DISUSUN OLEH:
SITI NURTIANI
NIM. 1710053181
TINGKAT 3A
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Banyak istilah yang dipakai dalam menyatakan suatu trauma atau cedera pada
kepala di Indonesia. Beberapa rumah sakit ada yang memakai istilah cidera kepala dan
cedera otak sebgai suatu diagnosis medis untuk suatu trauma pada kepala, walaupun
secara harafiah kedua istiah tersebut sama karena memakai gradasi respons Glasgow
Coma Scale (GCS) sebagai tingkat gangguan yang terjadi akibat suatu cedera di kepala.
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan akibat
trauma yang mencederai kepala, maka perawat perlu mengenal Neuroanatomi,
Neurofisiologi serta Neuropatofisiologi dengan baik agar kelainan dari masalah yang
dikeluhkan atau kelainan dari pengkajian fisik yang didapat bisa sekomprehensif
mungkin ditanggapi perawat yang melakukan asuhan pada klien dengan cedera kepala.
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Secara anatomis
otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, serta tulang dan tentorium ( helm )
yang membungkusnya.
Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami
kerusakan. Selain itu sekali neuron rusak, tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat
mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat
langsung dari cedera dan banyak lainnya timbul sekunder dari cedera.
Efek-efek ini harus dihindari dan ditemukan secepatnya oleh perawat untuk
menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik, bahkan
kematian. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologis yang serius diantara
penyakit neurologis, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan
raya. Diperkirakan 2/3 korban dari kasus ini berusia dibawah 30 tahun, dengan jumlah
laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengan dari semua klien cedera kepala
berat mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanya syok
hipovolemik pada klien cedera kepala biasanya karena cedera bagian tubuh lainnya.
Resiko utama klien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat
pendarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial.
Pada beberapa literatur terakhir dapat disimpulkan bahwa cedera kepala atau
cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tidak
disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas
otak.
Berdasarkan GCS, cedera kepala atau cedera otak dapat dibagi menjadi 3 gradasi
yaitu:
1. Cedera kepala ringan / cedera otak ringan , bila GCS : 13-15.
2. Cedera kepala sedang / cedera otak sedang, bila GCS : 9-12.
3. Cedera kepala berat / cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8.
Pada klien yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misalnya oleh karena afasia,
maka reksi verbal diberi tanda “X” , atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga
tidak dapat dinilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai
“X” , sedangkan jika klien dilakukan trakeostomi atau dilakukan intubasi maka reaksi
verbal diberi nilai “T”.
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma
oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau
energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan ( akselerasi-
deselerasi ) pada otak.
B. TUJUAN UMUM
1. Tujuan Umum
Mampu melaksanakan asuhan keperawatan secara komprehensif pada klien dengan
Cedera Kepala Ringan.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat melakukan pengkajian keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Ringan
dari aspek bio, psikososial dan spiritual.
b. Dapat merumuskan diagnosis keperawatan dan menentukan prioritas masalah pada
klien dengan Cedera Kepala Ringan.
c. Merencanakan tindakan keperawatan berdasarkan diagnosis keperawatan serta dapat
melaksanakan rencana tindakan pada klien dengan Cedera Kepala Ringan
d. Dapat mengevaluasi hasil akhir terhadap tindakan keperawatan yang telah diberikan
pada klien dengan Cedera Kepala Ringan.
BAB II
KONSEP DASAR
A. DEFINISI
Cidera kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai / tanpa perdarahan
intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas dari otak
(P.Syamsuhidayat, dkk, 1996, 1110 ).
Cidera kepala adalah trauma pada otak yang disebabkan adanya kekuatan fisik dari luar
yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran. Akibatnya dapat menyebabkan
gangguan kognitif, gangguan tingkah laku, atau fungsi emosional. Gangguan ini dapat
bersifat sementara atau permanen, menimbulkan kecacatan baik partial atau total dan juga
gangguan psikososial. (Donna, 1999)
Cidera kepala adalahsuatu keadaan traumatic yang mengenai otak dan menyebabkan
perubahan-perubahan fisik, intelektual, emosional, social, dan vokasional. (Joyce, M
Black, 1997)
Cedera kepala adalah suatu bentuk trauma yang dapat merubah kemampuan otak dalam
menghasilkan keseimbangan aktifitas fisik, intelektual, emosional, sosial dan pekerjaan
atau gangguan traumatic yang menimbulkan perubahan fungsi otak (Black M. 1997).
Cedera kepala pada intinya menyatakan suatu cedera akut pada ssuunan saraf pusat,
selaput otak, saraf kranial termasuk fraktur tulang kepala, kerusakan jaringan lunak pada
kepala dan wajah, baik terjadi secara langsung (kerusakn primer) maupun tidak lansung
(kerusakan sekunder), yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis berupa gangguan
fisik, kognitif dan fungsi psikososial baik bersifat sementara atau menetap.
