Anda di halaman 1dari 24

TINJAUAN RESISTENSI Streptococcus agalactiae PENYEBAB

MASTITIS SUBKLINIS DI PETERNAKAN SAPI PERAH


KUNAK BOGOR TERHADAP BEBERAPA ANTIBIOTIK
(STUDI KASUS)
KRISNIA VIRGIHANI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Page 2
ABSTRACT
KRISNIA VIRGIHANI. Review of Resistance of Streptococcus agalactiae as A
Cause Agent of Subclinical Mastitis to Several Antibiotic in Dairy Farm Kunak
Bogor (Case Study). Under direction of MIRNAWATI SUDARWANTO and
HERWIN PISESTYANI.
Subclinical mastitis is an inflamation of the mamary gland which cause of
decrease milk production. Streptococcus agalactiae is one of pathogenic
microorganism agent of subclinical mastitis in dairy farm. This study showed that
the percentage of Streptococcus agalactiae infection were 9.79% in dairy farm at
KUNAK Bogor and the resistance of those Streptococcus agalactiae to severe
antibiotic. In this case showed that Eritromycin were effective as antibiotic to
Streptococcus agalactiae. The broad spectrum antibiotic made the therapy
uneffetive to some antibiotic.
Keywords: subclinical mastitis, Streptococcus agalactiae, antibiotic resistance

Page 3
RINGKASAN
KRISNIA VIRGIHANI. Tinjauan Resistensi Streptococcus agalactiae Penyebab
Mastitis Subklinis di Peternakan Sapi Perah KUNAK Bogor terhadap Beberapa
Antibiotik (Studi Kasus). Dibimbing oleh MIRNAWATI SUDARWANTO dan
HERWIN PISESTYANI.
Susu merupakan bahan pangan asal hewan yang mengandung gizi tinggi
yang dibutuhkan oleh anak sapi dan manusia. Susu dapat mengandung
mikroorganisme yang berasal dari lingkungan maupun tubuh sapi. Peradangan
pada ambing atau mastitis menyebabkan susu yang dihasilkan oleh sapi
mengandung berbagai macam mikroba. Streptococcus agalactiae merupakan
bakteri yang diwaspadai sebagai penyebab mastitis subklinis. Bakteri ini dapat
menyebabkan penyakit tonsilitis dan meningitis pada manusia yang
mengkonsumsi susu tercemar tanpa penanganan yang baik. Streptococcus
agalactiae diketahui telah resisten terhadap beberapa jenis antibiotik. Resistensi
bakteri Streptococcus agalactiae terhadap beberapa antibiotik menyebabkan
pengobatan menjadi tidak efektif dan masa pengobatan menjadi lebih panjang
serta tidak produktifnya ternak sapi perah. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui persentase sapi penderita mastitis subklinis yang disebabkan oleh
Streptococcus agalactiae dan resistensi bakteri ini terhadap antibiotik yang sering
digunakan untuk pengobatan mastitis subklinis.
Metode dalam penelitian ini meliputi pengambilan sampel susu di Kawasan
Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor sebanyak 205 sampel kuartir
dari 54 ekor sapi. Pengambilan sampel susu dilakukan secara aseptis. Pengujian
sampel susu dilakukan di laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner,
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet IPB, Bogor. Sampel susu diuji
mastitis subklinis menggunakan metode Breed dan pereaksi IPB-1. Sampel
positif mastitis subklinis dikultur dalam agar darah untuk diperiksa koloni yang
tumbuh. Koloni yang diduga Streptococcus agalactiae di uji kembali dengan uji
CAMP. Koloni positif pada uji CAMP diuji antibiogram menggunakan beberapa
cakram antibiotik yang berbeda.
Berdasarkan hasil uji antibiogram, Streptococcus agalactiae telah
mengalami resistensi terhadap antibiotik Penisilin, Ampisilin, Tetrasiklin,
Eritromisin, Gentamisin, Kanamisin, Siprofloksasin dan Enrofloksasin. Dalam
penelitian ini, Eritromisin masih memiliki kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan Streptococcus agalactiae.
Kata kunci : mastitis subklinis, Streptococcus agalactiae, resistensi antibiotik

Page 4
TINJAUAN RESISTENSI Streptococcus agalactiae PENYEBAB
MASTITIS SUBKLINIS DI PETERNAKAN SAPI PERAH
KUNAK BOGOR TERHADAP BEBERAPA ANTIBIOTIK
(STUDI KASUS)
KRISNIA VIRGIHANI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Page 5
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan Judul Tinjauan
Resistensi Streptococcus agalactiae Penyebab Mastitis Subklinis di Peternakan
Sapi Perah KUNAK Bogor terhadap Beberapa Antibiotik (Studi Kasus) adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, Oktober 2011
Krisnia Virgihani
B04070052

Page 6
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang - Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Page 7

