Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Gastroesophageal reflux disease (GERD) merupakan salah satu penyakit dengan angka
kejadian yang tinggi di Asia, mempengaruhi sekitar 4,3-15,7% populasi pasien dewasa di Asia.
GERD adalah aliran asam lambung yang kembali ke esofagus. Hal tersebut merupakan proses
fisiologis yang terjadi terutama setelah makan dan bersifat intermitten yang disebut juga refluks
gastroesofagus fisiologik.1
Sindrom GERD diklasifikasikan sebagai manifestasi esofagus dan ekstra-esofagus.
Manifestasi esofagus meliputi rasa panas didada, regurgitasi dan nyeri dada dan pada ekstra-
esofagus, manifestasi yang dapat dilihat adalah asma, batuk kronik, suara serak dan laringitis
pada pasien dewasa. GERD sering menimbulkan perubahan patologis pada traktus aerodigestif
atas seperti Laryngopharyngeal reflux (LPR). LPR dianggap sebagai kontributor primer gejala
ekstra esofagus dari GERD.2
Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah penyakit yang sangat umum, sering terjadi dan
ditemukan pada bidang otolaringologi. Laryngopharyngeal reflux (LPR) didefinisikan sebagai
reaksi peradangan dari selaput lendir dari faring, laring dan organ pernapasan terkait lainnya,
yang disebabkan oleh retrograde aliran isi lambung ke esofagus dan isi lambung bersentuhan
dengan traktus aerodigestif bagian atas. Gejala pada LPR muncul pada 60% gejala pasien yang
menderita GERD dan 50% pasien yang mengeluhkan suara serak juga menderita LPR.1,2
Laryngopharyngeal Reflux (LPR) telah terlibat dalam etiologi banyak kelainan lainnya
pada laring seperti refluks laringitis, stenosis subglotis, karsinoma laring, granuloma, nodul pita
suara dan GERD. Namun saat ini, pasien yang dicurigai menderita LPR dapat dilakukan scoring
untuk menilai skor refluks. Penilaian yang dilakukan yaitu Reflux System Index (RSI) dan Reflux
Finding Score (RFS). Kedua penilaian yang dilakukan berguna dalam melakukan diagnosis
terhadap LPR.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
2.1.1 Anatomi Faring
Faring merupakan suatu tabung muskular yang berukuran 12,5-14 cm dan merentang dari
bagian dasar tulang tengkorak sampai esofagus. 4 Faring memiliki bentuk seperti corong dimana
kantong ini dimulai dari dasar tengkorak dan menyambung dengan esofagus setinggi vertebra
servikal ke enam. Faring berhubungan dengan hidung melalui khoana, ke depan berhubungan
dengan mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dibawahnya berhubungan dengan laring
melalui aditus laring dan kebawahnya berhubungan dengan esofagus.5 Untuk keperluan klinis
faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu nasofaring, orofaring, dan laringofaring atau
hipofaring. Nasofaring merupakan sepertiga bagian atas faring, yang tidak dapat bergerak
kecuali palatum mole di bagian bawah. Orofaring terdapat pada bagian tengah faring, dari batas
bawah palatum mole sampai permukaan lingual epiglotis. Pada orofaring terdapat tonsila
palatina dengan arkusnya, dan tonsila lingualis pada dasar lidah. Hipofaring merupakan bagian
bawah faring yang menunjukkan daerah saluran napas atas yang terpisah dari saluran pencernaan
bagian atas.6