B. ANATOMI FISIOLOGI
a. Anatomi kepala
Tengkorak terbagi atas
1. Tengkorak Otak
Tengkorak otak menyelubingi otak dan alat pendengar. Tengkorak otak terdiri dari : a
a) Kubah tengkorak
Kubah tengkorak yang berbentuk cembung menyelubungi rongga tengkorak dari
atas dan dari sisi. Kubah tengkorak terdiri atas beberapa tulang ceper yang
dihubungkan oleh sutura tengkorak. Dari depan ke belakang terdapat berturut-
turut sebuah tulang dahi, sepasang tulang ubun-ubun dan sebuah tulang belakang
kepala. Pada dinding sisi kubah tengkorak terdapat sepasang tulang pelipis. Tulang
dahi, tulang belakang kepala turut pula membentuk dasar tengkorak.
b) Dasar Tengkorak
Bagian dasar tengkorak dapat dibedakan 3 bagian, yaitu lekuk tengkorak depan,
lekuk tengkorak tengah dan lekuk tengkorak belakang. Bagian tengah dasar lekuk
tengkorak depan dibentuk oleh tulang lapisan yang mempunyai banyak lubang
halus untuk memberi jalan kepada serabut-serabut saraf penghidu, oleh karena itu
bagian tulang lapisan tersebut dinamakan lempeng ayakan yang merupakan atap
bagi rongga hidung.
Lekuk tengkorak tengah terdiri dari atas bagian tengah dan dua bagian sisi, bagian
tengah adalah pelana turki. Dasar lekuk tengkorak belakang letaknya lebih rendah
daripada dasar lekuk tengkorak depan. Lekuk tengkorak belakang letaknya lebih
rendah lagi daripada lekuk tengkorak tengah.
2. Tengkorak Wajah
Tengkorak wajah letaknya di depan dan di bawah tengkorak otak. Lubang-lubang
lekuk mata dibatasi oleh lubang dahi, tulang pipi dan tulang rahang atas. Dinding
belakang lekuk mata juga dibentuk oleh tulang baji (sayap besar dan kecil).
Dinding dalamnya dibentuk oleh tulang langitan, tulang lapisan dan tulang air
mata. Selain oleh toreh lekuk mata atas dan oleh lubang untuk saraf penglihat
maka dinding lekuk mata itu tembus oleh toreh lekuk mata bawah yang terletak
antara tulang baji, tulang pipi dan tulang rawan atas. Toreh itu mangarah ke lekuk
wajah pelipis. Tulang air mata mempunyai sebuah lekuk yang jeluk, yaitu lekuk
kelenjar air mata yang disambung ke arah bawah oleh tetesan air mata yang
bermuara di dalam rongga hidung.
b.Kulit kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan sebagai scalp, yaitu :
a) kulit
b) jaringan penyambung (connective tissue)
c) galae aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan
tengkorak.
d) Perikranium.
Kulit kepala banyak memiliki pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan akibat
laserasi kulit kepala akan mengakibatkan banyak kehilangan darah, (American
College of Surgeons 1997)
c. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kalvakrium dan basis kranii. Rongga tengkorak dasar
adalah tempat lobus frontalis, fosa medis adalah tempat lobus temporalis dan fosa
posterior adalah ruang bagi batang otak bawah dan serebelum, (American College of
Surgeons 1997)
d.Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak yang terdiri dari 3 lapisan, yaitu
dura meter, arakhnoid dan pia meter. Dura meter adalah selaput keras terdiri atas
jaringan ikat fibrosa yang melekat erat dan tabula interna atau bagian dalam kranium.
Di bawah dura meter terdapat lapisan kedua yang tipis dan tembus pandang di sebut
selaput arakhnoid. Lapisan ketiga adalah pia mater yang melekat pada permukaan
kortek serebri, (American College of Surgeons 1997)
a) Serebrum
Setiap hemisfer dibagi atas empat lobus yaitu : lobus frontalis, parietal, oksipital,
temporalis. Fungsi dari setiap lobus berbeda-beda. Berikut penjelasan dari
masing-masing fungsi lobus :
1) Lobus Frontalis, bagian depan bekerja untuk proses belajar, merancang,
psikologi, lobus frontalis bagian belakang untuk proses motorik termasuk
bahasa.
2) Lobus parietal, bekerja khusus untuk sensorik somatik (misal sensibilitas
kulit) dan peran asosiasinya, beberapa areanya penting bagi proses kognitif
dan intelektual.
3) Lobus Oksipital, merupakan area pengoperasian penglihatan.
4) Lobus temporalis, merupakan pusat pendengaran dan asosiasinya, beberapa
pusat bicara, pusat memori. Bagian anterior dan basal lobus temporalis
penting untuk indra penghidu.
b) Batang Otak
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblongata. Masing-masing
struktur mempunyai tanggung jawab yang unik dan fungsi ketiganya sebagai unit
untuk menjalankan saluran impuls yang disampaikan ke serebri dan lajur spinal.
