Anda di halaman 1dari 21

A.

PENGERTIAN DAN KONSEP DASAR PPH POT/PUT

Potput singkatan dari pemotongan dan pemungutan. Istilah ini dimaksudkan dengan
cicilan Pajak Penghasilan. Diatur mulai Pasal 21 sampai dengan Pasal 26 UU PPh. Pasal-
pasal ini termasuk BAB Pelunasan Pajak Dalam Tahun Berjalan. Sesuai namanya, cicilan
PPh ini akan diperhitungkan atau dikreditkan di akhir tahun menjadi PPh Orang Pribadi atau
PPh Badan.

Perbedaan pemotongan dan pemungutan bisa dilihat dari sisi penghasilan atau biaya.
Maksud dari pemotongan yaitu memotong penghasilan orang lain. Dipotong pada saat telah
ada penghasilan. Sedangkan pemungutan itu dipungut atas biaya (biaya pembelian). Belum
menjadi penghasilan. Baik pemotong maupun pemungut sama-sama kepanjangan tangan
fiskus untuk menyetorkan pajak ke Kas Negara. Kedua istilah menggunakan bahasa Inggris
"withholding taxes". Karena itu lebih umum disebut potput karena lebih pas untuk
menterjemahkan with holding taxes.

With holding taxes merupakan salah satu sistem administrasi perpajakan yang banyak
diterapkan di negara lain. Sistem ini memiliki keunggulan karena pajak dibayar pada saat
penghasilan diterima. Jika penghasilan disudah diterima dan digunakan, maka sudah jadi
kebiasaan dimanapun bahwa kita akan berat bayar pajak. Withholding taxes yang sering
disebut PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPh Pasal 4 (2) Final.
Selain itu PPN juga sebenarnya bagian dari withholding taxes.

Mengutip sumber pajak.go.id. PPh Pemotongan dan Pemungutan adalah salah satu
bentuk teknik pengumpulan pajak yang mempercayakan pemungutan pajak kepada pihak
ketiga. Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut pada hakikatnya adalah pembayaran
dimuka.

Jumlah pajak yang dipotong atau dipungut ini nantinya akan menjadi pengurang pajak
atau kredit pajak di SPT Tahunan Wajib Pajak.

Pemungutan secara umum berarti pihak yang dipungut membayar pajak diluar dasar
pemungutan pajak.
Sedangkan pemotongan secara umum berarti pihak yang dipotong membayar pajak
dengan cara dipotong dari dasar pemotongan pajak.

1. PPh pasal 21
PPh adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi. Subjek Pajak dalam
negeri, sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan.

Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah cara pelunasan pajak dalam
tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan. Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan/jasa/kegiatan wajib melakukan
pemotongan PPh Pasal 21.

2. PPh pasal 22
PPh merupakan pembayaran pajak penghasilan dalam tahun berjalan yang dipungut
oleh bendahara pemerintah, badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta,
dan Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembelian atas penjualan
barang yang tergolong sangat mewah.

3. PPh pasal 23
PPh mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa
atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21, yang dibayarkan,
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan
pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha
tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

a. Pemotongan PPh Pasal 23 /26 dilakukan dengan memberikan bukti pemotongan yang
telah diisi lengkap
b. Pemotongan PPh Pasal 23 /26 dilakukan pada saat pembayaran dilakukan
c. Lembar ke-1 Bukti pemotongan diserahkan kepada WP Rekanan sebagai bukti
pemotongan
4. PPh pasal 24
PPh mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang
atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.

5. PPh pasal 26
PPh mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia
yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri (baik orang pribadi maupun badan) selain
Bentuk Usaha Tetap.

a. Pemotongan PPh Pasal 23 /26 dilakukan dengan memberikan bukti pemotongan yang
telah diisi lengkap
b. Pemotongan PPh Pasal 23 /26 dilakukan pada saat pembayaran dilakukan
c. Lembar ke-1 Bukti pemotongan diserahkan kepada WP Rekanan sebagai bukti
pemotongan
6. PPh pasal 4 ayat 2
PPh mengatur tentang pajak penghasilan atas bunga, sewa, dan imbalan jasa
konsultan dan jasa konstruksi yang diatur dengan peraturan pemerintah.

