Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Artritis reumatoid adalah penyakit multisistem kronis yang penyebabnya tidak diketahui.

Terdapat berbagai manifestasi sistemik pada penyakit ini, karakteristiknya adalah peradangan

yang menetap pada cairan sendi (sinovitis), biasanya menyerang area sekitar sendi dengan

distribusi yang simetris. 1,2,3

Potensi dari inflamasi yang terjadi pada cairan sendi dapat menyebabkan kerusakan

kartilago, erosi pada tulang, dan perubahan yang lebih lanjut pada integritas sendi sebagai tanda

khas pada penyakit ini. Walaupun berpotensi merusak, artritis reumatoid cukup bervariasi.

Beberapa penderita hanya menunjukkan penyakit oligoartikular yang ringan dengan durasi yang

singkat disertai dengan kerusakan sendi yang minimal, sedangkan pada penderita yang lain dapat

menunjukkan poliartritis progresif yang ditandai kerusakan fungsional.1

Beberapa penelitian mengatakan bahwa artritis reumatoid mengalami penuruanan dalam

hal frekuensi dan tingkat keberatannya. Sebagian besar, tanda dari artritis reumatoid adalah

homogen, dan pola dari perubahan sendi dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor genetik. Artriris

reumatoid dihubungkan dengan penyakit ekstra-artikular yang secara konsisten lebih sedikit

terjadi pada orang Asia dan Afrika dibanding dengan orang Kaukasia.4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. EPIDEMIOLOGI

Artritis reumatoid merupakan penyakit yang jarang pada laki-laki dibawah umur 30 tahun.

Insiden penyakit ini memuncak pada umur 60-70 tahun. Pada wanita, prevalensi penyakit ini

meningkat dari pertengahan abad ke-20 dan konstan pada level umur 45-65 tahun dengan masa

puncak 65-75 tahun.4

Prevalensi dari artritis reumatoid mendekati 0,8 % dari populasi (kisaran 0,3 - 2,1%),

wanita terkena tiga kali lebih sering dibandingkan dengan laki-laki. Prevalensi penyakit ini

meningkat dengan umur, dan jenis kelamin, perbedaannya dikurangi pada kelompok usia tua.

Penyakit ini menyerang orang-orang di seluruh dunia dari berbagai suku bangsa. Onset dari

penyakit ini sering pada dekade ke-empat dan ke-lima dari kehidupan. 1,5,6

Faktor resiko genetik tidak sepenuhnya dihitung pada insiden terjadinya artritis reumatoid,

hanya menyatakan bahwa faktor lingkungan juga berperan penting pada penyebab dari penyakit

ini. Hal ini ditekankan pada penelitian epidemiologi di Afrika yang mengindikasikan cuaca dan

urbanisasi merupakan pengaruh utama pada insiden dan tingkat keberatan dari artritis reumatoid

pada kelompok dengan latar belakang genetik yang serupa.1

B. ETIOLOGI

Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui. Dikatakan bahwa artritis reumatoid

mungkin merupakan manifestasi dari respon terhadap agen infeksius pada orang-orang yang

rentan secara genetik. Karena distibusi artritis reumatoid yang luas, hal ini menimbulkan
hipotesis bahwa jika penyebabnya adalah agen infeksius, maka organisme tersebut haruslah

tersebar secara luas. Beberapa kemungkinan agen penyebab tersebut diantaranya termasuk

mikoplasma, virus Epstein-Barr (EBV), sitomegalovirus, parvovirus, dan virus rubella, tapi

berdasarkan bukti-bukti, penyebab ini ataupun agen infeksius yang lain yang menyebabkan

artritis reumatoid tidak muncul pada penderita artritis reumatoid.1

Walupun etiologi dari artritis reumatoid belum diketahui, namun nampaknya

multifaktorial. Terdapat kerentanan genetik yang jelas, dan penelitian pada orang kembar

mengindikasikan indeks sekitar 15-20%. Sebanyak 70% dari pasien artrirtis reumatoid

ditemukan human leucocyte antigen-DR4 (HLA-DR4), sedangkan faktor lingkungan seperti

