Laporan 2
Laporan 2
Di Susun Oleh :
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang hingga saat ini masih memberikan kita nikmat iman dan
kesehatan, sehingga saya diberi kesempatan yang luar biasa ini yaitu kesempatan untuk
menyelesaikan tugas penulisan laporan tentang “ survey rumah adat aceh pesisir.”
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi agung kita, yaitu Nabi
Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT untuk kita semua, yang
merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan
merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.
Di akhir kami berharap laporan kami ini dapat dimengerti oleh setiap pihak yang membaca. Kami
pun memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam laporan kami terdapat perkataan yang
tidak berkenan di hati.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................................. ii
3ii
BAB I
PENDAHULUAN
Budihardjo (1994:57) rumah adalah aktualisasi diri yang diejawantahkan dalam bentuk
kreativitas dan pemberian makna bagi kehidupan penghuninya. Selain itu rumah adalah cerminan
diri, yang disebut Pedro Arrupe sebagai ”Status Conferring Function”, kesuksesan seseorang
tercermin dari rumah dan lingkungan tempat huniannya.
1.3 Tujuan
4
BAB II
PEMBAHASAAN ARSITEKTUR ACEH
2.1 Provinsi Aceh
Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia. Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan
merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu kotanya adalah Banda Aceh. Jumlah penduduk
provinsi ini sekitar 4.500.000 jiwa. Letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar di
India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah
utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di
sebelah tenggara dan selatan.
Menurut bukti-bukti arkeologis, awalnya penghuni Aceh adalah dari masa pasca Plestosen, di
mana mereka tinggal di pantai timur Aceh (daerah Langsa dan Tamiang), dan menunjukkan ciri-
ciri Australomelanesid. Mereka terutama hidup dari hasil laut, terutama berbagai jenis kerang,
serta hewan-hewan darat seperti babi dan badak. Pada saat itu mereka sudah menggunakan api dan
menguburkan mayat dengan upacara tertentu.
Selanjutnya pembentukan suku-suku Aceh terjadi ketika perpindahan suku-suku asli Mantir
dan Lhan (proto Melayu), serta suku-suku Champa, Melayu, dan Minang (deutro Melayu) yang
datang dan membentuk penduduk pribumi Aceh. Selain itu bangsa asing, seperti bangsa India
selatan, serta sebagian kecil bangsa Arab, Persia, Turki, dan Portugis juga merupakan bagian
komponen pembentuk suku Aceh. Posisi strategis Aceh di bagian utara pulau Sumatra, selama
beribu tahun telah menjadi tempat persinggahan dan percampuran berbagai suku bangsa, yaitu
dalam jalur perdagangan laut dari Timur Tengah hingga ke Cina. Sehingga rakyat aceh banyak
merupakan campuran dari bangsa-bangsa lain:Proto dan Deutero Melayu
5
Menurut legenda rakyat Aceh, penduduk Aceh terawal berasal dari suku-suku asli, yaitu;
Suku Mante diduga berkerabat dekat dengan suku Batak, suku Gayo, dan Alas. Sedangkan
suku Lhan diduga masih berkerabat dengan suku Semang yang bermigrasi dari Semenanjung
Malaya atau Hindia Belakang (Champa, Burma).
Suku Mante mulanya mendiami wilayah Aceh Besar dan kemudian menyebar ke tempat-
tempat lainnya. Ada pula dugaan secara etnologi tentang hubungan suku Mante dengan bangsa
Funisia di Babilonia atau Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, namun hal tersebut belum
dapat ditetapkan oleh para ahli kepastiannya.
Suku Minang yang bermigrasi ke Aceh banyak yang menetap di sekitar Meulaboh dan lembah
Krueng Seunagan. Umumnya daerah subur ini mereka kelola sebagai persawahan basah dan kebun
lada, serta sebagian lagi juga berdagang. Penduduk campuran Aceh-Minang ini banyak pula
terdapat di wilayah bagian selatan, yaitu di daerah sekitar Susoh, Tapaktuan, dan Labuhan Haji.
Mereka banyak yang sehari-harinya berbicara baik dalam bahasa Aceh maupun bahasa Aneuk
Jamee, yaitu dialek khusus mereka sendiri.
