Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kasus trauma listrik menyebabkan seribu kematian tiap tahunnya di Amerika
Serikat, dengan mortality rate 3-5%. Tingkatan trauma listrik sangat luas, dari
trauma minimal sampai melibatkan kerusakan multiorgan sampai dapat
menyebabkan kematian.
Listrik adalah aliran elekron yang melewati gradien potensial dari konsentrasi
tinggi ke konsentrasi rendah melalui media bersifat konduktif. Tubuh manusia
adalah penghantar listrik yang baik. Besarnya pengaruh listrik pada jaringan
tubuh tersebut tergantung dari besarnya tegangan (voltase), kuatnya arus
(ampere), besarnya tahanan (keadaan kulit kering atau basah), lamanya kontak
serta luasnya daerah terkena kontak. Kuat arus atau jumlah arus yang mengalir
adalah faktor terpenting penyebab kematian. Interval waktu antara trauma listrik
dengan kejadian kematian penting untuk diketahui. Hal ini berkaitan dengan
pemberian pertolongan terhadap korban trauma listrik. Besar arus listrik tertentu
akan berpengaruh terhadap lama waktu kematian setelah terjadi kontak dengan
arus listrik.
Jenis dan luasnya akibat sengatan listrik berhubungan langsung dengan
tegangan listrik, besarnya paparan arus listrik, tahanan tubuh, lamanya kontak
dengan sumber listrik, bagian tubuh yang terpapar listrik, dan tipe arus listrik.
Lintasan arus listrik bolak-balik (AC) lebih sering menyebabkan trauma
dibandingkan arus listrik searah (DC). Tegangan tinggi (lebih dari 500V) dapat
menyebabkan kematian mendadak akibat dari henti jantung (cardiac arrest),
tetapi untuk tegangan rendah (110-380V, arus searah 50-60Hz) kematian biasanya
akibat dari fibrilasi ventrikel.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas timbul permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep dasar sengatan listrik?
2. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien
sengatan listrik?
3. Bagaimana asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien Tn. A dengan
shock electrik?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dasar sengatan listrik.
2. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan gawat darurat pada
pasien sengatan listrik.
3. Untuk mengetahui asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien Tn. A
dengan shock electrik.

1.4 Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah diharapkan kepada pembaca ataupun
mahasiswa untuk mengetahui pengertian, tanda dan gejala dan penyebab dari
yang diakibatkan oleh sengatan listrik.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Cedera Akibat Listrik adalah kerusakan yang terjadi jika arus listrik mengalir
ke dalam tubuh manusia dan membakar jaringan ataupun menyebabkan
terganggunya fungsi suatu organ dalam (Agus. J, 2001).
Paparan listrik secara langsung adalah paparan listrik dimana tubuh langsung
bersentuhan dengan konduktor listrik. Konduktor listrik adalah suatu bahan
biasanya berupa logam dimana elektron-elektron mudah dipindahkan, semakin
rendah suhu konduktor semakin cepat pergerakan arus listrik pada konduktor
tersebut.
Tubuh manusia adalah penghantar listrik yang baik. Kontak langsung dengan
arus listrik bisa berakibat fatal. Arus listrik yang mengalir ke dalam tubuh
manusia akan menghasilkan panas yang dapat membakar dan menghancurkan
jaringan tubuh. Meskipun luka bakar listrik tampak ringan, tetapi mungkin saja
telah terjadi kerusakan organ dalam yang serius, terutama pada jantung, otot atau
otak.
Arus listrik bisa menyebabkan terjadinya cedera melalui 3 cara:
1. Henti jantung (cardiac arrest) akibat efek listrik terhadap jantung.
2. Perusakan otot, saraf dan jaringan oleh arus listrik yang melewati
tubuh.
3. Luka bakar termal akibat kontak dengan sumber listrik.

Penyebab kematian utama akibat sengatan listrik adalah karena terjadi henti
jantung. Setelah memasuki tubuh listrik akan keluar tubuh melalui sisi
kontralateral sehingga listrik akan melewati jantung. Sengatan listrik yang
melewati jantung tersebut akan mengganggu sistem kelistrikan jantung dan
energi panas yang ditimbulkannya akan merusak miokardium, hal ini ditandai
dengan adanya fibrilasi ventrikel dan ventrikel asistol yang akhirnya
menyebabkan aliran darah ke seluruh tubuh terganggu.