merokok dan agen infeksius dikatakan memiliki peranan penting pada etiologi, namun

kontribusinya sampai saat ini belum terdefinisikan.1,5,7

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI SENDI

Sendi sinovial memiliki karakteristik sedemikian rupa sehingga memungkinkan jangkauan

gerakan yang luas. Sendi sinovial diklasifikasikan berdasarkan jangkauan gerakan atau

berdasarkan bentuk bagian sendi dari tulang yang terlibat.8

Gambar 1 : Gambaran skematik dari sendi sinvial. (1)


periosteum, (2) lapisan fibrous terluar dari kapsul, (3)
lapisan sinovial bagian dalam dari kapsul, (4) lemak
dan jaringan lunak longgar, (5) celah artikular, (6)
kartilago, (7) tulang, (8) bare area. [dikutip dari
kepustakaan 5]
Setiap jenis sendi sinovial memiliki karakteristik yang sama, yaitu:8

a. Kartilago hialin

Bagian tulang yang bersentuhan pasti dilindungi oleh kartilago hialin yang menyediakan

permukaan yang lembut dan cukup kuat untuk menyerap gaya tekan serta menahan berat

tubuh. Lapisan kartilago memiliki ketebalan 7 mm pada orang muda dan semakin tipis dan

rentan terhadap tekanan seiring dengan pertambahan usia. Hal ini menyebabkan

bertambahnya tekanan pada struktur sendi. Kartilago tidak diperdarahi tetapi menerima

nutrisi dari cairan sinovial.

b. Ligamentum kapsuler

Sendi dikelilingi dan ditutupi oleh jaringan fibrosa yang mengikat tulang-tulang yang

berkaitan. Jaringan tersebut cukup regang sehingga pergerakan dapat dilakukan tapi juga

cukup kuat untuk dapat melindungi dari jejas.

c. Membran sinovial

Membran sinovial disusun oleh sel epitel dan berfungsi:

- Melapisi kapsul

- Menutupi bagian tulang di dalam sendi yang tidak ditutupi oleh kartilago sendi

- Menutupi seluruh struktur intrakapsuler yang tidak menyokong berat tubuh

d. Cairan sinovial

Cairan sinovial merupakan cairan kental dengan konsistensi menyerupai putih telur dan

disekresikan oleh membran sinovial kedalam kavitas sinovial, dan berfungsi:

o Menyediakan nutrisi untuk struktur di dalam kavitas sinovial

o Mengandung fagosit yang mengeliminasi mikroba dan debris seluler

o Berfungsi sebagai lubrikan


o Mempertahankan stabilitas sendi

o Mencegah terpisahnya kedua ujung tulang yang berlengketan, seperti sedikit air

yang terdapat diantara dua permukaan kaca

e. Struktur intrakapsular lainnya

Beberapa sendi memiliki struktur-struktur yang terdapat di dalam kapsul, tetapi berada di

luar membran sinovial yang membantu mempertahankan stabilitas, contohnya bantalan

lemak dan meniskus pada sendi lutut. Jika struktur tersebut tidak menyokong berat tubuh,

biasanya struktur tersebut tidak ditutupi oleh membran sinovial

f. Struktur ekstrakapsular

o Ligamentum, yang bergabung dengan kapsul memberikan stabilitas lebih lagi

pada kebanyakan sendi

o Otot atau tendon, juga menyediakan stabilitas. Selain itu otot dan tendon juga

meregang melintasi sendi ketika terjadi pergerakan. Jika otot berkontraksi, otot

tersebut akan memendek dan menarik dua tulang sehingga semakin berdekatan.

g. Suplai darah dan persarafan

Saraf dan pembuluh darah yang melintasi sendi biasanya bertugas menyuplai kapsul dan otot

yang menggerakkannya.

D. PATOFISIOLOGI

Artritis reumatoid adalah proses inflamasi kompleks yang merupakan hasil reaksi dari

berbagai populasi sel imun dengan aktivasi dan proliferasi dari fibroblas sinovial. Respon

inflamasi ini menyerang cairan sinovial pada persendian, bursa dan tendon, serta jaringan lain di

seluruh tubuh. Orang-orang yang menderita penyakit ini menunjukkan tanda-tanda klinik yang
bermacam-macam dan distribusinya pada muskuloskeletal. Dalam jaringan sinovial, proses

inflamasi terjadi secara jelas, menimbulkan edema dan proliferasi kapiler dan sel mesenkim.

