) pneumonia
pada anak umur <1 tahun laki-laki 940 per 100.000 penduduk dan perempuan 652 per
100.000 penduduk, pada anak umur 1-4 tahun laki-laki 44 per 100.000 penduduk dan
perempuan 40 per 100.000 penduduk. Proporsi kematian balita akibat ISPA 28%
artinya dari 100 balita yang meninggal 28 disebabkan oleh penyakit ISPA.15
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, prevalensi ISPA tinggi pada perempuan
(24%) daripada laki-laki (23%).16 Menurut hasil penelitian Taisir (2005) di Kelurahan
Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan dengan menggunakan desain
Cross Sectional, berdasarkan jenis kelamin IR ISPA balita pada laki-laki (43,3%)
lebih tinggi daripada perempuan (33,7%).17 Menurut hasil penelitian Barus (2005) di
tiga Kelurahan Kecamatan Medan Baru dengan menggunakan desain Cross
Sectional, diketahui bahwa kelompok umur >19 tahun merupakan anggota rumah
tangga terbanyak yaitu 568 jiwa (66,7%), demikian juga kasus ISPA terbanyak pada
kelompok umur ini, yaitu 280 kasus (65,6%). Namun bila dihitung angka Age Specific
Morbidity Rate tertinggi adalah pada kelompok ≤5 tahun (79,4%).18
b. Distribusi Bronkopneumonia Berdasarkan Tempat dan Waktu
Berdasarkan hasil Surkesnas 2001 proporsi kematian karena penyakit sistem
pernapasan pada bayi sebesar 23,9% di Jawa Bali, 15,8% di Sumatera, dan 42,6% di
Kawasan Timur Indonesia. Pada balita sebesar 16,7% di Jawa Bali, 29,4% di
sumatera, dan 30,3% di Kawasan Timur Indonesia.19 Profil Kesehatan Indonesia tahun
2005, prevalensi ISPA di pedesaan (25%) lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan
(22%). Prevalensi ISPA untuk kawasan Sumatera 20%, sementara untuk kawasan
Jawa-Bali adalah 23% dan kawasan KTI (Kalimantan, Sulawesi, dan
NTB/NTT/Papua) 29%.14 Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008, pneumonia yang

15
terjadi pada balita berdasarkan laporan 26 provinsi, tiga provinsi dengan cakupan
tertinggi berturut-turut adalah provinsi Nusa Tenggara Barat 56,50%, Jawa Barat
42,50% dan Kepulauan Bangka Belitung 21,71%. Sedangkan cakupan terendah
adalah provinsi DI Yogyakarta 1,81%, Kepulauan Riau 2,08%, dan NAD 4,56%.
Profil Kesehatan Sulawesi Selatan tahun 2004 prevalensi ISPA (97,9 %) dan di kota
Makasar (29,47%).15

3.6.2. Determinan Bronkopneumonia


a. Faktor Host
a.1. Umur
ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di negara
sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian
pada anak berusia di bawah 5 tahun setiap tahunnya, sebanyak dua pertiga
kematian tersebut adalah bayi (khususnya bayi muda). Hampir seluruh kematian
karena ISPA pada bayi dan balita disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernafasan
bawah Akut (ISPbA), paling sering adalah pneumonia.20 Tingginya kejadian
pneumonia terutama menyerang kelompok usia bayi dan balita. Faktor usia
merupakan salah satu faktor risiko kematian pada bayi dan balita yang sedang
menderita pneumonia.21 Menurut hasil penelitian Taisir (2005) di Kelurahan Lhok
Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan dengan menggunakan desain
Cross Sectional, IR ISPA balita pada kelompok umur 0-11 bulan (59,1%) lebih
tinggi daripada kelompok umur 12-59 bulan (33,7%).17
a.2. Jenis kelamin
Berdasarkan konsep epidemiologi, secara umum setiap penyakit dapat terjadi pada
laki-laki maupun perempuan. Selain umur, jenis kelamin merupakan determinan
perbedaan kedua yang paling signifikan di dalam peristiwa kesehatan atau dalam
faktor risiko suatu penyakit.22 Menurut penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya
dengan menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan
jenis kelamin berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada
balita (p=0,001) dan diperoleh nilai OR=1,524 (CI 95%=1,495-4,261), maka balita
yang mengalami pneumonia kemungkinan 1,524 kali lebih besar pada perempuan
dibandingkan laki-laki.23