1) Otak Tengah, merupakan bagian pendek dari batang otak yang letaknya di
atas pons. Bagian ini terdiri dari bagian posterior yaitu tektum yang terdiri
dari bagian bagian kolikuli superior dan kolikuli inferior dan bagian anterior
yaitu pedunkulus serebri. kolikuli superior berperan dalam refleks
penglihatan dan koordinasi gerakan penglihatan, sedangkan kolikuli inferior
berperan dalam reflek pendengaran, misalnya menggerakkan kepala ke arah
datangnya suara. Pedunkulus serebri terdiri dari berkas serabut-serabut
motorik yang berjalan turundari serebelum.
2) Pons, terletak diantara otak tengah dan medula oblongata. Pons berupa
jembatan serabut-serabut yang menghubungkan kedua hemisfer serebelum,
serta menghubungkan mesensefalon di sebelah atas dengan medula oblongata
bawah. Pons merupakan mata rantai penghubung yang penting pada jaras
kortikoserebelaris yang menyatukan hemisfer serebri dan serebelum.bagian
bawah pons berperan dalam pengaturan saraf kranial trigeminus, abdusen dan
fasialis.
3) Medula Oblongata, terletak diantara pons dan medula spinalis. Pada medula
ini merupakan pusat refleks yang penting untuk jantung. Vasokonstriktor,
pernapasan,bersin,batuk,menelan, pengeluaran air liur dan muntah.
c) Serebelum
Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh durameter
yang menyerupai atap tenda, yaitu tentorium yang menisahkan dari bagian
posterior serebrum. Serebelum terdiri dari bagian tengah, vermis dan dura
hemisfer lateral. Serebelum dihubungkan dengan batang otak oleh tiga berkas
serabut yang dinamakan pedunkulus. Pendukulus serebeli superior berhubungan
dengan mesensefalon ; pendukulus serebeli media menghubungkan kedua
hemisfer otak ; sedangkan pendukulus serebeli inferior berisi serabut-serabut
traktus spinosere belaris dorsalis dan berhubungan dengan medula oblongata.
Semua aktivitas serebelum berada di bawah kesadaran. Fungsi utama serebelum
adalah sebagai pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperluas gerakan otot,
serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan
keseimbangan dan sikap tubuh.
2. Medula Spinalis
Medula spinalis terletak di dalam kanalis neural dari kolumna vertebra, berjalan ke
bawah dan memenuhi kanalis neural sampai setinggi vertebra lumbalis kedua.
Sepasang saraf spinalis berada diantara pembatas vertebra sepanjang kolumna
vertebra. Di bawah ujung tempat medula spinalis berakhir. Di dalam ujung tempat
medula spinalis terletak interneuron, serabut sensori, asenden, serabut motorik
desenden dan badan sel saraf dan dendrit somatik sekunder (volunter) dan motor
neurons otonom utama. Area sentral medula spinalis merupakan massa abu-abu
yang mengandung badan sel saraf dan neuron internunsial.
Sistem Saraf Otonom dibagi menjadi dua bagian : Bagian Pertama adalah Sistem
Saraf Otonom parasimpatis (SSOp) dan Sistem Saraf Otonom simpatis (SSOs),
bagian simpatis meninggalkan sistem saraf pusat dari daerah thorakal dan lumbal
(torakolumbal) medula spinalis. Bagian parasimpatis ke luar otak (melalui
komponen-komponen saraf karanial) dan bagian sakral medula spinalis
(kraniosakral).
Fungsi simpatis adalah peningkatan kecepatan denyut jantung dan pernapasan, serta
menurunkan aktivitas saluran cerna.tujuan utama fungsinya adalah mempersiapkan
tubuh agar siap menghadapi stress atau apa yang dinamakan respon bertempur/ lari.
Cairan Serebrospinal
Fungsi cairan serebrospinal adalah sebagai penahan getaran, menjaga jaringan SSP yang
sangat halus dari benturan terhadap struktur tulang yang mengelilinginya dan dari cedera
mekanik. Juga berfungsi dalam pertukaran nutrien antara plasma dan kompartemen
selular. Cairan serebrospinal merupakan filtrat plasma yang dikeluarkan oleh kapiler di
atap dari keempat ventrikel otak. Seperti yang telah disebutkan, ini serupa dengan plasma
minus plasma protein yang besar, yang ada di balik aliran darah. Sebagaian besar cairan
ini dibentuk dalam ventrikel bagian lateral, yang terletak pada masing-masing hemisfer
serebri. Cairan mengalir dari ventrikel lateral ini melalui duktus ke dalam ventrikel ketiga
diensefalon. Dari ventrikel ketiga cairan mengalir melalui aquaduktus Sylvius midbrain
dan masuk ke ventrikel keempat medula. Kemudian sebagian dari cairan ini masuk
melalui lubang (foramen) di bagian atas dari ventrikel ini dan masuk ke dalam spasium
subarakhnoid (sejumlah kecil berdifusi ke dalam kanalais spinalis). Dalam spasium
subarakhnoid, CSS diserap kembali ke dalam aliran darah pada tempat tertentu yang
disebut pleksus subarakhnoid
Pembentukan dan reabsorbsi CSS diatur oleh tekanan osmotik koloid dan hidrostatik
yang sama yang mengatur perpindahan cairan dan partikel-partikel kecil antara plasma
dan kompartemen cairan interstisial tubuh. Secara singkat direview, kerja dari tekanan ini
adalah sebagai berikut : dua tim yang berlawanan dari tekanan mendorong dan menarik
mempengaruhi gerakan air dan partikel-partikel kecil melalui membran kapiler
semipermiabel. Satu tim terdiri atas tekanan osmotik plasma dan tekanan hidostatik CSS.