Pada jaringan sendi dan cairan sinovial, terjadi akumulasi dari leukosit yang menghasilkan enzim

lisosom dan proinflamasi lain, serta mediator-mediator toksik. Kemudian, dengan teraktivasinya

sel-sel imun dan fibroblas sinovial, mediator ini dapat merusak kartilago persendian yang

bedekatan. Jika proses ini terus berlanjut dan tidak dikendalikan, permukaan sendi akan hancur,

dan secara bertahap terjadi fibrosis pada jaringan fibrosa kapsul persendian dan jaringan sendi

atau terlihat ankilosis pada tulang.9

Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara. Pertama adalah destruksi akibat proses

pencernaan oleh karena produksi protease, kolagenase dan enzim-enzim hidrolitik lainnya.

Enzim-enzim ini memecah kartilago, ligamen, tendon dan tulang pada sendi, serta dilepaskan

bersama dengan radikal oksigen dan metabolit asam arakidonat oleh leukosit polimorfonuklear

dalam cairan sinovial. Proses ini diduga adalah bagian dari respon autoimun terhadap antigen

yang diproduksi secara lokal. Kedua adalah, destruksi jaringan juga terjadi melalui kerja panus

reumatoid. Panus merupakan jaringan granulasi vaskular yang terbentuk dari sinovium yang

meradang dan kemudian meluas ke sendi. Disepanjang pinggir panus, terjadi destruksi kolagen

dan proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel di dalam panus tersebut.10

Hiperplasia sinovial dan formasi ke dalam panus merupakan patogenesis artritis reumatoid

yang fundamental. Proses ini dimediasi oleh produksi dari berbagai sitokin, contohnya tumor

necrosis factor α (TNF-α) dan interleukin-1 (IL-1) oleh antigen presenting cells dan sel T. TNF-α

dan IL-1 juga memiliki peranan penting dalam destruksi tulang.5,7


E. DIAGNOSIS

Diagnosis dari artritis reumatoid dengan anamnesis dan pemeriksaan yang dikorelasikan

dengan data laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Karakteristik pasien, termasuk umur, jenis

kelamin dan etnis, sangat penting, karena hal tersebut berhubungan dengan resiko dan tingkat

keberatan dari penyakit.2

1. Gambaran Klinis

Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita artritis reumatoid.

Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit

ini memiliki gambaran klinis yang bervariasi.10

a. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan demam.

Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya

b. Poliartritis simetris, terutama pada sendi perifer: termasuk sendi-sendi di tangan, namun

biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal. Hampir semua sendi diartrodial

dapat terserang.

c. Kekakuan pagi hari, selama lebih dari satu jam: dapat bersifat generalisata tetapi terutama

menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis,

yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam

d. Artritis erosif: merupakan ciri khas dari penyakit ini pada gambaran radiologik.

Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang.

e. Deformitas: kerusakan struktur penunjang sendi meningkat dengan perjalanan penyakit.

Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal, deformitas

boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai.

Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dan
subluksasi metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang dan mengalami

pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak ekstensi.

f. Nodul-nodul rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga

orang dewasa pasien artritis reumatoid. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini

adalah bursa olekranon (sendi siku) atau sepanjang permukaan ekstensor dari lengan.

Walaupun demikan, nodul-nodul ini dapat juga timbul pada tempat lainnya. Adanya

nodul-nodul ini biasanya merupakan petunjuk dari suatu penyakit yang aktif dan lebih

berat.

g. Manifestasi ekstra-artikular; artritis reumatoid juga dapat menyerang organ-organ lain di

luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat

rusak.

