Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

ATELEKTASIS E.C sequele TB

Disusun dan diajukan untuk memenuhi syarat dokter Internship


RSUD Sumberrejo Bojonegoro

RSUD SUMBERREJO

Pembimbing :
dr. Rachmad Subagyo, Sp.P
Pendamping :
dr. Endah Widy H., M.Kes

Disusun oleh :
dr. Pangeran Putra Nurizal

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUMBERREJO BOJONEGORO
PERIODE JUNI 2017 – JUNI 2018
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1


BAB II LAPORAN KASUS ........................................................................................ 2
2.1.Anamnesis ................................................................................................ 2
2.2 Pemeriksaan Fisik..................................................................................... 3
2.3 Pemeriksaan Laboratorium....................................................................... 5
2.4 Pemeriksaan Radiologi ............................................................................. 6
2.5 Diagnosis Kerja ........................................................................................ 7
2.6 Diagnosis Banding ................................................................................... 7
2.7 Tatalaksana ............................................................................................... 7
BAB III PEMBAHASAN .......................................................................................... 11
3.1 Analisis Kasus ........................................................................................ 11
3.2 Patogenesis Kasus .................................................................................. 12
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 13
4.1 Anatomi dan Fisiologi Paru .................................................................... 13
4.2 Definisi Atelektasis ................................................................................ 14
4.3 Klasifikasi Atelektasis ............................................................................ 15
4.4 Etiologi Atelektasis ................................................................................ 16
4.5 Patogenesis Atelektasis .......................................................................... 19
4.6 Gejala Klinis ........................................................................................... 19
4.7 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 20
4.8 Tatalaksana ............................................................................................. 24
4.9 Evaluasi Pengobatan............................................................................... 28
BAB V KESIMPULAN ............................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 31
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB


(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting di dunia saat ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai « Global Emergency ». Laporan WHO tahun 2004
menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, 3,9 juta adalah
kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara
yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia.
Secara definisi TB paru putus berobat adalah penderita TB paru yang sedang menjalani
pengobatan namun telah menghentikan pengobatan OAT selama fase intensif atau fase lanjutan
sesuai jadwal yang ditentukan dan belum dinyatakan sembuh oleh dokter yang mengobatinya.
Atelektasis pertama kali di jelaskan oleh Laennec pada tahun 1819.Atelektasis berasal dari kata
ateles yang berarti “tidak sempurna” dan ektasis yang berarti “ekspansi”. Secara keseluruhan
atelektasis mempunyai arti ekspansi yang tidak sempurna. Atelektasis di definisikan sebagai
kolapsnya alveoli dan berkurangnya udara di dalam ruang intrapulmonal atau kolapsnya semua
atau sebagian paru. Atelektasis sering timbul pada penyakit paru kronik seperti tuberkulosis
paru kronis atau infeksi jamur berat, yang merusak parenkim paru sehingga merubah struktur
dan fungsi paru tersebut.

1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 19 Agustus 2017 jam 21.45
WIB di RSUD Karawang.
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Usia : 49 Thn
Jenis Kelamin : Wanita
Status Pernikahan : Menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Sumberrejo 04/05
Agama : Islam
Suku Bangsa : Indonesia

II. Keluhan Utama


Pasien mengeluh sesak nafas sejak 4 jam SMRS
III. Keluhan Tambahan
Nyeri dada kanan, lemas, serta batuk darah sejak 10 hari
IV. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh sesak nafas sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
Sesak dirasa semakin memberat. Sesak timbul mendadak tanpa dipengaruhi aktifitas,
awal mula merasakan sesak pasien saat itu sedang berbaring beristirahat. Pasien
merasakan nyeri dada sebelah kanan yang mendadak. Pasien juga mengeluh sudah 10
hari dirinya mengalami batuk berdahak.
Pasien menyangkal adanya demam dan keringat dimalam hari, pasien juga
tidak memperhatikan apakah dirinya mengalami penurunan berat badan atau tidak,
namun menurutnya belakangan ini pasien kurang napsu makan. Pasien mengatakan
tidak ada keluhan pada BAB dan BAK.
V. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelum masuk rumah sakit pasien mengatakan menderita penyakit TB paru 1
tahun yang lalu dan mendapat pengobatan TB paru selama 6 bulan kemudian
dinyatakan sembuh. Riwayat penyakit asma, DM, HT, gangguan ginjal dan jantung
disangkal.

2
VI. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal ada keluarga yang mengalami hal serupa, serta menyangkal
adanya riwayat keluarga asma, hipertensi, dan diabetes melitus.

VII. Riwayat Pengobatan


Pernah mendapat pengobatan TBC 1 tahun yang lalu selama 6 bulan dan
dinyatakan sembuh. Saat gejala batuk berdarah timbul, pasien memilih menggunakan
obat – obatan warung. Pasien belum pernah menjalani operasi sama sekali
VIII. Riwayat Kebiasaan
Pasien mengaku jarang olahraga dan tidak pernah merokok

2.2 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum
 Kesadaran : Compos mentis, GCS = 15 (E4 V5 M6)
 Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
 Kesan Gizi : Tampak gizi cukup
Tanda Vital
 Tekanan darah : 140/90 mmHg
 Laju Nadi : 107 x/ menit
 Laju Pernafasan : 30x/ menit
 Suhu : 36,6°C
 SpO2 : 94%
Status Gizi
 Berat Badan : 48 kg
 Tinggi Badan : 157 cm
 BMI : 19.47 berat badan normal

Status Generalis
a. Kepala
 Bentuk kepala : Normosefali
 Rambut : Hitam merata, tidak mudah dicabut
 Mata

