Anda di halaman 1dari 15

filsafat ilmu kesehatan masyarakat

Filsafat Ilmu Pengetahuan PENGERTIAN FILSAFAT Secara epistimologi, filsafat berasal dari
bahasa Yunani Philosophia, dan terdiri dari kata Philos yang berarti kesukaan atau kecintaan
terhadap sesuatu, dan kata Sophia yang berarti kebijaksanaan. Secara harafiah, filsafat diartikan
sebagai suatu kecintaan terhadap kebijaksanaan (kecenderungan untuk menyenangi
kebijaksanaan). Namun pertanyaan kita selanjutnya adalah bagaimana kita mendefinisi filsafat
itu sendiri? Hamersma (1981: 10) mengatakan bahwa Filsafat merupakan pengetahuan metodis,
sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan Jadi, dari definisi ini nampak bahwa kajian
filsafat itu sendiri adalah realitas hidup manusia yang dijelaskan secara ilmiah guna memperoleh
pemaknaan menuju “hakikat kebenaran”. Sebenarnya, pengertian tentang filsafat cukup beragam.
Titus et.al (dalam Muntasyir&Munir, 2002: 3) memberikan klasifikasi pengertian tentang
filsafat, sebagai berikut : Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan
dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal). Filsafat adalah suatu proses
kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi (arti
formal). Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat
berusaha untuk mengombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan
sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam (arti spekulatif) Filsafat adalah
analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Corak filsafat yang
demikian ini dinamakan juga logosentris. Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung,
yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
Ciri-Ciri Berpikir Dalam Filsafat Dalam memahami suatu permasalahan, ada perbedaan tentang
karakteristik dalam berfikir antara filsafat dengan ilmu-ilmu lain. Mudhofir dalam
Muntasyir&Munir (2002: 4-5) mengatakan bahwa ciri-ciri berfikir kefilsafatan sebagai berikut :
Radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akarnya, hingga sampai pada hakikat atau substansi
yang dipikirkan. Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia.
Kekhususan berpikir kefilsafatan menurut Jespers terletak pada aspek keumumannya.
Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia. Misalnya :
Apakah Kebebasan itu ? Koheren atau konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai dengan kaidah-
kaidah berpikir logis. Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi. Sistematik, artinya
pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan
terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu. Komprehensif, artinya mencakup atau
menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta
secara keseluruhan. Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh
dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka sosial,
historis, kultural, bahkan relijius. Bertanggungjawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah
orang-orang yang berpikir sekaligus bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak
terhadap hati nuraninya sendiri. Bidang dalam Filsafat Secara umum, bidang-bidang utama
filsafat terbagi menjadi 3 bagian, yaitu metafisika, epistimologi dan aksiologi. Secara ringkas
ketiga bidang tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Metafisika. Metafisika berasal dari
bahasa Yunani, yaitu meta ta physika yang berarti segala sesuatu yang berada di balik hal-hal
yang sifatnya fisik. Metafisika sendiri dapat diartikan sebagai cabang filsafat yang paling utama,
yang membicarakan mengenai keberadaan (being) dan eksistensi (existence). Oleh karena itu,
metafisika lebih mempelajari sesuatu atau pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimate
nature) dari kenyataan atau keberadaan. Menurut Wolff, metafisika dapat diklasifikasikan ke
dalam 2 kategori, yaitu : Metafisika Umum (Ontologi), yaitu metafisika yang membicarakan
tentang “Ada” (Being). Metafisika Khusus, yaitu metafisika yang membicarakan sesuatu yang
sifatnya khusus. Dalam metafisika khusus ini, Wolff membagi ke dalam 3 (tiga) kategori :
Psikologi, yang membahas mengenai hakekat manusia Kosmologi, yang membahas mengenai
alam semesta Theologi, yang membahas mengenai Epistimologi. Epistimologi berasal dari kata
Episteme yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti teori. Oleh karena itu,
epistimologi berarti teori pengetahuan. Permasalahan-permasalahan yang menjadi fokus
pembicaraan epistimologi adalah asal-usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam
pengetahuan, hubungan antara pengetahuan dan kebenaran, dan sebagainya. Dalam epistimologi,
pengetahuan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan kebenaran.
Aksiologi. Aksiologi berasal dari kata axios yang berarti nilai atau sesuatu yang berharga, dan
logos yang berarti akal atau teori. Oleh karena itu, aksiologi dapat diartikan sebagai teori
mengenai sesuatu yang bernilai. Dalam cabang ini, salah satu yang paling mendapatkan
perhatian adalah masalah etika/kesusilaan. Dalam etika, obyek materialnya adalah perilaku
manusia yang dilakukan secara sadar. Sedangkan obyek formalnya adalah pengertian mengenai
baik atau buruk, bermoral atau tidak bermoral dari suatu perilaku manusia. DEFENISI
FILSAFAT ILMU Menurut Beerling (1985; 1-2) filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-
ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara utnuk memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu
sesungguhnya merupakan suatu penyelidikan lanjuta. Dia merupakan suatu bentuk pemikiran
secara mendalam yang bersifat lanjutan atau secondary reflexion. Refleksi sekunder seperti itu
merupakan syarat mutlak untuk menentang bahaya yang menjurus kepada keadaan cerai berai
serta pertumbuhan yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu yang ada. Refelksi sekunder banyak
memberi sumbangan dalam usaha memberi tekanan perhatian pada metodikaserta sistem dan
untuk berusaha memperoleh pemahaman mengenai azas-azas, latar belakang serta hubungan-
hubungan yang dipunyai kegiatan ilmiah. Sumbangan tersebut bisa berbentuk (1) mengarahkan
metode-metode penyelidikan ilmiah kejuruan kepada penyelenggaaraan kegiatan ilmiah; (2)
menerapkan penyelidikan kefilsafatan terhadap terhadap kegiatan-kegiatan ilmiah. Dalam hal ini
mempertanyakan kembali secara de-jure mengenai landasan-landasan serta azas-azas yang
memungkinkan ilmu itu memberi pembenaran pada dirinya serta apa yang dianggapnya benar.