Dibawah ini merupakan tabel revisi kriteria untuk klasifikasi dari artritis reumatoid dari

American Rheumatism Association tahun 1987

Tabel 1: 1987 Revised American Rheumatism Association Criteria for the Classification of

Rheumatoid Arthritis

[dikutip dari kepustakaan 2]

Kriteria Definisi

Kekakuan pagi hari pada sendi atau disekitar sendi, lamanya


i. Kekakuan pagi hari
setidaknya 1 jam

ii. Artritis pada tiga atau lebih Setidaknya tiga area sendi secara bersama-sama dengan

area sendi peradangan pada jaringan lunak atau cairan sendi. 14


kemungkinan area yang terkena, kanan maupun kiri

proksimal interfalangs (PIP), metakarpofalangs (MCP),

pergelangan tangan, siku, lutut, pergelangan kaki, dan sendi

metatarsofalangs (MTP)

Setidaknya satu sendi bengkak pada pergelangan tangan,


iii. Artritis pada sendi tangan
sendi MCP atau sendi PIP

Secara bersama-sama terjadi pada area sendi yang sama pada


iv. Artritis simetris
kedua bagian tubuh

Adanya nodul subkutaneus melewati tulang atau permukaan


v. Nodul-nodul reumatoid
regio ekstensor atau regio juksta-artikular

Menunjukkan adanya jumlah abnormal pada serum faktor

vi. Serum faktor reumatoid reumatoid dengan berbagai metode yang mana hasilnya

positif jika < 5% pada subyek kontrol yang normal

Perubahan radiografik tipikal pada artritis reumatoid pada

radiografik tangan dan pergelangan tangan posteroanterior,


vii. Perubahan radiografik
dimana termasuk erosi atau dekalsifikasi terlokalisasi yang

tegas pada tulang.

Untuk klasifikasi, pasien dikatakan menderita atrtritis reumatoid jika pasien memenuhi

setidaknya 4 dari 7 kriteria diatas. Kriteria 1 - 4 harus sudah berlangsung sekurang-kurangnya 6

minggu. Pasien dengan dua diagnosis klinis, tidak dikeluarkan pada kriteria ini.
2. Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan fisis pada pasien dengan artritis reumatoid adalah penilaian standar untuk

peradangan pada sendi, kelemahan dan keterbatasan gerak. Selain itu, pada pemeriksaan fisis

juga menunjukkan adanya gejala-gejala ekstra-artikular seperti skleritis, nodul-nodul, garukan

perikardial, efusi pleura, splenomegali, dan ulkus kulit pada ekstremitas bawah.2

Pada artritis reumatoid yang lanjut, tangan pasien dapat menunjukkan deformitas

boutonnierre dimana terjadi hiperekstensi dari sendi distal interfalangs (DIP) dan fleksi pada

sendi proksimal interfalangs (PIP). Deformitas yang lain merupakan kebalikan dari deformitas

boutonniere, yaitu deformitas swan-neck, dimana juga terjadi hiperekstensi dari sendi PIP dan

fleksi dari sendi DIP. Jika sendi metakarpofalangs telah seutuhnya rusak, sangat mungkin untuk

menggantinya dengan protesa silikon.11

Gambar 2 : Gambaran skematik dari deformitas swan-neck dan deformitas boutonniere, sering telihat

pada artritis reumatoid lanjut.

[dikutip dari kepustakaan 9]


3. Pemeriksaan Laboratorium

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis artritis reumatoid.

Beberapa hasil uji laboratoirum dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis artritis

reumatoid. Sekitar 85% pasien artritis reumatoid memiliki autoantibodi di dalam serumnya yang

dikenal sebagai faktor reumatoid. Autoantibodi ini adalah imunoglobulin M (IgM) yang beraksi

terhadap perubahan imunoglobulin G (IgG). Keberadaan dari faktor reumatoid bukan merupakan

hal yang spesifik pada penderita artritis reumatoid. Faktor reumatoid ditemukan sekitar 5% pada

serum orang normal, insiden ini meningkat dengan pertambahan usia, sebanyak 10-20% pada

orang normal usia diatas 65 tahun positif memiliki faktro reumatoid dalam titer yang rendah.1,10

Laju endap darah (LED) eritrosit adalah suatu indeks peradangan yang tidak spesifik.