Ini memudahkan gerakan air dari kompartemen CSS ke dalam plasma. Gerakan air dari
arah yang berlawanan dipengaruhi oleh tim dari tekanan hidrostatik plasma dan tekanan
osmotik CSS. Tim yang berpengaruh bekerja secara simultan dan kontinu. Dalam
ventrikel, aliran CSS menurunkan tekanan hidrostatik CSS. Hal ini memungkinkan tim
bersama mempengaruhi gerakan air dan partikel kecil dari plasma ke ventrikel.
Tekanan hidrostatik darah yang rendah dalam sinus venosus bersebelahan dengan vili
arakhnoid menunjukkan skala untuk gerakan air dan terlarut dari kompartemen CSS
kembali ke dalam aliran darah. Kematian sel-sel yang melapisi kompartemen CSS akan
mengeluarkan protein ke dalam CSS. Ini akan meningkatkan tekanan osmotik CSS dan
memperlambat reabsorbsi (sementara juga mempercepat pembentukan bila kerusakan
terjadi di dalam dinding ventrikel). Peningkatan protein CSS karena hal ini atau penyebab
lain dapat merangsang atau mencetuskan kondisi kelebihan CSS yang disebut
hidrosefalus.
Tekanan Intrakranial
Menurut American College of Surgeon, (1997) berbagai proses patologis yang mengenai
otak dapat mengakibatkan kenaikan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan
mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap kesudahan penderita.
Dan tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganggu
fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi kenaikan
intrakranial tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak tetapi
justru sering merupakan masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10
mmHg (136 mm H2O), TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK
lebih dari 40 mmHg termasuk dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah
cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.
C. ETIOLOGI
1. Cidera setempat (benda tajam)
Trauma benda tajam yang masuk kedalam tubuh merupakan trauma yang dapat
menyebabkan cedera setempat atau kerusakan terjadi terbatas dimana benda tersebut
merobek otak.
misal: pisau, peluru atau berasal dari serpihan atau pecahan dari fraktur tengkorak.
D. KLASIFIKASI
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul
setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan derajat
cedera kepaka. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek ,secara praktis
dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan :
1. Mekanisme Cedera kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera
kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-
motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru
atau tusukan. Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera
termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
2. Beratnya Cedera
Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera
kepala.
a. Cedera Kepala Ringan (CKR).
GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30
menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak
ada kontusio cerebral maupun hematoma.
b. Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau
hematoma intracranial.
Skala Koma Glasgow
No RESPON NILAI
1 Membuka Mata :
-Spontan 4
-Terhadap nyeri 2
-Tidak ada 1
2 Verbal :
-Orientasi baik 5
-Orientasi terganggu 4
- Mampu bergerak 6
-Melokalisasi nyeri 5
-Fleksi menarik 4
-Fleksi abnormal 3
-Ekstensi 2
b. Lesi Intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis
lesi sering terjadi bersamaan.
Termasuk lesi lesi local :
1) Perdarahan Epidural
2) Perdarahan Subdural
3) Kontusio (perdarahan intra cerebral)
Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran CT Scan yang
normal, namun keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan
dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan
lamanya koma, maka cedera otak difus dikelompokkan menurut kontusio
ringan, kontusio klasik, dan Cedera Aksona Difus ( CAD).
c. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi
pada regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea
media ( Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran
sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini
disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologist
unilateral. Kemudian gejala neurology timbul secara progresif berupa pupil
anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala herniasi transcentorial.
d. Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural( kira-
kira 30 % dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat
robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus
venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi
pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya
menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya
lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural.
f. Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada cedera
kepala.
Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak
terganggu, namun terjadi disfungsi neurologist yang bersifat sementara dalam
berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan sering kali
tidak diperhatikan, bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah
keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia retrograd, amnesia integrad (
keadaan amnesia pada peristiwa sebelum dan sesudah cedera) Komusio
cedera klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunya atau hilangnya
kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan
lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya
kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversible.