Pemotongan atau pemungutan Pajak PPh Pasal 4 ayat (2) adalah cara pelunasan pajak
dalam tahun berjalan antara lain melalui pemotongan atau pemungutan pajak yang
bersifat final atas penghasilan tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

B. DASAR HUKUM PPH POT/PUT


1. Undang-undang Nomor 6 Tahnun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana tekah diubah terakhir dengan alih Undang – Undang No. 28
Tahun 2007.
2. Undang – undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir denganlah Undang Undang – undang Nomor 36 Tahun 2008.
3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 541/KMK.04/2000
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 Tentang Penentuan Tnggal Jatuh Tempo
Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara
Pembayaran , Penyetoran dan PelaporanPajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan
Penundaan Pembayaran Pajak.
4. Peraturan Menteri Keusangan Nomor PMK-254.03/2008 tentang Penetapan Bagian
Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta
Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang tidak dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.
5. Peraturan Direktorat Jendral Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman
Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21/26
Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Peubahan keempat
atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan Peraturan Direktur
Jendral Pajak nomor PER-31/PJ/2012. Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan atau Pasal 26 sehubungan dengan
pekerjaan jasa dan kegiatan orang pribadi.

C. VARIABEL-VARIABEL DALAM PERHITUNGAN PPH POT/PUT


1. PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)
Penghasilan Tidak Kena Pajak terbaru tahun 2017 atau PTKP 2017 nilainya adalah
masih sama dengan PTKP 2016 yang berdasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Republik Indonesia mengenai perubahan nilai PTKP Nomor
: 101/PMK.010/2016 yang telah disahkan pada Tanggal 27 Juni 2016. Perhitungan PTKP
adalah sebagai berikut:
a. Wajib Pajak Tidak Kawin
Uraian Status PTKP
Wajib Pajak TK0 54.000.000,00
Tanggungan 1 TK1 58.500.000,00
Tanggungan 2 TK2 63.000.000,00
Tanggungan 3 TK3 67.500.000,00

b. Wajib Pajak Kawin


Uraian Status PTKP
WP Kawin K0 58.500.000,00
Tanggungan 1 K1 63.000.000,00
Tanggungan 2 K2 67.500.000,00
Tanggungan 3 K3 72.000.000,00

c. Wajib Pajak Kawin, Penghasilan Istri dan Suami Digabung


Uraian Status PTKP
WP Kawin K/I/0 112.500.000,00
Tanggungan 1 K/I/1 117.000.000,00
Tanggungan 2 K/I/2 121.500.000,00
Tanggungan 3 K/I/3 126.000.000,00

2. Biaya Jabatan
Biaya jabatan merupakan salah satu pengurang dalam PPh pasal 21 untuk pegawai
tetap sebagaimana dalam pasal 21 ayat 3 UU Pajak Penghasilan. Jadi, setiap pegawai
mendapatkan pengurangan ini. Istilah “jabatan” tidak merujuk pada pengertian jabatan
formal tertentu dalam perusahaan atau instansi. Dari staf biasa sampai direktur utama
berhak mendapatkan pengurang biaya jabatan ini.
Besarnya biaya jabatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk
perhitungan pajak penghasilan bagi pegawai tetap, ditetapkan sebesar 5% dari
penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 500.000,00 sebulan atau Rp 6.000.000,00
setahun.
3. Biaya Pensiun
Berdasarkan pasal 1 ayat 3 UU Pajak Penghasilan, PPh Pasal 21 yang dipotong bagi
pensiunan adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pension dan
penghasilan tidak kena pajak. Dalam pengertian, pensiunan termasuk juga penerimaan
tunjangan hari tua atau tabungan hari tua.
Seperti biaya jabatan bagi pegawai tetap, besarnya biaya pensiun juga diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK 03/2008 tentang besarnya biaya jabatan
atau biaya pensiunan yang dapat dikurangkan penghasilan bruto.
Berdasarkan peraturan tersebut, besarnya biaya pensiunan yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto untuk perhitungan pemotongan PPh Pasal 21 bagi penerima
pension yang dibayarkan secara berkala ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto
setinggi-tingginya Rp 2.400.000,00 setahun.
4. Penghasilan Bruto
Penghasilan kotor atau penghasilan bruto adalah jenis penghasilan yang dikenakan
pemotongan pajak sebagaimana diatur sesuai PPh Pasal 26 yang dapat dikelompokkan
sebagai berikut, yaitu:
a. Penghasilan bruto (berkala) yaitu penghasilan yang diterima pegawai secara teratur
setiap bulan berupa gaji, tunjangna-tunjangan, lembur, uang makan, uang
transportasi, dan sejenisnya.
b. Penghasilan tidak rutin (tahunan) yaitu penghasilan yang diterima pegawai dalam
waktu tidak tentu dan umumnya sekali atau leih dalam setahun, berupa tunjangan hari
raya (THR), bonum, tantiem insentif tahunan, dan sejenisnya.
c. Penerimaannatura yaitu jenis penghasilan lain yang diterima pegawai dalam bentuk
fisik benda/barang berupa pemberian sembako, bantuan lauk-pauk, nutrisis
tamabahan, fasilitas catering, dan sejenisnya. Dalam perhitungan pajak penghasilan,
penerimaan aturan harus di konvesikan dalam satuan nilai harga tertentu.
d. Premi asuransi yaitu premi asuransi atas nama pegawai yang dibayarkan oleh pemberi
kepada instansi terkait, berupa premis jamsostek, premi AKHDK, premi asuransi
kesehatan, dan sejenisnya.

Wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif
sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat 1 huruf b dan ayat 2a yang dikenakan atas
penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00.

Perhitungan PPh terutang berdasarkan pasal 31E dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:

a. Jika peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 maka perhitungan PPh


yang terutang adalah :
PPh terutang = 50% x 28% x seluruh penghasilan kena pajak
b. Jika peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000,00 sampai dengan Rp
5.000.000.000,00 maka perhitungan PPh yang terutang adalah :
PPh terutang = (50% x 28%) x penghasilan kena pajak dari peredaran bruto yang
memperoleh fasilitas + 28% x penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto
yang tidak memperoleh fasilitas
D. TATA CARA DAN MELAKUKAN PERHITUNGAN, PENYETORAN, DAN
PELAPORAN PPH POT/PUT
1. PPh Pasal 21
PPh Pasal 21 merupakan cara pelunasan PPh dalam tahun berjalan melalui pemotongan
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Pemotongan PPh Pasal 21
antara lain dilakukan oleh:

a. pemberi kerja, termasuk cabang, perwakilan, atau unit yang melakukan sebagian atau
seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran penghasilan, • bendahara
pemerintah,
b. dana pensiun yang membayarkan uang pensiun, dan
c. penyelenggara kegiatan.
Pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 dibedakan menurut penerima penghasilannya
antara lain: pegawai, pensiunan, peserta kegiatan, bukan pegawai
Berikut beberapa pengertian terkait pemotongan PPh Pasal 21:
Pegawai dibedakan menjadi pegawai tetap dan pegawai tidak tetap.

a. Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam
jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan
pengawas, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu
tertentu yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara
teratur.
b. Pegawai tidak tetap disebut juga tenaga kerja lepas, adalah pegawai yang hanya
menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan
jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian
suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
c. Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau
memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang
pribadi atau ahli warisnya yang menerima tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
d. Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu,
termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan,
pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan
sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut.
e. Bukan pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak
tetap/tenaga kerja lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam
bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan
jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
f. Imbalan bersifat berkesinambungan adalah imbalan kepada bukan pegawai yang
dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Pengurang penghasilan bruto bagi Pegawai
Tetap terdiri dari:
 biaya jabatan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya
Rp500.000,00 sebulan atau Rp6.000.000,00 setahun;
 iuran dana pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua kepada dana pensiun
yang telah disahkan Menteri Keuangan.
Pegawai tetap
Dalam menghitung PPh pasal 21 bgai pegawai tetap perlu diperhatikan rumus
perhitungannya, yitu sebagai berikut:
Penghasilan bruto setahun Rp xxx
Pengurang penghasilan bruto (Rp xxx)
Pnghasilan neti setahun Rp xxx
Penghasilan tidak kena pajak (Rp xxx)
Penghasilan kena pajak Rp xxx
PPh Pasal 21 yang dipotong:
PKP x tarif pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPH = PPh pasal 2 setahun
PPh pasal 21 setahun : 12 bulan = PPh pasal 21 sebulan
PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap yang upahnya dibayarkan secara harian atau
mingguan atau borongan atau satuan.