Akibat politik ekspansi dan hubungan diplomatik Kesultanan Aceh Darussalam ke wilayah
sekitarnya, maka suku Aceh juga bercampur dengan suku-suku Alas, Gayo, Karo, Nias, dan Kluet.
Pengikat kesatuan budaya suku Aceh yang berasal dari berbagai keturunan itu terutama ialah
dalam bahasa Aceh, agama Islam, dan adat-istiadat khas setempat, sebagaimana yang dirumuskan
oleh Sultan Iskandar Muda dalam undang-undang Adat Makuta Alam.
Suku Aceh juga ada yang merupakan keturunan dari bangsa-bangsa lain di luar negeri. Mereka
datang dari luar dalam rangka perdagangan dan penyebaran agama. Berikut suku-suku bangsa
tersebut;
1. India
Keturunan bangsa India di Aceh berhubung erat dengan perdagangan dan penyebaran agama
Hindu-Buddha dan Islam di tanah Aceh. Bangsa India kebanyakan dari Tamil dan Gujarat.
2. Arab
6
Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Di antara
para pendatang tersebut terdapat antara lain marga-marga al-Aydrus, al-Habsyi, al-Attas, al-
Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier, dan lain-lain, yang semuanya merupakan marga-marga
bangsa Arab asal Yaman. Mereka datang sebagai ulama penyebar agama Islam dan sebagai
perdagang. Daerah Seunagan misalnya, hingga kini terkenal banyak memiliki ulama-ulama
keturunan sayyid, yang oleh masyarakat setempat dihormati dengan sebutan Teungku Jet atau
Habib. Demikian pula, sebagian Sultan Aceh adalah juga keturunan sayyid. Keturunan mereka di
masa kini banyak yang sudah kawin campur dengan penduduk asli suku Aceh, dan menghilangkan
nama marganya.
3. Persia
Bangsa Persia umumnya datang untuk menyebarkan agama dan berdagang di Aceh, namun
kemudian juga menetap disana.
4. Turki
Bangsa Turki umumnya diundang datang untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih
prajurit, dan serdadu perang kerajaan Aceh.Saat ini dapat ditemukan keturunan bangsa Persia dan
Turki di wilayah Aceh Besar. Nama-nama warisan Persia dan Turki biasa digunakan orang Aceh
untuk menamai anak-anak mereka. Kata Banda dalam nama kota Banda Aceh juga adalah kata
yang berasal dari bahasa Persia (Bandar artinya "pelabuhan").
5. Portugis
Keturunan bangsa Portugis banyak terdapat di wilayah Kuala Daya, Lam No (pesisir barat
Aceh). Mereka datang saat pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan nakhoda Kapten Pinto, yang
berlayar hendak menuju Malaka, sempat singgah dan berdagang di wilayah Lam No, di mana
sebagian di antara mereka lalu tinggal menetap di sana.
Peristiwa tersebut tercata dalam sejarah antara tahun 1492-1511, pada saat itu Lam No di
bawah kekuasaan kerajaan kecil Lam No, pimpinan Raja Meureuhom Daya. Dan sampai saat ini,
masih dapat dilihat keturunan rakyat Aceh yang masih memiliki profil wajah Eropa.
Rumah adat Nangro Aceh Darussalam atau disebut juga Rumoh Aceh merupakan rumah
panggung yang memiliki tinggi beragam sesuai dengan arsitektur si pembuatnya. Namun pada
kebiasaannya memiliki ketinggian sekitar 2,5-3 meter dari atas tanah. Untuk memasukinya harus
menaikit beberapa anak tangga. Terdiri dari tiga atau lima ruangan di dalamnya, untuk ruang utama
sering disebut dengan rambat.
Rumah Aceh yang bertipe tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan untuk tipe lima ruang
memiliki 24 tiang. Bahkan salah satu rumoh Aceh (peninggalan tahun 1800-an) yang berada di
persimpangan jalan Peukan Pidie, Kabupaten Sigli, milik dari keluarga Raja-raja Pidie, Almarhum
7
Pakeh Mahmud (Selebestudder Pidie Van Laweung) memiliki 80 tiang, sehingga sering disebut
dengan rumoh Aceh besar.