Filsafat ilmu adalah refleksi yang mengakar terhadap prinsip-prinsip ilmu. Prinsip ilmu adalah
sebab fundamental dan kebenaran universal yang lengket didalam ilmu yang pada akhirnya
memberi jawaban terhadap keberadaan ilmu. Dengan mengetahui seluk-beluk prinsip ilmu itu
maka dapat diungkapkan perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan
perkembangannya, keterjalinan antar ilmu, ciri penanganan secara ilmiah, simplifikasi dan
artifisialitas ilmu dan sebagainya yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri (Suriasumantri,
1986; 301-302). Filsafat ilmu pengetahuan membahas sebab musabab pengetahuan dan menggali
tentang kebenaran, kepastian, dan tahap-tahapnya, objektivitas, abstraksi, intuisi, dan juga
pertanyaan mengenai “dari mana asalnya dan kemana arah pengetahuan itu?” (Verhaak &
Haryono, 1989; 12-13). Perbedaan filsafat ilmu dengan filsafat atau ilmu-ilmu lain seperti
sejarah ilmu, psikologi, sosiologi, dan sebagainya terletak apada masalah yang hendak
dipecahkan dan metode yang akan digunakan. Filsafat ilmu tidak berhenti pada pertanyaan
mengenai bagaimana pertumbuhan serta cara penyelenggaraan ilmu dalam kenyatannya,
melainkan mempermasalahkan masalah metodologik, yakni mengenai azas-azas serta alasan
apakah yang menyebabkan ilmu dapat menyatakan bahwa ia memperoleh pengetahuan ilmiah
(Beerling, 1985; 2). Pertanyaan seperti itu tidak dapat dijawab oleh ilmu itu sendiri tetapi
membutuhkan analisa kefilsafatan mengenai tujuan serta cara kerja ilmu. Pertalian antara filsafat
dan ilmu harus terjelma dalam filsafat ilmu. Kedudukan filsafat iilmu dalam lingkungan fisafat
secara keseluruhan adalah pertama, bahwa filsafat ilmu berhubungan erat dengan filsafat
ilmupengetahuan (epistemologi); kedua, filsafat ilmu erat hubungannya dengan logika dan
metodologi, dan dalam hal ini kadang-kadang filsafat ilmu dijumbuhkan denganmetodologi
(Beerling, 1985; 4). Hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan lebih erat dalam bidang
ilmu pengetahuan manusia. Ilmu-ilmu manusia seringkali lebih jelas masih mempunyai filsafat
ilmu tersembunyi (Bertens, 1987; 21 dan Katsoff, 1986; 105-106). HAKIKAT ILMU
PENGETAHUAN Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren
(“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan. Antara definisi filsafat dan ilmu
pengetahuan memang hampir mirip namun kalau kita menyimak bahwa di dalam definisi ilmu
pengetahuan lebih menyoroti kenyataan tertentu yang menjadi kompetensi bidang ilmu
pengetahuan masing-masing, sedangkan filsafat lebih merefleksikan kenyataan secara umum
yang belum dibicarakan di dalam ilmu pengetahuan (Muntasyir&Munir,2000: 10). Walaupun
demikian, ilmu pengetahuan tetap berasal dari filsafat sebagai induk dari semua ilmu
pengetahuan yang berdasarkan kekaguman atau keheranan yang mendorong rasa ingin tahu
untuk menyelidikinya, kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan. Wibisono (1997: x) pada
Artikel kunci “Gagasan Strategik Tentang Kultur Keilmuan Pada Pendidikan Tinggi”, yang
mengambil pendapat H.J. Pos, beliau menandaskan bahwa abad ke-19 dan 20, dan bahkan
sampai sekarang, diidentifikasi sebagai suatu abad yang ditandai oleh dominasinya peran ilmu
pengetahuan dalam kehidupan umat manusia. Dominasi ilmu pengetahuan dalam kehidupan
manusia memang tidak dapat dipungkiri. Betapa tidak, dominasi ini paling kurang membawa
pengaruh dan manfaat bagi manusia, atau justru berpengaruh negatif dan membawa malapetaka.
Seperti yang diungkapkan oleh Ridwan Ahmad Syukri (1997: 18-19), ilmu yang berorientasi
pada kepentingan pragmatis, orientasi duniawi, atau mengesampingkan yang transenden, akan
membawa malapetaka bagi kemanusiaan pada umumnya. Ilmu dinilai bukan karena dirinya
sendiri, tetapi nilai ilmu pengetahuan berada dalam kesanggupannya membuat kehidupan lebih
bernilai dan memberikan kebahagiaan, demi kebutuhan untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan manusia, maka bentuk ilmu itu memberikan kemanfaatan.
Selanjutnya, dalam bukunya yang berjudul Epistemologi Dasar, J. Sudarminta mengatakan
bahwa ciri-ciri hakiki pengetahuan manusia yaitu: kepastian mutlak tentang kebenaran segala
pengetahuan kita memang tidak mungkin, sebab manusia adalah makhluk contingent dan
fallible. Tetapi ini tidak berarti bahwa semua pengetahuan manusia pantas dan perlu
dipergunakan kebenarannya. Maka, skeptisisme mutlak pantas ditolak. subjek berperan aktif
dalam kegiatan mengetahui dan tidak hanya bersifat pasif menerima serta melaporkan objek apa
adanya. Tetapi ini tidak berarti bahwa pengetahuan manusia melulu bersifat subjektif. Maka,
subjektivisme radikal juga pantas disangkal. pengetahuan manusia memang bersifat relasional
dan kontekstual, tetapi itu tidak berarti bahwa objektivitas dan universalitas pengetahuan menjadi
tidak mungkin. Menurut Sudarminta (2002: 60) pelbagai bentuk relativisme ilmu pengetahuan,
walaupun punya sumbangan yang berharga, merupakan suatu pandangan tentang pengetahuan
yang tidak bisa diterima. DASAR-DASAR ILMU PENGETAHUAN Aristoteles mengawali
metafisikanya dengan pernyataan “setiap manusia dari kodratnya ingin tahu”. Tetapi jauh
sebelum Aristoteles, Socrates mengatakan hal yang nampaknnya bertentangan dengan ungkapan
Aristoteles tersebut, yaitu bahwa tidak ada seorang manusia pun yang mempunyai pengetahuan
(Hadi, 1994: 13). Kontradiktif ini tidak perlu diperdebatkan. Sebab menurut Plato bahwa filsafat
dimulai dengan rasa kagum. Kekaguman filosofis ini bukanlah kekaguman akan hal-hal yang
rumit, canggih atau kompleks, tetapi justru kekaguman akan sesuatu yang sederhana yang
tampaknya jelas dalam pengalaman sehari-hari. Hadi (1994: 14-15) menyatakan kekaguman
dalam hal ini adalah mempertanyakan hal-hal yang ada dihadakan kita, yang dalam anggapan
umum dianggap telah diketahui. Oleh karena itu seseorang harus tahu apa yang dicarinya dan
berusaha untuk menemukan apa yang dicari tersebut, demikian menurut Plato. Pengetahuan
filosofis ingin menarik diri dari apa yang dianggap sebagai kejelasan umum untuk kembali ke
dalam sesuatu yang eksistensial dalam keadaan aslinya. Karenanya, seorang filsuf tidak ada
henti-hentinya bertanya. Pernyataan Socrates dan Aristoteles terkesan bertentangan, padahal
sebenarnya tidak. Menurut Aristoteles, semua orang dari kodratnya ingin tahu, dan langkah
pertama untuk mencapai pengetahuan itu adalah kesadaran socrates bahwa tidak ada seorang pun
yang sudah tahu. Untuk mencapai pengetahuan, Bernard Paduska&R. Turman Sirait ( 1997: 5),
seseorang harus sadar bahwa ia “belum tahu” dan karena itu ia “ingin tahu”. Dalam redaksi
berbeda, namun dapat disetir menjadi satu makna, bahwa menurut filsafat eksistensialisme anda
adalah anda karena anda menghendaki demikian. Dengan uraian di atas, kita dapat melihat
adanya dua macam bentuk pengetahuan, yaitu pengetahuan harian atau penggetahuan biasa
(common sense) dan pengetahuan ilmiah. Dalam filsafat, pengetahuan biasa sering dianggap
sebagai pengetahuan inderawi, sedangkan pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan berdasarkan
akal budi (intelektif). Korelasi pengetahuan indrawi dan pengetahuan intelektif membentuk dasar
dalam perkembangan ilmu pengetahuan secara global. Sejarahnya telah terukir, betapa dua
konsep dasar ini menjadi cikal-bakal yang meletakkan dasar konsep ilmiah. Keilmuan yang
ilmiah dapat lahir dari pengamatan yang mendalam tentang semua objek, tetapi juga dasar ilmiah
dapat dibangun dari perenungan yang jernih dan mendalam, terukur dan dapat dianalisa,
sistematis serta dapat dipelajari, itulah sebagian konsep ilmiah. Socrates adalah tokoh yang
sangat diperhitungkan, meskipun ia tidak secara langsung bicara tentang kebenaran ilmiah.
Ketika itu Socrates berhadapan dengan kaum sofis. Filsafat Socrates bahkan sering disebut
sebagai reaksi terhadap kaum sofis. Bagi Socrates, kebenaran objektif itu ada, dan bukan hal
yang berbau teoritis tapi hidup praktis. Menurutnya, tidak sembarang tingkah laku disebut baik,
ada kelakuan yang baik dan ada kelakuan yang kurang baik; ada tindakan yang pantas dan ada
tindakan yang jelek. Dengan ini socrates meletakkan dasar berkembangnya gagasan tentang
adanya kebenaran, kemudian dilanjutkan dengan oleh Plato. Bagi Plato kebenaran adalah sesuatu
yang terdapat pada apa yang dikenal, atau pada apa yang dikejar untuk dikenal . Hal ini sesuai
dengan ajaran Plato mengenai idea-idea, bahwa realitas yang sesungguhnya berada didalam
dunia idea sedangkan realitas inderawi hanyalah bayang-bayang (Bertens K, 1991: 110-111).