16
a.3. Status gizi
Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi
adalah kelompok bayi dan balita.24 Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap
pertumbuhan dan perkembangan dipengaruhi oleh : umur, keadaan fisik, kondisi
kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan dan
aktivitasnya.25 Status gizi pada balita berdasarkan hasil pengukuran antropometri
dengan melihat kriteria yaitu : Berat Badan per Umur (BB/U), Tinggi Badan per
Umur (TB/U), Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB).26
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk
terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara
gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering
mendapat pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan
terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan
tubuh balita terhadap infeksi.25
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA
dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang
kurang. Penyakit infeksi akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan
dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah
terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih lama.25 Menurut hasil penelitian
Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan desain Case Control, hasil
analisis statistik menunjukkan status gizi berhubungan secara bermakna dengan
kejadian pneumonia pada balita (p=0,013) dan diperoleh nilai OR=6,041 (CI
95%=1,067-22,713), maka balita yang mengalami pneumonia kemungkinan 6,04
kali lebih besar mempunyai riwayat gizi kurang dibandingkan gizi baik atau
sedang. Status gizi berhubungan dengan daya tahan tubuh, makin baik status gizi
makin baik daya tahan tubuh, sehingga memperkecil risiko pneumonia.23
a.4. Status imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu cara menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian pada bayi dan balita. Dari seluruh kematian balita, sekitar 38% dapat
dicegah dengan pemberian imunisasi secara efektif. Imunisasi yang tidak lengkap
merupakan faktor risiko yang dapat meningkatakan insidens ISPA terutama
pneumonia.27 Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan sembuh akan
mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak.
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari

17
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak.
Peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan
ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan
imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila
menderita ISPA diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih
berat.25
Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status
imunisasi berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita
(p=0,009), dan diperoleh nilai OR=1,758 (CI 95%=1,375-2,883), maka balita yang
mengalami pneumonia kemungkinan 1,76 kali lebih besar mempunyai status
imunisasi yang tidak lengkap dibandingkan yang lengkap.23

b. Faktor Agent
Bronkopneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri seperti Diplococus
pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus, Haemophilus
influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia), Mycobacterium tuberculosis.
Virus seperti Respiratory syntical virus, Virus influenza, Virus sitomegalik. Jamur
seperti Citoplasma capsulatum, Criptococcus nepromas, Blastomices dermatides,
Cocedirides immitis, Aspergillus sp, Candinda albicans, Mycoplasma pneumonia.12
Pada zaman sebelum ditemukan antibiotik, pneumokokus merupakan penyebab
pneumonia paling sering (95-98%) dari semua pneumonia yang dirawat di rumah
sakit, dan menyebabkan kematian pada 60% penderita pneumonia dengan
bakteriemia dan pada 20% penderita pneumonia non bakteriemia. Kini, hanya 62%
pneumonia disebabkan oleh kuman pneumokokus dan menyebabkan kematian hanya
pada 32% penderita pneumonia dengan bakteriemia dan 6% menderita pneumonia
non bakteriemia. Dahulu kuman gram negatif jarang menyebabkan pneumonia dan
menyebabkan angka kematian 97%, tapi sekarang gram negatif menyebabkan
pneumonia 20% dari seluruh penderita pneumonia, menggantikan stafilokokus
sebagai penyebab kedua yang paling sering. Pneumonia sebab gram negatif tetap
mempunyai angka kematian yang tinggi 79%.29

