Bukuprosiding 33-47 PDF
Bukuprosiding 33-47 PDF
net/publication/265907727
CITATION READS
1 658
8 authors, including:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Rokhis Khomarudin on 23 September 2014.
Abstract
The necessity of remote sensing satellite data for Indonesia is very important, especially for natural resources
mapping, environmental monitoring and disaster mitigation. The purpose of this study was to determine the
specifications of national satellite sensors based on user’s requirements in Indonesia. The study of remote sensing
satellite specification conducted through stakeholders meetings and study of the development of remote sensing
technology, which is expected to address the necessity of remote sensing satellites that fit the necessity of Indonesia.
Based on the results of the activities that have been carried out, it was divided into four categories of users, for land
natural resource, coastal and marine, urban areas, and environmental issues and disaster. The results also shows that
Indonesia requires a remote sensing satellite which has 6 spectral channels consists of Near Blue ( 0:43 to 0:45 mm )
, Blue ( 0:45 to 0:51 mm ) , Green ( 0:53 to 0:59 mm ) , Red ( 0.64-0.67 mm ) , Near Infrared ( 0.85-0.88 mm ), and
Shortwave Infrared ( 1.57-1.68 mm ) and one panchromatic channel ( 0450-0745 mm ). The requirement for spatial
resolution is 10 m for the multispectral channel and 2.5 m for the panchromatic channel. The requirement for
radiometric resolution is between 8-10 bits with radiometric correction. The requirement for temporal resolution is
approximately 10 days (nadir) and for the purposes of rapid information the requirement is every 3 days (off nadir).
The width of the satellite data coverage is 70 km and the time between the acquisitions is 07.00 to 08.00 am
(western part of Indonesian time).
Key Words: national satellite, sensor specifications, user requirements
Abstrak
Kebutuhan data satelit penginderaan jauh bagi Indonesia adalah sangat penting, terutama untuk pemetaan
sumberdaya alam, pemantauan lingkungan maupun mitigasi bencana. Tujuan penelitian ini untuk menentukan
spesifikasi sensor satelit nasional berdasarkan kebutuhan pengguna di Indonesia. Kajian spesifikasi satelit
penginderaan jauh dilaksanakan melalui, pertemuan dengan pemangku kepentingan dan mengkaji perkembangan
teknologi penginderaan jauh operasional, sehingga diharapkan dapat menjawab kebutuhan satelit penginderaan jauh
yang sesuai kebutuhan Indonesia. Berdasarkan hasil kegiatan yang telah dilakukan, terbagi menjadi empat kategori
pengguna, untuk sumber daya wilayah darat, pesisir dan laut, kawasan perkotaan, dan masalah lingkungan dan
kebencanaan. Dari hasil kajian didapatkan satelit penginderaan jauh yang dibutuhkan di Indonesia memiliki resolusi
spektral 6 kanal yang terdiri dari Near Blue (0.43-0.45 mm), Blue (0.45-0.51 mm), Green (0.53-0.59 mm), Red
(0.64-0.67 mm), Near Infrared (0.85-0.88 mm), dan Shortwave Infrared (1.57-1.68 mm) dan satu kanal Pankromatik
(0.450-0.745 mm). Resolusi spasial yang dibutuhkan adalah 10 m untuk kanal multispektral dan 2.5 m untuk kanal
pankromatik. Untuk resolusi radiometrik yang dibutuhkan antara 8-10 bit dengan koreksi radiometrik yang seksama.
Untuk resolusi temporal adalah sekitar 10 hari (nadir) dan untuk keperluan informasi cepat diperlukan setiap 3 hari
(off nadir). Lebar cakupan data satelitnya adalah 70 km dan waktu akuisi antara jam 07.00 hingga 08.00 WIB.
Kata Kunci : satelit nasional, spesifikasi sensor, kebutuhan pengguna
1. Pendahuluan
Teknologi Penginderaan Jauh di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1971 yakni melalui partisipasi
LAPAN dalam program ERS-1 atau Landsat pertama, kemudian setelah beberapa tahun disusul
pembangunan Stasiun Bumi Penerima data satelit Tiros-N / NOAA dan Landsat. Setelah melalui
penelitian yang panjang di LAPAN, pada tahun sembilan puluhan pemanfaatan data penginderaan satelit
mulai banyak dipergunakan untuk kepentingan operasional berbagai pengguna untuk mendukung
pembangunan di Indonesia. Akan tetapi dalam operasional pemanfaatan data penginderaan jauh di
Indonesia hingga saat ini masih banyak mengandalkan pada satelit penginderaan jauh milik negara asing
khususnya Amerika, Jepang dan Eropa (Mahsum dan Zalbawi, 1976, Wiranto, 1985, Mulyadi, 2002).