Dalam definisi klasik penderita ini akan sadar kembali dalam waktu kurang
dari 6 jam. Banyak penderita dengan komosio cerebri klasik pulih kembali
tanpa cacat neurologist, namun pada beberapa penderita dapat timbul deficit
neurogis untuk beberapa waktu. Defisit neurologist itu misalnya : kesulitan
mengingat, pusing ,mual, amnesia dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-
gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera Aksonal difus ( Diffuse Axonal Injuri,DAI) adalah dimana penderita
mengalami coma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan
oleh suatu lesi masa atau serangan iskemi. Biasanya penderita dalam keadaan
koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu, penderita sering
menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebasi dan bila pulih sering tetap
dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering
menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan
hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer.
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Cidera kepala ringan-sedang
a) Disorientasi ringan
b) Amnesia post partum
c) Hilang memori sesaat
d) Sakit kepala
e) Mual dan Muntah
f) Vertigo dan perubahan posisi
g) Gangguan pendengaran
Tanda yang potensial berkembang :
a) Penurunan kesadaran
b) Perubahan pupil
c) Mual makin hebat
d) Sakit kepala semakin hebat
e) Gangguan pada beberapa saraf cranial
f) Tanda-tanda meningitis
g) Apasia
h) Kelemahan motorik
Gejala :
a) Gangguan kesadaran lebih lama
b) Kelainan neurologis positif
c) Refleks patologis positif, lumpuh, konvulsi
d) Gejala TIK meningkat
e) Amnesia retrograd lebih nyata.
F. PATOFISIOLOGI
Kranium merupakan struktur kuat yang berisi darah,jaringan otak dan jaringan
serebrospinal. Fungsi cerebral tergantung pada adekuatnya nutrisi seperti oksigen,
glukosa. Berat ringannya cedera kepala tergantung pada trauma kranium atau otak.
Cedera yang dialami dapat gegar otak, memar otak atau laserasi, fraktur dan atau
hematoma (injury vaskuler, epudural ; epidural atau subdural hematoma).
Cedera kepala yang terjadi dapat berupa percepatan (aselerasi) atau perlambatan
(deselerasi). Trauma dapat primer atau sekunder. Trauma primer adalah trauma yang
langsung mengenai kepala saat kejadian. Sedangkan trauma sekunder merupakan
kelanjutan dari trauma primer. Trauma sekunder dapat terjadi meningkatnya tekanan
intrakranial, kerusakan otak, infeksi dan edema cerebral.
Epidural hematoma merupakan injury pada kepala dengan adanya fraktur pada
tulang tengkorak dan terdapat lesi antara tulang tengkorak dan dura. Perdarahan ini
dapat meluas hingga menekan cerebral oleh karena adanya tekanan arteri yang
tinggi. Gejalanya akan tampak seperti kebingungan atau kesadaran delirium, letargi,
sukar untuk dibangunkan dan akhirnya bisa koma. Nadi dan nafas menjadi lambat,
pupil dilatasi dan adanya hemiparese.
Subdural hematoma adalah cedera kepala dimana adanya ruptur pembuluh vena dan
perdarahan terjadi antara dura dan serebrum atau antara duramater dan lapisan
arakhnoid. Terdapat dua tipe yaitu subdural hematoma akut dan kronik. Bila akut
dapat dikaitkan dengan kontusio atau laserasi yang berkembang beberapa menit atau
jam. Manifestasi tergantung pada besarnya kerusakan pada otak dan usia anak, dapat
berupa kejang, sakit kepala, muntah, meningkatnya lingkar kepala, iritabel dan
perasaan mengantuk.
Cerebral hematoma adalah merupakan perdarahan yang terjadi akibat adanya memar
dan robekan pada cerebral yang akan berdampak pada perubahan vaskularisasi,
anoxia dan dilatasi dan edema. Kemudian proses tersebut akan terjadilah herniasi
otak yang mendesak ruang disekitarnya dan menyebabkan meningkatnya tekanan
intrakranial. Dalam jangka waktu 24 – 72 jam akan tampak perubahan status
neurologi.
G. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada cedera kepala menurut
Batticaca. FB. 2008 :
a. Angkat klien dengan papan datar untuk mempertahankan kepala dan leher
sejajar.
b. Traksi ringan pada kepala
c. Kolar servikal
d. Terapi untuk mempertahankan homeostatik otak dan mencegah kerusakan
otak sekunder seperti stabilitas sistem kardiovaskuler dan fungsi pernapasan
untuk mempertahankan perfusi serebral yang adekuat. Kontrol perdarahan,
perbaiki hipovolemi, dan evaluasi gas darah arteri.
e. Tindakan terhadap peningkatan TIK dengan melakukan pemantauan TIK.