Pasien dengan artritis reumatoid nilainya dapat tinggi (100 mm/jam atau lebih tinggi lagi). Hal

ini berarti bahwa LED dapat dipakai untuk memantau aktivitas penyakit.10

Anemia normositik normokrom sering didapatkan pada penderita dengan artritis rematoid

yang aktif melalui pengaruhnya pada sumsum tulang. Anemia ini tidak berespon pada

pengobatan anemia yang biasa dan dapat membuat seseorang merasa kelelahan.1.10

Analisis cairan sinovial menunjukkan keadaan inflamasi pada sendi, walaupun tidak ada

satupun temuan pada cairan sinovial spesifik untuk artritis reumatoid. Cairan sinovial biasanya

keruh, dengan kekentalan yang menurun, peningkatan kandungan protein, dan konsentrasi

glukosa yang mengalami sedikit penurunan atau normal. Hitung sel leukosit (WBC) meningkat

mencapai 2000/µL dengan lebih dari 75% leukosit PMN, hal ini merupakan karakteristik

peradangan pada artritis, walaupun demikian, temuan ini tidak mendiagnosis artritis reumatoid.1
4. Pemeriksaan Radiologi

1.1 Foto Polos

Pada tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan radiologis

kecuali pembengkakan jaringan lunak. Tetapi, setelah sendi mengalami kerusakan yang lebih

berat, dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya rawan sendi. Juga dapat terjadi

erosi tulang pada tepi sendi dan penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan ini biasanya

irreversibel.10

Gambar 3 : Artritis erosif yang mengenai tulang karpal dan sendi metakarpofalangs. [dikutip dari

kepustakaan 12]
Gambar 4: A. Perubahan erosif pada ulna dan distal radius. B. Erosi komplit pada pergelangan tangan.

[dikutip dari kepustakaan 13]

Gambar 5: C. Swelling dan erosi pada sendi MTP 5. D. Nodul subkutaneus multipel pada tangan [dikutip

dari kepustakaan 13]


Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah peradangan periartikular jaringan

lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi sendi dan inflamasi hiperplastik sinovial.

Nodul reumatoid merupakan massa jaringan lunak yang biasanya tampak diatas permukaan

ekstensor pada aspek ulnar pergelangan tangan atau pada olekranon, namun adakalanya terlihat

diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan. Karakteristik nodul ini berkembang sekitar

20% pada penderita artritis reumatoid dan tidak terjadi pada penyakit lain, sehingga membantu

dalam menegakkan diagnosis.6

4.2 CT Scan

Computer tomography (CT) memiliki peranan yang minimal dalam mendiagnosis artritis

reumatoid. Walaupun demikian, CT scan berguna dalam memperlihatkan patologi dari tulang,

erosi pada sendi-sendi kecil di tangan yang sangat baik dievaluasi dengan kombinasi dari foto

polos dan MRI.14

CT scan jarang digunakan karena lebih rendah dari MRI dan memiliki kerugian dalam hal

radiasi. CT scan digunakan sebatas untuk mengindikasikan letak destruksi tulang dan stabilitas

tertinggi tulang secara tepat, seperti pada pengaturan pre-operatif atau pada tulang belakang.5

4.3 Ultrasonografi (USG)

Sonografi dengan resolusi tinggi serta pemeriksaan dengan frekuensi tinggi digunakan

untuk mengevaluasi sendi-sendi kecil pada artritis reumatoid. Efusi dari sendi adalah hipoekhoik,

sedangkan hipertrofi pada sinovium lebih ekhogenik. Nodul-nodul reumatoid terlihat sebagai

cairan yang memenuhi area kavitas dengan pinggiran yang tajam. Erosi tulang dapat terlihat
sebagai irregularitas pada korteks hiperekhoik. Komplikasi dari arthritis reumatoid, seperti

tenosinovitis dan ruptur tendon, juga dapat divisualisasikan dengan menggunakan ultrasonografi.