Menurut Wibisono dalam makalahnya mengatakan, Sejalan dengan perkembangan filsafat, ilmu
pengetahuan pun berkembang dengan pesatnya. Dalam perjalanan selanjutnya, terdapat
fenomena adanya suatu konfigurasi yang menunjukkan tentang bagaimana “pohon ilmu
pengetahuan” itu telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang
melepaskan diri dari batang-filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti
metodologinya sendiri-sendiri. Berkaitan dengan ilmu-ilmu, pengetahuan yang dicari dan
diperoleh sering disebut dengan istilah pengetahuan ilmiah. Menurut Bahm ( 1980: 1) ada lima
unsur pokok dalam suatu pengetahuan yang disebut ilmiah yaitu masalah, sikap, metode,
aktivitas, kesimpulan dan pengaruh tertentu. Aristoteles menguraikan sistem berpikir ilmiah yang
dikenal dengan logika. Menurut Aristoteles terdapat sepuluh kategori yang berkaitan dengan
pengertian, yaitu substanti, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, keadaan, mempunyai,
berbuat, dan menderita. Pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan yang sudah dipertanggung-
jawabkan secara ilmiah atau diperoleh dengan metode ilmiah. Sebaliknya, pengetahuan sehari-
hari yang tidak atau belum dipertanggungjawabkan secara ilmiah disebut pengetahuan pra-ilmiah
(Lorens, 1996: 806). Salah satu ciri pengetahuan ilmiah adalah adanya anggapan bahwa
pengetahuan ilmiah itu berlaku ilmiah. Mengeni apakah sesuatu dapat atau tidak disebut ilmiah
tidak tergantung pada faktor-faktor subjektif. Bisa saja orang berbeda pendapat tentang dasar
pembenaran suatu teori, tetapi hal tersebut hanya menunjukkan bahwa faktor-faktor objektif
yang bersangkut paut dengan persoalan tadi tidak atau masih dapat membuahkan hasil yang tidak
bermakna ganda (ambiguitas). Adanya saling pengaruh antara sifat dan kadar pengetahuan
ilmiah dengan sarana-sarana untuk mencapainya mengakibatkan pergeseran-pergeseran,
pengertian “ilmiah” sepanjang sejarah. Namun demikian perkembangan ilmu secara mandiri
harus dapat dipertahankan. Menurut Beerling,dkk (1996: 6-7) secara spesifik ada tiga macam
pengenalan dari pengetahuan yang disebut ilmiah. (1) pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan
yang mempunyai dasar pembenaran. Setiap pengetahuan ilmiah harus punya dasar pembenaran
berdasarkan pemahaman-pemahaman yang dapat dibenarkan secara apriori serta secara empiris
melalui penyelidikan ilmiah yang memadai. (2) pengetahuan ilmiah bersifat sistematis.
Penyelidikan ilmiah tidak membatasi diri hanya pada satu bahan saja, tapi senantiasa mencari
hubungan dengan sejumlah bahan lainnya dan berusaha agar hubungan-hubungan itu merupakan
suatu kebulatan. (3) pengetahuan ilmiah itu adalah bersifat inter-subjektif. Kepastian
pengetahuan ilmiah tidak didasarkan atas intuisi-intuisi serta pemahaman orang perorangan yang
subjektif, melainkan dijamin oleh sistemnya sendiri. Pengetahuan ilmiah haruslah sedemikian
rupa sehingga dalam setiap bagiannya dan dalam bagian yang menyeluruh dapat ditanggapi oleh
subjek-subjek lain. Terhadap hasil penyelidikan dimungklinkan ada kesepakatan yang bersifat
inter-subjektif. Di samping apa yang sudah diuraikan di atas, menurut Sudarminta (2002: 32-44)
perlu ditambahkan juga bahwa dasar-dasar pengetahuan itu tidak lepas dari peran pengalaman,
ingatan, kesaksian, minat dan rasa ingin tahu, pikiran dan penalaran, logika, bahasa, dan
kebutuhan hidup manusia . CARA MENCAPAI KEBENARAN Dalam sejarah kehidupan,
manusia selalu berusaha untuk mencari kebenaran. Dan sepanjang sejarah itu pula perdebatan
mengenai arti dan cara mencapai kebenaran diperdebatkan. Zaman Yunani Kuno Diawali oleh
Socrates ( ± 469-399) sebagai tokoh yang patut disebut mengawali pembicaraan mengenai
kebenaran. Meskipun tidak secara langsung berbicara mengenai kebenaran ilmiah tetapi ia tidak
menyetujui relativitas yang terdapat pada kaum sophis. Menurutnya terdapat kebenaran objektif,
ada kelakuan yang baik dan ada kelakuan yang tidak baik; ada tidakan yang pantas dan ada yang
tidak pantas. Socrates telah meletakkan dasar bagi berkembangnya gagasan tentang adanya
kebenaran (Bertens, 1991; 86). Pendapat Socrates dilanjutkan oleh Plato (427-322 SM). Menurut
Plato kebenaran merupakan ketak-tersembunyian adanya. Hal ini berarti selama kita masih
terikat pada yang ada (the being) saja tanpa masuk adanya dari yang ada itu kita belum berjumpa
dengan kebenaran karena adanya (being) itu masih tersembunyi. Barulah dengan hilangnya atau
diambilnya selubung yang menutup adanya dari yang ada itu terhadap mata batin kita, maka
terbukalah adanya dan serentak dengan itu tampillah kebenaran (Verhaak & Haryono, 1991;
126). Aristoteles (384-322) lebih melihat kebenaran dari cara yang dipakai pengenal melalui
suatu sistem berfikir ilmiah yang dikenal dengan logika. Berkaitan dengan ini dia
mengemukakan bahwa cara berfikir ilmiah itu terdiri dari pengertian, petimbangan, dan
penalaran. Menurutnya, pengertian mengngkapkan adanya 10 kategori yaitu substansi, kuantitas,
kualitas, relasi, tempat, waktu, keadaan, mempunyai, berbuat, menderita. Segala pengertian dapat
digabungkan sehingga membentuk suatu pertimbangan. Dengan petimbangan tersebut dapat
digabungkan sehingga menghasilkan silogisme (Hadiwiyono, 1980; 45-47). Zaman Abad
Pertengahan Tokoh yang patut disebut ddalam abad pertengahan ini adalah Thomas Aquinas
(1224-1274). Thomas Aquinas mendefinisikan kebenaran sebagai “adequatio rei et intellectus”
yaitu kesesuaian, kesamaan pikiran dengan hal, benda. Oleh karena itu kebenaran merupakan
istilah transendental yang mengena kepada semua yang ada; dalam arti tertentu kebenaran
bukanlah suatu pernyataan tentang cara hal-hal berada tetapi melulu hal-hal itu sendiri (Bagus,
1996; 415). Menurut Wibisono (1999) pada zaman abad pertengahan ini kita tidak bisa
melupakan para filsuf Arab seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan Al-Ghazaly.