Page 8
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
yang telah diberikan sehingga dapat menyelesaikan skripsi sebagai syarat untuk
memperoleh gelar sarjana. Judul skripsi yang dipilih dalam penelitian sejak bulan
Oktober 2010 ini adalah tinjauan resistensi Streptococcus agalactiae penyebab
mastitis subklinis di peternakan sapi perah kunak bogor terhadap beberapa
antibiotik (studi kasus).
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati B. Sudarwanto selaku ketua
komisi pembimbing dan drh. Herwin Pisestyani, MSi selaku anggota komisi
pembimbing, kepada Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi selaku pembimbing
akademik. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Japan International
Coorporation (JICA) atas bantuannya dalam penyelesaian penelitian, kepada
rekan sepenelitian, Fitrian Winata dan Siska Aryana atas kerja sama, pengingat
dan penyemangat penyelesaian skripsi serta keluarga (Ayah, Mama, adik-adik)
atas kasih sayang, perhatian, dukungan, dan pengorbanan serta doa yang selalu
dipanjatkan,
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaaat.
Bogor, Oktober 2011
Krisnia Virgihani

Page 9
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 27 Agustus 1990 dari ayah H. Parlan S dan
Ibu Hj. Watmani. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara.
Pada tahun 2004-2007 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah
Menengah Atas (SMA) Islam PB Soedirman Jakarta dan pada tahun 2007 penulis
lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis
melanjutkan pendidikan di program Sarjana Kedokteran Hewan diFakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penulis aktif dalam keanggotaan
(Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia) IMAKAHI tahun 2008-2009
serta anggota Himpunan Profesi Ornithologi dan Unggas FKH IPB.
Studi diselesaikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor,
dengan judul skripsi “Tinjauan Resistensi Streptococccus agalactiae Penyebab
Mastitis Subklinis di Peternakan Sapi Perah KUNAK Bogor terhadap Beberapa
Antibiotik (Studi Kasus)”.

Page 10
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang .......................................................................................... 1
Tujuan ........................................................................................................ 2
Manfaat ...................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA
Mastitis Subklinis ..................................................................................... 4
Streptococcus agalactiae .......................................................................... 5
Bahaya Streptococcus agalactiae terhadap Kesehatan Masyarakat ........
7
Pengobatan Mastitis Subklinis di Peternakan Sapi Perah ..................... ... 8
Resistensi Antibiotik ................................................................................ 9
Penisilin G ........................................................................................ 10
Ampisilin .......................................................................................... 10
Eritromisin ........................................................................................ 11
Gentamisin ....................................................................................... 11
Kanamisin ......................................................................................... 11
Tetrasiklin ......................................................................................... 12
Siprofloksasin .................................................................................. 12
Enrofloksasin .................................................................................... 12
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................. 14
Alat dan Bahan ......................................................................................... 14
Metode Penelitian ..................................................................................... 14
Pengambilan Sampel ...................................................................... 14
Pengujian Laboratorium ................................................................. 15
Pengujian Mastitis Subklinis ................................................. 15
Pengujian Jenis Bakteri ......................................................... 15
Pengujian Antibiogram ......................................................... 15
Analisa Data ................................................................................... 16
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 17
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan .................................................................................................. 25
Saran ......................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 26
Page 11
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Identifikasi bakteri dari biakan agar darah (Poeloengan 2009).................. 17
2. Hasil identifikasi bakteri dari pemeriksaan mikroskopis ........................... 18
3. Zona hambat bakteri terhadap beberapa antibiotik (mm) (Schintzer &
Grunberg 1957; Aaestrup & Schwarz 2006; White 2006)......................... 19
4. Aktivitas antibiotik pada Streptococcus agalactiae yang diisolasi dari
pengambilan sampel pertama .................................................................... 20
5. Aktivitas antibiotik pada Streptococcus agalactiae yang diisolasi dari
pengambilan sampel kedua ........................................................................ 20
6. Aktivitas antibiotik pada Streptococcus agalactiae yang diisolasi dari
pengambilan sampel ketiga ........................................................................ 22

Page 12
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Hasil uji CAMP menentukan Streptococcus agalactiae (skala 1:2).......... 18
2. Hasil uji antibiogram (skala 1:2) ............................................................... 19

Page 13
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Susu merupakan bahan utama makanan bagi hewan mamalia yang baru
lahir. Susu memiliki kandungan gizi yang tinggi sehingga diperlukan oleh bayi
hewan atau manusia, balita dan anak-anak pada masa pertumbuhan. Susu dan
hasil olahannya merupakan makanan yang berfungsi untuk menjaga kondisi
kesehatan tubuh dan mempercepat persembuhan.
Susu merupakan bahan pangan asal hewan yang digunakan sebagai sumber
protein dan glukosa. Susu memiliki aktivitas air yang tinggi. Hal ini
menyebabkan susu menjadi bahan pangan yang sangat potensial untuk
pertumbuhan mikroba. Berbagai macam mikroba dapat tumbuh dalam susu.
Mikroba ini dapat berasal dari lingkungan ataupun dari dalam tubuh hewan itu
sendiri. Pencemaran yang umum terjadi pada hewan sehat berasal dari luar tubuh
hewan, seperti dari peralatan perah, pekerja, maupun udara sekitar tempat
pemerahan. Berbagai macam mikroba ini dapat menyebabkan mastitis.
Mastitis adalah peradangan jaringan interna ambing (Subronto 2003;
Lukman et al. 2009). Secara garis besar, mastitis terbagi dua, yakni mastitis klinis
dengan gejala klinis yang terlihat jelas dan mastitis subklinis dengan gejala yang
tidak terlihat. Mastitis dapat terjadi pada berbagai jenis hewan dan secara
ekonomis memiliki dampak merugikan kepada peternak sapi perah. Hal ini
disebabkan kasus mastitis subklinis sering tidak disadari oleh peternak yang
melihat sapi dalam keadaan sehat, tetapi terjadi penurunan produksi susu.
Penurunan produksi susu per hari per ekor sapi penderita mastitis subklinis akan
menyebabkan peternak mengalami kerugian.
Secara ekonomi, mastitis banyak menimbulkan kerugian karena adanya
penurunan produksi susu yang mencapai 70% dari seluruh kerugian akibat
mastitis. Kerugian lain timbul akibat adanya residu antibiotika dalam susu, biaya
pengobatan dan tenaga kerja, pengafkiran dini, meningkatnya biaya penggantian
sapi perah, susu terbuang, dan kematian pada sapi serta adanya penurunan kualitas
susu.