3
Eksophtalmus (-/-), endophtalmus (-/-), edema palpebra (-/-), konjungtiva palpebra
pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, reflek cahaya (+/+), pergerakan mata ke
segala arah baik, mata cekung (-/-).
 Hidung
Bagian luar hidung tak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik,
selaput lendir dalam batas normal, epistaksis (-).
 Telinga
Normotia, meatus austikus baik, corpus alienum (-/-), sekret (-/-), pendengaran baik.
 Mulut
Sariawan (-), pembesaran tonsil (-), gusi berdarah(-), lidah pucat(-), lidah kotor(-),
tepi lidah hiperemis (-), lidah tremor (-), atrofi papil (-), stomatitis (-), bau
pernapasan khas (-).

b. Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar thyroid (-), JVP
(5+1)cmH2O, kaku kuduk (-).

c. Toraks
 Paru
 Inspeksi : Bentuk dada asimetris, ketinggalan gerak (+) dada kanan
tertinggal, retraksi (-), jejas (-)
 Palpasi : Vocal fremitus kiri > kanan
Gerak dada kanan lebih tertinggal
 Perkusi : Sonor pada lapang paru kiri dan ditemukan bunyi redup
pada lapang paru kanan.
 Auskultasi : Suara vesikuler kanan lebih lemah dibandingkan dengan
suara vesikuler kiri. Ditemukan ada suara tambahan
whezing -/- dan ronki +/-.

 Jantung
 Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : ictus cordis teraba di garis midclavicularis sinistra pada ICS 5.
 Auskultasi : S1S2 Regular, Murmur (-) , gallop (-)

4
d. Abdomen
 Inspeksi : datar
 Palpasi : lemas, nyeri tekan daerah epigastrium (-), hepar tidak teraba. Lien
tidak teraba.
 Perkusi : thympani, ascites (-)
 Auskultasi : bising usus (+) normal, nyeri tekan abdomen (–)
e. Ekstremitas
 Ekstremitas atas
 gerakan bebas, edema (-/-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, telapak
tangan pucat (-), jari tabuh (-), turgor kembali lambat (-).
 Ekstremitas bawah
 gerakan bebas, jaringan parut (-), pigmentasi normal,telapak kaki pucat (-), jari
tabuh (-), turgor kembali lambat(-), edema pretibia dan pergelangan kaki (-/-).

2.3 Pemeriksaan Laboratorium


Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 19 Agustus 2017
Hematologi Hasil Nilai
Rujukan
Hemoglobin 10,4 g/dL* 12,0 - 18,0
Leukosit 8.4 x 103µL 3,80 – 10,60
Trombosit 287 x 103µL 150 – 440
Hematokrit 31,6 % 35,0 – 47,0
MCV 80,6 fL 80 – 100
MCH 26,5 pg 26 – 34
MCHC 32,9 g/dL* 33 - 36
RDW 14,1 %

Fungsi Ginjal dan Hati

Ureum 27,23 mg/dL* 15,0 – 50,0


Creatinin 0.60 mg/dL 0,50 – 0,90
SGOT 11.87 U/L 0 – 42
SGPT 17.51 U/L 0 - 47

5
2.4 Pemeriksaan Radiologi
Foto Thorax PA :

 Tampak lobus superior pulmo dextra colaps


 Tampak Trakea tertarik ke sisi kanan
 Tampak corakan bronkhovaskular meningkat pada kedua lapang paru
 Sinus kostofrenikus kanan-kiri tajam
 Jantung : kesan tertarik ke sebelah kanan

6
Kesimpulan foto thorax :
Kesan Ateletaksis lobus superior dekstra

2.5 Diagnosa Kerja


Atelektasis e.c Sequele TB + anemia

2.6 Diagnosa Banding


Ateletaksis e.c TB relaps
Ca paru

2.7 Tatalaksana
 Pada pasien diberikan :
 Tgl. 19 Agustus 2017
 O2 masker 4 – 6 LPM
 Inf RL 14 TPM
 Inj Metamizole 2x 1gram
 Inj Cefotaxime 2x1 gram
 Inj Asam Tranexamat 3x500mg
 Inj Vitamin K 3x1
Po:
 Metilprednisolon 1x8mg
 Ambroxol 3x1 tab
 Codein 3x1

 Tgl. 20 - 21 Agustus 2017


 O2 Nasal 3-4 LPM
 Inf RL 14 Tpm
 Inj Metamizole 2x 1 gram
 Inj Cefotaxime 2x1 gram
 Inj Asam tranexamat 3x500mg
 Inj Vit K 3x1
 Codein 3x1

7
 Tgl. 22 - 23 Agustus 2017
 Inf PZ : aminofluid 1:1
 Inj. Ranitidin 2x1
 Inj. Asam Tranexamat 3x500
 Inj. Vit K 3x1
PO :
 Codein 3x 20mg
 Amoxicillin Clavulanat 3x 500mg

Follow Up Pasien :
Tgl. 19 Agustus 2017 (Hari ke 1)
S Os sesak nafas, batuk berdarah, nyeri dada kanan dan lemas
O Compos mentis
TD 140/90 mmHg
HR 107x/mnt
RR 30x/mnt SpO2 : 94% dikoreksi dengan O2 mask 4-6 LPM = 99%
Suhu 36.6°C
Kepala : normosefali CA -/-, SI -/-
Leher : dbn
Toraks : SNV +/+ melemah pada atas kanan paru, Rh +/-, Wh -/-
SI-SII reg. m(-) g(-)
Abd : supel, BU (+), nyeri tekan (-)
Eks : AH (+), Oedema (-)
A Atelektasis e.c Sequele TB + anemia
DD TB paru relaps
P  O2 masker 4 – 6 LPM
 Inf RL 14 TPM
 Inj Metamizole 2x 1gram
 Inj Cefotaxime 2x1 gram
 Inj Asam Tranexamat 3x500mg
 Inj Vitamin K 3x1
Po:
 Metilprednisolon 1x8mg
 Ambroxol 3x1 tab
 Codein 3x1

