Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Teori radikal universalitas bersandar pada satu argumentasi bahwa hanya ada satu

paket pemahaman mengenai HAM, bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama dan dapat

diimplementasikan pada masyarakat dengan latar belakang budaya dan historisitas yang

berbeda. Implikasinya, pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai HAM berlaku sama

dan bersifat universal bagi semua bangsa dan negara di dunia. Dalam konteks ini, nilai HAM

dianggap sebagai nilai yang universal, dimana suatu konstruk nilai yang menembus batas

peradaban, sekat budaya, dan paradigma spesifik.

Nilai-nilai HAM tanpa terkecuali oleh penganut teori radikal universalitas bersifat

universal dan tidak dapat dimodifikasi sebagai upaya pemaduan dengan budaya lokal suatu

negara atau masyarakat. Kalangan yang mendukung universalitas DUHAM menyatakan

bahwa Mesir dan Libanon berkontribusi besar dalam penyusunan DUHAM, sehingga

DUHAM bukanlah dominasi barat, bahkan rumusan tentang kebebasan beragama merupakan

bukti bahwa DUHAM juga mengadopsi nilai-nilai yang berakar dari luar barat. Kalangan ini

juga berpendapat bahwa budaya itu bersifat dinamis sehingga klaim karakteristik budaya

suatu komunitas, etnis atau negara bersifat tetap dan utuh terbantahkan, karena anggapan

bahwa suatu masyarakat memiliki satu nilai hanyalah merupakan klaim yang kurang

berdasar.

1
Dengan demikian, baik di barat maupun di timur, hak atas pendidikan itu sama-sama

diakui meskipun dikonstruksi dalam pendekatan yang berbeda. Pemahaman HAM sebagai

suatu “konsensus lintas budaya”, mengutip pendapat Bielefeldt, adalah syarat mutlak adanya

pengertian yang universal. Artinya, penyampingan esensialisme kultural dalam

memahami HAM universal hendaklah dipahami sebagai “bukan penyingkiran”. Budaya,

sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia mutlak ada, hidup dan dilestarikan dalam nilai

HAM yang universal, mengingat bahwa justru dengan pelenyapan unsur sosio-kultural

tertentu, konsep HAM yang agung dan luhur akan terjebak dalam situasi dilematis. Merujuk

argumentasi tersebut, penulis bependapat bahwa bagaimanapun, menurut konstruk

“konsensus lintas budaya”, nilai HAM tidak dapat dilepaskan sama sekali dari budaya lokal.

Dalam konsep lintas budaya, kesetaraan dan kerjasama adalah poin substansial yang harus

menjadi sudah biasa dalam terbukanya ruang konseptual bagi pluralitas pandangan, ideologi,

agama, keyakinan, doktrin dan hal-hal yang berlainan. Secara normatif, ketika HAM

dipandang sebagai suatu aturan semesta seluruh umat manusia, dengan asumsi HAM tersebut

tidak berlaku sebagai penjajah feodal yang kaku. Ini mengandung permintaan yang dalam

bagi kedua belah pihak, pelaku dan budaya sasaran. Para aktivis HAM dituntut untuk lebih

toleran terhadap pluralisme budaya sasaran, sedang sebaliknya, pemilik budaya hendaknya

tidak membutakan mata terhadap inti arti HAM sebenarnya.

Dibalik universalisme hak asasi manusia dan kekhususan budaya, suatu wacana lain

yang tak kalah penting adalah pengembalian arti dan keberpihakan HAM terhadap kaum

miskin dan tertindas. Pola pemikiran seperti ini sederhana saja yaitu ketika HAM dekat dan

2
bersinggungan dengan masalah-masalah praktis dan konkrit, serta mampu melindungi kaum

miskin dan terpinggirkan, dia akan semakin tumbuh dan berarti dalam universalitasnya.

Lebih lanjut, dalam wacana universalitas nilai HAM, ada teori weak relativist. Teori ini pada

dasarnya beranggapan bahwa nilai-nilai HAM bersifat universal dan susah untuk

dimodifikasi berdasarkan pertimbangan budaya tertentu. Berdasar pandangan tersebut, maka

tampat tidak adanya pengakuan (justifikasi) terhadap nilai-nilai HAM lokal, melainkan hanya

mengakui adanya nilai-nilai HAM yang bersifat universal Kemudian, dikenal Hukum Alam

sebagai landasan teori hukum. Hukum Alam beranggapan bahwa HAM-sebagai karunia dari

Tuhan-secara kodrati tidak lekang oleh perkembangan dan perubahan zaman. HAM dianggap

sebagai konstruk yang universal dan tidak terikat pada perbedaan subjek dan konteks serta

nilai-nilai kearifan lokal.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa Nilai Yang Dimaksud Dengan Partikularitas Hak Asasi Manusia ( HAM ) ?