Page 14
Mastitis subklinis dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme
seperi bakteri, kapang dan khamir. Tingkat keparahan mastitis sangat dipengaruhi
oleh mikroorganisme penyebabnya. Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus
aureus adalah dua bakteri utama penyebab mastitis. Mastitis subklinis yang
disebabkan oleh bakteri seperti Coliform, Staphylococcus aureus dan beberapa
spesies Streptococcus, dapat diobati dengan beberapa jenis antibiotik (Songer &
Post 2005; Wahyuni et al. 2005).
Sapi yang teridentifikasi mastitis atau mastitis subklinis dapat segera diobati
dengan berbagai antibiotik. Mycoplasma, Streptococcus sp., Pasteurella dan
kapang adalah beberapa mikroba penyebab mastitis subklinis yang memberi
respon rendah dalam pemberian antibiotik. Mikroba-mikroba ini memiliki
mekanisme resisten terhadap antibiotik (Lenski 1998; Giguere et al. 2006).
Streptococcus agalactiae merupakan bakteri Gram positif yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia seperti meningitis pada bayi, Scarlet fever
dan tonsilitis (Songer & Post 2005; Lukman et al. 2009). Resistensi bakteri
Streptococcus agalactiae terhadap beberapa antibiotik menyebabkan pengobatan
tidak efektif dan masa pengobatan menjadi lebih panjang serta ternak menjadi
tidak produktif.
Penelitian tentang tingkat resistensi Streptococcus agalactiae perlu
dilakukan sehingga dapat memberikan terapi yang efektif. Dalam penelitian ini,
sapi yang terkena mastitis subklinis dengan penyebab bakteri Streptococcus
agalactiae diperiksa lebih lanjut keadaan resistensinya terhadap antibiotik.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui persentase sapi penderita mastitis subklinis di peternakan
sapi perah KUNAK Bogor yang disebabkan oleh Streptococcus
agalactiae.
2. Mengetahui persentase Streptococcus agalactiae penyebab mastitis
subklinis yang telah mengalami resistensi terhadap beberapa
antibiotik.

Page 15
3. Mengetahui jenis antibiotik yang masih efektif untuk pengobatan
mastitis subklinis tersebut.
Manfaat
Penelitian ini dapat bermanfaat bagi:
a. Dokter hewan dan peternak untuk menggunakan antibiotik yang tepat dalam
pengobatan mastitis subklinis yang disebabkan oleh Streptococcus
agalactiae.
b. Peternak dalam menerapkan manajemen kebersihan kandang untuk
pencegahan mastitis subklinis yang disebabkan oleh Streptococcus
agalactiae.
c. Perusahan pengembangan antibiotik untuk mengembangkan jenis atau dosis
antibiotik yang sesuai dengan tingkat resistensi Streptococcus agalactiae.
d. Mahasiswa maupun peneliti lain terhadap kejadian resistensi antibiotik oleh
Streptococcus agalactiae pada kasus mastitis subklinis.

Page 16
TINJAUAN PUSTAKA
Mastitis Subklinis
Mastitis adalah peradangan jaringan internal ambing yang umum terjadi di
peternakan sapi perah di seluruh dunia. Mikroorganisme disebut sebagai faktor
utama penyebab kejadian mastitis. Mastitis dapat menyebabkan kerugian berupa
penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, biaya untuk pengobatan, susu
yang terbuang akibat terapi antibiotik dan penyembuhan beberapa infeksi mastitis
yang sulit sehingga sapi diafkir lebih awal (Subronto 2003; Giguere et al. 2006).
Mastitis adalah penyakit multifaktorial dan sulit disembuhkan. Kausa
mastitis beragam yaitu bakteri, virus, dan cendawan. Mikroba dapat menjadi
kausa penyakit pada ambing melalui dua cara yaitu secara ascendens dari lubang
puting dan secara descendens melalui pembuluh darah (Sudarwanto 1987;
Sunartatie et al. 1990; Lukman et al. 2009).
Kejadian mastitis sering terjadi pada masa kering kandang dan biasanya
bersifat subklinis. Hal ini terjadi karena pada masa kering kandang, sel-sel alveol
sedang dirombak dan diganti, sehingga sel-sel epitel yang rusak digunakan oleh
mikroba untuk masuk sebelum sel epitel alveol yang baru terbentuk (Subronto
2003).
Hurley dan Morin (2000), menjelaskan bahwa peradangan pada ambing
diawali dengan masuknya bakteri ke dalam ambing yang dilanjutkan dengan
multiplikasi. Pembuluh darah ambing mengalami vasodilatasi dan terjadi
peningkatan aliran darah pada ambing. Permeabilitas pembuluh darah meningkat
disertai dengan pembentukan produk-produk inflamasi. Adanya filtrasi cairan ke
jaringan menyebabkan kebengkakan pada ambing. Pada saat ini terjadi
diapedesis, sel-sel PMN dan makrofag keluar dari pembuluh darah menuju
jaringan yang terinfeksi dilanjutkan dengan fagositosis dan penghancuran bakteri.
Secara garis besar, mastitis dibedakan menjadi dua, yaitu mastitis klinis dan
mastitis subklinis. Diagnosa mastitis klinis dapat dengan mudah ditentukan dari
gejala klinis, yaitu adanya pembengkakan atau kemerahan pada ambing.
Pemeriksaan fisik menunjukkan hewan mengalami kenaikan suhu tubuh, denyut
jantung dan laju pernapasan. Gejala tersebut dapat dideteksi dengan pemeriksaan