Penguasaan teknologi penginderaan jauh satelit baru dimulai sejak tahun 2002 yang hasilnya pada 10
Januari 2007 telah diluncurkan Satelit Mikro LAPAN-TUBsat atau LAPAN-A1. Dimana LAPAN-A1
yang berorbit polar, juga sudah mampu melakukan pengambilan gambar permukaan bumi khususnya di
Indonesia dari kamera video yang dibawanya dengan resolusi spasial datanya 5m x 5m pada lebar sapuan
3,5Km, dan kamera resolusi rendah 200m x 200m lebar sapuannya 81Km, serta masih akan terus
dikembangkan untuk seri berikutnya (Wahyudi, 2010)
Indonesia yang memiliki wilayah yang luas dengan berbagai macam sumberdaya alam dan keaneka
ragam hayatinya, membutuhkan banyak data satelit penginderaan jauh untuk pemantauan, untuk itu
banyak instansi pemerintah mendapat tawaran pembelian satelit penginderaan jauh nasional. LAPAN
setelah berhasil menguasai teknologi satelit mikro, merencanakan pengembangan satelit penginderaan
jauh nasional yang dapat digunakan untuk keperluan operasional pemantauan di Indonesia.
Dalam rangka mengembangkan muatan sensor satelit penginderaan jauh multispektral yang
dibutuhkan untuk pemantauan objek di wilayah Indonesia perlu terlebih dahulu dilakukan kajian
kebutuhan pengguna (user requirements) informasi penginderaan jauh. Dimana hasil kajian kebutuhan
pengguna tersebut akan dapat dipergunakan menjadi salah satu faktor penentu spesifikasi sensor yang
tepat bagi satelit penginderaan jauh nasional.
Kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengkaji kebutuhan pengguna informasi
penginderaan jauh di Indonesia, sehingga dapat diperoleh spesifikasi sensor satelit penginderaan jauh
nasional yang akan dibangun.
2. Studi pustaka
Data satelit penginderaan jauh resolusi rendah yang dapat diperoleh secara gratis dari satelit
Himawari, NOAA, Fengyun-1, Terra dan Aqua, sudah lama dimanfaatkan di Indonesia untuk pemantauan
cuaca, kebakaran hutan, kekeringan lahan melalui kehijauan tanaman, hingga prediksi zona potensi
penangkapan ikan (Zubaedah dan Arief (2004), Asriningrum et al. (2004), Suwargana dan Arief (2004),
Noviar et. al. (2006), Adiningsih dan Khomarudin (1998), Ratih (2002)). Sedang data resolusi spasial
menengah dari Satelit Landsat, SPOT dan ALOS banyak dimanfaatkan di Indonesia untuk inventarisasi
sumberdaya alam dan pemantauan lingkungan untuk mitigasi bencana seperti prediksi produksi tanaman
padi, inventarisasi hutan, perkebunan dan analisis bencana longsor, gunung berapi, bekas lahan terbakar,
serta pemetaan untuk inventarisasi terumbu karang hingga untuk mendukung tataruang wilayah
(Yulianto, et al. (2011), Mulyadi (2009), Parwati et al. (2012)).
Dalam rangka untuk mendapatkan data satelit penginderaan jauh dengan resolusi temporal yang
tinggi, dilakukan konstalasi beberapa buah satelit yang memiliki karakteristik sensor yang mirip. Salah
satu contoh dari satelit penginderaan jauh konstalasi adalah DMC (Disaster Monitoring Contellation)
yang berupa 5 buah satelit milik berbagai negara dan masing-masing memiliki karakeristik spektral mirip
Landsat TM dan memiliki misi pemantauan bencana dan lingkungan. 5 buah satelit DMC tersebut adalah
Beijing-1 (China), UK-DMC (Inggris), BilSat-1t (Turki), AlSat-1 (Algeria), NigeriaSat-1 (Nigeria), yang
masing-masing merupakan satelit kecil berbobot 166 Kg dan diorbitkan pada ketinggian 681Km (Asianet,
2005, Surrey Sat Tech Ltd, 2011). Dimana Satelit Beijing-1 memiliki 2 sensor yakni pankromatik dengan
resolusi spasial sangat tinggi 4m x 4m dan sensor multispektral resolusi spasial 32m x 32m dengan lebar
cakupan hingga 600 Km, sedang resolusi radiometriknya adalah 8bit, datanya multispectral mirip band
kanal 2, 3 dan 4 Landsat TM, dengan periode orbit satelit 98,8 menit. Dengan lebar cakupan data 600km
x 600km, data satelit ini mampu mengeliminir masalah liputan awan yang tinggi di Indonesia, serta
memungkinkan menggantikan 12 cakupan data Landsat TM.