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Nilai partkularitas HAM

Bila berbicara mengenai Hak Asasi Manusia dalam dunia modern saat ini, maka kita

dihadapkan pada perdebatan antara universalisme HAM dan relativisme budaya.

Universalisme HAM dianggap terwujud dalam Universal Declration of Human Rights yang

mewakili tradisi dunia Barat yang menjunjung tinggi konsep kebebasan dan individualisme.

Sedangkan di dunia Timur konsep mengenai tanggung jawab dan komunitas lebih dominan.

Hal inilah yang melahirkan teori relativisme budaya yang salah satu bentuk perwujudannya

terkandung dalam Cairo Declaration on Human Rights in Islam. Dalam Deklarasi Kairo

yang diberlakukan untuk Negara-Negara Anggota Organisasi Konferensi Islam ini

dinyatakan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari

eksploitasi dan pemaksaan, dan untuk mendapatkan kebebasan dan hak untuk hidup yang

selaras dengan Syari’ah Islam. Bahwa setiap orang secara individual dan ummah secara

bersama-sama bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak ini.

Pada dasarnya, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB sejalan dengan

pandangan Islam. Namun perbedaan antara konsep universalitas HAM dengan relativisme

budaya melahirkan sudut pandang yang berbeda ketika berhadapan dengan isu-isu krusial

4
yang muncul dalam tataran praktis. Dalam Islam, bila seseorang dalam menjalankan hak

asasinya menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, maka dia dapat dihukum.

Sedangkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, jika ada hukum atau

hukuman yang berbenturan dengan hak asasi seseorang, maka hukum atau hukuman tersebut

harus dihapus, tanpa memandang latar belakang historis, sosial ekonomi, dan kultur

setempat. Padahal setiap negara memiliki keanekaragaman masing-masing yang

dilatarbelakangi oleh kondisi sosial ekonomi, budaya, dan tingkat perkembangannya.

Misalnya keanekaragaman dalam falsafah atau dalam sistem hukum pidananya yang dapat

bersifat memberikan pembalasan atau perlindungan.

Dalam perkembangannya, wacana nilai-nilai HAM terjadi secara sektoral-

universalitas dan partikularitas. Pandangan yang menolak universalitas HAM mengajukan

beberapa alasan. Pertama, bahwa DUHAM yang mengklaim diri sebagai universal itu hanya

dibuat oleh beberapa negara yang dimotori oleh negara-negara yang menang perang dan

menggambarkan nilai-nilai individualisme liberal masyarakat barat. Kedua, DUHAM tidak

melihat kekhasan budaya yang terdiferensiasi berdasarkan budaya dan ruang geografis.

Ketiga, terdapat perbedaan pendekatan dalam melihat hak asasi manusia.

Dalam pewacanaan nilai partikular HAM, teori relativitas kultural merupakan salah

satu teori yang cukup signifikan. Asumsi utama teori ini adalah bahwa nilai-nilai moral dan

budaya bersifat partikular (khusus). Hal ini berarti bahwa nilai-nilai moral HAM bersifat

lokal dan spesifik, sehingga berlaku khusus pada suatu negara.

5
Dalam konteks penerapan HAM, ada tiga model penerapan HAM, yaitu:

1. Penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak sipil, hak politik, dan hak

pemilikan pribadi

2. Penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak ekonomi dan hak sosial, dan

3. Penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak penentuan nasib sendiri dan

pembangunan ekonomi.

Melihat dari penerapan di atas, tidak mengartikan pemenuhan hak-hak dan macam-macam

yang ada dalam HAM itu sendiri tidak menjadi prioritas dalam memperjuangkannya.

Ada 3 hak asasi manusia yang paling fundamental (pokok), yaitu :

1. Hak Hidup (life).

2. Hak Kebebasan (liberty).

3. Hak Memiliki (property).

Ketiga hak tersebut merupakan hak yang fundamental dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun macam-macam hak asasi manusia dapat digolongkan sebagai berikut :

4. Hak Asasi Pribadi.

Yaitu hak asasi yang berhubungan dengan kehidupan pribadi manusia. Misalnya hak

Beragama, hak menentukan jalan hidup, dan hak bicaara.

5. Hak Asasi Politik, yaitu yang berhubungan dengan kehidupan politik. Misalnya hak

mengeluarkan pendapat, ikut serta dalam pemilu, berorganisasi.

