Anda di halaman 1dari 15

MEMBANGUN KEBERADAPAN BANGSA MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER

DI SMKN 36 JAKARTA

I. Pendahuluan

Pendidikan merupakan pilar tegaknya suatu bangsa; Melalui pendidikanlah bangsa


akan tegak mampu menjaga martabat. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya
system pendidikan sebaga pranata social yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan
semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga
mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut:
1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang
bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak
usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3. Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk
mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
4. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat
pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai
berdasarkan standar nasional dan global; dan
5. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.

Dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan


“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Selain itu juga bertujuan untuk pembentukan karakter peserta didik yang terwujud
dalam kesatuan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karena karakter merupakan
sesuatu yang mengkualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi
pengalaman kontingen yang selalu berubah, dan dari kematangan karakter inilah kualitas
seorang pribadi diukur.
Pendidikan karakter sebagai sebuah paedagogi memiliki tujuan agar setiap pribadi
semakin menghayati individualitasnya, maupun menggapai kebebasan yang dimilikinya,
sehingga ia dapat semakin bertumbuh sebagai pribadi maupun warga negara yang bebas dan
bertanggung jawab, bahkan sampai pada tingkat tanggung jawab moral integral atas
kebersamaam hidup dengan warga yang lain. Dan pendidikan karakter telah menjadi
tanggung jawab bersama orang tua, guru dan anggota masyarakat, yang datang bersama-sama
untuk mendukung pembangunan karakter yang positif.

Apa Pendidikan Karakter Itu??

Pendidikan karakter adalah pendidikan yang tujuannya membentuk kepribadian peserta


didiknya supaya memiliki karakter yang baik.

Model pendidikan karakter merupakan jawaban atas sistem pendidikan di Indonesia yang
lebih menekankan aspek kognitif ketimbang aspek kecerdasan emosi, sosial, motorik,
kreativitas, imajinasi, dan spiritual.

Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses


pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter
merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme
pedagogis Deweyan.

Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard
Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat
awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural
seorang pribadi.

Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan
esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter
merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang
mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah,
kualitas seorang pribadi diukur.
Empat karakter

Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan
interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman
normatif setiap tindakan.

Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak
mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar
yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan
kredibilitas seseorang.

Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi
nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa
terpengaruh atau desakan pihak lain.

Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna
mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan
atas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap
individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara
individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi
eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala
tindakannya.

Pengalaman Indonesia

Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas
retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-
religius menjadi relevan untuk diterapkan.

Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan
perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme
kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap
mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan
puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.

Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan


karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif
Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.

Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga
belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka
membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang
dikatakan guru.

Loncatan sejarah

Apakah mungkin sebuah loncatan sejarah dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita?
Mungkinkah pendidikan karakter diterapkan di Indonesia tanpa melewati tahap-tahap
positivisme dan naturalisme lebih dahulu?

Pendidikan karakter yang digagas Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi
eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang merayakan spontanitas
dalam pendidikan anak-anak. Yang ingin ditebas arus ”idealisme” pendidikan adalah
determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang manusia.

Bertentangan dengan determinisme, melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan


dirinya pada dunia nilai (bildung). Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan
sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri
hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.

Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah
pergulatan dinamis terus-menerus. Manusia, apa pun kultur yang melingkupinya, tetap agen
bagi perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri
kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri
kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.

Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen
perubahan dalam masyarakat, bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain dan
mampu berbagi nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural
manusia yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah
mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.

Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas
retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-
religius menjadi relevan untuk diterapkan.

Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan
perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme
kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap
mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan
puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.

Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan


karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif
Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.

Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga
belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka
membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang
dikatakan guru.

Terdapat sembilan pilar karakter nilai-nilai luhur universal yang ditanamkan kepada anak
sejak dini usia prasekolah. Pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaaan-Nya; Kedua,
kemandirian dan tanggungjawab; Ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; Keempat, hormat
dan santun; Kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama;
Keenam, percaya diri dan pekerja keras; Ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; Kedelapan,
baik dan rendah hati, dan; Kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Kesembilan pilar karakter diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik
menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the
good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the
good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai
kebajikan menjadi engine yang selalu bekerja membuat orang mau selalu berbuat sesuatu
kebaikan. Orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku
kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan acting the good berubah menjadi
kebiasaan.