3
2.2 Etiologi
Cedera listrik bisa terjadi akibat tersambar petir atau menyentuh kabel
maupun sesuatu yang menghantarkan listrik dari kabel yang terpasang. Cedera
bisa berupa luka bakar ringan sampai kematian, tergantung kepada:
1. Jenis dan kekuatan arus listrik
Secara umum, arus searah (DC) tidak terlalu berbahaya jika dibandingkan
dengan arus bolak-balik (AC). Efek AC pada tubuh manusia sangat tergantung
kepada kecepatan berubahnya arus (frekuensi), yang diukur dalam satuan
siklus/detik (hertz). Arus frekuensi rendah (50-60 hertz) lebih berbahaya dari arus
frekuensi tinggi dan 3-5 kali lebih berbahaya dari DC pada tegangan (voltase) dan
kekuatan (ampere) yang sama.
DC cenderung menyebabkan kontraksi otot yang kuat, yang seringkali
mendorong jauh/melempar korbannya dari sumber arus. AC sebesar 60 hertz
menyebabkan otot terpaku pada posisinya, sehingga korban tidak dapat
melepaskan genggamannya pada sumber listrik. Akibatnya korban terkena
sengatan listrik lebih lama sehingga terjadi luka bakar yang berat.
Biasanya semakin tinggi tegangan dan kekuatannya, maka semakin besar
kerusakan yang ditimbulkan oleh kedua jenis arus listrik tersebut. Kekuatan arus
listrik diukur dalam ampere. 1 miliampere (mA) sama dengan 1/1,000 ampere.
Pada arus serendah 60-100 mA dengan tegangan rendah (110-220 volt), AC 60
hertz yang mengalir melalui dada dalam waktu sepersekian detik bisa
menyebabkan irama jantung yang tidak beraturan, yang bisa berakibat fatal. Arus
bolak-balik lebih dapat menyebabkan aritmia jantung dibanding arus searah. Arus
dari AC pada 100 mA dalam seperlima detik dapat menyebabkan fibrilasi
ventrikel dan henti jantung.
Efek yang sama ditimbulkan oleh DC sebesar 300-500 mA.
Jika arus langsung mengalir ke jantung, misalnya melalui sebuah pacemaker,
maka bisa terjadi gangguan irama jantung meskipun arus listriknya jauh lebih
rendah (kurang dari 1 mA).
2. Ketahanan tubuh terhadap arus listrik

4
Resistensi adalah kemampuan tubuh untuk menghentikan atau memperlambat
aliran arus listrik. Kebanyakan resistensi tubuh terpusat pada kulit dan secara
langsung tergantung kepada keadaan kulit. Resistensi kulit yang kering dan sehat
rata-rata adalah 40 kali lebih besar dari resistensi kulit yang tipis dan lembab.
Resistensi kulit yang tertusuk atau tergores atau resistensi selaput lendir yang
lembab (misalnya mulut, rektum atau vagina), hanya separuh dari resistensi kulit
utuh yang lembab.Resistensi dari kulit telapak tangan atau telapak kaki yang tebal
adalah 100 kali lebih besar dari kulit yang lebih tipis.
Arus listrik banyak yang melewati kulit, karena itu energinya banyak yang
dilepaskan di permukaan. Jika resistensi kulit tinggi, maka permukaan luka bakar
yang luas dapat terjadi pada titik masuk dan keluarnya arus, disertai dengan
hangusnya jaringan diantara titik masuk dan titik keluarnya arus listrik.
Tergantung kepada resistensinya, jaringan dalam juga bisa mengalami luka bakar.
3. Jalur arus listrik ketika masuk ke dalam tubuh
Arus listrik paling sering masuk melalui tangan, kemudian kepala; dan paling
sering keluar dari kaki. Arus listrik yang mengalir dari lengan ke lengan atau dari
lengan ke tungkai bisa melewati jantung, karena itu lebih berbahaya daripada arus
listrik yang mengalir dari tungkai ke tanah.
Arus yang melewati kepala bisa menyebabkan:
a. Kejang.
b. Pendarahan otak.
c. Kelumpuhan pernapasan.
d. Perubahan psikis (misalnya gangguan ingatan jangka pendek, perubahan
kepribadian, mudah tersinggung dan gangguan tidur).
e. Irama jantung yang tidak beraturan.
f. Kerusakan pada mata bisa menyebabkan katarak.
4. Lamanya terkena arus listrik.
Semakin lama terkena listrik maka semakin banyak jumlah jaringan yang
mengalami kerusakan. Seseorang yang terkena arus listrik bisa mengalami luka
bakar yang berat. Tetapi, jika seseorang tersambar petir, jarang mengalami luka

5
bakar yang berat (luar maupun dalam) karena kejadiannya berlangsung sangat
cepat sehingga arus listrik cenderung melewati tubuh tanpa menyebabkan
kerusakan jaringan dalam yang luas. Meskipun demikian, sambaran petir bisa
menimbulkan konslet pada jantung dan paru-paru dan melumpuhkannya serta
bisa menyebabkan kerusakan pada saraf atau otak.

2.3 Patofisiologi
Secara umum, energi listrik membutuhkan aliran energi (elektron-elektron)
dalam perjalanannya ke objek. Semua objek bisa bersifat konduktor
(menghantarkan listrik) atau resistor (menghambat arus listrik). Kulit berperan
sebagai penghambat arus listrik yang alami dari sebuah aliran listrik. Kulit yang
kering memiliki resistensi sebesar 40.000-100.000 ohm. Kulit yang basah
memiliki resistensi sekitar 1000 ohm, dan kulit yang tebal kira-kira sebesar
2.000.000 ohm. Anak dengan kulit yang tipis dan kadar air tinggi akan
menurunkun resistensi, dibandingkan orang dewasa. Tahanan dari alat-alat tubuh
bagian dalam diperkirakan sekitar 500-1000 ohm, termasuk tulang, tendon, dan
lemak memproduksi tahanan dari arus listrik. Pembuluh darah, sel saraf,
membran mukosa, dan otot adalah penghantar listrik yang baik. Dengan adanya
luka listrik , pada sayatan melintang akan memperlihatkan kerusakan jaringan.
Elektron akan mengalir secara abnormal melewati tubuh yang menyebabkan
perlukaan ataupun kematian dengan cara depolarisasi otot dan saraf, menginisiasi
aliran listrik abnormal yang dapat menggangu irama jantung dan otak, atau
produksi energi listrik menyebabkan luka listrik dengan cara pemanasan yang
menyebabkan nekrosis dan membentuk porasi (membentuk lubang di membran
sel).
Aliran sel yang melewati otak, baik tegangan tinggi atau tegangan rendah,
dapat menyebabkan penurunan kesadaran dan secara langsung menyebabkan
depolarisasi sel-sel saraf otak. Arus bolak balik dapat menyebabkan fibrilasi
ventrikel jika aliran listrik melewati daerah dada. Hal ini dapat terjadi saat aliran