Penghasilan bruto setahun PTKP = Penghasilan Kena Pajak

Penghasilan kena pajak x tarif pajak = PPh pasal 21 setahun

PPh pasal 21 setahun : 12 = PPh pasal 21 sebulan

Sebelum menghitung PPh Pasal 21 bagi pegawai tidak tetap yang upahnya dibayarkan
secara harian/ mingguan/ borongan/satuan, maka perlu diperhatikan jumlah upah harian,
atau rata-rata upah yang diterima dalam sehari, yaitu:

 upah mingguan dibagi banyaknya hari bekerja dalam seminggu;


 upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam
sehari;
 upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk
menyelesaikan pekerjaan borongan;
 upah harian kurang dari Rp200.000,00 atau penghasilan dalam bulan kalender
yang bersangkutan belum melebihi Rp2.025.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21
yang harus dipotong;
 upah harian lebih dari Rp200.000,00 tetapi jumlah kumulatif yang diterima dalam
bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp2.025.000,00;
 Penghasilan bruto sebulan melebihi Rp2.025.000,00 tapi tidak lebih dari
Rp7.000.000,00;
 Penghasilan bruto sebulan lebih dari Rp7.000.000,00

PPh Pasal 21 Bagi Penerima Uang Pensiun yang Dibayarkan Berkala


Cara penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa uang pensiun, dibagi
berdasarkan cara pembayarannya, yaitu penerimaan uang pensiun secara sekaligus dan
penerimaan secara berkala. Cara menghitung PPh Pasal 21 bagi uang pensiun yang
dibayarkan secara berkala adalah:
a. terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara
mengurangi penghasilan bruto dengan biaya pensiun, kemudian dikalikan banyaknya
bulan sejak pegawai yang bersangkutan menerima pensiun sampai dengan bulan
Desember;
b. penghasilan neto pensiun sebagaimana tersebut pada angka 1 ditambah dengan
penghasilan neto dalam tahun yang bersangkutan yang diterima atau diperoleh dari
pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang
tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;
c. untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, jumlah penghasilan pada angka
2 tersebut dikurangi dengan PTKP, dan selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 atas
Penghasilan Kena Pajak tersebut;
d. PPh Pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang bersangkutan dihitung dengan cara
mengurangi PPh Pasal 21 dalam huruf c dengan PPh Pasal 21 yang terutang dari
pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang
tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;
e. PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah sebesar PPh Pasal 21 seperti tersebut
dalam huruf d dibagi dengan banyaknya bulan sebagaimana dimaksud dalam angka 1.
PPh Pasal 21 Bagi Bukan Pegawai

Penghitungan PPh Pasal 21 bagi penerima kategori bukan pegawai dikelompokkan


menjadi 3 (tiga), yaitu:

a. menerima atau memperoleh penghasilan yang tidak bersifat


berkesinambungan;
b. menerima atau memperoleh penghasilan semata-mata dari satu pemberi
penghasilan yang bersifat berkesinambungan;
c. menerima atau memperoleh penghasilan yang bersifat berkesinambungan dan
mempunyai penghasilan lain.

Yang termasuk Wajib Pajak orang pribadi kategori Bukan Pegawai antara lain pengacara,
arsitek, dokter, notaris, akuntan, aktuaris, konsultan, olahragawan, pengajar, peneliti,
penceramah, penyanyi, bintang film, petugas dinas luar asuransi, dan lain-lain.

Pelaporan atas pemotongan PPh Pasal 21 di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat
pemberi kerja baik di lokasi kantor pusat maupun kantor cabang, perwakilan, atau unit
lain sepanjang terdapat administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain.

Penghitungan PPh Pasal 21 bagi penerima kategori bukan pegawai yang menerima atau
memperoleh penghasilan yang tidak bersifat berkesinambungan

a. Yang dimaksud imbalan yang bersifat tidak berkesinambungan merupakan imbalan


yang dibayarkan kepada Wajib Pajak orang pribadi Bukan Pegawai hanya satu kali
dalam 1 (satu) tahun kalender sehubungan dengan pekerjaan dan jasa.
b. Dalam penghitungan PPh Pasal 21 atas imbalan yang bersifat tidak
berkesinambungan, Dasar Pengenaan Pajaknya adalah Penghasilan Bruto dengan
tidak memperhitungkan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
c. PPh Pasal 21 atas imbalan yang bersifat Tidak berkesinambungan:
PPh pasal 21 sebulan = (50% x penghasilan bruto) x tarif pajak
Penghitungan PPh Pasal 21 bagi penerima kategori bukan pegawai yang menerima atau
memperoleh penghasilan semata-mata dari satu pemberi penghasilan yang bersifat
berkesinambungan

a. PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU
PPh (Tarif Pajak) atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak.
b. Penghitungan PPh Pasal 21 sebulan sebagaimana ditunjukkan dalam tabel di
bawah ini
Penghitungan PPh Pasal 21 bagi penerima kategori bukan pegawai yang menerima
atau memperoleh penghasilan yang bersifat berkesinambungan dan mempunyai
penghasilan lain

a. Bagi Wajib Pajak orang pribadi kategori Bukan Pegawai yang menerima imbalan
bersifat berkesinambungan dan berasal bukan hanya dari 1 (satu) pemberi
penghasilan, dasar pengenaan pajaknya tidak memperhitungkan besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) sebulan. Hak PTKP dapat diperhitungkan oleh Wajib
Pajak pada saat pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.
b. Salah satu contoh Wajib Pajak orang pribadi kategori Bukan Pegawai yang menerima
imbalan bersifat berkesinambungan dan memperoleh penghasilan lain adalah dokter
yang bekerja di 2 (dua) atau lebih rumah sakit dalam tahun kalender yang sama.
c. Penghitungan PPh Pasal 21 sebulan sebagaimana ditunjukkan dalam table di bawah
ini:

Catatan:

Besarnya tarif sebagaimana dimaksud Pasal 17 ayat (1) huruf (a) UU PPh yang
diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih
tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang
dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

PPh Pasal 21 Bagi Penerima Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus
dikenai pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final.

Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau
Jaminan Hari Tua dianggap dibayarkan sekaligus jika sebagian atau seluruh
pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.

Uang Pesangon

Berikut Tarif PPh Pasal 21 atas uang pesangon yang diterima secara sekaligus

Lapisan penghasilan Tarif


s.d Rp 50.000.000,00 0%
Diatas Rp 50.000.000,00 s.d Rp 100.000.000,00 5%
Diatas Rp 100.000.000,00 s.d Rp 500.000.000,00 15%
Diatas Rp 500.000.000,00 25%

Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan
Sekaligus :
Berikut Tarif PPh Pasal 21 atas Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau
Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus:

Lapisan penghasilan Tarif


S.d Rp 50.000.000,00 0%
Di atas Rp 50.000.000,00 5%

Dalam hal terdapat bagian penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang terutang atau dibayarkan pada tahun
ketiga dan tahun tahun berikutnya, pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan dengan
menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh atas jumlah bruto
seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing
tahun kalender yang bersangkutan. PPh Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan berupa
Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua
yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya tidak
bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau
kredit pajak.

Dalam pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21, kantor perwakilan negara asing
dan organisasi-organisasi internasional tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib
melakukan pemotongan PPh Pasal 21, sehingga Wajib Pajak orang pribadi yang bekerja
pada kantor perwakilan negara asing atau organisasi internasional tersebut wajib
menghitung, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya PPh yang terutang atas
penghasilan yang diterima dari pemberi kerja tersebut melalui mekanisme Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) PPh Orang Pribadi.

Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 adalah:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009;


2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.11/2012;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012;
7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2012.

2. PPh Pasal 22
Perhitungan PPh Pasal 22 atas impor barang
1. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan
dengan saat pembayaran Bea Masuk.
2. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan dan tidak termasuk
dalam pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, Pajak Penghasilan
Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan
pabean atas impor.
3. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara
penyetoran oleh:
a. importir yang bersangkutan; atau
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan.
4. Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh importir, Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai dan pemungut pajak dilakukan dengan menggunakan formulir Surat Setoran
Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan Pajak.
5. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan pemungut pajak wajib melaporkan hasil
pemungutannya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor
Pelayanan Pajak. Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 dan pelaporan pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22, dilakukan sesuai jangka waktu sebagaimana ditetapkan
dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penentuan tanggal jatuh
tempo pembayaran, penyetoran dan pelaporan pemungutan pajak.