6
6. Hak Asasi Ekonomi, yaitu hak yang berhubungan dengan kegiatan perekonomian.

Misalnya hak memiliki barang, menjual barang, mendirikan perusahaan/berdagang,

dan lain-lain.

7. Hak Asasi Budaya, yaitu hak yang berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat.

Misalnya Hak mendapat pendidikan, hak mendapat pekerjaan, hak mengembangkan

seni budaya, dan lain-lain.

8. Hak Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum Dan Pemerintahan, yaitu hak yang

berkaiatan dengan kehidupan hukum dan pemerintahan. Misalnya hak mendapat

perlindungan hukum, hak membela agama, hak menjadi pejabat pemerintah, hak

untuk diperlakukan secara adil, dan lain-lain.

9. Hak Untuk Diperlakukan Sama Dalam Tata Cara Pengadilan.

Misalnya dalam penyelidikan, dalam penahanan, dalam penyitaan, dan lain-lain.

7
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam perkembangannya, wacana nilai-nilai HAM terjadi secara sektoral-

universalitas dan partikularitas. Pandangan yang menolak universalitas HAM mengajukan

beberapa alasan. Pertama, bahwa DUHAM yang mengklaim diri sebagai universal itu hanya

dibuat oleh beberapa negara yang dimotori oleh negara-negara yang menang perang dan

menggambarkan nilai-nilai individualisme liberal masyarakat barat. Kedua, DUHAM tidak

melihat kekhasan budaya yang terdiferensiasi berdasarkan budaya dan ruang geografis.

Ketiga, terdapat perbedaan pendekatan dalam melihat hak asasi manusia.

Dalam pewacanaan nilai partikular HAM, teori relativitas kultural merupakan salah

satu teori yang cukup signifikan. Asumsi utama teori ini adalah bahwa nilai-nilai moral dan

budaya bersifat partikular (khusus). Hal ini berarti bahwa nilai-nilai moral HAM bersifat

lokal dan spesifik, sehingga berlaku khusus pada suatu negara. HAM adalah klaim yang

dapat dipaksakan sebagai konsekuensi penanda kemanusiaan yang bersifat kodrat. Dalam

definisinya yang kodrat, HAM melekat pada manusia sebagai subjek pengemban hak

semenjak manusia dapat dikategorikan sebagai manusia di dalam kandungan. Hak tersebut

juga tidak dapat dicabut, dialihkan, dan dibagi-bagi. Jan Materson sebagai dikutip

8
Baharuddin Lopa, mengemukakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat

pada setiap manusia yang tanpa hak tersebut, manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.

Sementara itu, pengertian lebih lengkap terdapat dalam Pasal 1 Ayat 1 UU No.39 Tahun

1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yaitu:

“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya

yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan

setiap orang demi kehormatanserta perindungan harkat dan martabat manusia”.

3.2 Saran

Bgaimanapun pandangan negara atau masyarakat ataupun individu sekalipun

terhadap HAM, itu bukan menjadi arti untuk dapat menjadikan dasar atau alas an untuk

melahirkan perbedaan pandangan terhadap paham HAM yang dianut. Karena implementasi

arti dan nilai HAM itu tidak mempunyai maksud untuk memberikan atau berniat untuk

melahirkan perbedaan pendapat atau perbedaan prinsip, melainkan menjadi suatu fungsi

pertimbangan dalam memahami dan menjalankan HAM tersebut.

9
DAFTAR PUSTAKA

Arizona, Y. 2008. Positivisasi Hak Asasi Manusia (Online). (http://yancearizona.

wordpress.com/2008/04/18/positivisasi-hak-asasi-manusia/, diakses 8

Desember 2008).

Cepat Lambat. (2013, Oktober). Contoh Kasus Pelanggaran Ham Indonesia. Diperoleh 23

Agustus 2014, dari http://cepatlambat.blogspot.com/2013/10/contoh-kasus-

pelanggaran-ham-indonesia.html

Halimi, Muh dan Dadang Sumdawa. 2014. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

Jakarta: Kementrian Pendidikan dan kebudayaan.

Metia, I. 2007. Pengertian dan Macam-macam HAM (Online). (http://

kewarganegaraan.wordpress.com/2007/11/28/pengertian-dan-macam-

%E2%80%93-macam-ham/, diakses 10 Desember 2008).

Sekedar Blog. (2:54 AM). Hak Asasi Manusia. Diperoleh 23 Agustus 2014, dari

http://hanyasekedarblogg.blogspot.com/2013/05/hak-asasi-manusia.html

10

Anda mungkin juga menyukai