6
listrik mengalir dari tangan ke tangan, tangan ke kaki, atau dari kepala ke
tangan/kaki.
Mekanisme kerusakan sel otot jantung sama dengan mekanisme kerusakan
pada otot – otot ogan yang lain. Apabila tubuh bersentuhan dengan permukaan
yang memiliki arus listrik dan secara bersamaan bersentuhan dengan permukaan
lain yang memiliki potensial yang berbeda (atau biasa disebut ground) maka arus
listrik akan mengalir melewati tubuh dari tempat kontak yang satu ke tempat
kontak yang lain, keadaan ini akan semakin meningkat sesuai dengan peningkatan
perbedaan voltase kedua permukaan tersebut.
Jaringan tubuh memiliki sensitivitas yang berbeda-beda terhadap arus listrik.
Sel-sel yang menggunakan sinyal bioelektrik dalam menjalankan aktivitasnya
seperti neuron, sel otot rangka, dan otot jantung merupakan sel yang paling rentan
dibandingkan dengan tulang dan otot karena dapat dirangsang dengan arus listrik.
Kerusakan sel akibat sengatan listrik berbeda dengan kerusakan sel akibat
trauma panas. Kerusakan jaringan pada trauma panas terjadi akibat denaturasi dan
koagulasi protein, sedangkan kerusakan sel akibat sengatan listrik dapat
disebabkan oleh beberapa macam mekanisme yaitu :
a. Elektroporasi
Lapisan lemak membran sel mudah dipengaruhi oleh listrik
karena lemak membran memiliki kutub bermuatan listrik. Energi
listrik mempengaruhi potensial membran istirahat menyebabkan
peningkatan permiabilitas membran sel sehingga terjadi
ketidakseimbangan dalam sel, perubahan bentuk permukaan membran
sel. Lapisan lemak membran yang pada awalnya berupa lubang
hidrophobik berubah menjadi hidrophilik sehingga terbentuk lubang-
lubang pada membran sel. Proses tersebut dikenal sebagai proses
elektroporasi Elektroporasi
Elekroporasi terjadi karena energi listrik yang berasal dari luar
sel melebihi elastisitas membran sel. Elektroporasi terjadi bila tubuh
dialiri oleh listrik bertegangan tinggi atau arus listrik lebih dari 200

7
mA. Elekroporasi merupakan mekanisme penting kerusakan jaringan
akibat sengatan listrik Berdasarkan reversibilitasnya elektroporasi
dibagi menjadi elektroporasi reversibel dan irreversibel . Elektroporasi
reversibel terjadi bila sel terpapar arus listrik 200-500 mA selama
kurang dari 100 mikrodetik. Elektroporasi reversibel sering digunakan
untuk transfer pengobatan dan transfer DNA melalui membran sel.
Elektroporasi irreversibel terjadi bila terpapar arus listrik sebasar 200-
500mA selama lebih dari 100 mikrodetik. Kerusakan yang terjadi
akibat sengatan listrik akan dijalarkan kemembran sel sekitarnya.
Melalui proses elektroporasi ini, dapat terjadi kematian sel tanpa
adanya pemanasan sel yang signifikan, sebagai akibat terganggunya
keadaan elektrolit sel.
b. Denaturasi Protein
Adanya lapisan lipid pada membran sel menyebabkan arus
listrik yang melewati membran akan tertahan .Energi listrik yang
masuk akan diubah menjadi energi panas menyebabkan denaturasi,
koagulasi protein dan nekrosis koagulasi. Kerusakan tipe ini banyak
terjadi pada paparan arus dengan voltase tinggi dan hampir tidak
terjadi pada voltase rendah. Jenis lesi yang paling parah terjadi pada
kasus dimana objek merupakan bagian dari lengkung elektrik (electric
arc). yaitu suatu percikan arus listrik yang timbul diantara dua
permukaan objek yang tidak bersentuhan memiliki beda potensial
yang sangat besar, biasanya pada sumber arus tegangan tinggi dengan
ground. Karena besarnya perbedaan potensial ini, dapat timbul panas
sampai temperatur 2500°C. Panas ini dapat menimbulkan luka bakar
yang sangat pada titik kontak dengan kulit.
c. Hiperkontraksi serabut otot
Energi listrik bervoltase rendah juga dapat menyebabkan
terjadinya tetani pada otot. Aliran listrik yang terus menerus
merangsang volatge-gate chanel membrane sel sehingga terjadi

8
hiperpolarisasi.34 Tetani ini lebih banyak terjadi pada arus listrik
bolak-balik dengan frekuensi rendah antara 15-150 Hz dimana pada
frekuensi ini otot dirangsang untuk berkontransi sebanyak 40-110 kali
perdetik.12 Adanya tetani dapat dapat dilihat secara mikroskopis
berupa gambaran ruptur serat otot, perdarahan sekitar sel. Selain itu
akibat pemadatan pita Z akan terjadi kerusakan sarkolema yang
menyebabkan perubahan permiabilitas membran sel dan berakibat
terganggunya elektrolit dalam sel.