Tgl. 20 Agustus 2017 (Hari ke 2)


S Sesak napas berkurang, batuk berkurang
O Compos mentis Kepala : normosefali CA -/-, SI -/-
TD 120/80 mmHg Leher : dbn
HR 92x/mnt Toraks : SNV +/+, Rh +/-, Wh -/-
RR 26x/mnt SI-SII reg. m(-) g(-)
Suhu 36,6°C Abd : supel, BU (+), nyeri tekan (-)
Ekst : AH (+), Oedema (-)

8
A Atelektasis e.c Sequele TB + anemia
DD TB paru relaps
P  O2 Nasal 3-4 LPM
 Inf RL 14 Tpm
 Inj Metamizole 2x 1 gram
 Inj Cefotaxime 2x1 gram
 Inj Asam tranexamat 3x500mg
 Inj Vit K 3x1
 Codein 3x1

Tgl. 21 Agustus 2017 (Hari ke 3)


S Sesak -, batuk sedikit
O Compos mentis Kepala : normosefali CA -/-, SI -/-
TD 120/80 mmHg Leher : dbn
HR 80x/mnt Toraks : SNV +/+, Rh -/-, Wh -/-
RR 22x/mnt SI-SII reg. m(-) g(-)
Suhu 36,6°C Abd : supel, BU (+), nyeri tekan (-)
Ekst : AH (+), Oedema (-)
A Hemoptoe e.c Sequele TB + anemia
DD TB relaps
P  O2 Nasal 3-4 LPM
 Inf RL 14 Tpm
 Inj Metamizole 2x 1 gram
 Inj Cefotaxime 2x1 gram
 Inj Asam tranexamat 3x500mg
 Inj Vit K 3x1
 Codein 3x1

Tgl. 22 Agustus 2017 (Hari ke 4)


S Sesak (-) batuk berdahak
O Compos mentis Kepala : normosefali CA -/-, SI -/-
TD 120/80 mmHg Leher : dbn
HR 88x/mnt Toraks : SNV +/+, Rh -/-, Wh -/-
RR 20x/mnt SI-SII reg. m(-) g(-)
Suhu 36,6°C Abd : supel, BU (+), nyeri tekan (-)
Ekst : AH (+), Oedema (-)
A Hemoptoe e.c Sequele TB +anemia
DD TB relaps
P  Inf PZ : aminofluid 1:1
 Inj. Ranitidin 2x1
 Inj. Asam Tranexamat 3x500
 Inj. Vit K 3x1
o PO :
 Codein 3x 20mg
 Amoxicillin Clavulanat 3x 500mg
 Cek BTA

9
Tgl. 23 Agustus 2017 (Hari ke 5)
S Sesak -, batuk berdahak
O Compos mentis Kepala : normosefali CA -/-, SI -/-
TD 120/80 mmHg Leher : dbn
HR 80x/mnt Toraks : SNV +/+, Rh -/-, Wh -/-
RR 20x/mnt SI-SII reg. m(-) g(-)
Suhu 36,6°C Abd : supel, BU (+), nyeri tekan (-)
Ekst : AH (+), Oedema (-)
A Hemoptoe E.C sequel TB

P  BLPL
 Codein 2x 20mg
 Amoxicillin Clavulanat 3x 500mg
 Ranitidin 2 x 150

10
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Analisis Kasus


Keluhan utama pada pasien adalah sesak nafas sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit
yang semakin memberat. Sesak nafas atau dispnoe dapat berasal dari kelainan pada sistem
respirasi, neuromuskular, kardiovaskular, hematologi, ginjal/metabolik, endokrin, intoksikasi,
dan psikogenik.
Diagnosis kerja atelektasis e.c sequel tuberkulosis paru, ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesis didapatkan
bahwa sesak nafas pasien timbul mendadak saat beristirahat dan setelah mengalami batuk
berdarah selama 10 hari sebelumnya. Selain itu dirasakan nyeri dada pada bagian kanan pasien.
Pasien mengatakan dinyatakan sembuh dari TB paru 1 tahun yang lalu setelah berobat 6 bulan,
kemudian tidak pernah control lagi. Kemudian pasien menyangkal penurunan berat badan,
demam, dan keringat di malam hari. Dari pemeriksaan fisik ditemukan, bentuk dada tidak
simetris, vokal fremikus dada kiri lebih kuat dibandingkan dada kanan, gerak dada kanan lebih
tertinggal. Pada perkusi dada kanan atas redup dibandingkan dada kiri, serta pada auskultasi
suara vesikuler dada kanan lebih lemah dibandingkan dada kiri. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan hasil hemoglobin menurun akibat batuk darah yang menyebabkan
anemia. Pada pemeriksaan foto toraks tampak lobus superior dextra kolaps, disertai tarikan
pada trakea dan jantung kea rah kanan, sehingga gambaran dapat disimpulkan ateletaksis.