18
c. Faktor Lingkungan Sosial
c.1. Pekerjaan Orang Tua
Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan utama
maupun tambahan. Tingkat penghasilan yang rendah menyebabkan orang tua sulit
menyediakan fasilitas perumahan yang baik, perawatan kesehatan, dan gizi balita
yang memadai. Rendahnya kualitas gizi anak menyebabkan daya tahan tubuh
berkurang dan mudah terkena penyakit infeksi termasuk penyakit pneumonia.24
Menurut hasil penelitian Heriyana, dkk (2005) di Makassar dengan menggunakan
desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan OR=1,280 (CI
95%=0,686-3,193), dapat dikatakan bahwa bayi yang mengalami pneumonia
kemungkinan 1,3 kali lebih besar pada bayi yang memiliki keluarga yang
berpenghasilan kurang (dibawah Upah Minimal Propinsi <Rp. 510.000,00)
dibandingkan bayi yang memiliki keluarga yang berpenghasilan cukup (Rp.
510.000,00).
c.2. Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua yang rendah juga merupakan faktor risiko
yang dapat meningkatkan angka kematian ISPA terutama pneumonia. Tingkat
pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu kepada
anak yang menderita ISPA. Menurut hasil penelitian Notosiswoyo, dkk (2001) di
Indramayu dengan menggunakan rancangan penelitian survei cepat (Rapid
Assement Survey), pendidikan akhir ibu berhubungan bermakna dengan
pengetahuan tentang ISPA (p<0,05). Dilihat dari pengetahuan ibu bayi/anak balita
masih terdapat : tidak mengetahui istilah ISPA (70%), tidak tahu istilah pneumonia
(76,2%), tidak tahu adanya hubungan antara penyakit ISPA dan pneumonia
(75,0%), tidak tahu penyebab penyakit ISPA (72,6%), tidak tahu cara mencegah
penyakit ISPA (56,5%).30

19
c.3. Pola Asuhan Anak Dalam Keluarga Berdasarkan Jumlah Anak
Orang tua yang menerapkan pola asuh secara tepat artinya pola asuh yang
diterapkan orang tua bersifat dinamis, sesuai, konsisten, penerapan pola asuh yang
kompak antara kedua orang tua, serta adanya contoh perilaku yang positif dari
kedua orang tua. Pola asuh yang dinamis artinya pola asuh yang diterapkan sejalan
dengan usia balita misalkan pemberian jenis makanan pada anak yang berumur 1
tahun tentu berbeda dengan jenis makanan anak yang berumur 5 tahun, pola asuh
bersifat sesuai artinya orang tua menerapkan pola asuh sesuai dengan kondisi balita
itu sendiri karena pola asuh pada balita yang memiliki ganaguan kesehatan tentu
berbeda dengan pola asuh pada balita normal. Pola asuh yang baik yaitu pola asuh
yang bersifat konsisten dalam penerapan pola asuh cenderung bersifat tetap
sebagai contoh balita boleh bermain asal ditempat yang bersih dan saat tiba waktu
makan balita harus berhenti bermain dulu unuk makan, berbagi dan berkasih
sayang dengan saudara dan anggota keluarga yang lain, lama kelamaan balita akan
terbiasa dengan hal tersebut dan pada akhirnya balita akan mengerti hal mana yang
boleh atau baik dan hal mana yang tidak boleh atau tidak baik. Pada orang tua yang
melakukan pola asuh tidak tepat, artinya pola asuh yang diterapkan orang tua
bersifat terlalu over protektif dimana balita tidak diberi kepercayaan sama sekali
seperti tidak memperbolehkan bermain diluar rumah dan harus didalam rumah
terus membuat anak stres sehingga dapat membuatnya sakit, dan pola asuh yang
diterapkan terlalu bebas artinya disini orang tua memperbolehkan segala sesuatu
tanpa menuntut seperti saat si balita tidak mau makan dibiarkan saja padahal balita
tersebut perlu nutrisi yang kuat untuk meningkatkan kualitas gizinya sehingga pada
akhirnya status gizi si balita semakin buruk dan orang tua tidak memperdulikan
lingkungan sekitar yang mungkin kurang baik bagi kesehatan sehingga
membuatnya mudah terserang penyakit.31
Adapun faktor lain adalah ekonomi keluarga yang tidak yang terlihat pada
pendapatan keluarga yang kurang dan ditambah lagi faktor jumlah anak.Bagi
orang tua yang memiliki anak tunggal, secara ekonomis menguntungkan. Orang
tua tidak perlu bersusah payah mencari penghasilan yang besar karena tanggung
jawab untuk memberi atau memenuhi kebutuhan fisik anaknya relatif tidak besar.
Berlainan bila mempunyai banyak anak, di mana tiap anak memunyai kebutuhan-
kebutuhan sendiri yang harus dipenuhi oleh kedua orang tuanya seperti kebutuhan