Mereka telah menyebarkan filsafat Aristoteles ke Cordova Spanyol dan kemudian diwariskan
serta dikembangkan oleh para kaum Patristik dan Skolastik di dunia barat sehingga tepat apabila
dikatakan jika orang-orang Yunani adalah Bapak Metode Ilmiah dan orang Muslim adalah
Bapak angkatnya. Zaman Modern Pada zaman modern ini diwarnai dengan timbulnya aliran-
aliran tentang perolehan ilmu pengetahuan atau kebenaran ilmiah. Diantaranya adalah
Rasionalisme, Empirisme dan Kritisisme. Tiga tokoh besar yang mewakili ketiga aliran tersebut
adalah Rene Descartes, David Hume, dan Immanuel Kant. Rasionalisme Aliran rasionalisme ini
secara luas merupakan pendekatan filosofis yang menekankan adanya akal budi atau rasio
sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari
pengamatan inderawi (Hadiwiyono, 1980, 2; 18). Peletak dasar dari aliran ini adalah Rene
Descarte (1596-1650). Menurut Descartes, cara untuk membedakan ada tidaknya kebenaran
adalah ada tidaknya ide yang jelas dan terpilah-pilah mengenai sesuatu (idea clara et distincta).
Akibat pernyataan itu lebih lanjut adalah isi ide yang jelas dan terpilah-pilah itu menjadi benar
sehingga kebenaran disamakan dengan idea tersebut. Idea itu pertama-tama terdapat dalam
subjek pengetahuan, maka kebenaran-pun demikian, tanpa ada hubungan dengan dunia luar,
maka kebenaran hanya sebagai suatu kesimpulan dari adanya kebenaran dalam idea tersebut.
Terwujudnya kebenaran ditegaskan sebagai suatu kenyataan (Hadiwiyono, 1980; 18). Empirisme
David Hume – sebagai tokoh peletak dasar bagi empirisme – menolak rasionalisme mengatakan
bahwa pengenalan sejati berasal dari rasio. Sanggahan Hume ini secara konsekuen terdapat
dalam penjelasannya tentang tidak adanya substansi dalam kesadaran kita. Baginya kesatuan ciri-
ciri yang disebut substansi oleh rasionalisme hanyalah fiksi, sekumpulan kesan-kesan (a bundle
of collection of perception), substansi hanyalah sekumpulan persepsi saja. Menurutnya hakekat
ide-ide itu selalu empiris (Yumartana, 1993; 21). Aliran empirisme secara umum merupakan
aliran filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi satu0satunya
sumber pengetahuan baik pengalaman lahiriyah atau batiniyah. Informasi yang disajikan kepada
kita berguna secara fundamental sebagai ilmu pengetahuan. Akal budi tidak dapat memberikan
kepada kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan
panca indera kita (Bagus, 1996; 31-38) Kritisisme Immanul Kant adalah peletak dasar dari aliran
kritisisme. Dalam arti luas, kritisisme merupakan sebuah epistemologi yang menempatkan akal
budi sebagai nilai yang amat tinggi tetapi akal budi memiliki keterbatasan. Oleh karena itu Kant
mencoba mendamikana rasionalisme dengan empirisme dengan berpendapat bahwa pengetahuan
bersifat sintesis. Pengetahuan inderawi atau empirisme merupakan sintesis dari pengamatan
ruang dan waktu. Kemudian pengetahuan akal merupakan sintesis pengetahuan. Implikasinya
yang dihasilkan bukanlah pengetahuan das ding an sich, untuk itu rasio dan akal budi memberi
arah kepada akal ketika tidak mampu mengetahuinya. Kant menyebutnya sebagai idealisme
transdental atau idealiseme kritis (Hadiwiyono, 1980, 2; 63-82). Positivisme Abad ke-19 dapat
diakatakan sebagai abad positivisme – dengan tokohnya Auguste Comte (1798-1857) -, karena
pengaruh aliran ini demikian kuatnya dalam dunia modern. Filsafat menjadi praktis bagi tingkah
laku manusia sehingga tidak lagi memandang penting berfikir yang bersifat abstrak (Wibisono,
1996;1). Positivisme kata kuncinya terletak pada kata positif itu sendiri yaitu lawan dari kahayal,
merupakan sesuatu yang riil dan objek penyelidikannya didasarkan pada kemampuan akal
(Wibisono, 1996; 37). Kata positif juga lawan dari sesuatu yang tidak bermanfaat dan disinilah
terjadi progress (kemajuan). Positif juga berarti jelas dan tepat. Disinilah diperlukan filsafat yang
mampu memberi atau mebeberkan fenomena dengan tepat dan jelas. Positif juga lawan dari kata
negatif dan ada keterkaitan selalu dengan masalah yang menuju kepada penataan atau
penertiban. Penggilongan ilmu pengetahuan oleh Comte didasarkan kepada sejarah ilmu itu
sendiri yang menunjuk adanya gejala yang umum yang mempunyai sifat sederhana menuju
kepada gejala yang komplek dan semakin konkret. Ilmu-ilmu yang dimaksud adalah ilmu pasti
(matematika) dan secara berturut-turut astronomi, fisika, kimia, biologi, dan akhirnya fisika
sosial atau sosiologi (Wibisono, 1996; 25). Penggolongan tersbut menyaratkan adanya
perkembangan ilmu yang lambat dan cepat. Yang paling cepat perkembangannya adalah yang
sederhana dan umum objeknya. Dan ada yang paling lambat perkembangannya adalah yang
paling kompleks objek permasalahannya, misalnya fisika sosial. Sejarah manusia berkembang
menurut tiga tahap yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak, dan tahap positif
atau riil (Wibisono, 1996; 11). Tahap teolohi atau fiktif merupakan tahap dimana manusia
menggambarkan fenomena alam sebagai produk dari tindakan langsung, hal yang berifat
supranatural. Pada tahap ini manusia mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan
akhir segala sesuatu yang ada dengan selalu mengkontekstualisasikan dengan hal yang sifatnya
mutlak. Tahap metafisik merupakan tahap dimana kekuatan-kekuatan supranatural digantikan
oleh kekuatan yang bersifat abstrak, yang dipercaya mampu mengungkapkan rahasia fenomena
yang dapat diamati. Dogma-dogma telah ditingglakan dan kemampua akal budi manusia
dikembangkan secara maksimal sehingga kekuatan yang bersifat magis digantikan dengan
analisis berfikir untuk membedakan yang natural dan supranatural, yang fisik dan metafisik
sehingga manusia berperan sebagai subjek yang berjaraak dengan objek. Comte menggambarkan
sebagai tahap perkembangan manusia dari sifat ketergantungan menuju sifat mandiri atau
dewasa. Tahap ini merupakan masa peralihan yang penuh konflik dan merupakan tahap yang
menentukan menuju tahap positivisme. Tahap ketiga adalah postivisme yaitu orang mulai
menoleh, mencari sebab-sebab terakhir dari kejadian alam, kemudian berubah kepada penemuan
hukum-hukum yang menyelimuti dengan menggunakan pengamatan dan pemikiran. Tahap ini
merupakan tahap science dengan tugas pokok memprediksi fenomena alam dalam rangka
memanfaatkannya. Manusia telah sampai pada pengetahuan yang positif yang dapat dicapai
melalui observasi, eksperimen, komparasi dan hukum-hukum umum. Pengetahuan yang
demikian menunjuk pada pengetahuan yang pasti, riil, jelas dan bermanfaat. Comte dengan ilmu
pengetahuan positifnya, yang pada tahap akhir perkembangan akal budi manusia menjadi
pedoman hidup dan landasan kultural, institusional dan kenegaraan untuk menuju masyarakat
yang maju dan tertib, merdeka dan sejahtera. Bangunan ilmu pengetahuan positif itu adalah
sebagai berikut. Asumsi pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat objektif (bebas nilai dan
netral). Objektivitas pengetahuan berlangsung dari dua pihak, pihak subjek dan objek. Pada
pihak subjek seorang ilmuwan tidak boleh membiarkan dirinya dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang berasal dari dalam dirinya sendiri misalnya sentimen, penilaian etnis, kepentingan pribadi
atau kelompok, kepercayaan agama, filsafat dan lain sebagainya yang bisa mempengaruhi
objektivitas dari objek yang sedang diamati. Pada pihak objek, aspek-aspek dan dimensi-dimensi
lain yang tidak bisa diukur dalam onservasi misalnya roh atau jiwa, tidak dapat ditolerir
keberadannya. Laporan atau teori-teori ilmiah hanya menjelaskan fakta-fakta dan kejadian-
kejadian yang dapat diobservasi saja. Asumsi kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan
hal-hal yang berulangkali terjadi. Andaikata ilmu pengetahuan hanya diarahkan kepada hal-hal
unik, yang hanya sekali saja terjadi, maka pengetahuan itu tidak dapat membantu kita untuk
meramalkan atau emamstikan hal-hal yang akan terjadi. Padhal rmalan atau prediksi merupakan
suatu tujuan terpenting ilmu pengetahuan. Asumsi ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti setiap
fenomena atau kejadian alam dari saling ketergantungan antar hubungannya dengan fenomena-
fenomena lain. Mereka diandaikan saling berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu
sistem yang bersifat mekanis. Perhatian ilmuwan bukan diarahkan kepada hakekat dari gejal-
gejala melainkan pada relasi-relasi luar khususnya relasi sebab akibat, antara benda-benda,
gejala-gejala atau kejadian-kejadian. Usaha Comte untuk merumuskan suatu ilmu pengetahuan
yang bersifat positif, objektif, ilmiah, dan universal pada akhirnya membawa dirinya pada ilmu