Gambar 2.1 Anatomi Faring 7


Universitas Tarumanagara 2
Nasofaring
Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid di belakang koana dengan dinding kaku di
bagian superior, posterior, dan lateral yang berhubungan dengan orofaring dan terletak di
superior palatum molle. Dinding superior nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus
basilar os. Oksipital, sebelah anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior oleh
vertebra servikalis, dan di sebelah inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba
Eustachius terletak pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka inferior.
Di sebelah atas belakang orifisium tuba Eustachius terdapat satu penonjolan yang dibentuk oleh
kartilago Eustachius8. Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ penting6:
- Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah.
- Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang dikenal
sebagai fossa Rosenmuller.
- Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilagi tuba
eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan ibu jari ke dinding lateral
nasofaring di atas perlekatan palatum mole.
- Koana posterior rongga hidung.
- Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan penyakit
nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui nervus glosofaringeus, vagus, dan
asesorius spinalis, dan foramen hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.
- Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah sinus petrosus
inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital dan arteri
faringeal asenden.
- Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat dengan
bagian lateral atap nasofaring.
- Ostium dari sinus-sinus sfenoid.

Batas-batas nasofaring6:
- Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
- Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, batas ini
bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum.
- Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dekxtra dan sinistra oleh os vomer

Universitas Tarumanagara 3
- Posterior : vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari mukosa bagian
atas
- Lateral : mukosa lanjutandari mukosa di bagian superior dan posterior, muara tuba
Eustachii, Fossa Rosenmuller.

Gambar 2.2. Anatomi Rongga Hidung dan Nasofaring8


Orofaring
Orofaring atau disebut juga mesofaring merupakan ruang antara palatum molle dan radiks
lingua yang memanjang ke bawah sepanjang hyoid bone. Terdapat tosila palatina dan tosila
lingua pada bagian faring ini. Batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya adalah tepi
atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.
Struktur yang terdapa di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa
tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual, dan foramen sekum. 7,9
Tonsil adalah masa yang terdiri dari jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3
macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine, dan tonsil lingual yang ketiganya
membentuk suatu lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. 9

Universitas Tarumanagara 4
Hard palate

Soft palate
Lips
Tonsil
Oropharynx

Tongue

Gambar 2.3. Struktur Orofaring dan Cincin Waldeyer7


Laringofaring
Daerah ini dimulai dari perpaduan dari nasofaring dan orofaring pada daerah setinggi hyoid
bone. Daerah laringofaring menurun ke bagian inferior dan dorsal dari laring dan berakhir pada
cricoid cartilage pada akhir bagian inferior dari laring. Batas laringofaring di sebelah superior
adalah tepi atas epiglotis, batas inferior ialah esophagus, serta batas posterior ialah vertebra
servikal 7

Gambar 2.4 Bagian-bagian Faring 7


2.1.2 Anatomi Laring
Laring merupakan suatu penghubung antara faring dan trakea. Laring berbentuk seperti
kotak triangular dan ditopang oleh sembilan kartilago tiga berpasangan dan tiga tidak
berpasangan.10 Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian atas.
Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar daripada

Universitas Tarumanagara 5
bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah batas
kaudal kartilago krikoid. 9
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid dan beberapa buah
tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf ‘U’ yang permukaan atasnya dihubungkan
dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh tendo dan otot. Tulang rawan yang menyusun laring
adalah kartilago epiglottis, kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago
kornikulata, kartilago kuneiformis, dan kartilago tritisea. 9
Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan intrinsik. Otot-otot
ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan otot-otot intrinsik
menyebabkan gerakan bagian-bagian tertentu yang berhubungan dengan gerak pita suara. Otot
ekstrinsik laring terdiri dari suprahioid (m.digastrikus, m.geniohioid, m.stilohioid, m.milohioid)
dan infrahioid (m.sternohioid, m.omohioid, m.tirohioid). Otot intrinsik laring berada pada bagian
lateral dan posterior laring, otot-otot ini kebanyakan adalah otot aduktor. Laring dipersarafi oleh
cabang-cabang n.vagus yaitu, n.laringis superior dan n.laringis inferior. Kedua saraf ini
merupakan campuran saraf motorik dan sensorik. 7,9
Perdarahan laring berasal dari percabangan a.tiroid superior dan inferior. Arteri yang
memperdarahi laring secara langsung dari kedua cabang arteri tersebut adalah a.laringis superior
dan a.laringis inferior. 9