Penanaman Pendidikan Karakter di SMKN 36 Jakarta

Awalnya, model pendidikan karakter dikembangkan untuk anak-anak usia dini


seperti TK atau pra sekolah. Pembangunan karakter di usia itu memang sangat menentukan.
Pembentukan otak di usia itu biasanya mencapai 90 persen. Sayangnya, data pemerintah
menyebutkan, hanya 15 persen dari 12,23 juta anak usia dini yang bisa bersekolah di TK

Rumusan karakter tak hanya diaplikasikan dalam metode pengajaran, tapi juga kurikulum
dan diintegrasikan dalam satuan pelajaran. Nah bagaimana penerapan pendidikan karakter
yang dapat dilakukan di SMKN 36?
Seiring dengan MISI SMKN 36 yaitu menjadikan SMKN 36 Jakarta sebagai
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) yang Profesional dan Mandiri Dalam
Mewujudkan Lulusan yang Kompeten, Berdedikasi, kasih sayang, peduli dan berakhlak
mulia, maka berikut ini adalah budaya- budaya yang telah dan akan dilakukan di SMKN36
dalam membangun karakter siswa.

1. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)


Setiap akhir tahun ajaran , setiap sekolah membuka Penerimaan Siswa Baru ,demikian
juga dengan SMKN 36 Jakarta. Namun ada hal lain yang diungkap disini berkaitan
dengan pembangunan karakter yang dilakukan di SMKN 36 Jakarta. Yaitu pada saat
mendaftar anak harus berani masuk mendaftar sendiri tanpa didampingi orang tuanya.
Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan karakter kemandirian dan kebaranian siswa.

2. MOS
Masa Orientasi Siswa (MOS) dilakukan pada awal tahun ajaran baru setelah pelaksanaan
Penerimaan Siswa Baru . Kegiatan MOS bertujuan untuk memperkenalkan siswa baru
pada lingkungan baru agar dapat beradaptasi , membentuk sikap dan karakter yang
dibutuhkan oleh sekolah maupun industry , memupuk sikap kreativitas dan semangat
berkarya, serta menumbuhkan sikap dan karakter kepemimpinan.

3. Pelatihan Baris Berbaris


Adapun tujuannya, yaitu dapat menanamkan rasa nasionalisme, rasa persatuan dan
kesatuan dikalangan generasi muda, dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia
di bidang pemuda, serta dapat memupuk jiwa generasi muda yang tangguh dan
meningkatkan animo pelajar dalam hal baris-berbaris.

4. Latihan Dasar Kepemimpinan Sekolah (LDKS)

Sekolah merupakan salah satu sarana yang tepat untuk membangun system pengkaderan
yang terpadu. Lingkungan sekolah dalam konteks wawasan wiyata mandala merupakan
lingkungan yang kondusif untuk membentuk kader-kader pemimpin bangssa dimasa
depan. Lewat pembelajaran kontektual yang sedang digalakkan , pendidikan politik
secara konseptual akan terasa sangat signifikan. Pemehaman dasar politik, organisasi dan
kepemimpinan dikalanga siswa perlu ditanamkan sejak dini. Hal itu penting dilakukan
mengingat siswa merupakan generasi muda yang menjadi tumpuan dan harapan bangsa
dimasa depan.

5. OSIS

OSIS merupakan satu-satunya wadah untuk menampung dan menyalurkan kreativitas


baik melalui kegiatan kokurikuler maupun ekstrakurikuler dalam menunjang tercapainya
keberhasilan kegiata kurikuler bertujuan meningkatkan peran serta inisiatif siswa untuk:
 Mempertebal ketaqwaan tehadap Tuhan Yang Maha Esa;
 Menjaga dan menciptakan sekolah sebagai Wiyatamandala (lingkungan
pendidikan)agar terhindar dari usaha dan pengaruh yang bertentangan dengan
tujuan pendidkan nasional sehingga terciptanya suasana kehidupan belajar
mengajar yang efektif dan efisien, serta tertanamnya rasa hormat dan cinta
terhadap orang tua, guru, dan almamater dikalangan siswa.
 Menumbuhkan daya tangkal pada diri siswa, agar menjujung tinggi kebudayaan
nasional dan mampu menjaring pengaruh kebudayaan yang datang dari luar yang
bertentangan dengan kepribadian Indonesia.
 Meningkatkan persepsi, apresiasi, dan kreasi seni dalam rangka tercapainya
keselarasan, dan keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan kepuasan batiniah
serta menumbuhkan rasa indah dan halus sebagai dasar pembentukan kepribadian
dan budi pekerti luhur.
 Menumbuhkan dan membina sikap berbangsa dan bernegara.
 Meneruskan dan mengembangkan semangat, serta nilai-nilai 45; dan
 Meningkatkan kesegaran jasmani dan daya kreasi guna tercapainya keseimbangan
antara pertumbuhan jasmani dan rohani.
gembangkan bakat dan kema
6. Apel Pagi .
Saat pelaksanaan apel pagi , para Pembina secara bergiliran tampil sebagai pemimpin
apel dapat menyampaikan pengarahan khusus. Hal-hal yang diarahkan kepada siswa,
umumnya mengenai disiplin, etika, dan akademik. Dapat pula menyampaikan
pengumuman penting secara lisan yang menyangkut perencanaan dan persiapan kegiatan
sekolah. Seringkali para Pembina perlu mengulang kembali apa maksud dan tujuan
pentingnya dilaksanakannya apel pagi, dalam menggalang kebersamaan dan menegakkan
disiplin. Apel yang dilakukan secara rutin, merupakan salah satu cara pembentukan
karakter penegakan disiplin siswa, disamping perlu didukung mekanisme penertiban
administrasi.