2.4 Manifestasi Klinis


Gejalanya tergantung kepada interaksi yang rumit dari semua sifat arus listrik.
Suatu kejutan dari sebuah arus listrik bisa mengejutkan korbannya sehingga dia
terjatuh atau menyebabkan terjadinya kontraksi otot yang kuat. Kedua hal tersebut
bisa mengakibatkan dislokasi, patah tulang dan cedera tumpul. Kesadaran bisa
menurun, pernafasan dan denyut jantung bisa lumpuh. Luka bakar listrik bisa
terlihat dengan jelas di kulit dan bisa meluas ke jaringan yang lebih dalam.
Arus listrik bertegangan tinggi bisa membunuh jaringan diantara titik masuk
dan titik keluarnya, sehingga terjadi luka bakar pada daerah otot yang luas.
Akibatnya, sejumlah besar cairan dan garam (elektrolit) akan hilang dan kadang
menyebabkan tekanan darah yang sangat rendah. Serat-serat otot yang rusak akan
melepaskan mioglobin, yang bisa melukai ginjal dan menyebabkan terjadinya
gagal ginjal. Dalam keadaan basah, kita dapat mengalami kontak dengan arus
listrik. Pada keadaan tersebut, resistensi kulit mungkin sedemikian rendah
sehingga tidak terjadi luka bakar tetapi terjadi henti jantung (cardiac arrest) dan
jika tidak segera mendapatkan pertolongan, korban akan meninggal.
Petir jarang menyebabkan luka bakar di titik masuk dan titik keluarnya, serta
jarang menyebabkan kerusakan otot ataupun pelepasan mioglobin ke dalam air
kemih. Pada awalnya bisa terjadi penurunan kesadaran yang kadang diikuti
dengan koma atau kebingungan yang sifatnya sementara, yangi biasanya akan
menghilang dalam beberapa jam atau beberapa hari. Penyebab utama dari

9
kematian akibat petir adalah kelumpuhan jantung dan paru-paru (henti jantung
dan paru-paru).

2.5 Pemeriksaan Penunjang

1. Hitung darah lengkap : peningkatan Ht awal menunjukkan hemokonsentrasi


sehubungan dengan perpindahan/ kehilangan cairan.
2. Elektrolit serum : kalium meningkat karena cedera jaringan /kerusakan SDM
dan penurunan fungsi ginjal. Natrium awalnya menurun pada kehilangan air.
3. Alkalin fosfat : peningkatan sehubungan dengan perpindahan cairan
interstitial/ gangguan pompa natrium.
4. Urine : adanya albumin, Hb, dan mioglobulin menunjukkan kerusakan
jaringan dalam dan kehilangan protein.
5. Foto rontgen dada : untuk memastikan cedera inhalasi
6. Scan paru : untuk menentukan luasnya cedera inhalasi
7. EKG untuk mengetahui adanya iskemik miokard/disritmia pada luka bakar
listrik.
8. BUN dan kreatinin untuk mengetahui fungsi ginjal.
9. Kadar karbon monoksida serum meningkat pada cedera inhalasi.
10. Bronkoskopi membantu memastikan cedera inhalasi asap.
11. Albumin serum dapat menurun karena kehilangan protein pada edema cairan.
12. Fotografi luka bakar : memberikan catatan untuk penyembuhan luka bakar
selanjutnya.

2.6 Penatalaksanaan Medis


1. PRIMARY SURVEY
a. Airway
Airway,menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spinecontrol)
Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan
membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan

10
gawat darurat, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah
kelancaran jalan nafas. Menurut ATLS (Advanced Trauma Life Support)
2004, Kematian-kematian dini karena masalah airway seringkali masih
dapat dicegah, dan dapat disebabkan oleh :
a. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
b. Ketidakmampuan untuk membuka airway
c. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru
d. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
e. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
f. Aspirasi isi lambung

b. Breathing
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas
dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak
memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah:
dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of
open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara
lain :
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
- Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-
tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest,
sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
- Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
- Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
 Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika
perlu.

11
 Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut
mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
 Penilaian kembali status mental pasien.
 Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
 Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau
oksigenasi:
- Pemberian terapi oksigen
- Bag-Valve Masker
- Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang
benar), jika diindikasikan
- Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan
berikan terapi sesuai kebutuhan.
c. Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma.
Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia,
takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill,
dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda
hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk
mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim
untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang
mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax,
cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua
perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada
pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner,
2000).
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara
lain :

12
 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
 CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan
pemberian penekanan secara langsung.
 Palpasi nadi radial jika diperlukan:
- Menentukan ada atau tidaknya
- Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
- Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
- Regularity
 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
 Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
d. Disability
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi
perintah yang
Diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang
tidak bisa
dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk
merespon
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus
nyeri maupun stimulus verbal.

e. Exposure-cegah penderita dari hipotermi.