Bila terjadi peningkatan TIK, pertahankan oksigenasi yang adekuat,
pemberian manitol untuk mengurang edema kepala dengan dehidrasi
osmotik, hiperventilasi, penggunaan steroid, meninggikan posisi kepala
ditempat tidur, kolaborasi bedah neuro untuk mengangkat bekuan darah, dan
jahitan terhadap laserasi di kepala. Pasang alat pemantau TIK selama
pembedahan atau dengan teknik aseptik di tempat tidur. Rawat klien di ICU.
f. Tindakan perawatan pendukung yang lain yaitu, pemantauan ventilasi dan
pencegahan kejang serta pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan
nutrisi. Lakukan intubasi dan ventilasi mekanik bila klien koma berat untuk
mengontrol jalan nafas. Hiperventilasi terkontrol mencakup hipokapnia,
pencegahan vasodilatasi, penurunan volume darah serebral, dan penurunan
TIK. Pemberian terapi antikonvulsan untuk mencegah kejang setelah trauma
kepala yang menyebabkan kerusakan otak sekunder karena hipoksia
(klorpromazin tanpa tingkat kesadaran). Pasang NGT bila terjadi motilitas
lambung dan peristaltik terbalik akibat cedera kepala.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian yang dilakukan dalam penatalaksanaan keperawatan cedera kepala
menurut Batticaca. FB. 2008 :
a) Riwayat kesehatan
1) Kapan cedera terjadi
2) Apa penyebab cedera
3) Apa peluru kecepatan tinggi
4) Apa objek yang membentur
5) Bagaimana proses terjadinya cedera pada kepala, apa karena jatuh
6) Darimana arah datangnya pukulan, bagaimana kekuatan pukulan
7) Apakah klien kehilangan kesadaran Berapa lama durasi dari periode
sadar
8) Dapatkah klien dibangunkan
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada trauma kepala menurut Grace,
Piere A. 2006:
a. Rontgen tengkorak : AP, lateral dan posisi Towne
b. CT Scan / MRI : menunjukkan kontusio, hematoma, hidrosefalus, edema
serebral.
c. Pengkajian neurologis (Batticaca. FB. 2008)
d. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
yang akan dapat meningkatkan TIK.
e. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
f. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
g. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran
struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
I. KOMPLIKASI
Menurut Mansjoer, (2000) komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala adalah :
a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen
dan terjadi pada 2 – 6% pasien dengan cedera kepala tertutup.
b. Fistel karotis-kavernosus ditandai oleh trias gejala : eksolelamos, kemosis,dan
bruit orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai
hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik.
d. Edema pulmonal, komplikasi paru-paru yang serius pada pasien cedera kepala
adalah edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguan neurologis atau
akibat dari sindrom distres pernapasan dewasa
e. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam), dan (minggu pertama)
atau lanjut (setelah satu minggu).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan , alamat, pekerjaan, agama,
tanggal dan jam masuk, no MR, diagnosis medis dll.
2. Riwayat Kesehatan
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan tergantung dari seberpa jauh dampak trauma kepala disertai
penurunan tingkat kesadaran.
a. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya klien yang mengalami trauma yang mengenai kepala akibat dari
kecelakaan lalu lintas, jatuh dariketinggian, dan trauma langsung ke
kepala, akan mengalami penuruna tingkat kesadaran ( GCS <15 ),
konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, lemah, tejadi luka di kepala,
paralissis, akumulasi sekret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari
hidung, dan telinga serta kejang.Adanya penuruna kesadran dihubungkan
karna terjadinya perubahan di dalam intrakranial.Sesuai denga
perkembangan penyakit, dapat terjadi letagi, tidak responsif dan bahkan
koma.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya klien mengalami riwayat cedera kepala sebelumnya, dan
mengalami riwayat penyakit yang memicu terjadinya suatu kejadian yang
mengakibatkan terjadinya cedera kepala serta yang memepengaruhi
kondisi kesehatan klien saat ini, seperti : hipertensi, penyakit jantung,
diabetes melitus serta adanya penggunaan obat-obat antikoagulan,
aspirin, obat-obat adiktif,konsumsi alkohol yang berlebihan.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah ada anggota keluraga yang menderita penyakit keturunan
seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, serta yang
menderita penyakit menular lainnya.
3. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik dilakukan per sistem mulai dari ( B1-B6 )dengan fokus
pemeriksaaan fisik pada pemeriksaan B3( brain )yang terarah dan
dihubungkan dengan keluha-keluhan dari klien.
1) Keadaan umum
Pada keadaan cedera kepala umumnya klien mengalami penurunan
kesardaran, biasanya pada klien dengan :
a. Cedera kepala ringan, GCS 13-15
b. Cedera kepala sedang, GCS 9-12
c. Cedera kepala berat, GCS kurang atau sama dengan 8.