Penginderaan jauh hyperspectral yang juga dikenal sebagai pencitraan spektroskopi, sudah mulai
banyak dikembangkan untuk deteksi dan identifikasi mineral, vegetasi tanaman dan objek buatan
manusia. Sensor penginderaan jauh hyperspectral umumnya terdiri dari sekitar 100 sampai 200 band
spektral bandwidth relatif sempit (5-10 nm), dan berbeda dengan sensor multispektral biasanya terdiri
dari sekitar 5 sampai 10 band dari bandwidth yang relatif besar (70-400 nm). Salah satu contoh satelit
penginderaan jauh hyperspektral adalah Satelit EO-1 (Earth Observation-1) yang diorbitkan oleh NASA
pada 21 Nopember 2000 dan membawa sensor Hyperion. Sensor Hyperion memberikan citra resolusi
spektral tinggi 220 band pada panjang gelombang antara 0.4 µm hingga 2.5 µm dengan resolusi spasial 30
meter dan lebar cakupan citra 7.5 Km x 100 Km, dimana data Hyperion tersebut juga dinataranya telah
dipergunakan untuk memvalidasi sensor Satelit Landsat-8 (USGS, 2013). Adanya kemajuan teknologi
sensor dan satelitnya, NASA melalui program Small Satellite Technology Initiative telah membangun
satelit kecil dengan payload yang memilki sensor Hyperspectral Imager (HSI). Contoh lain satelit
Hyperspektral kelas mikro adalah Satelit Proba milik ESA.
Sehubungan dengan adanya kelemahan sensor satelit penginderaan jauh optik dalam pemantauan
permukaan bumi karena liputan awan, pengaruh cuaca dan siang malam, maka satelit penginderaan jauh
sistem radar atau SAR (Synthetic-aperture radar) yang mampu mengatasi hal tersebut banyak
dikembangkan. Sensor satelit SAR saat ini sudah memiliki spesifikasi multipolarisasi HH, VV, HV, VH
(fully polarimetric), dimana penggunaan gabungan data multi polarisasi tersebut memudahkan interpretasi
visual maupun klasifikasi digital penutup penggunaan lahan. Selain itu juga sudah memiliki resolusi
spasial yang tinggi 2m, 6m dan 16m dengan lebar cakupan data berturut-turut sekitar 10Km, 30Km dan
100Km seperti pada Radarsat-2, ALOS PALSAR maupun TerraSAR-X, sehingga memungkinkan untuk
menjalankan misi pemetaan, pemantauan hingga identifikasi objek hampir menyerupai hasil dari satelit
penginderaan jauh sensor optik. Selain adanya kemampuan data satelit SAR untuk menghasilkan peta
ketinggian atau DEM (Digital Elevation Model), juga dengan satelit SAR konstalasi secara tandem dapat
menghasilkan peta ketinggian lebih akurat (CSTARS–University of Miami, 2010, Canadian Space
Agancy, 2010, DLR, 2010).
Adanya kemajuan sistem pemaketan dan kompresi data untuk komunikasi antara Satelit dengan
Stasiun Bumi serta penggunaan frekuensi yang lebih besar kemampuannya, sebagaimana Gambar 2-8
terdapat tren resolusi spasial data satelit juga semakin tinggi, bahkan sebagai misal WorldView-3 yang
akan diluncurkan pada tahun 2014 data sensor pankromatiknya akan memiliki resolusi spasial 31m dan 8
band data multispektral dengan resolusi spasial 3.7m dengan lebar cakupan 13.1 km ditambah 8 data
sensor SWIR 30m serta 12 sensor untuk memantau lingkungan global (SIG, 2013).
Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2014 35
Akusisi dan Koreksi Data Penginderaan Jauh
3. Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode seperti diagram pada Gambar 3-1,
dimana penelitian ini menggunakan data deskripstif berupa informasi kebutuhan pengguna dari hasil
stakeholder meeting, mengundang narasumber, mengikuti seminar dan workshop yang dilakukan oleh
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN, kemudian dari data kebutuhan pengguna informasi
penginderaan jauh yang diperoleh dilakukan kajian spesifikasi sensor satelit yang dibutuhkan berdasarkan
pengalaman penelitian dan kajian referensi dari berbagai sumber.