13
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika
pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-
line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan
pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam
melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya
selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai
dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien,
kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang
mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
- Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
- Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa
pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang
berpotensi tidak stabil atau kritis.
(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)

2. SECONDARY SURVEY
a. Pemeriksaan dari kepala sampai kaki.
b. Pakaian dan perhiasan dibuka
c. Periksa titik kontak
d. Estimasi luas luka bakar / derajat luka bakarnya.
e. Pemeriksaan neurologis
f. Pemeriksaan traumalain, patah tulang/dilokasi.
g. Kalau perlu dipasang endotrakeal intubasi.
3. RESUSITASI
a. Bila didapatkan luka bakar, dapat diberikan cairan 2-4 cc/kg/ luas luka
bakar.
b. Kalau didapatkan haemocromogen (myoglobin), urine output
dipertahankan antara 75-100 cc/jam sampai tampak menjadi jernih.
c. Sodium bicarbonate dapat ditambahkan pada ringer laktat sampai pH > 6,0

14
d. Monitor jarang dipergunakan.
4. CARDIAC MONITORING
a. Monitoring ECG kontinu untuk disritmia.
b. Ventricular fibrilasi, asystole dan aritmia diterapi sesuai Advanced Cardiac
Live Support.
5. MONITORING POST RESUSITASI
(72 jam pascatrauma)
Hal-hal yang perlu diobservasi setiap harinya secara sistematik dan teliti
meliputi observasi klinis dan data pemeriksaan laboratorium yaitu :
a. Cairan – elektrolit
b. Keadaan luka bakarnya
c. Kondisi potensial infeksi
d. Status nutrisi / gizi

2.7 Komplikasi
a. Kardiovaskuler
Kematian mendadak (fibrilasiventrikel, asistolik), Nyeri dada, disritonia,
segmen ST-T abnormal, blok cabang berkas, kerusakan miokardial, disfungsi
ventrikel, MCI, hipotensi (volume deplesi), hipertensi (pelepasan
katekolamin).
b. Neurologis
Status mental, agitasi, koma, kejang, edema serebral, ensefalopati hipoksia,
nyerikepala, afasia, lemah, paraplegia, kuadriplegia, disfungsi sumsum tulang,
pheriperal neuropati, insomnia, emosilabil.
c. Kulit
Luka akibat sengatan listrik, akibat sekundel luka bakar.
d. Vaskuler
Thrombosis, nekrosiskoagulasi, DIC, rupture pembuluh darah, aneurisma
sindrom kompartemen.

15
e. Pulmonal
Hentinapas (sentral atau perifermis tetanus). Pneumonia aspirasi, edema
pulmonal, kontusi pulmonal, kerusakan inhalasi.
f. Gastrointestinal
Perforasi, tukak stress (Curling Ulcer), perdarahan GIT.
g. Muscular.
Mionekrosis, sindrom kompartemen.
h. Skeletal
Fraktur kompresi vertebra, fraktur tulang, dislokasi bahu (anterior dan
posterior), fraktur scapula.
i. Optamologi
Cornel burns, delayed cataract, thrombosis atau hemoragia intraocular,
uveitis, frakturorbita.
j. Pendengaran
Hilangnya pendengaran, tinnitus, perforasi, membrane timpani, mastoiditis,
meningitis.
k. Oral burns
Hemoragia arteri labialis, scarring dan deformitas fasialis, gangguan bicara,
perubahan bentuk mandibula dan pembentukan gigi.
l. Obstetric
Aborsi spontan, kematian janin.

16
BAB III

TINJAUAN ASKEP

3.1 Pengkajian
A. Data Umum
Berisi mengenai identitas pasien yang meliputi nama, umur, No.RM, jenis
kelamin, agama, alamat, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, jam
datang, jam diperiksa, tipe kedatangan dan informasi data.
B. Keadaan umum pada pasien sengatan listrik dengan gawat darurat yang
berisi tentang observasi umum mengenai pemeriksaan status ABC
(Airway, Breathing, dan Circulation).
C. Pengkajian primer
1. Airway: mengkaji ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas, sumbatan
total atau sebagian, distress pernafasan, ada tidaknya aliran udara dan
adanya gangguan pada jalan nafas misalnya edema tipe torniket pada
daerah leher yang dapat menyumbat pernafasan (Kartika, 2011).
2. Breathing: mengkaji adanya henti nafas dan adekuatnya pernafasan,
frekuensi nafas dan pergerakan dinding dada (naik turunnya dinding
dada), suara pernafasan melalui hidung atau mulut, merasakan udara
yang dikeluarkan dari jalan nafas (Kartika, 2011:44).
3. Circulation: mengkaji ada tidaknya denyut nadi, kemungkinan syok,
dan adanya perdarahan eksternal, denyut nadi, kekuatan dan
keteraturan, warna kulit dan kelembaban, tanda-tanda perdarahan
eksternal, tanda- tanda jejas atau trauma
4. Disability: mengkaji kondisi neuromuskular pasien, keadaan status
kesadaran(GCS), keadaan ekstrimitas, kemampuan motorik dan
sensorik.
Pada pasien luka bakar yang diakibatkan oleh luka bakar listrik dapat
terjadi penurunan kesadaran, paralisis motorik, disorientasi dan defisit
sensorik (Lalani, 2013).