Page 17
fisik, selain itu hewan penderita mengalami gejala sakit secara umum, misalnya
demam atau penurunan nafsu makan (Kelly 1986).
Berbeda dengan mastitis klinis, mastitis subklinis tidak menunjukkan gejala
klinis. Definisi mastitis subklinis menurut International Dairy Federation (IDF)
adalah mastitis yang ditandai peningkatan jumlah sel somatik lebih dari 400 000
sel/ml dan ditemukan bakteri patogen. Susu yang diambil berasal dari kuartir
dalam masa laktasi normal (Subronto 2003; Hogeveen 2005; Lukman et al .
2009).
Penurunan kuantitas dan kualitas susu jarang diamati oleh peternak
sedangkan penurunan kualitas susu hanya dapat diperiksa di laboratorium, oleh
karena itu diagnosa mastitis subklinis jarang dilakukan. Kualitas susu yang
diperiksa melalui perubahan kimiawi pada susu, meliputi penurunan jumlah
kasein, total protein dan gula susu atau laktosa (Subronto 2003). Diagnosa
mastitis subklinis dapat dilakukan dengan berbagai cara pengujian susu, misalnya
dengan uji katalase, California Mastitis Test, Whiteside Test, Aulendorfer Mastitis
Probe, Wisconsin Mastitis Test, uji mastitis dengan IPB-1 atau pengujian secara
langsung dengan menghitung jumlah sel somatik menggunakan metode Breed
(Lukman et al. 2009).
Kejadian mastitis subklinis di daerah Bogor dan Cipanas diperiksa dengan
metode Breed dan milkcheker. Sebanyak seratus sampel (49.3%) dari 203 sampel
kuartir dideteksi positif mastitis subklinis (Sudarwanto 1997). Penelitian Winata
(2011) menyatakan bahwa, sebanyak 69.76% sampel susu yang berasal dari
KUNAK, Bogor, teridentifikasi positif mastitis subklinis. Hal ini didapatkan dari
perhitungan jumlah sel somatik yang melebihi angka 400.000 sel/ml sampel susu
menggunakan metode Breed.
Streptococcus agalactiae
Streptococcus sp. berbentuk sesuai namanya yaitu bulat (coccus) dan
berbentuk rantai atau berpasangan. Semua spesiesnya merupakan bakteri non
motil dan tidak membentuk spora. Kelompok bakteri ini termasuk bakteri Gram
positif anaerob fakultatif, kebanyakan berkembang di udara tetapi beberapa
spesies Streptoccus membutuhkan CO2 untuk berkembang. Semua spesies

Page 18
Streptococcus tidak dapat mereduksi nitrat tetapi mampu memfermentasi glukosa
dengan produk utama adalah asam laktat, tidak pernah berupa gas. Banyak
spesies merupakan anggota dari mikroflora normal pada membran mukosa dari
manusia ataupun hewan, dan beberapa bersifat patogen. Streptococcus
digolongkan berdasarkan kombinasi sifatnya, antara lain sifat pertumbuhan
koloni, pola hemolisis pada agar darah (ά-hemolisis, β-hemolisis atau tanpa
hemolisis/ γ-hemolisis), susunan antigen pada dinding sel yang spesifik untuk
golongan tertentu dan reaksi-reaksi biokimia (Jawetz et al.1960; Jawetz 1986;
Black 2005; Songer & Post 2005).
Streptococcus agalactiae merupakan satu-satunya anggota grup B menurut
klasifikasi Lancefield (1867), yang diacu dalam Songer dan Post (2005) yang
membagi genus Streptococus dengan klasifikasi species spesifik karbohidrat pada
antigen dinding sel. Streptococcus agalactie terkenal sebagai penyebab mastitis
pada sapi. Pada hewan lain, seperti domba, kambing dan unta, bakteri ini juga
menyebabkan mastitis dan laminitis. Streptococcus agalactiae dapat ditemukan
pada vagina dan bagian orofaring manusia. Pada manusia, bakteri ini dapat
menyebabkan meningitis. Streptococcus agalactiae juga merupakan bakteri yang
hanya sedikit berespon terhadap terapi antibiotik (Songer & Post 2005).
Bakteri ini secara khas menghasilkan hemolisin yang dapat menghemolisa
sel darah merah secara in vitro. Kelompok Streptococcus dapat menghemolisa
eritrosit dengan melepas hemoglobin secara sempurna termasuk dalam kelompok
β-hemolitik (Jawetz et al. 1960). Streptococcus agalactiae membentuk daerah
hemolisis yang hanya sedikit lebih besar dari koloninya (bergaris tengah 1-2 mm).
Streptococcus golongan B menghidrolisis natrium hipurat dan memberi respon
positif pada tes CAMP (Christie, Atkins, Munch-Peterson), oleh karena itulah
Streptococcus agalactiae biasa diidentifikasi dengan CAMP test (Songer & Post
2005). Strain Streptococcus agalactiae meningkatkan aktivitas hemolitik pada
Staphylococcal ß-toksin membentuk tanda seperti anak panah pada reaksi CAMP.
Staphylococcus yang umum digunakan adalah Staphylococcus aureus (Songer &
Post 2005).
Streptococcus agalactiae merupakan bakteri patogen penting yang
menyebabkan mastitis pada ambing sapi perah sebelum higiene pemerahan dan