Kajian kebutuhan pengguna informasi dan spesifikasi sensor satelit yang dibutuhkan untuk
menghasilkan informasi disajikan berdasarkan tiga kelompok pemanfaatan yakni bidang sumberdaya
wilayah darat, bidang sumberdaya wilayah pesisir dan laut, serta bidang lingkungan dan mitigasi bencana.
Untuk mengkaji kebutuhan satelit penginderaan jauh nasional, juga dilakukan kajian literatur
perkembangan program satelit penginderaan jauh operasional yang lain serta kemajuan sistem akuisisi
data penginderaan jauhnya. Dimana hasil kajian program satelit operasional dipergunakan untuk memilih
spesifikasi sensor satelit nasional berdasarkan kebutuhan spek sensor yang didapat dari kebutuhan
informasi penginderaan jauh di Indonesia.
Gambar 3-1 Diagram alir identifikasi kebutuhan sensor Satelit Penginderaan Jauh Nasional
sumberdaya air serta informasi jenis hutan, produksi pertanian dan potensi danau untuk budidaya. Salah
satu contoh informasi pertanian
an sebagaimana yang pernah dihasilkan LAPAN dari informasi indek
kehijauan data penginderaan jauh adalah umur tanaman padi (Gambar 4-1).
4
Gambar 4-1
1 Informasi pertanian (umur tanaman padi) dari data penginderaan jauh (LAPAN, 2006).
Tidak semua kebutuhan pengguna dapat dikerjakan dengan menggunakan data penginderaan jauh,
oleh karena itu kebutuhan pengguna dibatasi pada topik yang membutuhkan informasi spasial yang dapat
diturunkan dari data penginderaan jauh. Selanjutnya, informasi spasial yang dapat dihasilkan
di dari data
penginderaan jauh tersebut dapat dibagi menjadi 4 pemanfaatan, yaitu: penutup lahan, kualitas air, bentuk
lahan dan geologi.
Gambar 4-2
2 Informasi penutup lahan skala kabupaten dari data Satelit Landsat TM (LAPAN, 2004)
B. Kualitas Air
Sektor sumber daya air membutuhkan informasi danau, waduk dan sungai. Parameternya adalah
tubuh air sehingga membutuhkan band visible (Green, Red) dan NIR, dengan spasial tinggi sampai
menengah 5 – 30 m, temporal 0.5 – 1 bulan, dan radiometrik 8 bit. Informasi kualitas air sangat
bermanfaat untuk mendukung sektor sumber daya air, terutama untuk memantau dan menilai kualitas
lingkungan air darat. Parameter yang dapat diturunkan adalah TSM, Suhu, Klorofil, kecerahan dan
CDOM. TSM dan Kecerahan menunjukkan kondisi pencemaran karena sedimentasi bahan anorganik,
sedangkan klorofil dan CDOM menunjukkan kondisi pencemaran karena bahan organik. Spesifikasi
sensor yang dibutuhkan adalah: multi spektral dan termal, temporal 10-30
10 30 m, temporal 8
8-16 hari dan
radiometrik 8-16 bit. Pada Gambar 4-3
4 ditunjukan
n contoh informasi kualitas air danau yang dapat
dihasilkan dari data penginderaan jauh.
Gambar 4-3
3 Informasi kualitas air danau data Satelit Landsat
Landsat-8
8 OLI (Bambang, 2013)
Akusisi dan Koreksi Data Penginderaan Jauh
Pemanfaatan kualitas perairan dibagi menjadi 2, yaitu di wilayah pesisir dan laut. Jenis informasi dan
parameter yang diukur dari data penginderaan jauh relatif sama, yaitu padatan terlarut, padatan
tersuspensi dan klorofil. Perbedaan yang cukup signifikan adalah pada spesifikasi sensor yang digunakan.
Untuk wilayah pesisir, sensor seperti yang terdapat pada Landsat dan SPOT sudah cukup untuk
memberikan informasi kualitas perairan, kecuali klorofil. Untuk klorofil di wilayah pesisir, lebih baik
digunakan sensor hiperspektral seperti Hyperion. Untuk wilayah laut, resolusi spasial yang diperlukan
akan lebih kecil karena harus meliput wilayah yang lebih luas. Tetapi karena perubahannya lebih dinamis
maka diperlukan resolusi temporal yang lebih tinggi. Spesifikasi sensor untuk perairan laut menyerupai
spesifikasi sensor MODIS atau MERIS. Resolusi radiometrik untuk kualitas perairan (baik di pesisir
mapun darat) diharapkan lebih dari 8 bit, sehingga perbedaan degradasi nilai konsentrasi akan lebih
terlihat.
Parameter fisik yang diperlukan oleh pengguna adalah informasi garis pantai dan batimetri.