Tatacara Pemungutan dan Pelunasan PPh Pasal 22 atas atas pembelian barang:

1. Atas pembelian barang oleh bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA), bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang
yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP), Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), terutang dan dipungut pada saat pembayaran.
2. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, wajib disetor oleh pemungut ke kas negara
melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan,
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan serta
ditandatangani oleh pemungut pajak.
3. Pemungut pajak wajib melaporkan hasil pemungutannya dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayanan Pajak. Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal
22 dan pelaporan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, dilakukan sesuai jangka
waktu sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
mengenai penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran, penyetoran dan pelaporan
pemungutan pajak.

Tata cara Pemungutan dan Pelunasan PPh Pasal 22 atas atas pembelian barang untuk
keperluan usahanya oleh BUMN yang ditunjuk dan Bank Milik Negara.

1. Atas pembelian barang oleh Badan Usaha Milik Negara dan Bank-bank Badan Usaha
Milik Negara, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-
bahan untuk keperluan kegiatan usahanya, PPh Pasal 22 terutang dan dipungut saat
pembayaran.
2. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh pemungut pajak, wajib disetor oleh
pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
3. Pemungut pajak, wajib menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:
a. lembar kesatu untuk Wajib Pajak yang dipungut;
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak
(dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 22); dan
c. lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan
4. Pemungut pajak wajib melaporkan hasil pemungutannya dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayanan Pajak. Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal
22 dan pelaporan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, dilakukan sesuai jangka
waktu sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
mengenai penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran, penyetoran dan pelaporan
pemungutan pajak.

Tatacara Pemungutan dan Pelunasan PPh Pasal 22 atas penjualan barang:

1. Atas penjualan hasil produksi dari Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha
industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi,
atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri, terutang dan
dipungut pada saat penjualan.
2. Atas penjualan kendaraan bermotor didalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang
Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan
bermotor, terutang dan dipungut pada saat penjualan.
3. Atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, terutang dan
dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang (delivery order).
4. Atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul, terutang dan dipungut pada
saat pembelian.
5. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh pemungut pajak, wajib disetor oleh
pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
6. Pemungut pajak, wajib menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:
a. lembar kesatu untuk Wajib Pajak yang dipungut;
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak
(dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 22); dan
c. lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan
7. pemungut pajak wajib melaporkan hasil pemungutannya dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayanan Pajak. Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal
22 dan pelaporan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, dilakukan sesuai jangka
waktu sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
mengenai penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran, penyetoran dan pelaporan
pemungutan pajak.
Tata cara Pemungutan dan Pelunasan PPh Pasal 22 atas atas penjualan barang yang
tergolong sangat mewah.

1. Pemungut Pajak wajib memungut Pajak Penghasilan pada saat melakukan penjualan
barang yang tergolong sangat mewah.
2. Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dipungut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang melakukan pembelian
barang yang tergolong sangat mewah.
3. Pemungut Pajak wajib memberikan tanda bukti pemungutan kepada orang pribadi
atau badan yang dipungut setiap melakukan pemungutan.
4. Pemungut Pajak wajib menyetorkan Pajak Penghasilan yang dipungut ke Kantor Pos
atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan paling lama tanggal 10 (sepuluh)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak, dan Pemungut Pajak wajib melaporkan hasil pemungutannya dengan
mengunakan Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayanan Pajak paling lama 20
(dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

3. PPh Pasal 23

Cara menghitung PPh pasal 23 = 15% x Bruto untuk pengenaan atas deviden, bunga,
royalti, hadiah dll

Cara menghitung PPh pasal 23 = 2% x Bruto untuk pengenaan atas sewa dan penghasilan
lain sehubungan penggunaan harta imbalan sehubungan dengan jasa-jasa.

Pemotong PPh Pasal 23 wajib memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada
orang pribadi atau badan yang dipotong setiap melakukan pemotongan atau pemungutan.
Bagi penerima penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 23 ini adalah bukti pelunasan
PPh terutang dalam tahun tersebut yang nantinya akan dikreditkan dalam SPT
Tahunannya.

Apabila masa pajak telah berakhir, pemotong PPh Pasal 23 wajib melaporkan
pemotongan yang telah dilakukan dalam masa pajak tersebut. Pelaporan ini dilakukan
dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23/26 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak pemotong PPh Pasal 23 terdaftar.

Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 harus disampaikan paling lama 20
(dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Contoh, untuk pemotongan PPh Pasal 23
bulan Oktober 2010, SPT Masa PPh Pasal 23 harus disampaikan paling lambat tanggal 20
Nopember 2010.