Page 19
penggunaan antibiotik yang tepat dijalankan. Respon awal ambing terhadap
invasi Streptococcus agalactiae adalah pembuluh darah ambing mengeluarkan
neutrofil dan membentuk udema interstisium. Umumnya bakteri ini tidak hanya
menyerang satu puting saja (Carlton & Mc Gavin 1995).
Menurut Wahyuni et al. (2006), di wilayah Bogor, teridentifikasi 63%
kejadian mastitis subklinis disebabkan oleh Streptococcus agalactiae. Kejadian
yang tinggi ini terjadi karena Streptococcus agalactiae mempunyai kemampuan
adesi yang kuat pada reseptor spesifik sel inang. Bakteri ini diwaspadai
keberadaannya dalam susu sapi karena merupakan bakteri yang tahan temperatur
tinggi, selain itu bakteri ini dapat memproduksi kapsul polisakarida untuk
mencegah fagositosis. Bakteri ini dapat mempengaruhi kesehatan manusia yang
meminum susu tercemar dan tidak diolah dengan baik.
Bahaya Streptococcus agalactiae terhadap Kesehatan Mayarakat
Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus adalah dua bakteri
utama penyebab mastitis (Songer & Post 2005; Wahyuni et al. 2006). Sampel
yang diambil dari kabupaten Bogor menunjukkan bahwa, sebanyak 35 (63.6%)
isolat Streptococcus agalactiae didapatkan dari 75 sampel positif mastitis
subklinis yang diperiksa (Wahyuni et al. 2006).
Utama et al. (2000) menyatakan bahwa sebagian besar isolat lapang
Streptococcus agalactiae yang diuji memiliki aktivitas hemaglutinasi pada
eritrosit sapi dan ayam, serta sebagian kecil pada eritrosit manusia. Hal ini
menunjukkan bahwa Streptococcus agalactiae kemungkinan dapat menginfeksi
manusia secara sistemik. Bakteri ini merupakan penyebab penting infeksi
postpartus dan infeksi neonatal pada manusia. Infeksi postpartus yang sering
terjadi adalah endometritis dan infeksi neonatus berupa pneumonia, sepsis dan
meningitis (Jawetz 1986; Songer & Post 2005; Lukman et al. 2009).
Streptococcus agalactiae juga dapat menyebabkan demam Scarlet atau
Scarlatina. Penyakit ini menyerang anak berusia 5-15 tahun dan dapat
menimbulkan komplikasi pada hati dan ginjal. Demam Scarlet dipicu oleh bakteri
Streptococcus yang mengeluarkan eksotoksin. Eksotoksin inilah yang
menyebabkan demam (Songer & Post 2005).

Page 20
Pengobatan Mastitis Subklinis di Peternakan Sapi Perah
Antibiotik yang baik adalah antibiotik yang mudah larut dalam cairan tubuh,
memiliki toksisitas selektif, sulit terjadi resisten oleh mikroba, non alergenik,
stabil konsentrasinya baik sebelum digunakan maupun di dalam tubuh, tidak
mudah terjadi toksik, serta bekerja dalam waktu yang lama di dalam tubuh (Black
2005).
Mastitis merupakan penyebab umum penggunaan antibiotik di dalam
peternakan sapi perah sebagai terapi untuk mengontrol kejadian mastitis pada sapi
masa laktasi dan kering kandang. Mastitis lingkungan adalah mastitis yang
penyebabnya berasal dari lingkungan kandang misalnya feses. Feses mengandung
flora komensal usus terutama E. coli. Penggunaan antibiotik spektrum luas
dilakukan untuk pengobatan mastitis yang disebabkan oleh E. coli. Hal ini
disebabkan oleh strain E. coli penyebab mastitis tidak dapat dibedakan dengan
strain E. coli normal di usus dan tidak ada faktor virulensi yang sama antar kedua
bakteri tersebut yang dapat diidentifikasi. Penggunaan antibiotik spektrum luas
inilah yang menyebabkan terjadinya resistensi (White 2006).
Menurut Sunartatie et al. (1990), pengobatan mastitis di peternakan di
Bogor menggunakan preparat antibiotika, antara lain: Penisilin, Terramisin
(Oxytetrasiklin), Vet Oxy (Oxytetrasiklin), Gantamisin, Kaloxy (Oxytetrasiklin),
Propen (Penisilin), Pradipen (Penisilin), Neomastitar, dan Daimeton
(Sulfamonometoxine). Antibiotik-antibiotik tersebut sebagian besar sudah tidak
efektif terhadap bakteri lapang. Hal ini menyebabkan kegagalan pengobatan dan
peningkatan kasus mastitis subklinis di Kabupaten Bogor.
Antibiotik yang paling banyak digunakan di peternakan sapi perah adalah
antibiotik untuk pengobatan mastitis (Giguere et al. 2006). Di Amerika Serikat,
pengobatan antibiotik melalui intramamaria untuk mastitis dengan penyebab
Streptococcus agalactiae adalah dengan Amoksisilin, Penisilin dan Eritromisin.
Pengobatan dengan distribusi melalui saluran pencernaan dengan pemberian per
oral juga dapat digunakan selain pengobatan melalui intramamaria (Songer & Post
2005). Kekurangan pemberian antibiotik secara intramamaria adalah dapat
menyebabkan masuknya cendawan karena pengobatan tidak aseptis, obat yang
terkontaminasi serta obat yang tidak tepat dosis atau jenisnya (Sudarwanto 1987).