Informasi perubahan garis pantai dapat mengindikasikan perubahan akibat dari naiknya muka air laut atau
adanya kondisi alami akibat asupan sedimen yang besar dari sungai atau adanya arus menyurus pantai
yang mengangkut sedimen dari suatu wilayah (abrasi) dan mengendapkannya pada wilayah lainnya
(akresi). Parameter yang diperoleh dari data penginderaan jauh adalah batas antara kolom air dan daratan
yang didapat dari informasi pada panjang gelombang infra merah karena serapan air sangat besar pada
panjang gelombang tersebut. Untuk informasi batimetri, diperlukan panjang gelombang yang mampu
menembus perairan sampai ke dasar. Selain itu, kondisi perairan harus relatif jernih, sehingga dasar
perairan terlihat (Gambar 4-4 contoh informasi batimetri dari data satelit). Spesifikasi sensor untuk
pemetaan batimetri misal sensor WorldView.
Pemanfaatan parameter oseanografi lebih digunakan untuk bahan kajian zona potensi penangkapan
ikan (ZPPI) ditambah dengan informasi klorofil perairan. Umumnya informasi yang digunakan adalah
data suhu dari panjang gelombang infra merah thermal dan microwave (radar). Untuk parameter suhu
permukaan laut sudah dilakukan pemantauan secara operasional oleh LAPAN. Sedangkan pemanfaatan
data radar untuk kajian parameter oseanografi lainnya masih dalam lingkup penelitian dan pengembangan
di LAPAN, terutama untuk informasi pendukung ZPPI.
Pemanfaatan terakhir adalah kebutuhan pengguna untuk identifikasi kapal. Pemanfaatan ini dapat
dilakukan dengan menggunakan data satelit radar, sehingga dapat meliput wilayah yang luas. Apabila
digunakan data satelit optik, dibutuhkan
dibutuhkan resolusi spasial yang tinggi untuk dapat mengenali dan
mengidentifikasi keberadaan objek kapal.
Gambar 4-5.. Informasi Kebakaran Lahan dari data Satelit Penginderaan Jauh (L
(LAPAN,
APAN, 2009a)
Akusisi dan Koreksi Data Penginderaan Jauh
Pengguna utama hasil-hasil riset pemanfaatan data penginderaan jauh di bidang lingkungan dan
mitigasi bencana meliputi instansi pemerintah (baik pusat maupun daerah), dan masyarakat umum
melalui Lembaga Swadaya Masyarakat, serta tak ketinggalan dari insan akademis. Di sini, untuk
Kalangan swasta dan usahawan masih belum menjadi pengguna yang utama. Pengguna utama dari
instansi pemerintah meliputi BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Kementerian
Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta BMKG. Dari Pemerintah Daerah tak ketinggalan
Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah, Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, serta Badan
Lingkungan Hidup Daerah.
Untuk pemanfaatan di bidang lingkungan dan mitigasi bencana secara komprehensif diperlukan
sensor dengan spesifikasi multispektral, multispasial dan mutitemporal. Dari sisi mulspektral, diperlukan
sensor yang mampu merekam spektrum mulai dari spektrum tampak (visible) hingga inframerah termal.
Dari sisi spasial, diperlukan citra yang mampu merekam spasial detil (< 4 meter) hingga spasial rendah
(skala kilometer). Sedangkan dari sisi temporal, diperlukan satelit yang bervariasi mulai dari temporal
rendah hingga temporal tinggi. Dalam konteks kebencanaan diperlukan suatu gerak cepat dan “waktu”
menjadi faktor yang sangat diperhitungkan, sehingga suatu kejadian bencana mampu direkam pada saat
itu juga (real atau near real time). Dalam konteks ini, contoh citra satelit yang saat ini beroperasi adalah
citra MODIS, NOAA, maupun MTSAT yang menekankan suatu kebutuhan citra dengan resolusi
temporal yang tinggi.
Di sisi lain, diperlukannya citra resolusi tinggi untuk menampilkan detil-detil kerusakan atau obyek-
obyek yang mengalami kerusakan atau terkena dampak bencana, seperti bangunan rumah yang roboh,
lahan pertanian yang musnah, infrastruktur yang hancur, ataupun pantai yang hilang. Contoh citra satelit
yang saat ini beroperasi dan memiliki kemampuan demikian adalah seperti IKONOS, Quickbird, SPOT
5/6 (contoh Gambar 4-6).