pasti, dan studinya yang mendalam tentang hal ini mendorong dia pada kesimpulan bahwa ilmu
pasti mempunyai tingkat kebenaran yang tertinggi, bebas dari penilaian-penilaian subjektuf dan
berlaku universal. Oleh sebab itu suatu penjelasan tentang fenomena tanpa disertai dengan
pertimbangan ilmu pasti (matematika dan statistika) adalah non-sense belaka. Tanpa ilmu pasti
ilmu pengetahuan akan kembali menjadi metafisika (Abidin, 2000; 121-124). Ontologi adalah
cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan
ontologi mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakikinya,
serta bagaimana hubungannya dengan daya tangkap manusia yang berupa berpikir, merasa, dan
meng-indera yang membuahkan pengetahuan. Objek telaah Ontologi tersebut adalah yang tidak
terlihat pada satu perwujudan tertentu, yang membahas tentang yang ada secara universal, yaitu
berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua
bentuknya. Adanya segala sesuatu merupakan suatu segi dari kenyataan yang mengatasi semua
perbedaan antara benda-benda dan makhluk hidup, antara jenis-jenis dan individu-individu. Dari
pembahasannya memunculkan beberapa pandangan yang dikelompokkan dalam beberapa aliran
berpikir, yaitu: 1. Materialisme; Aliran yang mengatakan bahwa hakikat dari segala sesuatu yang
ada itu adalah materi. Sesuatu yang ada (yaitu materi) hanya mungkin lahir dari yang ada. 2.
Idealisme (Spiritualisme); Aliran ini menjawab kelemahan dari materialisme, yang mengatakan
bahwa hakikat pengada itu justru rohani (spiritual). Rohani adalah dunia ide yang lebih hakiki
dibanding materi. 3. Dualisme; Aliran ini ingin mempersatukan antara materi dan ide, yang
berpendapat bahwa hakikat pengada (kenyataan) dalam alam semesta ini terdiri dari dua sumber
tersebut, yaitu materi dan rohani. 4. Agnotisisme. Aliran ini merupakan pendapat para filsuf yang
mengambil sikap skeptis, yaitu ragu atas setiap jawaban yang mungkin benar dan mungkin pula
tidak. B. Epistemologi Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu
datang dan bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang lain. Jadi
berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu tentang sesuatu hal. Landasan
epistemologi adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika,
estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan
keindahan seni, serta apa definisinya. Epistemologi moral menelaah evaluasi epistemik tentang
keputusan moral dan teori-teori moral. Dalam epistemologi muncul beberapa aliran berpikir,
yaitu: 1. Empirisme; Yang berarti pengalaman (empeiria), dimana pengetahuan manusia
diperoleh dari pengalaman inderawi. 2. Rasionalisme; Tanpa menolak besarnya manfaat
pengalaman indera dalam kehidupan manusia, namun persepsi inderawi hanya digunakan untuk
merangsang kerja akal. Jadi akal berada diatas pengalaman inderawi dan menekankan pada
metode deduktif. 3. Positivisme; Merupakan sistesis dari empirisme dan rasionalisme. Dengan
mengambil titik tolak dari empirisme, namun harus dipertajam dengan eksperimen, yang mampu
secara objektif menentukan validitas dan reliabilitas pengetahuan. 4. Intuisionisme. Intuisi tidak
sama dengan perasaan, namun merupakan hasil evolusi pemahaman yang tinggi yang hanya
dimiliki manusia. Kemampuan ini yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan
unik. C. Aksiologi Aksiologi adalah filsafat nilai. Aspek nilai ini ada kaitannya dengan kategori:
(1) baik dan buruk; serta (2) indah dan jelek. Kategori nilai yang pertama di bawah kajian filsafat
tingkah laku atau disebut etika, sedang kategori kedua merupakan objek kajian filsafat keindahan
atau estetika. 1. Etika Etika disebut juga filsafat moral (moral philosophy), yang berasal dari kata
ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau mores (Latin) yang artinya
kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia istilah moral atau etika diartikan kesusilaan. Objek material
etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan
atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral. Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang
telah berusia sangat lama. Sejak masyarakat manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai
dengan moralitas telah menjadi bahasan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul dua teori
yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara etis. Teori yang dimaksud
adalah Deontologis dan Teologis. a. Deontologis. Teori Deontologis diilhami oleh pemikiran
Immanuel Kant, yang terkesan kaku, konservatif dan melestarikan status quo, yaitu menyatakan
bahwa baik buruknya suatu perilaku dinilai dari sudut tindakan itu sendiri, dan bukan akibatnya.
Suatu perilaku baik apabila perilaku itu sesuai norma-norma yang ada. b. Teologis Teori
Teologis lebih menekankan pada unsur hasil. Suatu perilaku baik jika buah dari perilaku itu lebih
banyak untung daripada ruginya, dimana untung dan rugi ini dilihat dari indikator kepentingan
manusia. Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu egoisme dan utilitarianisme (utilisme).
Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy Bentham (1742 – 1832), yang kemudian diperbaiki oleh
john Stuart Mill (1806 – 1873). 2. Estetika Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan
(philosophy of beauty), yang berasal dari kata aisthetika atau aisthesis (Yunani) yang artinya hal-
hal yang dapat dicerap dengan indera atau cerapan indera. Estetika membahas hal yang berkaitan
dengan refleksi kritis terhadap nilai-nilai atas sesuatu yang disebut indak atau tidak indah. Dalam
perjalanan filsafat dari era Yunani kuno hingga sekarang muncul persoalan tentang estetika,
yaitu: pertanyaan apa keindahan itu, keindahan yang bersifat objektif dan subjektif, ukuran
keindahan, peranan keindahan dalam kehidupan manusia dan hubungan keindahan dengan
kebenaran. Sehingga dari pertanyaan itu menjadi polemik menarik terutama jika dikaitkan
dengan agama dan nilai-nilai kesusilaan, kepatutan, dan hukum. BAB 1 ILMU, FILSAFAT
DAN TEOLOGI “Aku datang – entah dari mana, aku ini – entah siapa, aku pergi – entah
kemana, aku akan mati – entah kapan, aku heran bahwa aku gembira”. (Martinus dari Biberach,
tokoh abad pertengahan). 1. Manusia bertanya Menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya,
manusia kagum atas apa yang dilihatnya, manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-
inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling
kepada agama: “Manusia mengharapkan dari berbagai agama jawaban terhadap rahasia yang
tersembunyi sekitar keadaan hidup manusia. Sama seperti dulu, sekarang pun rahasia tersebut
menggelisahkan hati manusia secara mendalam: apa makna dan tujuan hidup kita, apa itu
kebaikan apa itu dosa, apa asal mula dan apa tujuan derita, mana kiranya jalan untuk mencapai
kebahagiaan sejati, apa itu kematian, apa pengadilan dan ganjaran sesudah maut, akhirnya apa itu
misteri terakhir dan tak terungkapkan, yang menyelimuti keberadaan kita, darinya kita berasal
dan kepadanya kita menuju?” — Zaman Kita (no.1), Deklarasi Konsili Vatikan II tentang Sikap
Gereja Katolik terhadap Agama-agama bukan Kristen, 1965. Salah satu hasil renungan mengenai
hal itu, yang berangkat dari sikap iman yang penuh taqwa kepada Allah, terdapat dalam Mazmur
8: “Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulianya namaMu diseluruh bumi! KeagunganMu yang
mengatasi langit dinyanyikan. Mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu berbicara bagiMu,
membungkam musuh dan lawanMu. Jika aku melihat langitMu, buatan jariMu, bulan dan
bintang yang Kautempatkan; apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Siapakah dia
sehingga Engkau mengindahkannya? — Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti
Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa
atas buatan tanganMu; segalanya telah Kauletakkan dibawah kakinya: kambing domba dan
lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang; burung-burung di udara dan ikan-ikan di
laut, dan apa yang melintasi arus lautan. Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulia namaMu di seluruh
bumi!” 2. Manusia berfilsafat Tetapi sudah sejak awal sejarah ternyata sikap iman penuh taqwa
itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa
sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu
menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis,
sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis
dan koheren (”bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2)
dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.
Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas),
makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat adalah
pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat
merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (=
kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan). Al-Kindi (801 – 873 M) : “Kegiatan
manusia yang bertingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai
hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia … Bagian filsafat yang paling mulia
adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala
kebenaran”. Unsur “rasional” (penggunaan akal budi) dalam kegiatan ini merupakan syarat
mutlak, dalam upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan “secara mendasar” pengembaraan
manusia di dunianya menuju akhirat. Disebut “secara mendasar” karena upaya itu dimaksudkan
menuju kepada rumusan dari sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan
sebab-musabab terdalam dari obyek yang dipelajari (”obyek material”), yaitu “manusia di dunia
dalam mengembara menuju akhirat”. Itulah scientia rerum per causas ultimas — pengetahuan
mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam. Karl Popper (1902-?)
menulis “semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup
dan kematian. Ada yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup itu akan
berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu
bahwa kalau hidup tidak akan berakhir, maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang
selalu hadir yang membuat kita dapat kehilangan hidup sekurang-kuran gnya ikut menolong kita
untuk menyadari nilai dari hidup”. Mengingat berfilsafat adalah berfikir tentang hidup, dan
“berfikir” = “to think” (Inggeris) = “denken” (Jerman), maka – menurut Heidegger (1889-1976 ),
dalam “berfikir” sebenarnya kita “berterimakasih” = “to thank” (Inggeris) = “danken” (Jerman)
kepada Sang Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang diberikan kepada kita.
Menarik juga untuk dicatat bahwa kata “hikmat” bahasa Inggerisnya adalah “wisdom”, dengan
akar kata “wise” atau “wissen” (bahasa Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam bahasa
Norwegia itulah “viten”, yang memiliki akar sama dengan kata bahasa Sansekerta “vidya” yang
diindonesiakan menjadi “widya”. Kata itu dekat dengan kata “widi” dalam “Hyang Widi” =
Tuhan. Kata “vidya” pun dekat dengan kata Yunani “idea”, yang dilontarkan pertama kali oleh
Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh para filsuf sepanjang segala abad. Menurut
Aristoteles (384-322 sM), pemikiran kita melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere = menjauhkan
diri dari, mengambil dari). Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis ilmu pengetahuan dalam
bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut filsafat: Aras abstraksi pertama – fisika. Kita
mulai berfikir kalau kita mengamati. Dalam berfikir, akal dan budi kita “melepaskan diri” dari
pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat dirasakan” (”hyle aistete”).
Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah
proses abstraksi dari ciri-ciri individual. Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu,
menghasilan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika” (”physos” = alam). Aras abstraksi kedua –
matesis. Dalam proses abstraksi selanjutnya, kita dapat melepaskan diri dari materi yang
kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti
(”hyle noete”). Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri material ini
disebut “matesis” (”matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu). Aras abstraksi ketiga –
teologi atau “filsafat pertama”. Kita dapat meng-”abstrahere” dari semua materi dan berfikir
tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, dsb. Aras
fisika dan aras matematika jelas telah kita tinggalkan. Pemikiran pada aras ini menghasilkan ilmu
pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau “filsafat pertama”. Akan tetapi karena
ilmu pengetahuan ini “datang sesudah” fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.
Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu
pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian
dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan
tentang batas-batas dari kekhususannya. 3. Manusia berteologi Teologi adalah: pengetahuan
metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan berdasarkan iman. Secara sederhana,
iman dapat didefinisikan sebagai sikap manusia dihadapan Allah, Yang mutlak dan Yang kudus,
yang diakui sebagai Sumber segala kehidupan di alam semesta ini. Iman itu ada dalam diri
seseorang antara lain melalui pendidikan (misalnya oleh orang tua), tetapi dapat juga melalui
usaha sendiri, misalnya dengan cermat merenungkan hidupnya di hadapan Sang pemberi hidup
itu. Dalam hal ini Allah dimengerti sebagai Realitas yang paling mengagumkan dan
mendebarkan. Tentulah dalam arti terakhir itu berteologi adalah berfilsafat juga. Iman adalah
sikap batin. Iman seseorang terwujud dalam sikap, perilaku dan perbuatannya, terhadap
sesamanya dan terhadap lingkungan hidupnya. Jika iman yang sama (apapun makna kata “sama”
itu) ada pada dan dimiliki oleh sejumlah atau sekelompok orang, maka yang terjadi adalah proses
pelembagaan. Pelembagaan itu misalnya berupa (1) tatacara bagaimana kelompok itu ingin
mengungkapkan imannya dalam doa dan ibadat, (2) tatanilai dan aturan yang menjadi pedoman
bagi penghayatan dan pengamalan iman dalam kegiatan sehari-hari, dan (3) tatanan ajaran atau
isi iman untuk dikomunikasikan (disiarkan) dan dilestarikan. Jika pelembagaan itu terjadi,
lahirlah agama. Karena itu agama adalah wujud sosial dari iman. Catatan. (1) Proses yang
disebut pelembagaan itu adalah usaha yang sifatnya metodis, sistematis dan koheren atas
kenyataan yang berupa kesadaran akan kehadiran Sang Realitas yang mengatasi hidup. Dalam
konteks inilah kiranya kata akal (”‘aql”) dan kata ilmu (”‘ilm”) telah digunakan dalam teks Al
Qur’an. Kedekatan kata ‘ilm dengan kata sifat ‘alim kata ulama kiranya juga dapat dimengerti.