Ukuran tiang-tiang yang menjadi penyangga utama rumoh Aceh sendiri berukuran 20 - 35
cm.Biasanya tinggi pintu sekitar 120 - 150 cm dan membuat siapa pun yang masuk harus sedikit
merunduk. Makna dari merunduk ini menurut orang-orang tua adalah sebuah penghormatan
kepada tuan rumah saat memasuki rumahnya, siapa pun dia tanpa peduli derajat dan
kedudukannya. Selain itu juga, ada yang menganggap pintu rumoh Aceh sebagai hati orang Aceh.
Hal ini terlihat dari bentuk fisik pintu tersebut yang memang sulit untuk memasukinya, namun
begitu kita masuk akan begitu lapang dada disambut oleh tuan rumah.Saat berada di ruang depan
ini atau disebut juga dengan seuramoe keu/seuramoe reungeun, akan kita dapati ruangan yang
begitu luas.
Rumoh Aceh merupakan rumah panggung. Besarnya Rumoh Aceh tergantung pada banyaknya
ruweueng (ruang)6. Ada yang tiga ruang, lima ruang, tujuh ruang hingga sepuluh ruang. Beranda
muka disebut ”seuramoë keue”(karena di sini ditempatkan tangga masuk, disebut juga seuramoë
rinyeuen), serambi belakang disebut ”seuramoë likot”. Bagian utama rumah adalah pada bagian
tengah, yang dibuat lebih tinggi dari pada lantai serambi. Bagian utama rumah ini disebut Tungai
. Pada bagian Tungai ini terletak dua bilik (kamar) tidur, yaitu rumoh Inong dan anjông. 7 Rumoh
inong adalah bilik peurumoh (master bedroom), sedangkan anjông adalah bilik untuk anak
perempuan.
Demikan mulianya posisi peurumoh dalam Adat Aceh. Keharmonisan rumah tangga adalah
hal yang paling penting, sehingga ditempatkan pada posisi yang paling utama, di tengah dan di
lantai tertinggi. Di antara kedua kamar tidur itu ada lorong penghubung antara seuramoë rinyeuen
dengan seuramoë likôt, yang bernama Rambat. Di bagian belakang ada rumoh dapu
(dapur) yang elevasi lantainya lebih rendah dari seuramoë likôt. Dapur mendapat posisi terendah.
Karena ruang ini merupakan perluasan rumah, atau sebagai tambahan ruang pada rumah saja.
Dapat kita pahami masyarakat Aceh telah mengonsepkan ruang dengan suatu hirarki. Secara
fisik bangunan, hirarki ini tampak pada elevasi yang berbeda di tiap lantai ruangan. Hal ini
8
Tabel 1. Nama-Nama Ruang Pada Rumoh Aceh
Ateuh Rumoh
Yup Moh
9
Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang.
Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau
menghilangkan bagian ruweueng yang ada di sisi Barat atau Timur rumah. Selain itu, pengaruh keyakinan
dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah
ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.
Teknik sambungan konstruksi kayu menggunakan sistem pasak yang mampu menyelesaikan berbagai
permasalahan gaya yang terjadi pada sambungan. Bila kita pahami lebih mendalam, terdapat elemen-
elemen lain yang membantu kekuatan struktur, diantaranya balok-balok pengunci untuk menjaga posisi
tiang. Setiap pertemuan elemen yang berbeda, dihubungkan dengan cara memasukkan bagian ujung elemen
ke lubang yang tersedia pada elemen lain. Lalu diberi pasak. Begitulah cara utoh Aceh menghubungkan
setiap elemen sehingga menjadi rumah. Tidak memakai paku. Disini timbul kekuatan struktur dalam
merangkai elemen-elemen tersebut. Sebab bila rangkaian tersebut tidak dipikirkan secara matang, maka
konstruksi rumah tidak dapat berdiri dengan kokoh, dan tidak mungkin dapat bertahan hingga saat ini.
Bagi elemen-lain yang tidak berpasak, maka hubungan atau jalinannya dibuat dengan mengikatkan tali.
Dalam setiap elemennya pun dibuat dengan kesadaran tinggi akan maksud dari dibuatnya konstruksi
tersebut. Maksudnya terdapat nilai-nilai fungsional yang lebih jauh dipikirkan untuk kebutuhan dan
keselamatan penghuni rumah. Tidak hanya sekadar menyambung-nyambungkan elemen-elemen belaka.