Gambar 4-6. Informasi Kejadian Bencana Longsor dari data Satelit Ikonos (LAPAN, 2009b)
Dalam pemanfaatannya, terutama untuk sistem peringatan dini dan respon cepat bencana, tutupan
awan merupakan kendala utama bagi perekaman data oleh sensor satelit di wilayah Indonesia yang
beriklim tropis. Kebutuhan akan sensor SAR menjadi solusi utama pemecahan permasalahan. Kejadian
banjir besar di Jakarta pada tahun 2007 dan 2013 baru-baru ini telah membuktikan bahwa citra tersebut
sangat tepat untuk memantau sebaran wilayah tergenang banjir yang berada di bawah tutupan awan tebal.
Meskipun hanya berada dalam kisaran optis spektrum tampak penggunaan foto udara pesawat tanpa
awak telah diujicobakan untuk memantau banjir banjir Jakarta di awal tahun 2013, dan telah memberikan
solusi dalam andilnya merekam bangunan dan infrastruktur yang terendam banjir.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk memenuhi semua kebutuhan pengguna
bidang lingkungan dan mitigasi bencana diperlukan citra dengan spesifikasi yang bervariasi atau
kompleks.
4.4. Spesifikasi Teknis Satelit Nasional
Berdasarkan hasil kajian kemajuan teknologi penginderaan jauh sebagaimana pada studi pustaka
serta hasil kajian kebutuhan pengguna informasinya seperti di atas, sensor satelit nasional ditentukan
sebagaimana Gambar 4-7. Dimana secara umum dengan semakin majunya teknologi akuisisi data
penginderaan jauh, kebutuhan pengguna selain akan bisa dikembangkan juga resolusinya akan bisa
ditingkatkan khususnya untuk inventarisasi dan pemantauan sumberdaya alam dan lingkungan skala
lokal. Sebagai misal kebutuhan informasi lingkungan dari data penginderaan jauh untuk keperluan
mitigasi bencana yang spesifikasinya butuh resolusi spasial 50 cm hingga 30m dan cukup sulit dipenuhi
kebutuhan resolusi temporalnya dari satelit penginderaan jauh resolusi spasial tinggi seperti Landsat
hingga kelas Ikonos. Sebagai alternatif, dengan berkembangnya teknologi akuisisi data dengan wahana
pesawat terbang tanpa awak yang juga mampu membawa kamera untuk misi penginderaan jauh,
kebutuhan informasi tersebut dapat diperoleh real time dengan resolusi spasial dibawah 40cm.
Sedang kebutuhan informasi penginderaan jauh resolusi rendah yang dibutuhkan untuk pemantauan
lingkungan dan cuaca, melihat program satelit penginderaan jauh operasional masih akan bisa dipenuhi
kebutuhan datanya secara gratis baik dari Himawari, NOAA, MODIS atau penggantinya nanti.
Kemajuan teknologi penginderaan jauh satelit yang untuk misi pemantauan sumberdaya alam yang
trennya memiliki resolusi spasial makin tinggi hingga 40cm, operasionalnya berkonstanlasi dengan
beberapa satelit dengan misi serupa serta adanya kemajuan komunikasi data, selain akan mampu
memenuhi spesifikasi data yang dibutuhkan pengguna juga akan memungkinkan adanya peningkatan
akurasi informasi yang dihasilkan dan pengembangan kebutuhan pengguna dimasa akan datang. Sebagai
misal dengan data satelit konstalasi DMC yang memiliki band mirip Landsat TM dengan cakupan yang
sangat lebar dan perolehan datanya bisa harian, kebutuhan pengguna yang tadinya hanya untuk
inventarisasi sawah, informasinya bisa dikembangkan untuk memantau kondisi fisik pertumbuhan
tanamannya atau kondisi lingkungannya yang dinamik seperti adanya banjir atau kekeringan untuk
menghindari kerugian yang lebih besar. Demikian juga dengan ditambah semakin meningkatkan akurasi
informasi spasialnya akan dapat dipergunakan misal untuk memantau dinamika lingkungan danau untuk
mendukung budidaya perikanan darat.
Berdasarkan fakta hasil inventarisasi kebutuhan pengguna informasi, kemajuan tehnologi
penginderaan jauh serta program satelit penginderaan jauh operasional, maka spesifikasi teknis sensor
satelit penginderaan jauh nasional yang diharapkan adalah seperti pada Tabel 4-1 di bawah. Dimana
satelit diharapkan memiliki misi “pemantauan sumberdaya alam wilayah pesisir, daratan dan
mendukung mitigasi bencana alam”.