17
5. Exposure and environment control: pemaparan dan kontrol lingkungan
tentang kondisi pasien secara umum (Kartika, 2011:73).
D. Pengkajian Sekunder
1. Riwayat keperawatan :
Riwayat penyakit sekarang meliputi keluhan utama pasien, riwayat
penyakit saat ini, riwayat pengobatan, pengobatan yang sedang dijalani,
riwayat keluarga dan sosial, serta review sistem (Kartika, 2011:44).
Pengkajian subjektif nyeri meliputi: P (penyebab, yang menimbulkan
nyeri, adakah hal yang menyebabkan kondisi memburuk/membaik), Q
(kualitas, keluhan klien), R (arah perjalanan nyeri, daerah nyeri), S (skala
nyeri 1-10), T (lamanya nyeri dirasakan, terus menerus/ hilang timbul)
(Kartika , 2011:44).
Pengkajian Objektif tanda-tanda vital meliputi tekanan darah meliputi
systole > 100-140 mmHg, diastole > 60-90 mmHg, nadi 60-100 kali/
menit atau lebih, suhu: 36-37,5 C atau meningkat dan pernafasan lebih
dari 16- 24 kali/menit (Kartika, 2011: 44).
2. Pemeriksaan fisik per sistem yang biasa timbul pada sengatan listrik
yaitu:
a. Sistem neurologi
Menurut metode Glascow Coma Scale (GCS) dengan penilaian
Eye (4 untuk buka mata spontan, nilai 3 dengan suara, nilai 2
dengan nyeri dan 1 tanpa respon), penilaian Verbal (5 apabila
orientasi bagus, 4 jika pasien bingung, 3 apabila kalimat tidak jelas,
2 jika suara tidak jelas/bergumam dan 1 jika tidak ada respon) serta
motorik (6 bila pasien dapat mengikuti perintah dengan baik, 5 bila
pasien mampu melokalisasi nyeri, 4 bila pasien menghindari nyeri,
3 bila fleksi abnormal, 2 bila ekstensi abnormal dan 1 bila tanpa
respon) (Kartika, 2011: 58).

18
Pada kasus sengatan listrik dapat ditemukan penurunan
kesadaran yaitu nyeri pada respon membuka mata, gangguan
verbal, dan gangguan motorik karena adanya cedera.
b. Sistem respirasi
Periksa bagian wajah, dada, dan leher pasien atas adanya
tanda-tanda distress pernafasan seperti penggunaan otot aksesori,
keteraturan retraksi dada, keteraturan pola nafas, dan suara nafas
abnormal (Kartika, 2011: 61).
c. Sistem kardiovaskuler
Kaji atas adanya keluhan nyeri pada dada, normalitas tanda-
tanda vital, dan denyut jantung yang cepat, pelan atau tidak teratur
(Kartika, 2011).
d. Sistem pencernaan
Periksa adanya distensi abdomen, jejas, dan adanya luka.
Auskultasi keempat kuadran dan pastikan status peristaltik usus.
Palpasi adanya nyeri, hepatomegali, dan limpa. Perkusi untuk
mngetahui ukuran organ dan memeriksa daerah cairan atau rongga
intra abdominal (Kartika, 2011).
Pada luka bakar akan ditemukan adanya penurunan metabolik
sebagai akibat dari respon sistemik pada 24 jam pertama cedera
(Gurnida, 2011).
e. Sistem muskuloskeletal
Gangguan muskuloskeletal di unit gawat darurat berhubungan
dengan trauma dan infeksi. Kaji luka atas adanya edema, eritema,
jejas, dan nyeri. Periksa pergerakan dan status neurovaskular pasien
untuk mendeteksi masalah. Lepaskan semua perhiasan dan pakaian
ketat dari daerah luka (Kartika, 2011: 62).
f. Sistem perkemihan
Catat frekuensi urin, adanya inkontinensia, terasa panas, atau
bau aneh dan status nyeri pada sistem urinaria.

19
g. Sistem integument
Meliputi pemeriksaan warna, tekstur, turgor, suhu, kepucatan,
sianosis dan kekuningan (Kartika, 2011: 62).
Pada sistem integumen pasien luka bakar akibat sengatan
listrik mengalami gangguan integritas kulit seperti kulit berwarna
abu-abu dan pucat, dan adanya krustal (Pamela, 2011, Nurarif dan
Hardhy, 2015).
h. Sistem endokrin
Perhatikan adanya gangguan endokrin jika pasien merasa
sering lelah, lemah, terjadi penurunan BB, poliuri, polidipsi dan
polifagi (Kartika, 2011:64).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan pada sengatan listrik meliputi laboratorium
meliputi kadar elektrolit serum yang mungkin normal pada awalnya
tetapi akan berubah selama program tindakan awal, BUN (nitrogen
urea darah) dan kreatinin mungkin meningkat palsu berkaitan dengan
kekurangan cairan, glukosa darah yang mungkin meningkat sebagai
akibat respon stres, gas darah arteri awalnya Po2 mungkin normal
pada cedera inhalasi tetapi penting untuk mendokumentasikan pH
pada pasien yang menderita luka bakar listrik karena umumnya akan
mengalami asidosis metabolik ringan yang akan membaik dengan
resusitasi secara adekuat, hitung darah lengkap dimana pada awalnya
hemoglobin dan hematokrit mungkin meningkat sebagai akibat
pergeseran cairan intraseluler, albumin serum kadarnya mungkin
rendah karena protein plasma terutama albumin hilang ke dalam
jaringan yang cedera sekunder akibat peningkatan permeabilitas
kapiler, skrining obat dan alkohol serum serta skrining obat dalam
urine secara khusus apabila pasien tidak sadar atau tingkat
kewaspadaannya menurun, karboksihemoglobin serum pada pasien
dengan dugaan cedera inhalasi dengan peningkatan kadar >10%,

20
mioglobulin urine harus dilakukan untuk pasien luka bakar listrik
karena mioglobulin dilepaskan ketika jaringan otot mengalami
kerusakan dimana mioglobulin dapat menyebabkan kerusakan pada
tubulus ginjal bila ginjal tidak dibilas dengan baik dan urine akan
berubah menjadi merah terang atau berwarna teh, radiografi dada
untuk mengetahui perubahan radiograf dada yang biasanya terlihat
sekitar 48 jam setelah cedera inhalasi, elektrokardiogram terutama di
indikasikan pada luka bakar listrik karena disertai komplikasi disritmia
jantung dan juga CT scan untuk menyingkirkan hemoragi intrakranial
pada pasien dengan penyimpangan neurologik yang menderita cedera
listrik (Pamela, 2011: 200).