Dalam hal batas akhir pelaporan di atas bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu
atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pengertian
hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan
Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang
ditetapkan oleh Pemerintah.

4. PPh Pasal 24
Ketentuan pasal 24 UU PPh mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas
penghasilan yang dibayara atau terutang diluar negeri yang dapat dikreditkan terhadap
pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negri.
Pengkreditan pajak luar negeri dilakukan dalam tahun digabungkannya penghasilan dari
luar negeri dengan penghasilan di Indonesia. Dimana Indonesia menganut tax credit yang
ordinary credit method dengan menerapkan per country limination.
Penggabungan penghasilan yang bersasal dari luar negeri dilakukan sebagi berikut:
1. Penggabungan dilakukan saat diperolehnya penghasilan tahun pajaknya,
2. Penggabungan dilakukan saat diterimanya penghasilan tahun pajaknya,
3. Penggabungan berupa deviden dilakukan saat tahun pajak perolehan deviden.

Dalam hal ini juga terdapat batasn maksimun kredit pajak. Untuk melaksankan
pengkreditan pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri, wajib pajak menyampaikan
permohonan kepada Dirjen pajak dengan dilampiri:

1. Lappran keuangan dari penghasilan luar negeri,


2. Fotocopy surat pemberitahuan pajak yang disampaikan diluar negeri,
3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
Penyampaian permohonan kredit pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri tersebut
dilakukan bersamaan dengan penyampaian SPT tahuna PPh

5. PPh Pasal 25
Cara menghitung besarnya PPh pasal 25
Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib
pajak untuk setiap bulan adalah sebesar pajak penghasilan yang terutang menurut surat
pemberitahuan pajak tahunan pajak penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan :
a. Pajak penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal
23, serta pajak penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam pasal22
b. Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 24
6. PPh Pasal 26
a. Tarif 20% untuk dasar pengenaan bruto dengan jenis penghasilan Dividen;
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;

Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;

Hadiah dan penghargaan;Pensiun dan pembayaran berkala lainnya;remi swap dan


transaksi lindung nilai lainnya; dan/atauKeuntungan karena pembebasan utang, yang
diterima Wajib Pajak Luar Negeri selain bentuk usaha tetap.

b. Tarif 20% untuk dasar pengenaan perkiraan penghasilan neto dengan jenis
penghasilan Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia; Premi
asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri; Penghasilan dari
penjualan atau pengalihan saham.
Apabila terdapat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Pemerintah
Indonesia dengan Negara Mitra, maka pengenaan PPh Pasal 26 mengacu pada
ketentuan yang terdapat dalam P3B tersebut. Penghasilan Kena Pajak sesudah
dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar
20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di
Indonesia.
ada prinsipnya pemotongan PPh Pasal 26 bersifat final, kecuali :

 Pemotongan atas penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan
barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan
atau yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;
 Pemotongan atas penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 26 yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara Bentuk Usaha
Tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
 Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau
Bentuk Usaha Tetap.
7. PPh Pasal 4(2)
Pemotongan atau pemungutan pajak pengahsilan yang bersifat final
Dalam ketentuan mengenai Pajak Penghasilan yang berlaku saat ini, ada beberapa jenis
penghasilan (objek pajak) yang dikenakan pemungutan atau pemotongan PPh yang
versifat final tetap dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) hanya saja jumlahya
tidak dijumlahkan dengan penghasilan lainnya. Pajak yang sudah dipotong tidak
diperhitungkan sebagai kredit pajak
PPh (Final) = 20% X bruto
Daftar Pustaka

https://www.academia.edu/29739279/Makalah_pajak_kuis (Diakses pada tanggal 4 Oktober


2017 pukul 15.00)

http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/12682-pemotongan-dan-
pemungutan-pajak-penghasilan (Diakses pada tanggal 4 Oktober 2017 pukul 15.15)

http://sukroandiana.blogspot.co.id/2014/05/definisi-pph-subyek-dan-obyek-pph.html (Diakses
pada tangal 4 Oktober 2017 pukul 15.22)

http://pajaktaxes.blogspot.co.id/p/potput.html (Diakses pada tanggal 4 Oktober 2017 pukul


16.00)

Anda mungkin juga menyukai