11
3.2 Patogenesis Skenario

Dimulai dengan sarang


Pada TB post primer
dini pada segmen
apikal lobus superior

12
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Anatomi dan Fisiologi Paru


Saluran pernapasan udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring, laring,
trakea, bronkus, dan bronkhiolus. Saluran dari bronkus sampai bronkiolus dilapisi oleh
membran mukosa yang bersilia. Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak suara,
laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot dan
mengandung pita suara. Trakea disokong oleh cincin tulang rawan yang berbentuk seperti
sepatu kuda yang panjangnya kurang lebih 5 inci. Struktur trakea dan bronkus dianalogkan
sebagai suatu pohon dan oleh karena itu dinamakan pohon trakeobronkial. Bronkus terdiri dari
bronkus kiri dan kanan yang tidak simetris, bronkus kanan lebih pendek dan lebar dan
merupakan kelanjutan dari trakea, cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi
menjadi bronkus lobaris dan bronkus segmentalis, percabangan ini berjalan menuju terus
menjadi bronkus yang ukurannya sangat kecil sampai akhirnya menjadi bronkus terminalis
yaitu saluran udara yang mengandung alveoli, setelah bronkus terminalis terdapat asinus yaitu
tempat pertukaran gas.
Paru-paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, yang terletak dalam
rongga dada atau thorak. Kedua paru-paru saling berpisah oleh mediastinum sentral yang berisi
jantung dan beberapa pembuluh darah besar. Setiap paru-paru mempunyai apek dan basis.
Pembuluh darah paru-paru dan bronchial, saraf dan pembuluh darah limfe memasuki tiap paru-
paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru-paru. Paru-paru kanan lebih besar daripada
paru-paru kiri. Paru-paru kanan dibagi tiga lobus oleh fisura interlobaris, paru-paru kiri dibagi
dua lobus. Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen
bronkusnya. Suatu lapisan yang kontinu mengandung kolagen dan jaringan elastis dikenal
sebagai pleura yang melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi setiap paru-
paru (pleura vesiralis).
Peredaran darah paru-paru berasal dari arteri bronkilais dan arteri pulmonalis. Sirkulasi
bronchial menyediakan darah teroksigenasi dari sirkulasi sistemik dan berfungsi memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan paru-paru. Arteri bronchial berasal dari aortatorakalis dan
berjalan sepanjang dinding posterior bronkus. Vena bronkialis yang besarmengalirkan
darahnya ke dalam sistem azigos, yang kemudian bermuara pada vena cava superior dan
mengembalikan darah ke atrium kanan. Vena bronkialis yang lebih kecil akan mengalirkan
darah vena pulmonalis. Karena sirkulasi bronchial tidak berperan pada pertukaran gas, darah

13
yang tidak teroksigenasi mengalami pirau sekitar 2 sampai 3% curah jantung. Arteri pulmonalis
yang berasal dari ventrikel kanan mengalirkan darah vena campuaran keparu-paru di mana
darah tersebut mengambil bagian dalam pertukaran gas. Jalinan kapiler paru-paru yang halus
mengitari dan menutupi alveolus, merupakan kontak erat yang diperlukan untuk proses
pertukaran gas antara alveolus dan darah. Darah yang teroksigenasi kemudian dikembalikan
melalui vena pulmonaliske ventrikel kiri, yang selanjutnya membagikan kepada sel-sel melalui
sirkulasi sistemik.

4.2Definisi
Kolapsnya paru atau alveolus disebut atelektasis, alveolus yang kolaps tidak
mengandung udara sehingga tidak dapat ikut serta di dalam pertukaran gas. Kondisi ini
mengakibatkan penurunan luas permukaan yang tersedia untuk proses difusi dan kecepatan
pernafasan berkurang.
Atelektasis adalah suatu keadaan paru atau sebagian paru yang mengalami hambatan
berkembang secara sempurna sehingga aerasi paru berkembang atau sama sekali tidak terisi
udara. Sebagai dasar gambaran radiologis pada atelektasis adalah pengurangan volume bagian
paru baik lobaris, segmental atau seluruh paru, dengan akibat kurangnya aerasi sehingga
memberi bayangan lebih suram (densitas tinggi) dengan penarikan mediastinum kearah
atelektasis, sedangkan diafragma tertarik ke atas dan sela iga menyempit.1

14
Dengan adanya atelektasis, maka bagian paru sekitarnya mengalami suatu enfisema
kompensasi yang kadang-kadang begitu hebatnya sehingga terjadi herniasi hemithorak yang
sehat kearah hemethorak yang atelektasis.
4.3 Klasifikasi
A. Berdasarkan faktor yang menimbulkan Atelektasis
1. Atelektasis Neonatorum
Banyak terjadi pada bayi prematur, di mana pusat pernapasan dalam otak tidak matur dan
gerakan pernapasan masih terbatas. Faktor pencetus termasuk komplikasi persalinan yang
menyebabkan hipoksia intrauter.
Pada autopsy, paru tampak kolaps, berwarna merah kebiruan, non crepitant, lembek dan alastis.
Yang khas paru ini tidak mampu mengembang di dalam air. Secara histologis, alveoli
mempunyai paru bayi, dengan ruang alveoli kecil yang seragam, dilapisi dindingin septa yang
tebal yang tampak kisut. Epitel kubis yang prominem melaposi rongga alveoli dan sering
terdapat edapan protein granular bercampur dengan debris amnion dan rongga udara.
Atelektasi neonatorum pada sistem, gawat napas, telah di bahas disebelumnya.
2. Atelektasis Acquired atau Didapat
Atelektasis pada dewasa, termasuk gangguan intratoraks yang menyebabkan kolaps dari ruang
udara, yang sebelumnya telah berkembang. Jadi terbagi atas atelektasis absorpsi, kompresi,
kontraksi dan bercak. Istilah ini banya menyangkut mechanisme dasar yang menyebabkan paru
kolaps atau pada distribusi dari perubahan tersebut.
 Altelektasis absorpsi terjadi jika saluran pernapasan sama sekali tersumbat sehingga
udara tidak dapat memasuki bagian distal parenkim. Udara yang telah tersedia secara
lambat laun memasuki aliran darah, disertai dengan kolapsnya alveoli. Tergantung dari
tingkat obstruksi saluran udara, seluruh paru, merupakan lobus yang lengkap, atau
bercak segmen dapat terlibat. Penyebab tersering dari kolaps absorbsi adalah abstruksi
bronchus oleh suatu sumbatan mucus. Hal ini sering terjadi pasca operasi. Asma
bronchial, bronkiektasis dan bronchitis akut serta kronis, dapat pula menyebabkan
obstruksi akut serta kronis. Dapat pula menyebabkan obstruksi akut serta kronis, dapat
pula menyebabkan obstruksi karena sumbatan bahan mukopurulen. Kadang-kadang
obstruksi disebabkan oleh aspirasi benda asing atau bekuan darah, terutama pada anak
atau selama operasi rongga mulut atau anestesi. Saluran udara dapat juga tersumbat
oleh tumor, terutama karsinoma bronkogenik dengan pembesaran kelenjar getah bening
(seperti pada tuberculosis, contohnya) dan oleh aneurisma pembuluh darah.2

