DI SMKN 36 JAKARTA
I. Pendahuluan
Model pendidikan karakter merupakan jawaban atas sistem pendidikan di Indonesia yang
lebih menekankan aspek kognitif ketimbang aspek kecerdasan emosi, sosial, motorik,
kreativitas, imajinasi, dan spiritual.
Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard
Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat
awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural
seorang pribadi.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan
esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter
merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang
mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah,
kualitas seorang pribadi diukur.
Empat karakter
Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan
interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman
normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak
mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar
yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan
kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi
nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa
terpengaruh atau desakan pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna
mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan
atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap
individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara
individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi
eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala
tindakannya.
Pengalaman Indonesia
Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas
retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-
religius menjadi relevan untuk diterapkan.
Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan
perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme
kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap
mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan
puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.
Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga
belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka
membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang
dikatakan guru.
Loncatan sejarah
Apakah mungkin sebuah loncatan sejarah dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita?
Mungkinkah pendidikan karakter diterapkan di Indonesia tanpa melewati tahap-tahap
positivisme dan naturalisme lebih dahulu?
Pendidikan karakter yang digagas Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi
eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang merayakan spontanitas
dalam pendidikan anak-anak. Yang ingin ditebas arus ”idealisme” pendidikan adalah
determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang manusia.
Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah
pergulatan dinamis terus-menerus. Manusia, apa pun kultur yang melingkupinya, tetap agen
bagi perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri
kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri
kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.
Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen
perubahan dalam masyarakat, bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain dan
mampu berbagi nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural
manusia yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah
mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.
Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas
retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-
religius menjadi relevan untuk diterapkan.
Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan
perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme
kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap
mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan
puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.
Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga
belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka
membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang
dikatakan guru.
Terdapat sembilan pilar karakter nilai-nilai luhur universal yang ditanamkan kepada anak
sejak dini usia prasekolah. Pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaaan-Nya; Kedua,
kemandirian dan tanggungjawab; Ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; Keempat, hormat
dan santun; Kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama;
Keenam, percaya diri dan pekerja keras; Ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; Kedelapan,
baik dan rendah hati, dan; Kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik
menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the
good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the
good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai
kebajikan menjadi engine yang selalu bekerja membuat orang mau selalu berbuat sesuatu
kebaikan. Orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku
kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan acting the good berubah menjadi
kebiasaan.
Rumusan karakter tak hanya diaplikasikan dalam metode pengajaran, tapi juga kurikulum
dan diintegrasikan dalam satuan pelajaran. Nah bagaimana penerapan pendidikan karakter
yang dapat dilakukan di SMKN 36?
Seiring dengan MISI SMKN 36 yaitu menjadikan SMKN 36 Jakarta sebagai
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) yang Profesional dan Mandiri Dalam
Mewujudkan Lulusan yang Kompeten, Berdedikasi, kasih sayang, peduli dan berakhlak
mulia, maka berikut ini adalah budaya- budaya yang telah dan akan dilakukan di SMKN36
dalam membangun karakter siswa.
2. MOS
Masa Orientasi Siswa (MOS) dilakukan pada awal tahun ajaran baru setelah pelaksanaan
Penerimaan Siswa Baru . Kegiatan MOS bertujuan untuk memperkenalkan siswa baru
pada lingkungan baru agar dapat beradaptasi , membentuk sikap dan karakter yang
dibutuhkan oleh sekolah maupun industry , memupuk sikap kreativitas dan semangat
berkarya, serta menumbuhkan sikap dan karakter kepemimpinan.
Sekolah merupakan salah satu sarana yang tepat untuk membangun system pengkaderan
yang terpadu. Lingkungan sekolah dalam konteks wawasan wiyata mandala merupakan
lingkungan yang kondusif untuk membentuk kader-kader pemimpin bangssa dimasa
depan. Lewat pembelajaran kontektual yang sedang digalakkan , pendidikan politik
secara konseptual akan terasa sangat signifikan. Pemehaman dasar politik, organisasi dan
kepemimpinan dikalanga siswa perlu ditanamkan sejak dini. Hal itu penting dilakukan
mengingat siswa merupakan generasi muda yang menjadi tumpuan dan harapan bangsa
dimasa depan.
5. OSIS
7. Upacara Bendera
Upacara bendera biasa dialakukan pada hari Senin, dan hari-hari besar Nasional. Upacara
sebenarnya juga bagian dari interaksi edukatif dan instrument/alat yang cukup efektif
untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai karakter tertentu mengaktualkan potensi-
potensi peserta didik. Nilai-nilai tersebut diantaranya :
Potensi Kepemimpinan
Setiap siswa secara bergilir diberi kesempatan untuk tampil memimpin upacara.
Sebagai pemimpin upacara dituntut untuk melakukan aba-aba/tindakan-tindakan
tertentu, dalam satu tahun ajaran seorang siswa dapat memperoleh 2 – 3 kali
memimpim teman-temannya
Tertib Sosial Normatif lmperatif
Ada aba-aba dan tata cara yang baku yang memimpin maupun yang dipimpin.
Ketika seseorang berperan memimpin harus bisa memainkan peran sesuai
posisinya. Begitu juga yang berposisi yang dipimpin. Dari sini diharapkan
tumbuh kesadaran bahwa pada setiap kelompok sosial demi tertib sosial terdapat
aturan-aturan/norma-norma yang bersifat imperative/memaksa sebagai
konsekuensi seseorang memasuki suatu kelompok sosial.