7. Upacara Bendera
Upacara bendera biasa dialakukan pada hari Senin, dan hari-hari besar Nasional. Upacara
sebenarnya juga bagian dari interaksi edukatif dan instrument/alat yang cukup efektif
untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai karakter tertentu mengaktualkan potensi-
potensi peserta didik. Nilai-nilai tersebut diantaranya :
 Potensi Kepemimpinan
Setiap siswa secara bergilir diberi kesempatan untuk tampil memimpin upacara.
Sebagai pemimpin upacara dituntut untuk melakukan aba-aba/tindakan-tindakan
tertentu, dalam satu tahun ajaran seorang siswa dapat memperoleh 2 – 3 kali
memimpim teman-temannya
 Tertib Sosial Normatif lmperatif
Ada aba-aba dan tata cara yang baku yang memimpin maupun yang dipimpin.
Ketika seseorang berperan memimpin harus bisa memainkan peran sesuai
posisinya. Begitu juga yang berposisi yang dipimpin. Dari sini diharapkan
tumbuh kesadaran bahwa pada setiap kelompok sosial demi tertib sosial terdapat
aturan-aturan/norma-norma yang bersifat imperative/memaksa sebagai
konsekuensi seseorang memasuki suatu kelompok sosial.
 Rasa Percaya Diri
Pengalaman membuktikan sebagian siswa masih mengalami demam
tampil/ndredeg ketika harus tampil memimpin. Namun, umumnya hilang ketika
giliran kedua atau seterusnya.
 Kebersamaan/Jiwa Korsa/Esprit de Carps
Dalam posisi upacara, untuk melanjutkan ke gerakan/aba-aba berikutnya
ditempuh jika aba-aba/perintah sebelumnya telah sepenuhnya dilaksanakan.
Manakala ada satu/sebagian siswa lalai/tidak mematuhi aba-aba, maka
“tersanderalah” seluruhnya. Melalui pembiasaan yang demikian, diharapkan
tumbuh kesadaran akan kebersamaan. Diri seseorang adalah bagian dari
kelompok-(nya).
 Tanggungjawab
Ada sejumlah hal yang harus dilaporkan seperti jumlah, kurang, hadir, dan
keterangan masing-masing yang berhalangan hadir. Pemimpin harus secara
akurat melaporkannya kepada guru. Yang demikian dimaksudkan untuk
menumbuh-kembangkan sikap koreksi dan tanggungjawab
 Tenggang Rasa
Sekali lagi pengalaman membuktikan meski seseorang sebelumnya sudah
mempersiapkan diri namun ketika tampil memimpin acapkali masih melakukan
kekeliruan. Temyata berperan sebagai pemimpin tak semudah yang
menerima/melaksanakan aba-aba. Pengalaman-pengalaman seperti ini akan
menumbuh-kembangkan kesadaran tenggang rasa.
 Loyalitas Kritis Berjiwa Merdeka
Ketika sang pemimpin melakukan kesalahan (misal : dalam memberi aba-aba,
laporan, gerakan tertentu) maka anak buah (teman-teman sekelasnya) yang dalam
posisi dipimpin wajib memberikan koreksi dengan ucapan “ulangi” pernyataan
korektif tersebut dilakukan sebanyak kesalahan yang dilakukan pemimpin dan
baru tidak dilakukan lagi manakala sudah benar.
Dari tradisi yang demikian diharapkan tertanam kesadaran sikap loyal sekaligus
kritis bukan mentalitas “yes man” atau loyalitas tanpa reserves. Anak buah
dan/atau staf yang loyal adalah yang bisa mendukung sekaligus
mengingatkan/mengoreksi. Loyalitas yang benar adalah loyalitas kepada
person/pribadi orang yang kebetulan menjabat. Kepatuhan yang sehat dan
rasional adalah kepatuhan bersyarat yaitu selama perintah/kebijakan pimpinan
tidak keluar dan merusak misi organisasi dan secara hakiki bisa
dipertanggungjawabkan secara horisontal (kepada sesama manusia) maupun
vertikal (kepada Tuhan).
Karena itu kita juga harus bisa membedakan wilayah kedinasan/wilayah publik
dengan wilayah privat/pribadi. Jika ini terwujud maka tidak hanya oleh negara
secara formal melainkan juga secara riil dimiliki setiap masyarakat. Setiap warga
negara dalam kondisi seperti ini secara teoritik kesalahan-kesalahan kolektif
dapat dihindarkan, baik dalam konteks organisasi yang kecil maupun besar
(negara).
8. Tadarusan sebelum KBM
Tadarusan yang dilakukan siswa setiap pagi di sekolah, memiliki tujuan untuk
membentuk karakter siswa yang bertaqwa kepada Allah SWT, dan menjadikannya
memiliki hati yang lembut, mudah menerima nasehat kebaikan serta tidak mudah
terpancing emosi yang berakibat pada tawuran pelajar.