Page 21
Resistensi Antibiotik
Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu jenis mikroba untuk
menghambat atau membunuh mikroba lainnya. Banyak antibiotik yang sekarang
ini dibuat semisintetik atau sintetik penuh. Sifat antibotik berbeda-beda dan
digunakan dalam pengobatan sesuai dengan sifatnya, misalnya obat golongan
Penisilin G sangat aktif terhadap bakteri Gram positif sedangkan bakteri Gram
negatif tidak peka oleh Penisilin.
Menurut Lechtman dan Wistreich (1980), antibiotik pilihan untuk
Streptococcus agalactiae atau Streptococcus hemolytic adalah Penicilin yang
bekerja sebagai bakterisidal. Metode terbaik untuk mengetahui dan membedakan
keefektifan antibiotik terhadap mikroba adalah dengan membedakan konsentrasi
minimum yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan mikroba (Minimum
Inhibitory Concentration determination).
Resistensi antibiotik adalah tidak efektifnya penggunaan antibiotik yang
digunakan untuk bakteri jenis tertentu. Menurut Setyabudi (2007), secara garis
besar, mikroba dapat menjadi resisten terhadap suatu antibiotik melalui tiga
mekanisme, yaitu obat tidak dapat mencapai tempat kerja aktif dalam sel mikroba,
inaktivasi obat, dan mekanisme mikroba merubah ikatan (binding site).
Penyebaran resistensi pada mikroba dapat terjadi secara vertikal (diturunkan dari
generasi ke generasi) atau secara horizontal dari suatu sel donor. Resistensi
dipindahkan dengan empat cara, yaitu: mutasi, transduksi, transformasi, dan
konjugasi.
Diketahui ada beberapa mikroorganisme yang menggambarkan resistensi
terhadap antibiotik–antibiotik tertentu akibat mutasi, termasuk diantaranya adalah
Streptococcus agalactiae. Kenyataan ini sangat penting dalam pengobatan
penyakit, karena antibiotik yang pada mulanya efektif untuk mengendalikan suatu
infeksi bakterial menjadi kurang atau tidak efektif lagi. Hal ini terjadi disebabkan
oleh munculnya mutan–mutan oleh bakteri yang bersangkutan (Pelczar & Chan
2007). Mekanisme resistensi yang terjadi adalah mengubah DNA, merusak
dinding membran permeabel, mengganggu pembentukan enzim proteolitik, dan
mengubah enzim (Black 2005; Pelczar & Chan 2007).

Page 22
Resistensi antibiotik yang terjadi pada kasus mastitis subklinis dapat
disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang sering, berlebihan, serta penggunaan
dalam jangka waktu lama. Penggunaan antibiotik pada mastitis dengan penyebab
bakteri yang sudah resisten menjadi tidak efektif, oleh karena itu untuk
pengobatan mastitis subklinis diperlukan jenis antibiotik yang baru atau dosis
yang digunakan lebih tinggi. Beberapa antibiotik yang diuji adalah Penisilin G,
Ampisilin, Enrofloksasin, Gentamisin, Siprofloksasin, Eritromisin, Kanamisin,
dan Tetrasiklin.
Penisilin G (Benzil Penisilin)
Bangun dasar bentuk antibiotik Penisilin adalah asam 6-aminopentasianat,
suatu dipeptida bisiklik dari sitein dan valin. Penisilin didapat dari alam, yakni
dari kultur Penicillium notatum dan P. chrysogenum. Penisilin G merupakan
antibiotik yang memiliki aktifitas terbaik terhadap bakteri Gram positif yang
sensitif. Kerja Penisilin G efektif terhadap bakteri yang sensitif, perkembangan
resistensi yang sedikit dan toksisitas yang minimum sehingga Penisilin G lebih
sering digunakan. Penisilin G memiliki kelemahan, yaitu tidak tahan terhadap
asam lambung, sehingga tidak cocok untuk penggunaan peroral (Mutschler 1991;
Istiantoro & Vincent 2007a; Setyabudi 2007).
Mekanisme kerja Penisilin adalah dengan mengikat protein kuman dengan
membentuk penicillin-binding protein, menghambat pembentukan dinding sel
bakteri dan mengaktivasi enzim proteolitik bakteri sehingga dinding sel bakteri
rusak. Daerah kerjanya mencakup kokus Gram positif dan negatif, basil Gram
positif dan Spirochaeta.
Sejak Penisilin mulai digunakan, jenis mikroba yang sebelumnya sensitif
semakin lama menjadi kurang sensitif. Resistensi Penisilin terjadi dengan
beberapa mekanisme yaitu dengan membentuk enzim beta laktamase, merubah
penicillin binding protein serta menginaktivasi enzim autolisin (Istiantoro &
Vincent 2007a).
Ampisilin
Senyawa ini merupakan turunan pertama 6-aminopenisilanat. Ampisilin
disebut juga sebagai Penisilin spektrum luas karena selain bekerja pada mikroba