15
 Atelektasis kompresi paling sering dihubungkan dengan penimbunan cairan darah atau
udara dalam kavum pleura, yang secara mekanis menyebabkan kolaps paru di
sebelahnya. Ini adalah kejadian yang sering pada efusi pleura dari penyebab apa pun,
namun mungkin yang paling sering dihubungkan dengan hidrotoraks pada payah
jantung kongesti. Pneumotoraks dapat juga menyebabkan atelektasis kompresi pada
penderita dengan tirah baring dan penderita denan asites, atelaktasis basal
menyebabkan posisi diafragma yang lebih tinggi.
 Atelektasis kontraksi terjadi bila perubahan fibrosis pada paru dan pleura yang
menghambat ekspensi dan meningkatkan daya pegas pada ekspirasi.
 Atelektasis bercak bearti adanya daeah kecil-kecil dari kolaps paru, sepeti terjadi pada
obstruksi bronkioli yang multiple karena sekresi atau eksudat pada kedua sindrom
gawat napas orang dewasa dan bayi. Pada sebagian kecil kasus, atelektasis terjadi
karena patogenesis tertentu yang menyertai jelas pada dinding dada.
Atelektasis didapat (acquired) dapat akut atau kronis. Biasanya timbul karena sumbatan mucus
yang relatif akut, yang menjadi manifest karena mendadak timbul sesak napas. Memang
peristiwa sesak napas akut dalam 48 jam setelah satu prosedur pembedahan, hampir selalu
didiagnosis sebagai atelektasis. Yang penting adalah atelektasis dapat didiagnosis dini dan
terjadi reekspensi yang tepat dari paru yang terkena, karena perenkim yang kolaps amit peka
terhadap infeksi yang menunggagi. Atelektasis persisten segmen paru mungkin merupakan
bagian penting untuk terjadinya karsinoma bronkogenik yang diam-diam.
B. Berdasarkan luasnya Atelektasis
1. Massive atelectase, mengenai satu paru
2. Satu lobus, percabangan main bronchus
Gambaran khas yaitu inverted S sign → tumor ganas bronkus dengan atelectase lobus superior
paru.
1. Satu segmen → segmental atelectase
2. Platelike atelectase, berbentuk garis
Misal : Fleischner line → oleh tumor paru
Bisa juga terjadi pada basal paru → post operatif
C. Berdasarkan lokasi Atelektasis
1. Atelektasis lobaris bawah: bila terjadi dilobaris bawah paru kiri, maka akan
tersembunyi dibelakang bayangan jantung dan pada foto thorak PA hamya
memperlihatkan diafragma letak tinggi.

16
2. Atelektasis lobaris tengah kanan (right middle lobe). Sering disebabkan peradangan
atau penekanan bronkus oleh kelenjar getah bening yang membesar.
3. Atelektasis lobaris atas (upper lobe): memberikan bayangan densitas tinggi dengan
tanda penarikan fissure interlobaris ke atas dan trakea ke arah atelektasis.
4. Atelektasis segmental: kadang-kadang sulit dikenal pada foto thoraj PA, maka perlu
pemotretan dengan posisi lain seperti lateral, miring (obligue), yang memperlihatkan
bagian uang terselubung dengan penarikan fissure interlobularis.
5. Atelektasis lobularis (plate like/atelektasis local). Bila penyumbatan terjadi pada
bronkus kecil untuk sebagian segmen paru, maka akan terjadi bayangan horizontal tipis,
biasanya dilapangan paru bawah yang sering sulit dibedakan dengan proses fibrosis.
Karena hanya sebagian kecil paru terkena, maka biasanya tidak ada keluhan.
Atelektasis pada lobus atas paru kanan. Kolaps pada bagian ini meliputi bagian anterior,
superior dan medial. Pada foto thorak PA tergambarkan dengan fisura minor bagian superior
dan mendial yang mengalami pergeseran. Pada foto lateral, fisura mayor bergerak ke depan,
sedangkan fisura minor dapat juga mengalamai pergeseran ke arah superior.
Klasifikasi atelektasis berdasarkan penyebabnya menurut Elizabeth J. Corwin, 2009, ialah :
1. Atelektasis Kompresi
Atelektasis kompresi terjadi ketika sumber dari luar alveolus menimpa kan gaya yang cukup
besar pada alveolus sehingga alveolus kolaps. Hal ini terjadi jika dinding dada tertusuk atau
terbuka, karena tekanan atmosfir lebih besar daripada tekanan yang menahan paru
mengembang ( tekanan pleura ) dan dengan pajanan tekanan atmosfir paru akan kolaps.
Atelekasis kompresi juga dapat terjadi jika terdapat tekanan yang bekerja pada paru atau alveoli
akibat pertumbuhan tumor. Distensi abdomen, atau edema, dan pembengkakan ruang
interstitial yang mengelilingi alveolus.
2. Atelektasis Absorpsi.
Atelektasis absorpsi terjadi akibat tidak adanya udara didalam alveolus, apabila aliran masuk
udara ke dalam alveolus dihambat, udara yang sedang berada di dalam alveolus akhirnya
berdifusi keluar dan alveolus akan kolaps. Penyumbatan aliran udara biasanya terjadi akibat
penimbunan mukus dan obstruksi aliran udara bronkus yang mengaliri suatu kelompok
alveolus tertentu, setiap keadaan menyebabkan akumulasi mukus, seperti fibrosis kistik,
pneumonia, atau bronkitis kronik, meningkatkan resiko atelektasis absorbsi. Atelektasis juga
absorpsi juga dapat disebabkan oleh segala sesuatu yang menurunkan pembentukan atau
konsentrasi surfaktan tanpa surfaktan, tegangan permukaan alveolus sangat tinggi.
Meningkatkan kemungkinan kolapsnya alveolus.