9. Mengidupkan Ekstra kurikuler


Ekstrakurikuler adalah kegiatan non akademik yang memberi wadah /kesempatan
kepada siswa untuk mengembangkan kreatifitasnya sesuai dengan bakat dan minatnya
masing-masing (ada sekitar 34 jenis ekskul yang terangkum dalam buku panduan
ekskul), dan Sport and Art yaitu kegiatan seni dan olahraga.
Kegiatan Pramuka, Paskibraka dan kegiatan ekstra kurikuler lainnya yang
menumbuhkan kecintaan kepada bangsa merupakan pendidikan budaya dan karakter
bangsa yang selama ini telah diimplementasikan dan menjadi sesuatu kesatuan dari
kurikulum pendidikan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. "Pendidikan budaya
dan karakter bangsa ini cenderung pada implementasi, harus dipraktekkan sehingga titik
beratnya bukan pada teori. Karena itu, pendidikan ini seperti "hidden curiculum",
mengungkapkan bahwa nilai-nilai terkait dengan pendidikan budaya dan karakter bangsa
sudah ada sejak lama. "Kebiasaan mengucapkan salam kepada guru saat datang dan
pulang dari sekolah, mengucapkan doa sebelum memulai pelajaran, atau kegiatan yang
menumbuhkan kecintaan kepada bangsa seperti Pramuka, kegiatan Paskibra dan lain-
lain," katanya. Oleh karena itu kegiatan yang menumbuh kembangkan pendidikan
budaya dan karakter bangsa seperti pramuka, usaha kesehatan sekolah (UKS) dan
ektrakurikuler lainnya seperti menari, musik angklung dan lainnya harus dihidupkan lagi
di sekolah-sekolah. Soal implementasinya yang mulai mengendur bisa saja terjadi, tetapi
masih banyak sekolah-sekolah yang mampu memadukan antara kegiatan belajar
mengajar dengan implementasi dalam kehidupan sosial sehari-hari di sekolah.
10. Senam Kesegaran Jasmani
Olah raga senam tiap hari jum'at dapat dimanfaatkan selain untuk berolah raga mencari
kebugaran, juga bisa dimanfaatkan untuk sosialisasi atau silaturahmi antar murid, guru
dan karyawan. Sehingga dapat bertukar fikiran/tukar pengalaman, dan yang lebih penting
lagi yaitu untuk melepaskan kepenatan, karena dengan berolahraga dialam terbuka kita
dapat menghirup udara segar sehingga dapat menghilangkan rasa jenuh atau strees dan
bahkan bisa bersorak dan berteriak dengan lepas.