Misal, elemen tameh raja dan putroe dipilih yang paling baik, karena sebagai penyambut di serambi depan,
selain juga berfungsi sebagai struktur utama sebagaimana mestinya
DAPUR
4
0
.
S E U R A M O L IK O T
4
20
.
9
6
0
.
RUMOH Tungai
ANJONG RAMBAT INONG R U M O H IN O N G
2
4
0
.
SEURAMOKEUE
4
20
.
Tameh Raja
U
2 .5 0 2 .9 3 2 .5 0 2 .9 3
1 0 .8 6
Tameh Putroe
10
Di sini tampak kesadaran masyarakat Aceh akan terbentuknya suatu ruang, berikut
material-material yang akan ia lihat. Kemudian konstruksi atap diikatkan seluruhnya pada taloe
pawai, untuk kemudahan penyelamatan saat kebakaran. Taloe Pawai berada di ujung papan bui
teungeut, dan dikaitkan pada puteng tiang deretan depan dan belakang. Taloe pawai cukup di
potong sehingga terputus, maka jatuhlah seluruh konstruksi atap tersebut. Demikian hebat
teknologi ini apakah masih dapat kita lihat saat ini? Lain lagi pada lantai (aleue) yang jalinan
aslinya berupa ikatan-ikatan tali, ternyata bermaksud untuk memudahkan apabila akan dilepas
untuk keperluan memandikan jenazah.
Rumoh Aceh asli yang saat ini masih bertahan, merupakan rumah yang seluruh elemen
pendukungnya terbuat dari bahan kayu. Strukturnya merupakan sistem struktur rangka yang
tersusun dari konstruksi kayu yang melingkupi tiang-tiang. Rumah ini terbuat dengan
menggunakan sistem post and beam. Sistem ini merupakan salah satu sistem struktur yang
tergolong sederhana. Lantai, dan dindingnya terbuat dari papan. Atapnya ditutupi oleh jalinan daun
rumbia yang disusun menjadi penutup atap. Keseluruhan konstruksi berdiri di atas landasan batu.
Tabel berikut ini menampilkan nama-nama elemen yang menjadi pendukung terbentuknya Rumoh
Aceh. Nama-nama elemen ini memiliki arti tersendiri. Beberapa di antaranya ada yang memiliki
makna mendalam sebagai sebuah elemen struktur pada Rumoh Aceh.
11
18. Gaseue Kaso
12
2.6 Denah Rumah survey
13
2.7 Tampak Rumah survey
14
2. Tampak kanan dari bangunan yang kami survey
15
3. Tampak kiri dari rumah yang kami survey
16
4. Tampak perspektif rumah yang kami survey
Pada bangunan tradisional Aceh banyak dijumpai ukiran- ukiran, karenamasyarakat Aceh
pada hakekatnya termasuk suku bangsa yang berjiwa seni. Ukiran-ukiran itu terutama dijumpai
pada bangunan- bangunan rumah tempat tinggal dan bangunan-bangunan rumah ibadat seperti
pada Meuseujid (mesjid) dan meunasah (surau). Ukiran-ukiran yang terdapat pada bangunan
tradisional seperti tersebut di atas mempunyai berbagai motif atau ragam hias. Motif-motif tersebut
adalah motif yang berhubungan dengan lingkungan alam seperti : flora, fauna, awan, bintang dan
bulan. Fungsi utama dari berbagai jenis motif dan ragam hias itu adalah sebagai hiasan semata-
mata, sehingga dari ukirin tersebut tidak mengandung arti dak maksud-maksud tertentu, kecuali
motif bintang dan bulan, yang menunjukkan simbul ke-Islaman, motif awan berarak (AWAN
meucanek) yang menunjukkan lambang kesuburan, dan motif tali berpintal (taloe meuputa) yang
menunjukkan ikatan persaudaraan yang kuat bagi masyarakat Aceh
17
Pada rumah tradisional Aceh, ada beberapa motif hiasan ornamen yang dipakai, yaitu:
Motif keagamaan. Hiasan Rumah Aceh yang bercorak keagamaan merupakan ukiran-
ukiran yang diambil dari ayat-ayat al-Quran;
18
Motif flora. Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik
berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi
tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah
Merah dan Hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding,
tulak angen, kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah;
Motif fauna. Motif binatang yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang
sering dilihat dan disukai, umumnya bermotifknan binatang unggas seperti merpati,
balam, perkutut.