G : 0.53-0.59 mm
R : 0.64-0.67 mm
NIR : 0.85-0.88 mm
SWIR : 1.57-1.68 mm
Pankromatik : 0.450-0.745 mm
10 hari (nadir)
Satelit dengan misi seperti tersebut diatas, diharapkan memiliki resolusi spektral 7 band, yakni Band
Biru Dekat (NB) yang keutamaannya adalah untuk pemantauan pesisir dan perairan terbuka, Band Biru
(B), Band Hijau (G), Band Merah (R), Inframerah Dekat (NIR) yang keutamaannya untuk pemetaan
aplikasi perkotaan dan geologi, serta Inframerah Panjang Gelombang Pendek (SWIR) yang
keutamaannya adalah untuk pemantauan vegetasi. Dimana 7 band multispektral tersebut akan memiliki
resolusi spasial 10m yang dibutuhkan pemetaan skala 1:25.000 untuk penggunaan lahan, aplikasi
pertanian, kehutanan, kajian pesisir, serta dilengkapi band pankromatik dengan resolusi spasial 2,5 m
yang diutamakan untuk inventarisasi objek-objek perkotaan, kebencanaan dan infrastruktur. Data tersebut
diharapkan memiliki resolusi radiometrik 8 bit dengan distribusi nilai kecerahan yang baik, dan untuk
keperluan koreksi radiometrik dalam operasionalnya diharapkan juga memiliki tes area di wilayah yang
atmosfirnya relatif paling cerah di Indonesia seperti di NTT.
Agar cukup untuk pemantauan tanaman pertanian semusim seperti padi, resolusi temporal
diharapkan 10 harian pada nadir dengan lebar cakupan 70 km. Akan tetapi jika terjadi bencana, satelit
diharapkan juga mampu memantau dengan resolusi temporal 3 harian pada posisi off nadir. Untuk
meminimalkan pengaruh liputan awan dan memperluas daerah pemantauan, lebih diharapkan jika satelit
sejenis lebih dari satu yang beroperasional secara konstalasi. Sedang agar mendapatkan liputan yang
relatif minim awan serta pencahayaan matahari yang optimal, diharapkan satelit beroperasional dengan
melintasi katulistiwa di wilayah Indonesia sekitar pukul 8.00 pagi waktu lokal (sun-synchronous). Hal
tersebut dikarenakan sekitar pukul 8.00 pagi pembentukan awan di wilayah katulistiwa belum terjadi dan
kabut diwilayah pegunungansudah mulai menghilang. Akan tetapi agar dapat memperhankan orbit dalam
waktu yang lama, satelit diharapkan memiliki orbital keeping yang bisa beroperasi untuk sekurangnya 3
tahun.
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian kebutuhan pengguna informasi penginderaan jauh di Indonesia, pengalaman
penelitian LAPAN, dan kajian perkembangan teknologi penginderaan jauh, dari penelitian ini telah
didapatkan spesifikasi sensor untuk satelit penginderaan jauh nasional.
Diluar satelit penginderaan jauh operasional yang lain, satelit nasional yang akan dibangun memiliki
misi pemantauan sumberdaya alam wilayah pesisir, daratan dan mendukung mitigasi bencana alam,
sehingga untuk memenuhi kebutuhan pengguna di Indonesia, spesifikasi sensor yang diperlukan adalah
memiliki resolusi spektral 7 band multispektral (NB, RGB, NIR, SWIR) dan 1 band pankromatik, dengan
spasial 10 m untuk multispektral dan 2.5m untuk pankromatik serta lebar cakupan 70Km. Resolusi
temporalnya 10 hari pada nadir dan 3 hari pada off nadir, serta resolusi radiometrik 8 bit, dengan orbit
sun-synchronous sekitar pukul 8.00 pagi waktu lokal.
Disarankan untuk mendapatkan liputan data yang bebas awan serta cakupan yang lebih luas
diharapkan satelit penginderaan jauh nasional berkonstalasi dengan satelit lain. Dan spesifikasi sensor
hasil kajian ini masih terbuka untuk mendapatkan masukan penyempurnaan.
6. Daftar Rujukan
Adiningsih, E. S. dan Khomarudin, M. R. 1998. Analisis Pendugaan Curah Hujan dan Kerawanan Banjir
Dengan Data Satelit Studi Kasus Kota Smarang. Majalah LAPAN No.85 / XXII. LAPAN, Jakarta.
Asriningrum, W., Noviar, H., dan Suwarsono. 2004. Pengembangan Metode Zonasi Daerah Bahaya
Letusan Gunung Api Studi Kasus Gunung Merapi. J. Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra
Digital Vol. 1 No.1.