Hal ini sangat berguna pada sendi MCP dan IP. Tulang karpal dan sendi karpometakarpal tidak

tervisualisasi dengan baik karena konfigurasinya yang tidak rata dan lokasinya yang dalam.14

Gambar 6 : Erosi (tanda panah) pada sendi metakarpofalangs pada penderita artritis reumatoid (A)

bidang longitudinal (B) bidang transverse. M, kaput metakarpal dan P, falangs [dikutip dari kepustakaan

15]

Gambar 7 : (A) Gambaran normal bagian longitudinal dari sendi metakarpofalangs. (B) Sendi

metakarpofalangs pada pasien artritis reumatoid. FP, bantalan lemak; M dan MC,kaput metakarpal; P,

falangs; S, sinovitis.

[dikutip dari kepustakaan 15]


Sonografi telah digunakan dalam mendiagnosis artritis reumatoid dengan tujuan

meningkatkan standar yang tepat untuk radiografi konvensional. Ultrasonografi, terkhusus

dengan menambahkan amplitude color doppler (ACD) Imaging, juga menyediakan informasi

klinis yang berguna untuk dugaan artritis reumatoid. ACD imaging telah diaplikasikan untuk

artritis reumatoid dengan tujuan mengevaluasi manifestasi dari hiperemia pada peradangan

jaringan sendi. Hiperemia sinovial merupakan ciri patofisiologi yang fundamental untuk artritis

reumatoid.14

4.4 MRI

Magnetic Resonance Imaging (MRI) menyediakan gambaran yang baik dengan

penggambaran yang jelas dari perubahan jaringan lunak, kerusakan kartilago, dan erosi tulang-

tulang yang dihubungkan dengan artritis reumatoid.14

Gambar 8: koronal T1-weighted pada sendi metakarpofalangs 2-4, memperlihatkan erosi radial

yang luas pada kaput metakarpal 2 dan 3.

[dikutip dari kepustakaan 15]


Diagnosis awal dan penanganan awal merupakan manajemen utama pada artritis

reumatoid. Dengan adanya laporan mengenai sensitivitas MRI dalam mendeteksi erosi dan

sinovitis, serta spesifitas yang nyata untuk perubahan edema tulang, hal itu menandakan bahwa

MRI merupakan penolong untuk mendiagnosis awal penyakit artritis reumatoid. MRI juga

memberikan gambaran yang berbeda pada abnormalitas dari artritis reumatoid, sebagai contoh,

erosi tulang, edema tulang, sinovitis, dan tenosinovitis.15

E. DIAGNOSIS BANDING

1. GOUT ARTRITIS

Gout merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi

asam urat (hiperurisemia). Gout dapat bersifat primer maupun sekunder. Gout primer merupakan

akibat langsung dari pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan

eksresi asam urat, sedangkan gout sekunder disebabkan oleh pembentukan asam urat yang

berkurang akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat-obatan tertentu.16

Pada artritis gout akut, terjadi pembengkakan yang mendadak dan nyeri yang luar biasa,

biasanya pada sendi ibu jari kaki, sendi metatarsofalangeal. Artritis bersifat monoartrikular dan

menunjukkan tanda-tanda peradangan lokal. Mungkin terdapat demam dan peningkatan sejumlah

leukosit. Serangan dapat dipicu oleh pembedahan, trauma, obat-obatan, alkohol, atau stres

emosional. Sendi-sendi lain dapat terserang, termasuk sendi jari tangan, lutut, mata kaki,

pergelangan tangan, dan siku.16


Gambar 9 : Pembengkakan dan erosi pada sendi PIP-5 [dikutip dari kepustakaan 13]

2. OSTEOARTRITIS

Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini bersifat kronik,

berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh adanya deteorisasi dan abrasi rawan

sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada permukaan persendian. Gambaran klinis

osteoartritis umumnya berupa nyeri sendi, terutama apabila sendi bergerak atau menanggung

beban. Nyeri tumpul ini berkurang bila sendi digerakkan atau bila memikul beban tubuh. Dapat

pula terjadi kekakuan sendi setelah sendi tersebut tidak digerakkan beberapa lama, tetapi

kekakuan ini akan menghilang setelah digerakkan. Kekakuan pada pagi hari, jika terjadi,

biasanya hanya bertahan selama beberapa menit, bila dibandingkan dengan kekakuan sendi di

pagi hari yang disebabkan oleh artritis reumatoid yang terjadi lebih lama.17
Gambar 10: Penyempitan celah sendi medial yang asimetrik [dikutip dari kepustakaan 13]