20
akan kesehatan, kebutuhan perumahan atau tempat tinggal yang lebih luas, dan
kebutuhan lainnya.31
d. Faktor Lingkungan Fisik
d.1. Polusi Udara Dalam Ruangan/Rumah
Rumah atau tempat tinggal yang buruk (kurang baik) dapat mendukung
terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan, diantaranya adalah infeksi
saluran nafas.31 Hal ini dapat terjadi pada rumah yang ventilasinya kurang dan
dapur terletak di dalam rumah bersatu dengan kamar tidur dan ruang tempat bayi
dan balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan balita lebih lama
berada di rumah bersama-sama ibunya sehingga lebih sering terhirup udara yang
pencemaran tentunya akan lebih tinggi.25 Rumah kecil yang tidak memiliki
sirkulasi udara memadai yang penuh asap yang berasal dari asap anti nyamuk
bakar, asap rokok, dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak akan
mendukung penyebaran virus atau bakteri, dengan konsentrasi tinggi dapat
merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya
ISPA.37
Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan asap anti
nyamuk bakar berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada
balita (p=0,003) dan diperoleh nilai OR=2,310 (CI 95%=1,379-3,870), maka balita
yang mengalami pneumonia kemungkinan 2,31 kali lebih besar tidur di kamar
yang memakai anti nyamuk bakar dibandingkan yang tidak memakai anti nyamuk
bakar.23
Menurut hasil penelitian Heriyana, dkk (2005) di Makassar dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan polusi
asap rokok berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada anak
umur <1 tahun (p=0,039) dan diperoleh nilai OR=2,348 (CI 95%=1,045-5,277),
maka anak umur <1 tahun yang mengalami pneumonia kemungkinan 2,35 kali
lebih besar tinggal di dalam rumah dengan ada anggota keluarga merokok
dibandingkan yang tidak ada anggota keluarga merokok.
Menurut penelitian Taisir (2005) di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan
Tapak Tuan Aceh Selatan dengan menggunakan desain Cross Sectional, IR ISPA
pada balita meningkat dengan bertambahnya jumlah rata-rata rokok yang dihisap

21
dalam ruang rumah perhari yaitu 1-9 batang rokok perhari (38,3%), 10-20 batang
perhari (47,2%), >20 perhari (55,6%).17
d.2. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan
nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, dua
orang minimal menempati luas kamar tidur 8m². Dengan kriteria tersebut
diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.25 Di
daerah perkotaan, kepadatan merupakan salah satu masalah yang dialami
penduduk kota. Hal ini disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan
mahalnya harga tanah di perkotaan. Salah satu kaitan kepadatan hunian dan
kesehatan adalah karena rumah yang sempit dan banyak penghuninya, maka
penghuni mudah terserang penyakit dan orang yang sakit dapat menularkan
penyakit pada anggota keluarga lainnya.32