Periksalah pula buku Yusuf Qardhawi, “Al-Qur’an berbicara tentang akal dan ilmu
pengetahuan”, Gema Insani Press, 1998. Namun sekaligus juga harus dikatakan, bahwa kata
“ilmu” itu dalam pengertian umum dewasa ini meski serupa namun tetap tak sama dengan makna
kata “ilmu” dalam teks dan konteks Al-Qur’an itu. (2) Proses terbentuknya agama sebagaimana
diungkapkan disini pantas disebut sebagai pendekatan “dari bawah”. Inisiatif seakan-akan
berasal dari manusia, yang ingin menemukan hakekat hidupnya di dunia ini dikaitkan dengan
Sang sumber hidup dan kehidupan. Manusia meniti dan menata hidupnya sesuai dengan hasil
penemuannya. Pendekatan “dari atas” nyata pada agama-agama samawi: Allah mengambil
inisiatif mewahyukan kehendakNya kepada manusia, dan oleh karena itu iman adalah tanggapan
manusia atas “sapaan” Allah itu. Sebagai ilmu, teologi merefleksikan hubungan Allah dan
manusia. Manusia berteologi karena ingin memahami imannya dengan cara lebih baik, dan ingin
mempertanggungjawabkannya: “aku tahu kepada siapa aku percaya” (2Tim 1:12). Teologi bukan
agama dan tidak sama dengan Ajaran Agama. Dalam teologi, adanya unsur “intellectus quaerens
fidem” (akal menyelidiki isi iman) diharapkan memberi sumbangan substansial untuk integrasi
akal dan iman, iptek dan imtaq, yang pada gilirannya sangat bermanfaat bagi hidup manusia
masa kini. 4. Obyek material dan obyek formal Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek
formal. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi)
pembicaraan, yaitu gejala “manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat”. Dalam gejala
ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang
manusia (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi –
filsafat ketuhanan; kata “akhirat” dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti
dengan kata Tuhan). Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling
berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang
lain. Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia
dalam dunianya. Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang
sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan.
Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat. Filsafat
berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang
sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses
itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses
abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat. Dalam filsafat, ada filsafat
pengetahuan. “Segala manusia ingin mengetahui”, itu kalimat pertama Aristoteles dalam
Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala “manusia tahu”. Tugas filsafat ini adalah
menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali “kebenaran”
(versus “kepalsuan”), “kepastian” (versus “ketidakpastian”), “obyektivitas” (versus
“subyektivitas”), “abstraksi”, “intuisi”, dari mana asal pengetahuan dan kemana arah
pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan
kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat
ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati
dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-
ilmu pengetahuan. 5. Cabang-cabang filsafat 5.1. Sekalipun bertanya tentang seluruh realitas,
filsafat selalu bersifat “filsafat tentang” sesuatu: tentang manusia, tentang alam, tentang akhirat,
tentang kebudayaan, kesenian, bahasa, hukum, agama, sejarah, … Semua selalu dikembalikan ke
empat bidang induk: 1. filsafat tentang pengetahuan: obyek material : pengetahuan (”episteme”)
dan kebenaran epistemologi; logika; kritik ilmu-ilmu; 2. filsafat tentang seluruh keseluruhan
kenyataan: obyek material : eksistensi (keberadaan) dan esensi (hakekat) metafisika umum
(ontologi); metafisika khusus: antropologi (tentang manusia); kosmologi (tentang alam semesta);
teodise (tentang tuhan); 3. filsafat tentang nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah tindakan: obyek
material : kebaikan dan keindahan etika; estetika; 4. sejarah filsafat. 5.2. Beberapa penjelasan
diberikan disini khusus mengenai filsafat tentang pengetahuan. Dipertanyakan: Apa itu
pengetahuan? Dari mana asalnya? Apa ada kepastian dalam pengetahuan, atau semua hanya
hipotesis atau dugaan belaka? Pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan,
batas-batas pengetahuan, asal dan jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam epistemologi. Logika
(”logikos”) “berhubungan dengan pengetahuan”, “berhubungan dengan bahasa”. Disini bahasa
dimengerti sebagai cara bagaimana pengetahuan itu dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka
logika merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan
yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah adanya. Ada banyak ilmu, ada pohon
ilmu-ilmu, yaitu tentang bagaimana ilmu yang satu berkait dengan ilmu lain. Disebut pohon
karena dimengerti pastilah ada ibu (akar) dari semua ilmu. Kritik ilmu-ilmu mempertanyakan
teori-teori dalam membagi ilmu-ilmu, metode-metode dalam ilmu-ilmu, dasar kepastian dan
jenis keterangan yang diberikan. 5.3. Menurut cara pendekatannya, dalam filsafat dikenal ada
banyak aliran filsafat: eksistensialisme, fenomenologi, nihilisme, materialisme, … dan
sebaginya. 5.4. Pastilah ada filsafat tentang agama, yaitu pemikiran filsafati (kritis, analitis,
rasional) tentang gejala agama: hakekat agama sebagai wujud dari pengalaman religius manusia,
hakikat hubungan manusia dengan Yang Kudus (Numen): adanya kenyataan trans-empiris, yang
begitu mempengaruhi dan menentukan, tetapi sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah-
laku manusia. Yang Kudus itu dimengerti sebagai Mysterium Tremendum et Fascinosum;
kepadaNya manusia hanya beriman, yang dapat diamati (oleh seorang pengamat) dalam perilaku
hidup yang penuh dengan sikap “takut-dan-taqwa”, wedi-lan-asih ing Panjenengane. Sebegitu,
maka tidak ada filsafat agama X; yang ada adalah filsafat dalam agama X, yaitu pemikiran
menuju pembentukan infrastruktur rasional bagi ajaran agama X. Hubungan antara filsafat
dengan agama X dapat diibaratkan sebagai hubungan antara jemaah haji dengan kendaraan yang
ditumpangi untuk pergi haji ke Tanah Suci, dan bukan hubungan antara jemaah haji dengan iman
yang ada dalam hati jemaah itu. Catatan lain. 1. Iman dapat digambarkan mirip dengan gunung
es di lautan. Yang tampak hanya sekitar sepersepuluh saja dari keseluruhannya. Karena iman
adalah suasana hati, maka berlakulah peribahasa: “dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa
yang tahu”. Tahukah saudara akan kadar keimanan saya? 2. Sekaligus juga patut ditanyakan
“dimanakah letak hati yang dimaksudkan disini? Pastilah “hati” itu (misalnya dalam kata “sakit
hati” jika seorang pemudi dibuat kecewa oleh sang pemuda yang menjadi pacarnya) bukan organ
hati (dan kata “sakit hati” karena liver anda membengkak) yang diurus oleh para dokter di rumah
sakit. Periksa pula apa yang tersirat dalam kata “batin”, “kalbu”, “berhati-hatilah”, “jantung
hati”, “jatuh hati”, “hati nurani”, dan “suara hati”. 3. Menurut Paul A Samuelson tirani kata
merupakan gejala umum dalam masyarakat. Sering ada banyak kata dipakai untuk
menyampaikan makna yang sama dan ada pula banyak makna terkait dalam satu kata. Manusia
ditantang untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah (”clearly and distinctly”),
sekurang-kurangnya untuk menghindarkan miskomunikasi dan menegakkan kebenaran. Itulah
nasehat dari Rene Descrates. Bahkan kedewasaan seseorang dalam menghadapi persoalan
(termasuk persoalan-persoalan dalam hidupnya) erat hubungannya dengan kemampuannya untuk
berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah tersebut. 6. Refleksi rasional dan refleksi
imani Ketika bangsa Yunani mulai membuat refleksi atas persoalan-persoalan yang sekarang
menjadi obyek material dalam filsafat dan bahkan ketika hasil-hasil refleksi itu dibukukan dalam
naskah-naskah yang sekarang menjadi klasik, bangsa Israel telah memiliki sejumlah naskah
(yang sekarang dikenal sebagai bagian dari Alkitab yang disebut Perjanjian Lama). Naskah-
naskah itu pada hakekatnya merupakan hasil refleksi juga, oleh para bapa bangsa itu tentang
nasib dan keberuntungan bangsa Israel — bagaimana dalam perjalanan sejarah sebagai “bangsa
terpilih”, mereka sungguh dituntun (bahkan sering pula dihardik dengan keras serta dihukum)
oleh YHWH (dibaca: Yahwe), Allah mereka. Ikatan erat dengan tradisi dan ibadat telah
menjadikan naskah-naskah itu Kitab Suci agama mereka (Agama Yahudi). Pada gilirannya,
Kitab Suci itu pun memiliki posisi unik dalam Agama Kristiani. Catatan. Bangsa Israel (dan
Israel dalam Alkitab) sebagaimana dimaksudkan diatas tidak harus dimengerti sama dengan
bangsa Israel yang sekarang ada di wilayah geografis yang sekarang disebut “negara Israel”.