Gambar 2.5. Anatomi Laring 8

Universitas Tarumanagara 6
Laring memiliki rongga laring yang memiliki batas atas aditus laring, batas bawah bidang
yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depannya ialah permukaan belakang
epiglotis, tuberkulum epiglotik, ligamentum tiroepiglotik, sudut antara kedua belah lamina
kartilago tiroid dan arkus kartilago tiroid. Batas lateralnya ialah membrane kuadrangularis,
kartilago aritenoid, konus elastikus, dan arkus kartilago krikoid. Sedangkan batas belakangnya
ialah m.aritenois transverses dan lamina kartilago krikoid. 9

Gambar 2.6. Anatomi Laring8


2.1.3 Anatomi Esofagus
Esofagus merupakan bagian saluran cerna yang menghubungkan hipofaring/ laringofaring
dengan lambung. Bagian proksimalnya disebut introitus esofagus yang terletak setinggi batas
bawah kartilago krikoid atau setinggi vertebra servikal 6. Di dalam perjalanannya dari daerah
servikal, esofagus masuk ke dalam rongga toraks. Di dalam rongga toraks , esofagus berada di
mediastinum superior antara trakea dan kolumna vertebra terus ke mediastinum posterior di
belakang atrium kiri dan menembus diafragma setinggi vertebra torakal 10 dengan jarak kurang
lebih 3 cm di depan vertebra. Akhirnya esofagus ini sampai di rongga abdomen dan bersatu
dengan lambung di daerah kardia.7
Berdasarkan letaknya esofagus dibagi dalam bagian servikal, torakal dan abdominal. Esofagus
menyempit pada tiga tempat. Penyempitan pertama yang bersifat sfingter terletak setinggi tulang
rawan krikoid pada batas antara esofagus dengan faring, yaitu tempat peralihan otot serat lintang
menjadi otot polos. Penyempitan kedua terletak di rongga dada bagian tengah, akibat tertekan
lengkung aorta dan bronkus utama kiri. Penyempitan ini tidak bersifat sfingter. Penyempitan
terakhir terletak pada hiatus esofagus diafragma yaitu tempat esofagus berakhir pada kardia
lambung. Otot polos pada bagian ini murni bersifat sfingter. Inervasi esofagus berasal dari dua
sumber utama, yaitu saraf parasimpatis nervus vagus dan saraf simpatis dari serabut-serabut
ganglia simpatis servikalis inferior, nervus torakal dan n. splanikus.7

Universitas Tarumanagara 7
Gambar 2.7 Anatomi Esofagus 8

Universitas Tarumanagara 8
2.2 LARINGOFARINGEAL REFLUKS (LPR)
2.2.1 Definisi
Laringofaringeal Refluks (LPR) didefinisikan sebagai retrograde aliran isi perut ke laring dan
faring di mana bahan ini bersentuhan dengan aerodigestive atas tract. Sebaliknya,
gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah aliran asam lambung kembali ke esofagus.1
Gejala GERD termasuk pyrosis (nyeri ulu hati), regurgitasi, disfagia, batuk, dan nyeri dada
atipikal dan gejala yang sering pada LPR termasuk perubahan suara, disfagia, globus, lendir
tenggorokan berlebihan dan pembersihan tenggorokan, dan batuk. Nyeri ulu hati dan regurgitasi
bukan gejala klinis yang sering muncul pada LPR. Meskipun LPR dan GERD keduanya
disebabkan oleh refluks abnormal isi lambung, namun keduanya dibedakan berdasarkan entitas
klinis dengan mekanisme patofisiologis yang berbeda pula.2 Dalam menentukan diagnosis LPR
perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan penunjang yang spesifik seperti
esofagogastroskopi, laringoskopi, monitoring pH dan evaluasi dengan Reflux System Index
(RSI). Pengobatan LPR meliputi kombinasi diet, modifikasi perilaku, antasida, antagonis
reseptor H2, proton pump inhibitor (PPI) dan tindakan bedah.11