2) B1 ( Breathing )
Inspeksi :biasanya didapatkan klien dengan batuk, sesak npas,
pengguanaan otot bantu pernapasan dan peningkatan frekuensi
pernapasan, pada ekspansi dada biasanya terjadi ketidaksimetrisan yang
mungkin menunjukkan adanya atelektasis, lesi pada peru, obstruksi pada
bronkus, fraktur tulang iga, pneumothoraks, atau penempatan
endotrakeal. Dan tube trakeostomi yang kuran tepat.pada ekspansi dada
juga perlu di nilai retraksi dari otot-otot interkostal, substernal,
pernapasan abdomen.
Perkusi : Biasanya terdapat adanya suara redup dan pekak pada keadaan
yang melibatkan trauma pada thoraks / hemothoraks.
Auskultasi : Biasanya terdapat bunyi napas tambahan seperti stridor,
ronkhi pada klien dengan peningkatan sekret.
3) B2 ( Blood )
Pada pemeriksaan jantung biasnya ditemukan beberpa keadaan seperti
tekanan darah meningkat dan kadang juga akan menurun, nadi
bradikardi, takikardi, dan aritmia.nadi cepat dan lemah berhubungan
dengan homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan
oksigen perifer.Nadi bradikardi merupakan tanda dari perubahan perfusi
jaringan otak.Kulit kelihatan pucat menandakan adanya penurunan kadar
hemoglobin dalam darah.Hipotensi menandakan adanya perubahan
perfusi jaringan dan tanda-tanda dari suatu syok.
4) B3 ( Brain )
a) Pemeriksaan fungsi serebral
Status mental : biasnya status mental akan mengalami perubahan
Fungsi intelektual : biasanya klien cedara kepala akan mengalami
penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka pendek maupun
jangka panjang.
Lobus frontal : kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapat
bila traumakepala mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus
frontal kapasitas, memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih
tinggi mungkin rusak.disfungsi ini di tunjukkan dalam lapang
perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang
motivasi yang mengakibatkan klien ini menghadapi masalah frustasi
dalamprogram rehabilitasi mereka.Masalah psikologis lainnya juga
bisa terjadi dan di manifestasikan oleh labilitas emosional,
bermusuhan, frustasi , dendam dan kurang kerja sama.
b) Hemisfer : cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami hemiparese
kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati, kelainan bidang pandang
sebelah kanan, disfagia global, afasia.
c) Pemeriksaan saraf kranial.
1) Nervus I
Cedera kepala yang merusak anatomisdan fisiologis saraf ini,
klien akan mengalami kelainan pada fungsi penciuman atau
anosmia unilateral dan bilateral.
2) Nervus II
Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan
lapangan penglihatan dan dan menggagu fungsi dari nervus
optikus.
3) Nervus III, IV, dan VI
Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan
trauma yang merusak ronga orbital.Biasanya di jumpai keadaan
seperti anisokoria diman gejala ini di anggap sebgai tanda serius
jika mdrisis itu tidak bereaksi pada penyinaran.tanda awal
herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak berreaksi pada
penyinaran.jika pada trauma kepala terdapat anisokoria dimana
bukannya midriasis yang ditemukan, melainkan miosis yag
bergandengan denga pupil yang normal pada sisi yang lain, maka
pupil yang miosislah yang abnormal.Miosis ini disebabkan oleh
lesi lobus frontalis ipsilateral yang mengelola pusat
silspinal.Hilangnya fungsi itu berarti pusat silospinal menjadi
tidak aktif, sehingga pupil tidak berdilatasi melainka
berkonstriksi.
4) Nervus V
Cedera kepala menyebabkan peralisis nervus trigeminus,
didapatka penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah.
5) Nervus VII
Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
6) Nervus VIII
Perubahan fungsi pendengaran pada klien dengan cedera ringan
biasnya tidak di dapatkan apabila trauma yang terjadi tidak
melibatkan saraf vestibulokoklearis
7) Nervus IX dan X
Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.
8) Nervus XI
Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup
baik dan tidak ada atrofi otot strenokleidomastoideus dan
trapezius.
9) Nervus XII
Indra pengecapan mengalami perubahan.
d) Sistem motorik
1) Inspeksi umum, didapatkan hemiplegia ( paralisi pada salah satu
sisi ) karena sisi pada sisi otak yang berlawanan.hemiparesis
( kelemahan salah satu sisi tubuh )adalah tanda yang lain.
2) Tonus otot, didapatkan menurun sampai hilang.
3) Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan grade
kekuatan otot didapatkan grade 0.
4) Keseimbangan dan koordinasi, didapatkan mengalami gangguan
karena hemiparese dan hemiplegia.
Pemeriksaaan refleks.
1) Pemeriksaan reflek dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum,
atau periosteum derajat refleks pada respons normal.
2) Pemeriksaan reflek patologis, pada fase akut reflek fisiologis sisi
yang lumpuh akan meghilangsetelah beberapa hari refleks
fisiologis akan muncul kembali di dahului dengan reflek
patologis.