3.7. Gambaran Klinis Bronkopneumonia


Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama
beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan mungkin disertai
kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnue, pernafasan cepat dan
dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk
biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa
hari, pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan, inspeksi : perlu diperhatikan adanya tahipnue, dispnue, sianosis sekitar
hidung dan mulut, pernapasan cuping hidung, distensi abdomen, retraksi sela iga, batuk
semula nonproduktif menjadi produktif, serta nyeri dada pada waktu menarik napas.
Palpasi : suara redup pada sisi yang sakit, hati mungkin membesar, fremitus raba mungkin
meningkat pada sisi yang sakit, dan nadi mungkin mengalami peningkatan (tachicardia).
Perkusi : suara redup pada sisi yang sakit. Auskultasi, auskultasi sederhana dapat
dilakukan dengan cara mendekatkan telinga ke hidung/mulut bayi. Pada anak yang
bronkopneumonia akan terdengar stridor. Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik
tergantung pada luasnya daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai
adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus
sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada
perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar
mengeras.13,33

22
3.8. Klasifikasi ISPA Pada Balita dengan Gejala Batuk dan atau Kesukaran Bernafas
Berdasarkan Pola Tatalaksana Pemeriksaan, Penentuan Ada Tidaknya Tanda
Bahaya, Penentuan Klasifikasi Penyakit, Pengobatan dan Tindakan.19
3.8.1. Klasifikasikasi Gejala ISPA Untuk Golongan Umur <2 bulan
a. Bronkopneumonia berat, adanya nafas cepat (fast breathing) yaitu frekuensi
pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat
pada dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing).
b. Bukan bronkopneumonia, batuk tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding
dada.
3.8.2. Klasifikasi Gejala ISPA Untuk Golongan Umur 2 bulan – <5 tahun
a. Bronkopneumonia sangat berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai nafas
sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing).
b. Bronkopneumonia berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai adanya
nafas cepat sesuai umur. Batas nafas cepat ( fast breathing) pada anak umur 2 bulan
- <1 tahun adalah 50 kali atau lebih per menit dan untuk anak umur 1 - <5 tahun
adalah 40 kali atau lebih permenit.
c. Bukan bronkopneumonia, batuk tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding
dada.

3.9. Pencegahan Bronkopneumonia


3.9.1. Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang
yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit. Secara garis
besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus.
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian
bronkopneumonia. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :24
a. Memberikan imunisasi BCG satu kali (pada usia 0-11 bulan), Campak satu kali
(pada usia 9-11 bulan), DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali (pada usia
2-11 bulan), Polio sebanyak 4 kali (pada usia 2-11 bulan), dan Hepatitis B sebanyak
3 kali (0-9 bulan)..
b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberika ASI pada bayi neonatal
sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita.

23
c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di luar
ruangan.
d. Mengurangi kepadatan hunian rumah.

3.9.2. Pencegahan Sekunder


Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang
telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, menghindari komplikasi,
dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan
pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya penyakit dan terjadinya
komplikasi. Upaya yang dilakukan antara lain :20
a. Bronkopneumonia berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen, beri antibiotik
benzilpenisilin, obati demam, obati mengi, beri perawatan suportif, nilai setiap hari.
b. Bronkopneumonia : berikan kotrimoksasol, obati demam, obati mengi.
c. Bukan Bronkopneumonia : perawatan di rumah, obati demam.
3.9.3. Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :20
a. Memberi makan anak selama sakit, tingkatkan pemberian makan setelah sakit.
b. Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung yang menganggu proses
pemberian makan.
c. Berikan anak cairan tambahan untuk minum.
d. Tingkatkan pemberian ASI.
e. Legakan tenggorok dan sembuhkan batuk dengan obat yang aman.
f. Ibu sebaiknya memperhatikan tanda-tanda seperti: bernapas menjadi sulit,
pernapasan menjadi cepat, anak tidak dapat minum, kondisi anak memburuk, jika
terdapat tanda-tanda seperti itu segera membawa anak ke petugas kesehatan.