Rasa Percaya Diri
Pengalaman membuktikan sebagian siswa masih mengalami demam
tampil/ndredeg ketika harus tampil memimpin. Namun, umumnya hilang ketika
giliran kedua atau seterusnya.
Kebersamaan/Jiwa Korsa/Esprit de Carps
Dalam posisi upacara, untuk melanjutkan ke gerakan/aba-aba berikutnya
ditempuh jika aba-aba/perintah sebelumnya telah sepenuhnya dilaksanakan.
Manakala ada satu/sebagian siswa lalai/tidak mematuhi aba-aba, maka
“tersanderalah” seluruhnya. Melalui pembiasaan yang demikian, diharapkan
tumbuh kesadaran akan kebersamaan. Diri seseorang adalah bagian dari
kelompok-(nya).
Tanggungjawab
Ada sejumlah hal yang harus dilaporkan seperti jumlah, kurang, hadir, dan
keterangan masing-masing yang berhalangan hadir. Pemimpin harus secara
akurat melaporkannya kepada guru. Yang demikian dimaksudkan untuk
menumbuh-kembangkan sikap koreksi dan tanggungjawab
Tenggang Rasa
Sekali lagi pengalaman membuktikan meski seseorang sebelumnya sudah
mempersiapkan diri namun ketika tampil memimpin acapkali masih melakukan
kekeliruan. Temyata berperan sebagai pemimpin tak semudah yang
menerima/melaksanakan aba-aba. Pengalaman-pengalaman seperti ini akan
menumbuh-kembangkan kesadaran tenggang rasa.
Loyalitas Kritis Berjiwa Merdeka
Ketika sang pemimpin melakukan kesalahan (misal : dalam memberi aba-aba,
laporan, gerakan tertentu) maka anak buah (teman-teman sekelasnya) yang dalam
posisi dipimpin wajib memberikan koreksi dengan ucapan “ulangi” pernyataan
korektif tersebut dilakukan sebanyak kesalahan yang dilakukan pemimpin dan
baru tidak dilakukan lagi manakala sudah benar.
Dari tradisi yang demikian diharapkan tertanam kesadaran sikap loyal sekaligus
kritis bukan mentalitas “yes man” atau loyalitas tanpa reserves. Anak buah
dan/atau staf yang loyal adalah yang bisa mendukung sekaligus
mengingatkan/mengoreksi. Loyalitas yang benar adalah loyalitas kepada
person/pribadi orang yang kebetulan menjabat. Kepatuhan yang sehat dan
rasional adalah kepatuhan bersyarat yaitu selama perintah/kebijakan pimpinan
tidak keluar dan merusak misi organisasi dan secara hakiki bisa
dipertanggungjawabkan secara horisontal (kepada sesama manusia) maupun
vertikal (kepada Tuhan).
Karena itu kita juga harus bisa membedakan wilayah kedinasan/wilayah publik
dengan wilayah privat/pribadi. Jika ini terwujud maka tidak hanya oleh negara
secara formal melainkan juga secara riil dimiliki setiap masyarakat. Setiap warga
negara dalam kondisi seperti ini secara teoritik kesalahan-kesalahan kolektif
dapat dihindarkan, baik dalam konteks organisasi yang kecil maupun besar
(negara).
8. Tadarusan sebelum KBM
Tadarusan yang dilakukan siswa setiap pagi di sekolah, memiliki tujuan untuk
membentuk karakter siswa yang bertaqwa kepada Allah SWT, dan menjadikannya
memiliki hati yang lembut, mudah menerima nasehat kebaikan serta tidak mudah
terpancing emosi yang berakibat pada tawuran pelajar.
Beberapa kebiasaan atau budaya yang perlu ditumbuh kembangkan di antaranya adalah
budaya apresiasif konstruktif. Siapa pun yang dapat memberikan kontribusi positif di
lingkungannya perlu diberikan apresiasi. Semisal peserta didik yang mendapat rangking
1 di kelasnya diberikan beasiswa selama 3 bulan, demikian juga untuk para peserta didik
yang menang dalam lomba baik di tingkat Kota Madya, Propinsi, dan Nasional di
berikan apresiasi yang sesuai. Kebiasaan memberikan apresiasi itu akan membangun
lingkungan untuk tumbuh suburnya orang berprestasi. Kalau lingkungan sendiri tidak
mendukung seseorang berprestasi maka nanti akan terus menerus negatif.
Untuk menuju akhlak mulia dan hal itu bisa diterapkan secara menyeluruh dalam setiap
mata pelajaran, bukan menjadi pendidikan yang terpisah. "Dengan demikian
implementasinya tidak perlu ada modul karena guru harus melakukan pendekatan yang
strategis bagaimana mengelola kelas, berkomunikasi dengan baik pada anak didik,
mengembangkan kepribadian anak dengan baik. "UU Sisdiknas sudah mengamanatkan
bahwa pendidikan itu agar anak memiliki akhlak mulia jadi berarti dalam hal syarat
kelulusanpun menentukan. Anak yang tidak memiliki akhlak mulia, meskipun pinter
jangan dibiarkan lulus. "Guru dan siswa harus paham bahwa kejujuran, kedisiplinan,
ketekunan, toleransi adalah kendaraan .
DAFTAR PUSTAKA
Dikbud.
Hilda Sabri Sulistyo, 2010. Membangun Karakter dan Budaya di Sekolah. Harian Bisnis
Indonesia. Jakarta.
Siti Juwairiyah, 2007. Makalah Penerapan Metode Belajar Aktif Sebagai Upaya
Peningkatan Prestasi Belajar Kelas 6 SD, Probolinggo.