Tabel 2: Perbandingan artritis reumatoid dengan diagnosa banding berdasarkan temuan radiologi
9

Gambaran Artritis
Gout Osteoartritis
Radiologi Reumatoid

Periartrikular, Intermitten, tidak


Soft tissue swelling Esentrik, tophi
simetris sejelas yang lain

Subluksasi Ya Tidak biasa Kadang-kadang

Menurun di
Mineralisasi Baik Baik
periartrikular

Kadang-kadang
Kalsifikasi Tidak Tidak
pada tophi

Celah sendi Menyempit Baik hingga Menyempit


menyempit

Punched out
Ya, pada
Erosi Tidak dengan garis
intraartikular
sklerotik

Menjalar ke tepi
Produksi tulang Tidak Ya
korteks

Bilateral,
Simetri Asimetri Bilateral, simetri
simetri

Kaki,
Proksimal ke
Lokasi pergelangan kaki, Distal ke proksimal
distal
tangan dan siku

Seagull appearance
Karakteristik yang Pembentukan
Poliartrikular pada sendi
membedakan kristal
interfalangeal

F. PENATALAKSANAAN

Tujuan terapi dari artritis reumatoid adalah (1) mengurangi nyeri, (2) mengurangi

inflamasi, (3) menjaga struktur persendian, (4) mempertahankan fungsi sendi, dan (5)

mengontrol perkembangan sistemik.1,10

Adapun penatalaksanaan dari artritis reumatoid adalah sebagai berikut:

1. Obat-obatan

a. Non-steroid anti-inflammatoy drugs (NSAID)

Kelompok obat ini mengurangi peradangan dengan menghalangi proses produksi


mediator peradangan. Tepatnya, obat ini menghambat sintetase prostaglandin atau

siklooksigenase. Enzim-enzim ini mengubah asam lemak sistemik andogen, yaitu asam

arakidonat menjadi prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan radikal-radikal oksigen.

Obat standar yang sudah dipakai sejak lama dalam kelompok ini adalah aspirin.10

Selain aspirin, NSAID yang lain juga dapat menyembuhkan artritis reumatoid. Produksi

dari prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan ini memberikan efek analgesik, anti-

inflamasi, dan anti-piretik.1

b. Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD)

Kelompok obat-obatan ini termasuk metotrexat, senyawa emas, D-penicilamine,

antimalaria, dan sulfasalazine. Walaupun tidak memiliki kesamaan kimia dan

farmakologis, pada prakteknya, obat-obat ini memberikan beberapa karakteristik.1

Pemberian obat ini baru menjadi indikasi apabila NSAID tidak dapat mengendalikan

artritis reumatoid. Beberapa obat-obatan yang telah disebutkan sebelumnya tidak

disetujui oleh U.S Food and Drugs Administration untuk dipakai sebagai obat artritis

reumatoid. Tujuan pengobatan dengan obat-obat kerja lambat ini adalah untuk

mengendalikan manifestasi klinis dan menghentikan atau memperlambat kemajuan

penyakit.10

2. Terapi glukokortikoid

Terapi glukokortikoid sistemik dapat memberikan efek untuk terapi simptomatik pada

penderita artritis reumatoid. Prednison dosis rendah (7,5 mg/hari) telah menjadi terapi

suportif yang berguna untuk mengontrol gejala. Walaupun demikian, bukti-bukti terbaru

mengatakan bahwa terapi glukokortikoid dosis rendah dapat memperlambat progresifitas

erosi tulang.1
3. Operasi

Operasi memiliki peranan penting dalam penanganan penderita artritis reumatoid dengan

kerusakan sendi yang parah. Meskipun artroplasti dan penggantian total sendi dapat

dilakukan pada beberapa sendi, prosedur yang paling sukses adalah operasi pada pinggul,

lutut, dan bahu. Tujuan realistik dari prosedur ini adalah mengurangi nyeri dan mengurangi

disabilitas.1

G. PROGNOSIS

Beberapa tampakan klinis pada pasien artritis reumatoid nampaknya memiliki nilai

prognostik. Remisi dari aktivitas penyakit cenderung lebih banyak terjadi pada tahun pertama.