17
4.4 Etiologi
Etiologi terbanyak dari atelektasis adalah terbagi dua yaitu intrinsik dan ekstrinsik.
A. Etiologi intrinsik atelektasis adalah sebagai berikut :
 Obstruktif :
Sebab utama dari atelektasis adalah penyumbatan sebuah bronkus. Penyumbatan juga bisa
terjadi pada saluran pernafasan yang lebih kecil. Penyumbatan bisa disebabkan oleh adanya
gumpalan lendir, tumor atau benda asing yang terhisap ke dalam bronkus. Atau bronkus bisa
tersumbat oleh sesuatu yang menekan dari luar, seperti tumor atau pembesaran kelenjar getah
bening. Jika saluran pernafasan tersumbat, udara di dalam alveoli akan terserap ke dalam aliran
darah sehingga alveoli akan menciut dan memadat. Jaringan paru-paru yang mengkerut
biasanya terisi dengan sel darah, serum, lendir, dan kemudian akan mengalami infeksi.
 Bronkus yang tersumbat, penyumbatan bias berasal di dalam bronkus seperti tumor
bronkus, benda asing, cairan sekresi yang massif. Dan penyumbatan bronkus akibat
panekanan dari luar bronkus seperti tumor sekitar bronkus, kelenjar yang membesar.
 Peradangan intraluminar airway menyebabkan penumpukan sekret yang berupa mukus.
 Tekanan ekstra pulmonary, biasanya diakibatkan oleh pneumothorah, cairan pleura,
peninggian diafragma, herniasi alat perut ke dalam rongga thorak, tumor thorak seperti
tumor mediastinum.
 Paralisis atau paresis gerakan pernapasan, akan menyebabkan perkembangan paru yang
tidak sempurna, misalkan pada kasus poliomyelitis dan kelainan neurologis lainnya.
Gerak napas yang terganggu akan mempengaruhi lelancaran pengeluaran sekret
bronkus dan ini akan menyebabkan penyumbatan bronkus yang berakhir dengan
memperberat keadaan atelektasis.
 Hambatan gerak pernapasan oleh kelainan pleura atau trauma thorak yang menahan
rasa sakit, keadaan ini juga akan menghambat pengeluaran sekret bronkus yang dapat
memperberat terjadinya atelektasis
B. Etiologi ekstrinsik atelektasis:
 Pneumothoraks
 Tumor
 Pembesaran kelenjar getah bening.
 Pembiusan (anestesia)/pembedahan
 Tirah baring jangka panjang tanpa perubahan posisi
 Pernafasan dangkal
 Penyakit paru-paru

18
4.5 Patogenesis
Dimulai dengan sarang
Pada TB post primer dini pada segmen
Sarang pneumoni kecil
apikal lobus superior

Resorbsi kembali dan Meluas namun segera Meluas dan


sembuh tanpa cacat terjadi proses membentuk jaringan
penyembuhan kaseosa

Perubahan struktur Penyebukan jaringan


dari parenkim paru fibrosis

Parenkim paru
ATELEKTASIS
mengkerut

4.6 Gejala klinis


Atelektasis dapat terjadi secara perlahan dan hanya menyebabkan sesak nafas yang
ringan. Penderita sindroma lobus medialis mungkin tidak mengalami gejala sama sekali,
walaupun banyak yang menderita batuk-batuk pendek.
Gejalanya bisa berupa:
 gangguan pernafasan
 nyeri dada
 batuk
Jika disertai infeksi, bisa terjadi demam dan peningkatan denyut jantung, kadang-
kadang sampai terjadi syok (tekanan darah sangat rendah). Gejala klinis sangat bervariasi,
tergantung pada sebab dan luasnya atelektasis. Pada umumnya atelektasis yang terjadi pada
penyakit tuberculosis, limfoma, neoplasma, asma dan penyakit yang disebabkan infeksi
misalnya bronchitis, bronkopmeumonia, dan pain-lain jarang menimbulkan gejala klinis yang
jelas, kecuali jika ada obstruksi pada bronkus utama. Jika daerah atelektsis itu luas dan terjadi

19
sangat cepat akan terjadi dipsneu dengan pola pernapasan yang cepat dan dangkal, takikardi
dan sering sianosis, temperatur yang tinggi, dan jika berlanjut akan menyebabkan penurunan
kesadaran atau syok. Pada perkusi redup dan mungkin pula normal bila terjadi emfisema
kompensasi. Pada atelektasis yang luas, atelektasis yang melibatkan lebih dari satu lobus,
bising nafas akan melemah atau sama sekali tidak terdengar, biasanya didapatkan adanya
perbedaan gerak dinding thorak, gerak sela iga dan diafragma. Pada perkusi mungkin batas
jantung dan mediastinum akan bergeser, letak diafragma mungkin meninggi.