19
Motif Aceh memiliki arti bagi masyarakat Aceh, salah satunya seperti motif pucok
reubong yang berarti berproses.Pucok reubong adalah tunas bambu yang diibaratkan sebagai awal
mula kehidupan mengalami proses tumbuh besar. Oleh karena itu masyarakat Aceh yang pada
dasarnya adalah masyarakat yang berjiwa seni, senang menghias rumahnya dengan motif-motif
Aceh yang memiliki makna tersendiri dalam kehidupan. Namun, penempatan motif pada rumoh
Aceh ini tidak ada maksud dan makna tertentu. Murni hanya untuk mempercantik rumah saja.
Begitulah yang dipahami oleh salah seorang pemilik rumoh Aceh di desa Lubok sukon ini.
Konsep-konsep Islam didalam Arsitektur Rumoh Aceh, sangat kuat menyimbolkan kadar
keislaman rakyat Aceh, dapat kita lihat antara lain sebagai berikut 8:
Arah kiblat
Setelah Islam masuk ke Aceh, arah Rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan.
Dalam agama Islam, ibadah shalat selalu menghadap ke kiblat. Maka itu, rumah juga dibuat
memanjang ke arah kiblat, yakni ke arah barat, mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk
membangun garis imajiner dengan Ka‘bah yang berada di Mekkah. Itu sebabnya pada seuramoë
rinyeuen tangga dan pintu masuk ke Rumoh tidak di letakkan di Barat, tetapi selalu berada di
sebelah Timur atau di tengah seuramoë, maksudnya agar tidak mengganggu orang yang sedang
Shalat menghadap ke kiblat.Kuatnya pengaruh orientasi dan ritual agama menyebabkan dalam
20
proses pembangunan rumah tradisional Aceh juga membutuhkan kehadiran seorang Teungku atau
tokoh agama. Rinyeuen (tangga) Rumoh Aceh adalah juga berfungsi sebagai pengontrol, bila tidak
ada laki-laki di dalam rumah maka menurut adat Aceh tamu yang bukan muhrim tidak dibenarkan
naik ke rumah.
Bukaan pada dinding seuramoë rumoh Aceh tidak terlalu besar dan untuk pencahayaan
digunakan screen (lubang-lubang kecil) untuk meredam terik matahari. Lubang lubang kecil pada
dinding ini mengingatkan kita pada ”Masyrabiyya” di Saudi Arabia.
Tidak seperti halnya serambi rumah Betawi yang terbuka lebar, yang sering kita lihat pada
sinetron ”Si Doel anak Betawi”, serambi rumoh Aceh itu tertutup, hanya sedikit saja bagian yang
terbuka. Orang dari luar sukar melihat ke dalam tetapi orang dari dalam dapat melihat keluar.
Demikian cara Aceh membudayakan seni interior, seolah memberi pesan agar aurat itu jangan
diobral keluar ke semua orang yang lalu lalang di depan rumah. Di dalam Rumoh Aceh, ada dua
buah serambi yang sengaja dibuat terpisah sesuai dengan ajaran Islam, yaitu ”seuramoë keue”,
untuk kaum pria dan seuramoë likôt khusus untuk kaum wanita.
Nabi mengajarkan thaharah, bersuci dengan mandi, berwudhu dan istinja’, agar badan kita
menjadi bersih. Raga yang bersih sebagai cerminan dari hati yang suci. Orang Aceh menaruh guci
pembasuh kaki dibawah tangga rumoh Aceh. Sebaiknya kita bersuci dulu, sebelum naik ke rumah.
Karena Rumoh Aceh itu bersih, tidak ada kotoran, tidak ada kayu dan jendela di rumah ini yang
diperoleh dari hasil korupsi. Bersuci itu lahir dan batin. Ideofactnya suci, sosiofactnya berwudhu,
artefaknya guci. Itu sebabnya penulis mengusulkan kepada bapak Rektor UTU (Universitas Teuku
Umar) di Meulaboh untuk menempatkan guci di gerbang masuk kampus yang akan dibangun, agar
semua yang ada didalam kampus itu suci dan bersih jiwa raganya.