3.2 Diagnosa keperawatan


1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan sengatan listrik
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan cardiac arrest
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan neuromuscular
4. Nyeri berhubungan dengan kerusakan kulit/jaringan; pembentukan edema.

3.3 Intervensi
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan sengatan listrik.
Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam
diharapkan kerja jantung kembali normal
Kriteria hasil:
1. Nadi pasien teraba dan dalam batas normal (60 – 100 kali/mnt)
2. Pasien tidak cianosis (CRT kurang dari 2dtk)
3. Hasil ekg pasien menunjukkan gelombang sinus
Intervensi Rasional
Observasi nadi Nadi tidak teraba menandakan
terjadinya penurunan curah jantung

21
dan dapat mengakibatkan pasien
henti nafas
Lakukan RJP RJP dapat meningkatkan kerja
jantung dimana saat melalukan
tekanan dapat menbantu jantung
mengedarkan darah keseluruh tubuh
dan full recoildiperlukan agar darah
dapat mengisi kembali ruang
jantung
Berikan shock terapi Bi phasic DC shock (shock terapi) dapat
120-200J menghilangkan aritmia ventrikel
yang spesifik pada henti jantung dan
kelainan organik jantung lainnya
Kolaborasi dalam pemberian obat Obat adrenegik dapat mempercepat
adrenergik dan antiaritmia konduksi sepanjang jaringan
konduksi mulai dari atrium ke nodus
atrioventrikuler, obat antiaritmia
dapat memperpanjang lama
potensial aksi dan refraktoriness
serabut purkinje dan serabut otot
ventrikel
Monitoring TTV Penurunan TTV pada pasien dapat
menandakan terjadinya
kegawatdaruratan pada pasien

2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan cardiac arrest


Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam , diharapkan
pola nafas kembali efektif
Kriteria hasil:
1. Jalan nafas paten

22
2. Pasien dapat bernafas secara spontan
3. Respirasi pasien sebanyak 10 sampai 20x/menit
4. Ada retraksi otot dadanafas normal (saat dilakukan auskultasi
terdengar suara vesikuler)
Intervensi Rasional
Buka jalan nafas dengan cara head Head tilt chin lift dapat
tilt chin lift mempatenkan jalan nafas
Berikan Oksigen melalui Bag Pemberian oksigen melalui BVM
Valve Mask Ventilation lebih efektif sehingga oksigen yang
diberikan lebih banyak ke patu-paru
Auskultasi suara nafas Dengan auskultasi dapat mengetahui
kondisi pernafasan pasien
Monitoring TTV Penurunan TTV pada pasien dapat
menandakan terjadinya
kegawatdaruratan pada pasien

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan neuromuscular


Tujuan: dalam waktu 1x24 jam terjadi peningkatan aktivitas sesuai tingkat
toleransi individu.
Kriteria hasil:
a. Klien dapat melakukan aktivitas ekstremitas secara bertahap tanpa
disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan RR
b. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri
c. Mampu berpindah: dengan atau tanpa bantuan alat
d. Sirkulasi status baik
Intervensi Rasional
Bantu klien memilih aktivitas yang Aktivitas yang teralau berat dan
sesuai dengan kondisi. tidak sesuai dengan kondisi klian
dapat memperburuk toleransi

23
terhadap latihan.
Bantu klien untuk melakukan Melatih kekuatan dan irama jantung
aktivitas/latihan fisik secara teratur. selama aktivitas.
Monitor status emosional, fisik dan Mengetahui setiap perkembangan
social serta spiritual klien terhadap yang muncul segera setelah terapi
latihan/aktivitas. aktivitas.
Monitor hasil pemeriksaan EKG EKG memberikan gambaran yang
klien saat istirahat dan aktivitas akurat mengenai konduksi jantung
(bila memungkinkan dengan tes selama istirahat maupun aktivitas.
toleransi latihan).
Kolaborasi pemberian obat Pemberian obat antihipertensi
antihipertensi, obat-obatan digitalis, digunakan untuk mengembalikan
diuretic dan vasodilator. TD klien dbn, obat digitalis untuk
mengkoreksi kegagalan kontraksi
jantung pada gambaran EKG,
diuretic dan vasodilator digunakan
untuk mengeluarkan kelebihan
cairan.
Kolaborasi dengan tim kesehatan Mengkaji setiap aspek klien
lain untuk merencanakan , terhadap terapi latihan yang
monitoring program aktivitasi klien dierencanakan.

4. Nyeri berhubungan dengan kerusakan kulit/jaringan; pembentukan edema.


Tujuan: Setelah dilakukan perawatan 1x24 jam, nyeri berkurang atau
hilang
Kriteria hasil:
e. Secara subyektif klien menyatakan nyeri berkurang atau dapat
diadaptasi. Skala nyeri 0-1 (0-10).