2.2.2 Prevalensi
Kejadian laringofaringeal refluks umumnya mengenai usia diatas 40 tahun dan sering
ditemukan di negara-negara barat dengan angka kejadian 10-15% Hal ini berhubungan dengan
pola konsumsi masyarakat barat, olahraga, genetik dan kebiasaan berobat. Pada penelitian
terdahulu menunjukkan bahwa prevalensi GERD pada populasi Asia lebih rendah dibandingkan
dengan populasi negara-negara barat. Hal ini kemungkinan disebabkan perbedaan kebiasaan diet,
perbedaan bentuk tubuh, genetik, dan perilaku kesehatan. Di Amerika Serikat GERD adalah
kelainan yang umum dijumpai. Sebesar 50% orang dewasa menderita GERD dan diperkirakan
4-10% kelainan laring kronis non spesifik di klinik THT berhubungan dengan penyakit
laringofaringeal refluks. Tidak ditemukan predileksi ras pada penyakit laringofaringeal refluks.
Namun prevalensi pria dibandingkan wanita yaitu 55% : 45% dan meningkat pada usia lebih
dari 44 tahun.1

Universitas Tarumanagara 9
2.2.3 Etiologi
Barier fisiologi
Barier fisiologis pada laring terdapat pada sfingter esofagus bagian bawah, klirens esofagus oleh
peristalsis esofagus, saliva dan sfingter esofagus bagian atas. Ketika klirens pada esofagus gagal,
aliran dari lambung akan mengenai jaringan laringofaring dan menyebabkan kerusakan pada
epitel dan silia, terjadi inflamasi dan terjadi perubahan sensitivitas. Perlindungan/barier pada
epitel laring didapatkan dari karbonat anhidrase tipe III yang secara aktif mensekresi bikarbonat,
mengatur pH sebagai respons dari refluks asam. Hipotesis tersebut diperkuat dengan penelitian
yang menunjukkan enzim karbonat anhidrase tipe III tidak didapatkan pada 64% biopsi jaringan
laring dari pasien dengan LPR.1

Asam
PH normal faring adalah 7 (netral) sedangkan lambung memiliki pH kurang lebih 1,5-2.
Kerusakan pada faring merupakan hasil dari penurunan pH dan paparan komponen refluks
seperti pepsin, garam empedu dan enzim pankreas. Pada esofagus, 50 episode refluks per hari
dianggap normal, sedangkan di laring 3 episode saja sudah dapat menyebabkan kerusakan.
Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa efek asam lambung pada laring belum jelas,
sedangkan kombinasi asam dan pepsin terbukti dapat menyebabkan cedera laring.1

Pepsin
Refluks non-asam telah dikaitkan dengan peradangan pada LPR dan GERD. Pemantauan
impedansi pH terdeteksi dimana terdapat episode refluks non-asam atau asam lemah secara
simtomatik pada pasien, menunjukkan bahwa komponen refluks seperti itu dikarenakan pepsin
dan garam empedu dapat menyebabkan kerusakan mukosa. Penelitian menunjukkan bahwa
pepsin secara aktif diangkut ke sel epitel laring dan tetap stabil pada pH 7.4 namun secara
ireversibel ter inaktivasi pada pH 8. Setelah pepsin diaktifkan kembali oleh penurunan pH dari 7
menjadi 3. Aktivitas pepsin optimal pada pH 2. Penelitian menunjukkan bahwa pepsin adalah
penyebab cedera laring dalam refluks non-asam. Pepsin juga dapat menyebabkan kerusakan
intraseluler karena komponen sel seperti golgi dan lisosom memiliki pH rendah (5.0 dan 4.0)
Kehadiran pepsin dalam jaringan berhubungan dengan menipisnya protein pelindung utama
seperti karbonik anhidrase dan E-cadherin.13