24
BAB IV
ANALISIS KASUS

M Rafa, seorang anak laki-laki usia 2 tahun 2 bulan masuk rumah sakit melalui IGD pada
tanggal 10 Agustus 2017 dengan keluhan utama sesak nafas yang terjadi secara tiba-tiba sejak
12 jam sebelum masuk rumah sakit. Penderita juga mengalami demam subfebris (37,8˚C).
Penderita sempat berobat ke bidan karena keluhan batuk tidak berdahak dan pilek disertai
demam tidak terlalu tinggi kisaran 3 hari sebelumnya. Keluhan disertai BAB cair dan muntah.
Penderita diberikan sirup untuk diare dan penurunan panas. Kisaran 1 hari sebelum masuk
rumah sakit penderita mengalami batuk berdahak dengan dahak berwarna kuning kehijauan,
keluhan disertai demam tidak terlalu tinggi. Riwayat menderita keluhan sesak disertai demam
ada pada saat berusia 7 bulan. Keluarga penderita memiliki riwayat sesak pada kakeknya.
Pada kasus ini, pasien didiagnosis dengan bronkopneumonia karena pada pasien ini
didapatkan gambaran klinis infeksi dan gangguan respiratori. Gambaran klinis infeksi berupa
demam subfebris, diare, muntah, dan batuk berdahak. Gangguan respiratori dapat dilihat dari
frekuensi pernafasannya yang meningkat dan adanya sesak disertai peningkatan usaha nafas,
seperti nafas cuping hidung, retraksi subkostal dan interkostal. Pemeriksaan fisik auskultasi
pada pasien ini ditemukan adanya suara vesikuler mengeras dan ronkhi basah halus nyaring di
seluruh lapangan paru.
Diagnosis kasus bronkopneumonia dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Dari anamnesis, didapatkan keluhan infeksi saluran pernafasan atas disertai demam dan
adanya gangguan pencernaan sebelumnya yang terjadi secara akut. Pemeriksaan fisik yaitu
ditemukannya pernafasan cepat dan peningkatan usaha nafas, disertai adanya suara ronkhi
basah halus nyaring. Pemeriksaan penunjang pada darah rutin ditemukannya peningkatan
leukosit, laju endap darah, neutrofil, dan CRP yang menunjukkan adanya infeksi yang
kemungkinan disebabkan oleh bakteri.
Penatalaksanaan pasien ini antara lain terapi oksigen, pemberian cairan sesuai kebutuhan,
pemberian antipiretik bila T>38,5˚C (parasetamol syrup 125 mg tiap 6-8 jam) dan pemberian
antibiotik berupa ampisilin 250 mg tiap 8 jam dan gentamisin 25 mg tiap 12 jam. Antibiotik
dapat diberikan 5-7 hari apabila keadaan pasien memungkinkan untuk rawat jalan. Antibiotik
dapat juga diberikan sampai 72 jam afebris, tetapi tidak kurang dari 10 hari pemberian.

25
Pemberian bronkodilator berupa ventolin tiap 4 jam bertujuan untuk memperbaiki mucocilliary
clearance dan mengurangi sesak.
Pasien disarankan untuk diet seperti biasanya (1000 kkal/hari) secara per oral. Apabila
anak sesak (RR> 50x/menit) dapat diberikan nutrisi melalui NGT untuk sementara waktu.
Edukasi orang tua untuk berhenti merokok atau tidak merokok di sekitar anaknya, dan juga
menyarankan untuk memberikan imunisasi lanjutan. Prognosis pada penyakit
bronkopneumonia adalah sembuh total, tetapi apabila disertai dengan riwayat asma maka
kemungkinan penyakit ini dapat terjadi secara berulang.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Antonius H. Pudjiadi, Badriul Hegar, Setyo Handryastuti, dkk. 2009. Pedoman Pelayanan
Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia
2. Kementerian Kesehatan RI. 2016. Profil Kesehatan Indonesia 2015.
(http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profil-
kesehatan-Indonesia-2015.pdf, diakses pada 18 April 2017)
3. World Health Organization. 2016. “Pneumonia”. (http://www.who.int/mediacentre/
factsheets/fs331/en/, diakses pada 18 April 2017)
4. UNICEF/WHO. 2006. Pneumonia: The forgotten killer of children.
(http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/43640/1/9280640489_eng.pdf, diakses pada 18 April
2017)
5. Kliegman, Robert M. 2016. Nelson Textbook of Pediatrics, 20th Edition. Philadelphia:
Elsevier
6. CNN. 2016. “Pneumonia, Si Perenggut Nyawa Balita di Indonesia”.
(http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20161122113819-255-174345/pneumonia-si-
perenggut-nyawa-balita-di-indonesia/, diakses pada 18 April 2017)
7. Rab, Tabrani. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates.
8. Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC.
9. Robins, Kumar. 2007. Buku Ajar Patologi II. Jakarta: EGC.
10. Thomson, A.D., Cotton, R.E. Catatan Kuliah Patologi. Jakarta: EGC.
11. Hidayat, A. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika
12. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul. 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press.
13. Marbun, Diessy N.R. 2009. Karakteristik Penderita Pneumonia Pada Balita Rawat Inap di
Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan Tahun 2004-2007. Skripsi FKM.
14. Depkes R.I. 2005. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2005. Jakarta.
15. Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan, 2005, Profil Kesehatan Sulawesi Selatan Tahun 2004.
16. Nugroho, S.H.P, 2009, Hubungan Antara Status Gizi Balita Dengan Kejadian Ispa Di Desa
Wonoboyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoboyo Kabupaten Temanggung, Skripsi
Universitas Muhammadiyah Semarang. http://digilib.unimus.ac.id (diakses
pada 20 Agustus 2017)