24
f. Dapat mengidentifikasi aktifitas yang meningkatkan atau
menurunkan nyeri.
g. Pasien tidak gelisah.
Intervensi Rasional
Atur posisi pasien senyaman Posisi fisiologis akan meningkatkan
mungkin, kearah yang berlawanan asupan oksigen ke jaringan yang
dengan letak dari lesi untuk bagian mengalami peradangan
tubuh yang mengalami inflamasi
dilakukan mobilisasi untuk
mengurangi respon peradangan dan
mempercepat penyembuhan
Ajarkan teknik relaksasi: Meningkatkan asupan oksigen
pernapasan dalam. sehingga akan menurunkan nyeri
sekunder dari peradangan.
Ajarkan teknik distraksi pada saat Distraksi dapat menurunkan
nyeri. stimulus internal dengan
mekanisme peningkatan produksi
endorphin enkefain yang dapat
memblok reseptor nyeri untuk tidak
mengirimkan ke korteks serebri
sehingga menurunkan persepsi
nyeri.
Observasi skala nyeri dengan Mengetahui sejauh mana
pendekatan PQRST. keberhasilan intervensi yang
dilakukan.
Kolaborasi dalam pemberian Analgetik dapat memblok lintasan
analgetik nyeri sehingga nyeri akan
berkurang.

25
3.4 Implementasi
Pelaksanaan/implementasi merupakan tahap keempat dalam proses
keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan
keperawatan) yang telah direncanakan. Dalam tahap ini perawat harus
mengetahui berbagai hal, diantaranya bahaya fisik dan perlindungan kepada
pasien, teknik komunikasi, kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahaman
tentang hak-hak pasien tingkat perkembangan pasien. Dalam tahap
pelaksanaan terdapat dua tindakan yaitu tindakan mandiri dan kolaborasi
(Aziz Alimul, 2009).

3.5 Evaluasi
1. Tanda vital dalam rentang normal, tidak ada penurunan kesadaran.
2. Suara nafas bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu, menunjukkan jalan
nafas yang paten dan tanda-tanda vital dalam rentang normal.
3. Klien dapat melakukan mobilisasi ekstremitas secara bertahan.
4. Dapat mengidentifikasi aktifitas yang meningkatkan atau menurunkan
nyeri.

26
27
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Cedera akibat listrik adalah kerusakan yang terjadi jika arus listrik
mengalir kedalam tubuh manusia dan membakar jaringan ataupun
menyebabkan terganggunya fungsi suatu organ dalan (Agus. J, 2001).
Paparan listrik secara langsung adalah paparan listrik dimana tubuh
langsung bersentuhan dengan konduktor listrik. Tubuh manusia
merupakan penghantar listrik yang baik. Penyebab kematian utama akibat
sengatan listrik adalah karena terjadi henti jantung. Sengatan listrik yang
melewati jantung akan mengganggu sistem kelistrikan jantung dan energi
panas yang ditimbulkan akan merusak miokardium.

Arus AC dan DC sama-sama dapat mengakibatkan irama jantung


tidak teratur. DC seringkali menyebabkab kontraksi otot yang kuat yang
seringkali mendorong jauh atau melempar korbannya dari sumber arus.
Karena listrik DC bergerak koonstan maka energi yang dihasilkan lebih
terpusat dan fokus, akibatnya daya hancur listrik DC jauh lebih besar
daripada AC. Biasanya semakin tinggi tegangan dan kekuatannya, maka
semakin besar kerusakan yang diimbulkan oleh kedua jenis arus listrik
tersebut.

Resisten pada tubuh terpusat pada kulit dan secara langsung


tergantung pada keadaan kulit. Resistensi kulit yang kering dan sehat rata-
rata 40 kali lebih besar dari resistensi kulit yang tipis dan lembab. Arus
listrik yang paling sering masuk melalui tangan kemudian kepala dan
keluar melalui kaki. Semakin lama terkena listrik mamka semakin banyak
jumlah jaringan yang mengalami kerusakan.

28
4.2 Saran
Bagi mahasiswa, sebagai perawat nantinya bisa mengaplikasikan ilmu ini
atau menerapkannya dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien
sengatan listrik dengan baik dan benar.

29
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, E. marlynn, MF. Moorhouse. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.


EGC: Jakarta

Doenges, Marlynn E. 1998. Penerapan Konsep Keperawatan dan Diagnosa


Keperawatan Edisi 2. EGC: Jakarta

Doenges, E. Marlynn, dkk. 1994. Rencana Asuhan Keperawatan dengan Gangguan


Sistem Endokrin. EGC: Jakarta

Carpenito, Lynda juall. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC: Jakarta

Deswani. 2009. Proses keperawatan dan Berfikir Kritis. Salemba Medika: Jakarta

M. Baradero, MW. Dayrit, dkk. 2009. Klien Gangguan Endokrin. EGC: Jakarta

Amin Huda, H.Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis & NANDA NIC-NOC. Mediaction: Jogjakarta

Wilkinson, Ahern. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Diagnosa NANDA,


Intervensi NIC, Kriteria hasil NOC edisi 9. EGC: Jakarta

Price, Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Volume 2


Edisi 6. EGC: Jakarta

30

Anda mungkin juga menyukai