Universitas Tarumanagara 10
Asam empedu
Refluks cairan asam yang berasal dari lambung-duodenum mengandung asam empedu dan
sekresi pankreas yang dapat mencapai laring. Asam empedu yang terkonjugasi menyebabkan
kerusakan mukosa pada pH rendah (1.2-1.5). Asam empedu diaktifkan pada pH 7 dan tidak pada
pH 2. Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa asam empedu terkonjugasi lebih merusak
mukosa pada pH asam, sedangkan asam empedu aktif pada pH 5-8. Studi ini menunjukkan
bahwa empedu dapat menyebabkan peradangan laring pada pH asam dan tidak asam.1

2.2.4 Patofisiologi
Refluks asam lambung mengandung asam, pepsin, empedu dan tripsin, jelas melewati
kerongkongan (seperti dalam GER) dan memasuki laringofaring (seperti pada LPR), namun
pasien dengan gejala laring tidak sering menyebabkan gejala pada esofagus. Pasien LPR
memiliki mekanisme pertahanan esofagus utuh untuk mencegah cedera pada esofagus oleh
refluks. Misalnya, pada esofagus, motilitas peristaltik membantuk mencegah refluks, bikarbonat
pada saliva menetralisir refluks dan sekresi mukus mencegah refluks dari penetrasi pada
epitelium. Selain itu, pada sfingter esofagus atas berfungsi untuk mencegah refluks memasuki
laringofaring. Pada pasien dengan gejala laring yang dikaitkan dengan refluks dan pada temuan
endoskopi terkait dengan gangguan fungsi sfingter esofagus atas. Refluks dianggap
menyebabkan gejala laring dan menginduksi patologi ekstraesofagus oleh beberapa mekanisme
yang berbeda. Pada awalnya, terjadi kontak langsung antara pepsin, asam, pepsin, dll dengan
epitel- teori mikroaspirasi. Kemudian teori trauma, dimana paparan refluks lambung menuju
epitel laring saja tidak cukup menyebabkan cedera dan dibutuhkan faktor tambahan seperti
penyalahgunaan vokal/ disertai dengan infeksi virus untuk menginduksi lesi pada mukosa. Pada
akhirnya, akan terjadi refleks esofageal-bronkus: pada teori disebutkan bahwa esofagus dibagian
distal menstimulasi refleks yang diperantarai oleh vagal yang menyebabkan batuk kronis yang
pada akhirnya menyebabkan gejala laring.14

Universitas Tarumanagara 11
2.2.5 Manifestasi Klinis
Sindrom GERD diklasifikasikan sebagai manifestasi esofagus dan ekstra-esofagus. Manifestasi
esofagus termasuk heartburn, regurgitasi dan nyeri dada. Regurgitasi yaitu pergerakan kembali
isi lambung (material refluks) sampai esofagus atau faring yang menimbulkan keluhan sering
3
sendawa dan/ atau mulut rasa asam atau pahit. Sedangkan ekstra-esofagus termasuk asma,
batuk kronis, suara serak, dan laringitis pada pasien dewasa. Refluks laringofaringeal dianggap
sebagai kontributor utama gejala ekstraesofagus. LPR didefinisikan sebagai refluks isi lambung
diatas sfingter bagian atas. 15
Gejala klinis dari LPR bervariasi, namun gejala yang paling sering di jumpai adalah suara serak.
Selain suara serak, gejala lainnya merupakan disfonia, throat clearing, globus pharingeus,
disfagia, post nasal drip, voice fatigue, batuk kronik, sensasi penuh pada tenggorokan yang tidak
hilang dengan menelan.16 Pada pemeriksaan laring pada LPR akan ditemukan gambaran eritema,
edema serta gambaran cobblestone dengan adanya pseudosulkus vokalis dengan gambaran ulkus,
nodul, polip, leukoplakia dan kerusakan ventrikular band.3
Gejala LPR terdapat pada 60% pasien GERD, sehingga LPR dengan GERD sering dianggap
serupa. Namun pada halnya keduanya berbeda seperti pada tabel berikut:

Gambar 2.8 Diagnosis banding GERD dan LPR.13

Universitas Tarumanagara 12
2.2.6 Diagnosis
Diagnosa LPR ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang. Pada sebuah survei internasional yang dilakukan oleh American
Bronchoesophagological Association ditemukan dari anamesis pasien yang dicurigai mengalami
LPR mengeluhkan suara serak (95%), throat clearing (98%), batuk-batuk kronik (97%) dan
globus pharingeus (95%).17
Terdapat dua bentuk penilaian yang digunakan dalam menentukan diagnosis LPR, yaitu
reflux system index (RSI) dan reflux finding score (RFS). Penilaian skor RSI dikembangkan oleh
Belafsky et al pada tahun 2001, sistem RSI ini didasarkan oleh 9 pertanyaan yang diberikan pada
pasien, setiap pertanyaan memiliki skala dari 0 sampai 5. Nilai 0 menampilkan tidak ada masalah
sedangkan nilai 5 diartikan sebagai masalah berat. Jumlah total dari RSI adalah 45 dan dikatakan
sugestif LPR apabila skor RSI >13.13,17

Gambar 2.9 Reflux Score Index13

Pada RFS, skor dinilai berdasarkan delapan temuan fisik yang berhubungan dengan
gejala LPR. Penilaian diukur berdasarkan grading dengan jumlah total skor 26. Apabila skor
yang ditemukan lebih dari 7 maka sugestif untuk terjadinya LPR.13

Universitas Tarumanagara 13
Gambar 2.10 Reflux Finding Score (RFS)13
Diagnosis banding LPR seperti: laringitis akut atau kronik, stenosis laring dan keg=ganas
pada laring. Pada laringitis akut, terjadi infeksi pada laring yang kurang dari 3 minggu dan
biasanya dapat sembuh secara sendirinya. Penyebab dari laringitis akut adalah infeksi yang
biasanya di dahului oleh infeksi saluran nafas atas.3

Gambar 2.11 Perbedaan gejala klinik LPR dan penyebab suara serak lainnya18

Universitas Tarumanagara 14
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang

Laringofaringoskopi
Laringofaringoskopi digunakan untuk mengevaluasi gangguan saluran aerodigestive
atas.Sementara laringoskopi indirek dengan cermin mungkin memadai, endoskopi laring dan
14
faring mudah diimplementasikan dan prosedur yang ditoleransi dengan baik. Temuan
laringoskopi yang digunakan untuk diagnosis refluks adalah tanda-tanda tidak spesifik iritasi
laring dan peradangan. Pemeriksaan laring mengidentifikasi edema dan eritema. Hal ini
merupakan temuan utama yang digunakan oleh berbagai peneliti untuk diagnosis
LPR.Granuloma, tukak kontak, dan pseudosulcus (infraglotis edema) juga merupakan temuan
umum, dan yang terakhir telah terjadi diamati pada hingga 90% kasus LPR. 1

Gambar 2.12 Vocal fold edema.13


Esofagoskopi
Peran endoskopi esofagus berbeda dari endoskopi laringofaring pada diagnosis dan manajemen
LPR. Sedangkan visualisasi laryngophacynx dianggap penting dalam membuat diagnosis,
Visualisasi esofagus lebih berguna untuk menyingkirkan patologi lain yang meniru gejala LPR
atau patologi yang terkait dengan LPR. Beberapa merekomendasikan evaluasi esofagus pada
mereka dengan LPR yang diketahui untuk menyingkirkan fenomena penting seperti Barrett
metaplasia. 14