Page 23
yang sama dengan Penisilin G, Ampisilin juga aktif terhadap sejumlah bakteri
Gram negatif seperti E. coli. Menurut Mutschler (1991), Ampisilin kurang
berkhasiat dibandingkan dengan Penisilin G terhadap bakteri Gram positif.
Ampisilin lebih stabil terhadap asam sehingga dapat diberikan secara oral. Laju
absorbsi Ampisilin relatif lambat sekitar dua kali lebih lama dibandingkan
Penisilin G yaitu 50% terabsorbsi pada waktu paruh plasma 1-2 jam (Mutschler
1991; Istiantoro & Vincent 2007a).
Eritromisin
Eritromisin didapatkan dari Streptomyces erythreus. Eritromisin termasuk
kelompok makrolida yang masih aktif dalam kondisi asam lambung. Kelompok
ini bekerja efektif pada bakteri Gram positif terutama yang telah resisten terhadap
Penisilin dan Tetrasiklin atau alergi terhadap Penisilin. Antara kelompok
makrolida dapat terjadi resistensi silang (Mutschler 1991; Istiantoro & Vincent
2007a).
Gentamisin
Gentamisin adalah senyawa yang didapat dari filtrat kultur jenis
Mikromonospora. Gentamisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida.
Secara klinis, Gentamisin sangat berarti karena peranannya terhadap mikroba
Gram negatif. Gentamisin digunakan pada infeksi oleh bakteri yang telah
resisten terhadap antibiotika lain (Istiantoro & Vincent 2007b). Seperti
antibiotik golongan aminoglikosida lainnya, bakteri dapat menjadi resisten karena
kegagalan penetrasi ke dalam sel bakteri, rendahnya afinitas obat pada ribosom
atau inaktivasi obat oleh enzim yang dihasilkan bakteri (Mutschler 1991).
Kanamisin
Kanamisin didapat dari filtrat kultur Streptomyces kanamycetius. Antibiotik
ini merupakan antibiotik golongan aminoglikosida dengan mekanisme resistensi
yang sama dengan Gentamisin. Pemakaian pada oral hampir tidak ada yang
diabsorbsi sehingga mengurangi flora usus namun demikian pemberian
intramuskular baik digunakan karena cepat diabsorbsi. Toksisitas antibiotik ini

Page 24
cukup tinggi sehingga saat ini sudah jarang digunakan dan hanya digunakan
topikal pada mata (Istiantoro & Vincent 2007b; Setyabudi 2007).
Tetrasiklin
Tetrasiklin termasuk antibiotik dengan spektrum luas yang diisolasi dari
berbagai jenis Streptomyces viridifaciens.
Tetrasiklin bekerja pada semua
mikroba yang peka terhadap Penisilin, berbagai jenis Gram negatif, Mikrospora,
Spirochaeta, Riketsia, Chlamidia dan Leptospira. Tetrasiklin terdistribusi dengan
merata di seluruh tubuh namun kurang baik menembus sawar otak. Spektrum
kerja yang luas antibiotik ini menyebabkan pemakaian yang sering dalam
pengobatan medik sehingga resistensi beberapa galur bakteri meningkat. Sama
dengan antibiotik spektrum luas lain, tetrasiklin per oral dapat mengganggu
keseimbangan flora normal dalam saluran cerna (Istiantoro & Vincent 2007a;
Setyabudi 2007).
Streptococcus β-hemolisis merupakan salah satu bakteri yang memiliki
tingkat resistensi tinggi terhadap tetrasiklin. Mekanisme terjadinya resistensi
adalah dengan dibentuknya protein pompa yang dapat mengeluarkan obat dari
dalam sel bakteri. Protein ini dikode di dalam plasmid dan dipindahkan dari satu
bakteri ke bakteri lain melalui proses transduksi atau konjugasi (Istiantoro &
Vincent 2007a).
Siprofloksasin
Siprofloksasin merupakan obat golongan flouroquinolon yang sering
digunakan untuk pengobatan bakteri Gram positif. Golongan floroquinolon
mudah mengalami resistensi dengan mekanisme pembentukan protein binding
yang berbeda. Keefektifan Siprofloksasin dapat dipengaruhi pula oleh mekanisme
resistensi silang oleh anggota golongan quinolon atau fluroquinolon (Istiantoro &
Vincent 2007a).
Enrofloksasin
Enrofloksasin juga termasuk antibiotik golongan fluroquinolon.
Enrofloksasin dapat digunakan per oral karena lebih tahan terhadap asam
lambung. Mekanisme resistensi Enrofloksasin sama seperti golongan

Page 25
flouroquinolon dengan mengubah mekanisme ikatan protein kuman dengan obat
(Istiantoro & Vincent 2007a).