Kedua refleksi itu berbeda dalam banyak hal. Refleksi tokoh-tokoh Yunani itu (misal Plato dan
Aristoteles) mengandalkan akal dan merupakan cetusan penolakan mereka atas mitologi (faham
yang menggambarkan dunia sebagai senantiasa dikuasai oleh para dewa dan dewi). Sebaliknya,
refleksi para bapa bangsa Israel itu (misal: Musa yang umumnya diterima sebagai penulis 5 kitab
pertama Perjanjian Lama) merupakan ditopang oleh kalbu karena merupakan cetusan
penerimaan bangsa Israel atas peran Sang YHWH dalam keseluruhan nasib dan sejarah bangsa
itu. Refleksi imani itu sungguh merupakan pernyataan universal pengakuan yang tulus,
barangkali yang pertama dalam sejarah umat manusia, akan kemahakuasaan Allah dalam hidup
dan sejarah manusia. Sekarang ada yang berpendirian, bahwa hasil refleksi rasional para tokoh
Yunani itu, berasimilasi dengan tradisi refleksi hidup keagamaan yang monoteistis, ternyata
menjadi bibit bagi lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan yang dikenal dewasa ini. Oleh karena itu
sering filsafat dikatakan mengatasi setiap ilmu. Sementara itu, harus dicatat bahwa dalam
lingkungan kebudayaan India dan Cina berkembang pula refleksi bernuansa lain: wajah Asia.
Refleksi itu nyata dalam buah pengetahuan yang terkumpul (misalnya dalam wujud “ilmu
kedokteran alternatif” tusuk jarum), dan dalam karya-karya sastra “kaliber dunia” dari anak
benua India. Karya-karya sastra itu sering diperlakukan sebagai kitab suci, atau dihormati
sebagai Kitab Suci, karena diterima sebagai kitab yang penuh dengan hal-hal yang bernilai suci
untuk menjadi pedoman hidup sehari-hari. Misalnya saja Bhagavadgita (abad 4 seb Masehi).
Bhagawadgita (atau Gita) diangkat dari epik Mahabharata, dari posisi sekunder (bagian dari
sebuah cerita) ke posisi primer (sumber segala inspirasi untuk hidup). Pada abad 8 Masehi,
Sankara (seorang guru) menginterpretasi Gita bukan sebagai pedoman untuk aksi, tetapi sebagai
pedoman untuk “mokhsa”, pembebasan dari keterikatan kepada dunia ini. Ramanuja (abad 12
Masehi) melihatnya sebagai sumber devosi atas kerahiman Tuhan yang hanya bisa dihayati
melalui cinta. Pada masa perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 40-an, Gita dilihat sebagai
pedoman untuk ber-”dharma yuddha”, perang penuh semangat menegakkan kebenaran terhadap
penjajah yang tak adil. Bagi Tilak, Arjuna adalah “a man of action” (”karma yogin”), dan Gita
mendorong seseorang untuk bertindak sedemikian sehingga ia menjadi “mokhsa” melalui
“perjuangan” yang ditempuhnya. Aurobindo, Mahatma Gandhi, Bhave, Radhakrishnan, dan
tokoh-tokoh lain membuat komentar yang kurang lebih sama. Tanpa interpretasi Tilak, misalnya,
pergolakan di India pada waktu itu mudah dinilai sebagai bersifat politis murni (atau kriminal
murni?), yaitu tanpa landasan ideal, spiritual, teologis dan etis. Sesungguhnya, berefleksi
merupakan ciri khas manusia sebagai pribadi dan dalam kelompok. Refleksi merupakan sarana
untuk mengembangkan spiritualitas dan aktualisasi menjadi manusia yang utuh, dewasa dan
mandiri. Melalui refleksi pula, manusia dan kelompok-kelompok manusia (yaitu suku dan
bangsa) menemukan jati dirinya, menyadari tempatnya dalam dimensi ruang dan waktu (dalam
sejarah), serta melaksanakan panggilannya untuk membuat sejarah bagi masa depan. Catatan.
Adakah refleksi tentang realitas yang khas Indonesia? Suatu kajian berdasar naskah-naskah
sastra Jawa masa lalu terdapat dalam disertasi doktor P J Zoetmulter SJ: “Manunggaling Kawula
Gusti” (1935), yang telah diterjemahkan oleh Dick Hartoko SJ dan diterbitkan oleh PT
Gramedia. http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1871556-pengantar-filsafat/ Ilmu
merupakan suatu cara berpikir tentang sesuatu objek yang khas dengan pendekatan tertentu
sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan ilmiah. Ilmiah dalam arti
sistem dan struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Suatu keharusan bagi
ilmuwan memiliki moral dan akhlak untuk membuat pengetahuan ilmiah menjadi pengetahuan
yang didalamnya memiliki karakteristik kritis, rasional, logis, objektif, dan terbuka. Disamping
itu, pengetahuan yang sudah dibangun harus memberikan kegunaan bagi kehidupan manusia,
menjadi penyelamat manusia, serta senantiasa menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Di
sinilah letak tanggung jawab ilmuwan untuk memiliki sikap ilmiah. Para ilmuwan sebagai
profesional di bidang keilmuan tentu perlu memiliki visi moral, yang dalam filsafat ilmu disebut
sebagai sikap ilmiah, yaitu suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang
bersifat objektif, yang bebas dari prasangka pribadi, dapat dipertanggungjawabkan secara sosial
dan kepada Tuhan. Adapun sikap ilmiah yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan sedikitnya ada
enam, yaitu: 1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), merupakan sikap yang diarahkan untuk
mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dan menghilangkan pamrih. 2. Bersikap selektif,
yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap
segala sesuatu yang dihadapi. 3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan
maupun terhadap alat-alat indera serta budi (mind). 4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu
kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti ( conviction) bahwa setiap pendapat atau teori
yang terdahulu telah mencapai kepastian. 5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa ilmuwan harus
selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk
riset. Dan riset atau penelitian merupakan aktifitas yang menonjol dalam hidupnya. 6. Memiliki
sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu bagi kemajuan ilmu
dan untuk kebahagiaan manusia. Secara terminologi, etika adalah cabang filsafat yang
membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik dan buruk.
Yang dapat dinilai baik dan buruk adalah sikap manusia yang menyangkut perbuatan, tingkah
laku, gerakan, kata dan sebagainya. Dalam etika ada yang disebut etika normatif, yaitu suatu
pandangan yang memberikan penilaian baik dan buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak.
Penerapan dari ilmu membutuhkan dimensi etika sebagai pertimbangan dan yang mempunyai
pengaruh pada proses perkembangannya lebih lanjut. Tanggung jawab etika menyangkut pada
kegiatan dan penggunaan ilmu. Dalam hal ini pengembangan ilmu pengetahuan harus
memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, keseimbangan ekosistem, bersifat universal
dan sebagainya, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan
memperkokoh eksistensi manusia dan bukan untuk menghancurkannya. Penemuan baru dalam
ilmu pengetahuan dapat mengubah suatu aturan alam maupun manusia. Hal ini menuntut
tanggung jawab etika untuk selalu menjaga agar yang diwujudkan tersebut merupakan hasil yang
terbaik bagi perkembangan ilmu dan juga eksistensi manusia secara utuh.
http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1862517-filsafat-ilmu-perkembangannya-di-
indonesia/ http://wangmuba.com/2009/04/20/filsafat-ilmu-dan-ilmu-pengetahuan-sebagai-jalan-
menuju-kebenaran/ No Comment No comments yet Trackback URI | Subscribe to the comments
through RSS Feed Leave a reply name (required) email ( will not be shown ) (required) website
Spam protection by WP Captcha-Free Search for:

Anda mungkin juga menyukai