11. Apresiasif Konstruktif

Beberapa kebiasaan atau budaya yang perlu ditumbuh kembangkan di antaranya adalah
budaya apresiasif konstruktif. Siapa pun yang dapat memberikan kontribusi positif di
lingkungannya perlu diberikan apresiasi. Semisal peserta didik yang mendapat rangking
1 di kelasnya diberikan beasiswa selama 3 bulan, demikian juga untuk para peserta didik
yang menang dalam lomba baik di tingkat Kota Madya, Propinsi, dan Nasional di
berikan apresiasi yang sesuai. Kebiasaan memberikan apresiasi itu akan membangun
lingkungan untuk tumbuh suburnya orang berprestasi. Kalau lingkungan sendiri tidak
mendukung seseorang berprestasi maka nanti akan terus menerus negatif.

12. Objektif Komprehensif,


Yakni dengan mentradisikan, bahwa melihat segala sesuatu secara utuh menyeluruh.
Selanjutnya, menumbuhkan rasa penasaran intelektual (intellectual curiosity) dan
kesediaan untuk belajar dari orang lain. Tidak perlu gengsi untuk belajar ke yang lebih
muda misalnya jika menemui suatu persoalan. Tidak perlu malu bertanya, malu bertanya
sesat di jalan.

13. Menghidupkan Kembali Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.


Di sekolah justru yang penting adalah bagaimana memasukkannya dalam proses belajar
mengajar bukan semata meningkatkan kegiatan ekstrakulikuler. "Hal ini bisa terjadi jika
guru menyadari dirinya bukan sekedar mengajar tetapi mendidik sehingga ketika
mengajar mata pelajaran apapun dia akan mengkaitkannya dengan pendidikan karakter.
Misalnya, ulangan tidak boleh nyontek, harus jujur pada diri sendiri dan mampu
mengukur kemampuan. Peran guru adalah untuk mengingatkan murid tentang semua hal
itu sangat penting. Menurut dia, sejak masih dibangku kuliah, para calon guru seharusnya
sudah menguasai pendidikan budaya dan karakter bangsa ini sehingga mereka menyadari
bahwa tugasnya mengajar adalah mendidik anak untuk menjadi akhlak mulia bukan
sekedar mengajar.

14. Peran Guru

Untuk menuju akhlak mulia dan hal itu bisa diterapkan secara menyeluruh dalam setiap
mata pelajaran, bukan menjadi pendidikan yang terpisah. "Dengan demikian
implementasinya tidak perlu ada modul karena guru harus melakukan pendekatan yang
strategis bagaimana mengelola kelas, berkomunikasi dengan baik pada anak didik,
mengembangkan kepribadian anak dengan baik. "UU Sisdiknas sudah mengamanatkan
bahwa pendidikan itu agar anak memiliki akhlak mulia jadi berarti dalam hal syarat
kelulusanpun menentukan. Anak yang tidak memiliki akhlak mulia, meskipun pinter
jangan dibiarkan lulus. "Guru dan siswa harus paham bahwa kejujuran, kedisiplinan,
ketekunan, toleransi adalah kendaraan .
DAFTAR PUSTAKA

Ace, S. 1995. Keterkaitan dan Kesepadanan Antara Struktur Pendidikan


Dengan Struktur Tenaga Kerja Terdidik. Kajian Dikbud No. 002 . Balitbang

Dikbud.

Aqip, Z. 2007.Profesionalisme Guru dan Pengawas Sekolah. Yrama Widya.

Christine Fald. Rumah, Sekolah Unggulan Karakter Pemimpin.2007. Majalah Nebula.


Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Kurikulum SMK Edisi 2004. Direktorat


Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah
Kejuruan. 2004.

Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMKN


36 Jakarta, Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Propinsi DKI Jakarta.

Hilda Sabri Sulistyo, 2010. Membangun Karakter dan Budaya di Sekolah. Harian Bisnis
Indonesia. Jakarta.

Ratna Megawangi. 2008. Pendidikan Karakter. http//www. Jakarta

Siti Juwairiyah, 2007. Makalah Penerapan Metode Belajar Aktif Sebagai Upaya
Peningkatan Prestasi Belajar Kelas 6 SD, Probolinggo.

Sonhadji Kh, A. 2000. Alternatif Penyempurnaan Pembaharuan Penyelenggaraan


Pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan. Makalah disajikan pada: Studi
Tentang Pengkajian Pendidikan Kejuruan dan Teknologi, pada tanggal 23 Oktober
2000 di Jakarta, Departemen Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan
Pengembangan, Pusat Penelitian Kebijakan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. 2005 tentang Sistem


Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) . Bandung: CV Nuansa Mulia.

Anda mungkin juga menyukai