4.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang sangat penting
dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini dapat berasal dari
dahak, cairan pleura, bilasan bronkus, liquor cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi. Pada pemeriksaan bakteriologis yang
menggunakan sputum, cara pengambilannya terdiri dari 3 kali: sewaktu (pada saat kunjungan),
pagi (keesokan harinya), dan sewaktu (pada saat mengantarkan dahak pagi).3
Ada beberapa tipe interpretasi pemeriksaan mikroskopis, WHO merekomendasikan
pembacaan dengan skala IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung
Disease) :
 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut negatif
 Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan
 Ditemukan 10 – 99 BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut + (+1)
 Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut ++ (+2)
 Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut +++ (+3)

2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi foto lateral, top-
lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberikan gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologis yang dicurigai sebagai lesi TB
aktif : adanya bayangan berawan/ nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah; kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular; bayangan bercak milier; efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral

20
(jarang). Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB inaktif berupa : fibrosis, kalsifikasi,
Schwarte atau penebalan pleura.
Pemeriksaan rontgen thoraks adakalanya dapat memberikan petunjuk untuk mendiagnosis
atelektasis. Bentuk-bentuk kolaps pada atelektasis secara klinis dan radiologi, sebagai berikut:
 Kolaps paru menyeluruh
 Opasifikasi hemithoraks
 Pergeseran mediastinum ke sisi yang terkena
 Diafragma terangkat
 Kolaps lobus kanan atas
 Fisura horizontal normal terletak pada anterior kanan iga ke empat
 Pada kolaps yang parah, lobus menjadi datar berlawanan dengan mediastinum
posterior
 Kolaps lobus tengah kanan
 Sumbatan pada perbatasan jantung kanan sering tampak
 Proyeksi Lordotik AP memperlihatkan pergeseran fisura.
 Kolaps lobus bawah
 Opasitas terlihat pada proyeksi frontal
 Gambaran wedge-shaped shadows
 Hilus tertekan dan terputar ke medial.
 Kolaps lingula
 Gambaran radiologi mirip dengan gambaran kolaps lobus tengah kanan
 Proyeksi frontal perbatasan jantung kiri menjadi kabur.
 Kolaps lobus kiri atas
 Terlihat jelas pada proyeksi frontal
 Pergeseran anterior di seluruh celah obliq, hampir sejajar pada dinding dada anterior
 Opasitas kabur terlihat di bagian atas, tengah dan kadang-kadang pada daerah
bawah
 Opasitas yang paling padat di dekat hilus
 Elevasi hilus
 Trakea sering menyimpang ke kiri
b. Computed Tomography Scan (CT-SCAN)
 Kolaps lobus bawah
Adanya campuran densitas pada paru yang mengalami kolaps diakibatkan bronkus berisi cair.

21
 Kolaps lobus kiri atas
 Opasitas kabur terlihat dibagian atas, tengah dan kadang-kadang pada daerah bawah
 Opasitas yang paling padat di dekat hilus
 Kadang seperti nodus limfatik yang mengalami klasifika
 Kolaps paru menyeluruh
 Opasifikasi hemithoraks
 Adanya herniasi di kedua paru retrosternal dan refleksi azygo-esofagus. Esophagus
berisi sedikit udara

22
Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang sangat penting
dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini dapat berasal dari
dahak, cairan pleura, bilasan bronkus, liquor cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi. Pada pemeriksaan bakteriologis yang
menggunakan sputum, cara pengambilannya terdiri dari 3 kali: sewaktu (pada saat
kunjungan), pagi (keesokan harinya), dan sewaktu (pada saat mengantarkan dahak pagi).
Ada beberapa tipe interpretasi pemeriksaan mikroskopis, WHO merekomendasikan
pembacaan dengan skala IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung
Disease) :
 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut negatif
 Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
 Ditemukan 10 – 99 BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut + (+1)
 Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut ++ (+2)
 Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut +++ (+3)

Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi foto lateral, top-
lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberikan gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologis yang dicurigai sebagai lesi TB
aktif : adanya bayangan berawan/ nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah; kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular; bayangan bercak milier; efusi pleura unilateral (umumnya) atau
bilateral (jarang). Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB inaktif berupa : fibrosis,
kalsifikasi, Schwarte atau penebalan pleura.
Luluh paru (destroyed Lung) adalah gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan
jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik
luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk
menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut. Perlu
dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktivitas penyakit.
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA negatif) :
 Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas

23
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari
vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai
kaviti
 Lesi luas yaitu bila proses lebih luas dari lesi minimal.
Pemeriksaan Khusus
Ada beberapa tehnik baru yang dapat mendeteksi kuman TB, seperti : BACTEC : dengan
metode radiometrik, dimana CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak
Mycobacterium tuberculosis dideteksi growth indexnya. Polymerase chain reaction (PCR) :
dengan cara mendeteksi DNA dari Mycobacterium tuberculosis. pemeriksaan serologis :
ELISA, ICT, Mycodot, dan PAP.
Pemeriksaan Penunjang Lain :
Seperti analisa cairan pleura dan histopatologi jaringan, pemeriksaan darah dimana LED
biasanya meningkat, tetapi tidak dapat sebagai indikator yang spesifik pada TB. Uji
tuberkulin, di Indonesia dengan prevalensi yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu
diagnosis penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini mempunyai makna bila
didapatkan konversi, bula atau kepositifan yang didapat besar sekali.