Guci Aceh adalah salah satu karya seni gerabah yang hendaknya dapat dihidupkan kembali
eksistensinya. Tanah Aceh menurut pak Dr Ahmad Akmal sangat potensial untuk seni kriya
membuat keramik ini. Bahan bakunya tersedia dalam jumlah yang banyak dan kualitasnyapun
sangat baik. Dengan adanya prodi Seni kriya ISBI semoga kreasi-kreasi baru Guci Aceh dan
benda-benda seni terapan lainnya akan kembali muncul menghiasi bumi Aceh.
Konstruksi Rumah
Rumah tradisional Aceh mampu bertahan hingga ratusan tahun tentunya didukung oleh
konstruksi yang kokoh dan mutu bahan bangunan yang berkualitas. Dari segi konstruksi,
penempatan tiang rumah menyebabkan pembagian ruang rumah tradisional Aceh pada
umumnya terdiri tiga ruang bertiang 16 atau lima ruang bertiang 24. Rumah tradisional Aceh
didirikan di atas tiang-tiang kayu atau bambu dengan maksud untuk menghindarkan diri dari
serangan binatang buas dan banjir. Karena berkolong maka orang hidup di atas lantai yang
selalu kering, jadi lebih sehat.Rumah tradisional Aceh terbukti mampu bertahan dari gempa
karena struktur utama yang kokoh dan elastis. Kunci kekokohan dan keelastisan ini ada pada
hubungan antar struktur utama yang saling mengunci, hanya dengan pasak dan bajoe, tanpa
paku, serta membentuk kotak tiga dimensional yang utuh (rigid). Keelastisan ini menyebabkan
struktur bangunan tidak mudah patah, namun hanya terombang-ambing ke kanan kiri yang
21
kemudian kembali tegak atau pun bangunan terlikuifaksi (terangkat ke atas) yang kemudian
mampu jatuh kembali ke tempat semula. Jika bangunan bergeser pun hanya beberapa centimeter
saja dan dalam keadaan utuh.
Tiga komponen struktur utama yang menjadi pusat kekokohan bangunan meliputi
pondasi (komponen kaki) sebagai pusat beban bangunan terbesar, kemudian tiang dan balok
antar tiang (komponen badan) sebagai penyalur beban dari atas dan dari samping, serta rangka
atap (komponen kepala) sebagai penyangga beban elemen paling atas bangunan dan dari
samping atas
Rangka Atap
22
Sistim konstruksinya menggunakan tiang-tiang dan gelagar yang saling ditusukkan dan
dikancing dengan pasak dari bambu. Untuk unsur-unsur bangunan yang kecil dipakai sistim
ikat, dengan tali rotan, ijuk dan lain sebagainya
Gambar Pola Penyambungan dan Hubungan Tiang pada Rumah Tradisional Aceh
23
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Rumah tradisional Aceh adalah rumah adat yang dibangun atas dasar kepercayaan dan
religious ataupun mitologi setempat.Bangunan dan strukturnya didasarkan atas orientasi pada
lelulur. Pada proses pembangunan rumah tradisional Aceh, teknis dan jenis pembangungan adalah
dengan berdasarkan letak daerah dan dapat membedakan bentukan , semakin besar suatu rumah
adat menafsirkan tingkat dan status.
24
DAFTAR PUSTAKA
Maspero,Henri.TranslatedbyFrankA.Kierman,Jr.1981.TaoismandChinese
Religion.UniversityofMassachusetts
https://depts.washington.edu/chinaciv/3intrhme.htm
http://sekarnegari.files.wordpress.com
www.kaskus.co.id
http://camyanpharchitecture.blogspot.com/2011/04/aceh-courtyard-house-siheyuan.html)
http://sekarnegari.files.wordpress.com)
http://camyanpharchitecture.blogspot.com/2011/04/tipologi aceh.html)
http://camyanpharchitecture.blogspot.com/2011/04/aceh/dalam/cerita .html
30