Universitas Tarumanagara 15
pH monitoring
Diagnosis LPR didasarkan pada gejala yang dilaporkan oleh pasien (RSI-Reflux Symptom
Index) dan pemeriksaan laringologis (RFI - Reflux Finding Index). Ini dapat dikonfirmasi
melalui pH-metry (alat pengukur pH dua saluran yang digunakan untuk mengukur pH di
esofagus dan tenggorokan ditandai oleh
sensitivitas tinggi dalam LPR). 13 Peristiwa refluks paling baik ditunjukkan oleh pemantauan pH
impedansi multisaluran intraluminal. Metode ini mampu mendeteksi cairan asam dan nonacid
atau gas.LPR terjadi ketika pH proksimal menurun menjadi <4 selama atau segera setelah
paparan asam pada bagian distal (dekat sfingter esofagus bawah) dan LPR dikonfirmasi saat
waktu pemaparan total asam (persentase waktu selama pemantauan 24 jam ketika sensor
mendeteksi pH <4) adalah> 1% . Impedansi pemantauan pH berguna untuk diagnosis LPR.
Sataloff et al menggambarkan variasi biologis di antara individu, dimana sensitivitas diagnostik
pemantauan pH hypopharyngeal adalah hanya 40% .16 Selanjutnya, pemantauan pH telah
terbukti menjadi indikator lemah dari tingkat keparahan tanda dan gejala pada pasien yang
terkena dampak. Sebuah meta-analisis dari 16 penelitian menunjukkan bahwa jumlah faring
dengan refluks positif yang dikirim ke pemantauan pH 24 jam berbeda secara signifikan antara
pasien dengan LPR dan kontrol.1

2.2.8 Tatalaksana
Modifikasi gaya hidup adalah dasar pengobatan LPR juga sebagai GERD. Ini mencakup : Di
antara farmakoterapi yang tersedia, beberapa kelompok obat-obatan mungkin efektif dalam
pengobatan LPR:

1. Proton Pump Inhibitor (PPI), terutama Dexilant, yang mengandung dexlansoprasole


dengan pelepasan ganda,
2. Penghambat relaksasi sfingter esofagus bagian bawah: Baclofen
3. Obat prokinetik: Metoklopramid,
4. Asam alginat: Gealcid, Gaviscon
5. Pembedahan. Laporan literatur yang mengukur konsentrasi pepsin dalam saliva dapat
digunakan untuk memantau efektivitas perawatan bedah dari LPR.

Universitas Tarumanagara 16
Gambar 2.13 Tatalaksana LPR dengan modifikasi gaya hidup.13

Perawatan LPR terdiri dari perubahan pola makan dan perubahan kebiasaan seperti menurunkan
berat badan, berhenti merokok, menghindari alkohol, dan tidak makan segera sebelum tidur.
Pembatasan diet termasuk kafein, coklat, minuman bersoda, lemak, saus tomat, dan anggur
merah. Modifikasi ini terbukti menjadi penentu independen yang signifikan dari respons
terhadap pengobatan medikamentosa.1

Proton Pump Inhibitor (PPI)


Saat ini, obat-obatan yang paling umum digunakan untuk pengobatan LPR adalah PPI, yang
menekan produksi asam oleh langsung bertindak pada sel parietal. PPI tidak hanya mencegah
paparan saluran aerodigestif atas, tetapi juga mengurangi kerusakan yang dihasilkan dari
aktivitas enzimatik pepsin, yang membutuhkan media asam untuk aktivasi. Bukti klinis
menunjukkan bahwa intervensi farmakologis harus terdiri dari minimal 3 bulan perawatan
dengan PPI diberikan dua kali sehari (omeprazole 40 mg atau PPI setara), 30 hingga 60 menit
sebelum makan. Periode ini penting karena memberikan konsentrasi tertinggi obat selama
periode stimulasi pompa proton oleh konsumsi makanan. Berbeda dengan GERD, respon terapi
pasien dengan LPR untuk PPI adalah variabel, karena LPR membutuhkan terapi yang lebih
agresif dan berkepanjangan daripada GERD. 26 Meskipun demikian kebanyakan pasien
menunjukkan perbaikan gejala dalam 3 bulan, resolusi gejala dan laring