Jika aktivitas penyakit berlangsung lebih dari satu tahun biasanya prognosis buruk. Wanita kulit

putih cenderung memiliki sinovitis yang lebih persisten dan lebih erosif dibanding pria.1

Harapan hidup rata-rata orang dengan artritis reumatoid memendek 3-7 tahun dari orang

normal. Peningkatan angka mortalitas tampaknya terbatas pada pasien dengan penyakit sendi

yang lebih berat, sehubungan dengan infeksi dan perdarahan gasrointestinal. Faktor yang

dihubungkan dengan kematian dini mencakup disabilitas, durasi dan tingkat keparahan penyakit,

penggunaan glukokortikoid, umur onset, serta rendahnya status sosio-ekonomi dan pendidikan.1
DAFTAR PUSTAKA

1. Lipsky, Peter E. Rheumatoid Arthritis. In: Kasper LK, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,

Hauser SL, and Jameson JL, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th ed.

New York: McGraw-Hill; 2005.p.1968-76

2. Kent PD and Matteson EL, editors. Clinical Feature and Differential Diagnosis. In: St.Clair

EW, Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1st ed. New York: Lippincott

Williams & Wilkins; 2004.p.11-23

3. Calleja, Michele. Rheumatoid Arthritis, Spine. [Online]. 2009. [cited 2011 March 3]:[2

screens]. Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/398955-overview

4. Snaith, Michael L. ABC of Rheumatology 3rd ed. London: BMJ Books; 2004.p.50-5

5. Sommer OF, Kladosek A, Weiller V, Czembirek H, Boeck M, and Stiskal S. Rheumatoid

Arthritis: A Practical Guide to State-of-the-Art Imaging, Image Interpretation, and Clinical

Implications. Austria: RadioGraphics; 2005.p.381-398

6. Eisenberg RL and Johnson NM, editors. Comprehensive Radiographic Pathology 4th ed.

Philadelphia: Mosby Elsevier; 2003.p.1134-5

7. Coote A and Haslam P, editors. Crash Course Rheumatology and Orthopaedics 1st ed. New

York : Mosby; 2004.p.51-9

8. Waugh A and Grand A, editors. Rose and Wilson Anatomy and Physiology in Health and

Illness 9th ed. Edinburg: Churchill Livingstone; 2001.p.414-5

9. Cothran Jr RL and Matinez S, editors. Radiographic Findings. In: St.Clair EW, Pisetsky DS,

and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1st ed. New York: Lippincott Williams &

Wilkins; 2004.p.80-9
10. Carter, Michael A. Arthritis Reumatoid. Dalam: Price, SA and Wilson LM, editors.

Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.hal.1385-91

11. Mettler , Fred A. Essentials of Radiology 2nd ed. New York: Elsevier Saunders; 2004.p.310-

12. Brant WE and Helms CA, editors. Fundamentals of Diagnostic Radiology 2nd ed. New York:

Lippicott Williams & Wilkins; 2007.p.1135

13. Berquist, Thomash H. Musculoskeletal Imaging Companion 2nd ed. New York: Lippicott

Williams & Wilkins; 2007.p.803-6

14. Tsou, Ian YY. Rheumatoid Arthritis, Hands. [Online]. 20010. [cited 2011 March 3]:[3

screens]. Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/401271-overview

15. Wakefield RJ, Conaghan PG, and Emery P, editors. Ultrasonography and Magnetic

Resonance Imaging for Diagnosis and Managenet. In: St.Clair EW, Pisetsky DS, and haynes

BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1st ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins;

2004.p.98-104

16. Carter, Michael A. Gout Dalam: Price, SA and Wilson LM, editors. Patofisiologi Edisi 6

Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.hal.1402-6

17. Carter, Michael A. Osteoarthritis. Dalam: Price, SA and Wilson LM, editors. Patofisiologi

Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.hal.1380-3

Anda mungkin juga menyukai