Sistem sensorik
Biasanya terjadi kehilangan propriosepsi ( kemampuan untuk
merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh ) serta kesulitan dalam
menginterprestasikan stimuli visual, taktil dan auditorius.
5) B4 ( Bladder )
Biasanya keadaan urine akan mengalami perubahan seperti, warna,
jumlah dan karakteristiknya.Penurunan jumlah urine dan peningkatan
retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal.
6) B5 ( Bowel )
Biasanya terjadi kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah
pada fase akut, pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus.
7) B6 ( Bone )
Biasanya terjadi kelemahan pada seluruh ekstremitas, warna kulit
kuning, sianosis, anemia.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan
desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya paerdarahan
baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural
hematoma.
2. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada
pusat pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru
yang tidak maksimal karena akumulasi udara / cairan dan perubahan
perbandingan O2 dan CO2 kegagalan ventilaor
3. Tidak efektif bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan penunumpukan
sputum peningkatan sekresi sekret penurunan batuk sekunder akibat nyeri
dan kelatihan.
4. Perubahan kenyamanan : nyeri akut berhubungan dengan trauma jarinagn
dan reflek spasme otot sekunder
5. Gangguan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan edema pada otak
6. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yanh berhubungan dengan
perubahan kemammpuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan
metabolisme.
7. Gangguan komuknikasi verbal berhubungan dengan terpasangnya
endotrakeal dan paralisis atau kelemahan neuromuskuler.
C. INTERVENSI KEPERWATAN.
NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
1. Resiko tinggi TIK b/d Tujuan : dalam waktu
1. Kaji faktor penyebab
1. Deteksi dini untuk
desak ruang sekunder 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK memprioritaskan intervensi,
dari kompresi korteks peningkatan TIK pada mengkaji sttus neurologis atau tanda
serebri dar adanya klien. kegagalan untuk menentukan
Kriteria hasil : klien
perdarahan baik tindakan pembedahan
tidak gelisah, tidak
bersifat intraserebral
mengeluh keala nyeri,
hematoma, subdural 2. Suatu keadaan normal bila
mual dan muntah,
hematoma, dan sirkulasi serebral terpelihara debgan
GCS 4,5,6, tidak
epidural hematoma. baik atau fluktasi di tandai dengan
terdapat papiledema,
tekanan darah siskemik, penurunan
TTV normal.
dari autoreguer kebanyakan
merupakan tanda penurunan difusi
2. Monito TTV tiap lokal vaskularisasi daraj serebral.
3. Tindakan yang terus menerus dapat
empat jam
meningkatkan TIK oleh efek
rangsangan komulatif.
4. Mengurangi tekanan intratorakal
dan intraabdominal sehingga
menghindari peningkatan TIK.
3. Berikan periode
istirahat antara
tindakan perawatan
dan batasi lamanya
prosedur
4. kolaborasi dengan
tim kesehatan lain
pemberian
antibiotik,analgesik,fis
oterapi dada dan
konsul foto toraks
3. Tidak efektif bersihan Tujuan : 1. Kaji keadaan jalan
1. Obstruksi mungkin dapat
Dalam waktu 3x24jam
jalan nafas yang nafas disebabkan oleh akumulasi
terdapat perilaku
berhubungan dengan sekret,sisa cairan
peningkatan
penunumpukan mukus,perdarahan,dan
keefektifan jalan
sputum peningkatan bronkospsame
nafas.
sekresi sekret
Kriteria hasil :
penurunan batuk Bunyi nafas terdengar 2. Pergerakan dada yang simetris
sekunder akibat nyeri bersih, tidak ada suara dengan suara nafas yang keluar dari
dan kelatihan nafas tambahan paru-paru menandakan jalan nafas
tidak terganggu.
2. Evaluasi pergerakan
3. Selama intubasi klien mengalami
dada dan auskultasi
reflek batuk yang tidak dapat efektif.
suara nafas pada
Semua klien tergantung dari
kedua paru.
alternatif yang dilakukan seperti
3. Catat adanya batuk,
menghisap lendir dari jalan nafas.
bertambahnya sesak
napas dan pengeluaran
4. Batuk yang efektif dapat
sekret melalui mengeluarkan sekret dari saluran
endotrakeal dan napas.
bertambahnya bunyi
5. Ekspektoran untuk memudahkan
ronki.
mengeluarkan lendir dan
4. Anjurkan klien
mengevaluasi perbaikan kondisi
dengan teknik batuk
klien atas pengembangan paru nya.
selama penghisapan
seperti waktu bernapas
panjang, batuk kuat,
bersin jika ada
indikasi.
5. Kolaborasi dengan
tim kesehatan lain
pemberian
ekspektoran,
entibiotik, fisioterapi
dada dan konsul foto
thorak.
DAFTAR PUSTAKA