4.8 Tatalaksana
Pada atelektasis sikatriks penatalaksanaan yang terpenting adalah penceghan
menderita hipoksia dan mengobati penyakit penyebabnya. Pada kasus ini penyebab dari
atelektasis adalah sequel TB atau bisa juga disebabkan oleh TB paru yang relaps
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan
fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama
dan tambahan.
A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
· INH
Rifampisin
· Pirazinamid
· Streptomisin
· Etambutol

24
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
· Kanamisin
· Amikasin
· Kuinolon
· Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan
amoksilin + asam klavulanat

Jenis dan dosis OAT

Ob Dosis Dosis yg dianjurkan DosisMa Dosis (mg) /


at (Mg/K ks (mg) berat badan
g (kg)
BB/Ha Harian ( Intermitten (mg/Kg/BB < 40 40- >6
ri) mg/ kgBB /kali) 60 0
/ hari)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
100 150
Z 20-30 25 35 750
0 0
100 150
E 15-20 15 30 750
0 0
Sesu
100
S 15-18 15 15 1000 ai 750
0
BB

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama
WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO
menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam
pengobatan TB primer pada tahun 1998.6 Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap
berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:

25
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar
dan standar
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi
Tabel. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap
Fase intensif Fase lanjutan
2 bulan 4 bulan
BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu
RHZE RHZ RHZ RH RH
150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 150/75 150/150
30-37 2 2 2 2 2
38-54 3 3 3 3 3
55-70 4 4 4 4 4
>71 5 5 5 5 5

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah
ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis
terapi dan non toksik.
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek
samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu
menanganinya.

26
Tabel. Ringkasan paduan obat

Kategori Kasus Paduan obat yang diajurkan Keterangan


I - TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau
+, BTA - , lesi 2 RHZE / 6 HE
luas *2RHZE / 4R3H3
II Kambuh -RHZES / 1RHZE / sesuai hasil Bila streptomisin
Gagal uji resistensi atau 2RHZES / alergi, dapat diganti
pengobatan 1RHZE / 5 RHE kanamisin
-3-6 kanamisin, ofloksasin,
etionamid, sikloserin / 15-18
ofloksasin, etionamid, sikloserin
atau 2RHZES / 1RHZE / 5RHE
II - TB paru putus Sesuai lama pengobatan
berobat sebelumnya, lama berhenti
minum obat dan keadaan klinis,
bakteriologi dan radiologi saat ini
(lihat uraiannya) atau
*2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3
III -TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau
neg. lesi 6 RHE atau
minimal *2RHZE /4 R3H3
IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji
resistensi (minimal OAT yang
sensitif) + obat lini 2 (pengobatan
minimal 18 bulan)
IV - MDR TB Sesuai uji resistensi + OAT lini
2 atau H seumur hidup

27
4.9 Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.7
Evaluasi klinik
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
- Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidaknya komplikasi penyakit
- Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
- Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
- Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
 Sebelum pengobatan dimulai
 Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
 Pada akhir pengobatan
- Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
resistensi

Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)


Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga
dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan
pengobatan)
- Pada akhir pengobatan

Evaluasi efek samping secara klinik


- Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi
ginjal dan darah lengkap
- Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum,
kreatinin, dan gula darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit
penyerta atau efek samping pengobatan
- Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
- Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol
(bila ada)

28
- Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji
keseimbangan dan audiometri (bila ada keluhan)
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling pentin adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek
samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan
efek samping obat sesuai pedoman

Evalusi keteraturan berobat


- Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat
dan diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat
penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan
keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan
kepada pasien, keluarga dan lingkungannya.
- Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
resistensi.
-
Kriteria Sembuh
- BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase
intensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan
yang adekuat
- Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan
- Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal
dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto
toraks. Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada
gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah
dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).8

29
BAB V
KESIMPULAN

Atelektasis adalah suatu keadaan paru atau sebagian paru yang mengalami hambatan
berkembang secara sempurna sehingga aerasi paru berkembang atau sama sekali tidak terisi
udara. Atelektasis kontraksi atau sikatriks terjadi bila terdapat perubahan fibrosis pada paru
yang merubah struktur dan fungsi paru. Atelektasis sikatriks sering dijumpai pada TB paru
kronis. Gejala atelektasis bisa berupa gangguan pernafasan, nyeri dada dan batuk.
Pada atelektasis sikatriks penatalaksanaan yang terpenting adalah pencegahan
menderita hipoksia dan mengobati penyakit penyebabnya. Pada kasus ini penyebab dari
atelektasis adalah sequele TB atau mungkin disebabkan TB yang relaps

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Madappa T, Atelectasis. June 2014. Avaiable at :


http://emedicine.medscape.com/article/296468-overview
2. Pubmed Staff. Atelectasis. June 2014 Avaiable at :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0062944/.
3. World Health Organization . 2008. Guidelines for the programmatic management
drug– resistant tuberculosis emergency edition,Geneve.
4. Price, A. S., Wilson, M. L. 1990. Patofisiologi. Atelektasis . EGC, Jakarta, Indonesia.
5. PDPI. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: Indah Offset Citra Grafika
6. Depkes RI. 2007. Pedoman Umum Promosi Penanggulangan Tuberculosis ,Jakarta ,
2007
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman
Penanggulangan Tuberkulosis (TB), Jakarta.
8. Riyanto BS, Wilhan. 2006. Management of MDR TB Current and Future dalam Buku
Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah
Berkala. PERPARI.Bandung.

31

Anda mungkin juga menyukai