Universitas Tarumanagara 17
Temuan umumnya membutuhkan waktu 6 bulan. 1,20

Gambar 2.14 Algoritma penatalaksanaan LPR14

Gambar 2.15 Berbagai tatalaksana medikamentosa pada LPR19

Universitas Tarumanagara 18
Pembedahan
Laparoscopic Antireflux Surgery (LARS) adalah pengobatan dengan pembedahan dimana
terbukti memiliki hasil yang baik terhadap GERD. Secara khusus, terapi bedah membantu dalam
memungkinkan sebagian besar pasien menderita dari GERD untuk menghentikan penekanan
asam terapi, untuk mencapai resolusi terkait esophagitis, dan untuk menangkap atau bahkan
mengembalikan metaplasia / dysplasia diinduksi oleh sering paparan mukosa esofagus dari asam
lambung. Selain itu, pada pasien dengan bukti objektif GERD, LARS efektif dalam mengurangi
gejala LPR19

2.2.9 Komplikasi
Komplikasi pada LPR sering mengakibatkan masalah pada saluran pernafasan seperti
penyempitan di bawah pita suara atau subglotis stenosis, ulkus dan suara serak pada anak-anak.
LPR juga dapat mengakibatkan disfungsi dari tuba eustachius sehingga akan mengakibatkan
otitis media akut dan otitis media efusi dan berujung pada penurunan pendengaran. LPR juga
dapat mengakibatkan perubahan mukosa esofagus dan mengakibatkan karsinoma esofagus pada
orang dewasa. 15

Universitas Tarumanagara 19
BAB III
KESIMPULAN
1. Laryngofaryngeal Refluks (LPR) merupakan retrograde aliran isi perut ke laring dan
faring di mana bahan ini bersentuhan dengan aerodigestive atas tract.
2. Etiologi LPR yaitu retrograde asam lambung, pepsin, asam empedu dan barier fisiologis
pada faring.
3. Patofisiologi pada LPR dimana pada pasien LPR memiliki mekanisme pertahanan
esofagus utuh untuk mencegah cedera pada esofagus oleh refluks. Misalnya, pada
esofagus, motilitas peristaltik membantu mencegah refluks, bikarbonat pada saliva
menetralisir refluks dan sekresi mukus mencegah refluks dari penetrasi pada epitelium.
Selain itu, pada sfingter esofagus atas berfungsi untuk mencegah refluks memasuki
laringofaring.
4. Gejala klinis dari LPR bervariasi, namun gejala yang paling sering di jumpai adalah suara
serak. Selain suara serak, gejala lainnya merupakan disfonia, throat clearing, globus
pharingeus, disfagia, post nasal drip, voice fatigue, batuk kronik, sensasi penuh pada
tenggorokan yang tidak hilang dengan menelan.
5. Dalam menentukan diagnosis LPR, dibutuhkan 2 penilaian yaitu reflux system index
(RSI) dan reflux finding score (RFS).
6. Diagnosis banding tersering dari LPR adalah GERD dimana dapat dibedakan dari gejala
yang dialami oleh pasien seperti waktu timbulnya gejala, heartburn, suara serak, batuk
dan gangguan motilitas esofageal.
7. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien LPR adalah esofagoskopi,
laringoskopi dan pH monitoring
8. Tatalaksana yang dapat dilakukan pada pasien dengan LPR dimulai dengan modifikasi
gaya hidup kemudian dilanjutkan dengan PPI, obat prokinetik, asam alginate atau dengan
terapi pembedahan
9. Intervensi farmakologis harus terdiri dari minimal 3 bulan perawatan dengan PPI
diberikan dua kali sehari (omeprazole 40 mg atau PPI setara), 30 hingga 60 menit
sebelum makan.
10. Komplikasi pada pasien dengan LPR yaitu seperti Otitis Media Akut dan Otitis Media
Efusi pada anak-anak dan dapat mengakibatkan karsinoma esofagus pada orang dewasa.

Universitas Tarumanagara 20

Anda mungkin juga menyukai