27
17. Taisir, 2005, Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di
Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan Tahun 2005, Skripsi
FKM USU.
18. Barus, Nerseri, 2005, Prevalensi Pola Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Di Tiga
Kelurahan Kecamatan Medan Baru, Kota Meadn, Tahun 2005. Info Kesehatan
Masyarakat, Volume XI, Nomor 1.
19. Depkes R.I., 2005, Rencana Keraja Jangka Menengah Nasional Penanggulangan
Pneumonia Balita Tahun 2005-2009, Depkes R.I., Jakarta.
20. WHO, 2002, Penanganan ISPA Pada Anak Di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang,
EGC, Jakarta.
21. Nursalam, dkk, 2002, Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak, Salemba Medika, Jakarta.
22. C.Timmreck, Thomas, 2005, Epidemiologi Suatu Pengantar, EGC, Jakarta.
23. Widodo, Nur, 2007, Lingkungan Fisik Kamar Tidur dan Pneumonia Pada Anak Balita di
Puskesmas Kawalu Kota Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Volume 2,
Nomor 2.
24. Notoatmodjo, S, 2007, Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni, Rineka Cipta, Jakarta.
25. Irfan, Mohammad, 2004, Karakteristik Penderita Pneumonia Balita Rawat Inap di Rumah
Sakit Umum H. Adam Malik Medan Tahun 1998-2002, Skripsi FKM.
26. Supariasa, I.D.N., dkk, 2002, Penilaian Status Gizi, EGC, Jakarta.
27. Depkes R.I., 2002, Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita, Depkes R.I., Jakarta.
28. Hatta, Muhammad, 2001, Hubungan Imunisasi Campak dengan Kejadian Pneumonia pada
Balita di Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan Tahun 2000, Badan
Litbang Kesehatan, Jakarta. http://www.litbang.depkes.go.id (diakses pada 20
Agustus 2017)
29. Soeparman,dkk, 2005, Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
30. Notosiswoyo, Mulyono, dkk, 2001, Pengetahuan, Sikap dan Prilaku Ibu Bayi/Anak Balita
Serta Persepsi Masyarakat Dalam Kaitannya Dengan Penyakit ISPA dan Pneumonia,
Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 31, No.2.
31. Gunarsa, Singgih D, 2008, Psikologi Perkembangan Anak Remaja, BPK Gunung Mulia,
Jakarta.
32. Surjadi, C, dkk, 2006, Kepadatan Pemukiman dan Kesehatan, Majalah Kesehatan dan
Perkotaan, Tahun III, No.1
33. Nursalam, dkk, 2005, Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak, Salemba Medika, Jakarta.

28

Anda mungkin juga menyukai