Bambang T. 2013. Pemanfaatan Data Inderaja Untuk Pemantauan Sumberdaya Air. Laporan Akhir
Tahun. Pusfatja, LAPAN, Jakarta.
Bukata, R.P. 2005. Satellite Monitoring of Inland and Coastal Water Quality: Retrospection,
Introspection, Future Direction. CRC Taylor and Francis Group.
Guoqing Zhou, Oktay Baysal and Paul Kauffmann. 2002. Current status and future tendency of sensors
In earth observing satellites. ISPRS Comm. I, Special Session, FIEOS/ISPRS Conference
Proceedings
Kirk, J.T.O. 1994. Light and photosynthesis in aquatic ecosystems. Cambridge Univ. Press, New York.
LAPAN. 2003. Kegiatan Kesuaian Lahan untuk Budidaya Ikan dengan KJA di Kepulauan Seribu.
Pusbangja LAPAN (tidak dipublikasi).
LAPAN. 2004. Kegiatan Kerjasama Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh LAPAN dengan Pemda
Situbondo. Pusbangja LAPAN, (tidak dipublikasi).
LAPAN. 2009a. Kegiatan Pemantauan Kebakaran Lahan. Pusbangja LAPAN, (tidak dipublikasi).
LAPAN. 2009b. Kegiatan Tanggap Cepat untuk Mitigasi Bencana. Pusbangja LAPAN, (tidak
dipublikasi).
Mahsun, I dan Z. Soejoeti. 1976. Proyek Pemanfaatan Satelit Tele Deteksi Sumberdaya alam / Proyek
Telsa. LAPAN, Jakarta
Martin Herold. 2009. An assessment of national forest monitoring capabilities in tropical non-Annex I
countries: Recommendations for capacity building. Final report The Prince's Rainforests Project
and The Government of Norway. Global Observation of Forest and Land Cover Dynamics.
Mobley, C.D.. 1994. Light and water radiative transfer in natural waters. Academic Press.
Mulyadi K., (editor). 2009. Pemanfaatan Data Inderaja untuk Pemantauan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. Massma Publishing.
Noviar, H., Asriningrum, W., Hartuti, M., dan Rijono, Y., 2006. Pengukuran Suhu Permukaan Lahan
Untuk Prediksi Letusan Gunung Api. J. Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital Vol.
3 No.1 ,.
Parwati, Zubaedah, A., Vetrita, Y., Yulianto, F., Sukowati, K.A.D., dan Khomarudin, M.R. 2012.
Kapasitas Indek Lahan Terbakar Normalized Burn Ratio (NBR) dan Normalized Difference
Vegetation Index (NDVI) dalam Mengindentifikasi Bekas Lahan Terbakar Berdasarkan Data
SPOT-4. J. Geomatika. Vol. 18 No. 1.
Ratih D. (editor). 2002. Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Satelit dan SIG dalam penyediaan
Informasi untuk Mitigasi Rawan Bencana. Pusbangja LAPAN.
Stuart Eves. 2007. Future Optical Surveillance Using Small Satellites. 5th Responsive Space Conf., LA.
Susanto, R. D., Moore II, T. S., dan Marra, J. 2006. Ocean color variability in the Indonesian Seas during
the SeaWiFS era. Geochemistry Geophysics Geosystems, 7(5).
Suwargana, N. dan Arief, M. 2004. Penentuan Suhu Permukaan Laut dan Konsentrasi Klorofil Untuk
Pengembangan Model Prediksi SST/Fishing Ground Dengan Menggunakan Data Modis. J.
Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital Vol. 1 No.1.
Umar S.T., 2007. Urgensi Teknologi Penginderaan Jauh Satelit untuk Pertahanan Keamanan dan
Pembangunan Nasional. STT No.2289, Vol.10, No.13, Puslitbang Indhan Balitbang Dephan
Yulianto, F., Parwati, Khomarudin, M.R, and Haidar, M. 2012. Extracting the damaging effects of the
2010 eruption of Merapi volcano in Central Java. Nat.Hazards. DOI 10.1007/s11069-012-0438-4.
Wahyudi H.. 2010. Penentuan Spesifikasi Optik Kamera Pengamatan Bumi di Satelit LAPAN-A2 dan
Satelit LAPAN-A3. Satelit Mikro Untuk Mitigasi Bencana Dan Ketahanan Pangan IPB Press.
Zubaedah, A. dan Arief, M. 2004. Distribusi Spasial Hotspot dan Sebaran Asap Indikator Kebakaran
Hutan/Lahan Di Pulau Sumatera dan Kalimantan Tahun 2002. J. Penginderaan Jauh dan
Pengolahan Data Citra Digital Vol. 1 No.1.