Page 26
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu pengambilan sampel dan
pengujian di laboratorium. Pengambilan sampel dilakukan di peternakan rakyat
KUNAK, Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor dan pengujian sampel
dilakukan di laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB. Penelitian
dimulai pada bulan Oktober hingga Desember 2010.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah botol sampel steril,
rak, label, lap bersih, tisu, sarung tangan, icepack, icebox, serta kapas beralkohol.
Alat yang digunakan untuk pemeriksaan di laboratorium adalah cawan Petri,
tabung reaksi, gelas objek, ose, spatel, pipet steril, mikroskop, tube sheaker,
inkubator.
Bahan yang digunakan adalah sampel susu, alkohol 70%, disinfektan
(larutan klorin 1.5-2 ppm), Blood Agar Base No.2 (Oxoid
®
CM0271) ditambah
dengan 5% darah domba, Müller-Hinton agar (Oxoid
®
CM0337), Brain Heart
Infusion (Bacto
®
237500), pewarnaan methylen blue löffler, cakram antibiotik
yang digunakan yaitu Penisillin G, Ampisillin, Eritromisin, Enrofloksasin,
Gentamisin, Kanamisin, Siprofloksasin dan Tetrasiklin.
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel
Sampel susu diambil dari 54 ekor sapi dalam masa laktasi normal serta sehat
secara klinis. Sampel diambil pada waktu pemerahan pagi. Ambing sapi yang
akan diperah dibersihkan dengan air bersih, dilap dengan lap yang dibasahi
desinfektan dan kemudian dilap dengan tisu yang dibasahi alkohol 70%. Tangan
pemerah menggunakan sarung tangan steril. Susu pancaran pertama dibuang dan
pancaran selanjutnya diambil sebanyak 10 ml, sampel ditampung dalam botol
sampel steril kemudian ditutup rapat dan disimpan dalam icebox.

Page 27
Pengujian Laboratorium
Pengujian Mastitis Subklinis
Pengujian mastitis subklinis dilakukan dengan uji IPB-1 dan penghitungan
jumlah sel somatik menggunakan metode Breed (Sudarwanto 2009).
Pengujian Jenis Bakteri
Cawan Petri berisi agar darah dibagi menjadi empat bagian sesuai letak
kuartir puting susu sapi (kanan depan, kanan belakang, kiri belakang dan kiri
depan) menggunakan spidol marker. Sampel susu dari masing–masing kuartir
digoreskan sebanyak satu ose pada setiap bagian dan diinkubasikan selama 20-24
jam dalam suhu 37 °C. Koloni yang terbentuk setelah 24 jam diamati bentuk,
warna, ukuran serta kemampuan menghemolisa darah. Koloni yang diamati
dipastikan dalam pengamatan mikroskopis dengan pewarnaan methylen blue.
Koloni yang diduga Streptococcus agalactiae diperiksa dengan CAMP
(Christie, Atkins, Munch-Peterson). CAMP test dilakukan pada agar darah dengan
bakteri Staphylococcus aureus sebagai penanda. Biakkan diinkubasi selama 24-
48 jam dalam suhu 37 °C, biakkan diamati kembali. Koloni Streptococcus
agalactiae memperlihatkan hasil positif CAMP yaitu dengan membentuk zona
setengah bulan. Hasil positif uji CAMP kemudian diuji antibiogram.
Pengujian Antibiogram
Uji antibiogram dilakukan setelah koloni memperlihatkan hasil positif uji
CAMP. Koloni dibiakkan dalam Brain Heart Infusion broth selama 30-60 menit
pada suhu 37 °C. Hasil biakkan diambil sebanyak 0.1 ml dengan pipet dan
disebarkan dalam agar Müller-Hinton menggunakan spatel. Cakram antibiotik
yang akan diuji (Penisilin G, Ampisilin, Enrofloksasin, Eritromisin, Gentamisin,
Kanamisin, Siprofloksasin dan Tetrasiklin) diletakkan di permukaan agar dan
diiinkubasi dalam inkubator bersuhu 37 °C selama 24 jam. Setiap cawan Petri
berisi 4-5 cakram antibiotik yang berbeda dengan satu cakram kontrol negatif
(blank control) di tengah cawan Petri. Hasil uji berupa zona bening pada
sekeliling cakram antibiotik dan diukur diameternya. Streptococcus agalactiae

Page 28
yang telah resisten terhadap antibiotik tertentu tidak membentuk zona bening atau
hanya membentuk zona bening pudar yang kurang dari diameter normal efektif.
Pengamatan awal membuktikan banyaknya bakteri penyebab mastitis
subklinis telah resisten terhadap antibiotik yang diuji maka antibiotik yang
diujikan diubah. Penisilin G, Ampisilin, Eritromisin dan Tetrasiklin tetap diuji
karena antibiotik tersebut sering digunakan oleh peternak serta mudah didapatkan.
Gentamisin dan Siprofloksasin juga diuji untuk mengetahui keefektifan antibiotik
ini pada bakteri lapang di KUNAK.
Analisa Data
Analisa data yang digunakan adalah analisa deskriptif untuk
menggambarkan persentase Streptococcus agalactiae penyebab mastitis subklinis
yang resisten terhadap beberapa jenis antibiotik di KUNAK Bogor.

Page 29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejumlah 205 sampel susu kuartir yang diambil dari 54 ekor sapi di 7
kandang peternakan rakyat KUNAK, Bogor, diidentifikasi 143 (69.76%) sampel
positif mastitis subklinis (Winata 2011). Identifikasi mastitis subklinis ditandai
dengan jumlah sel somatis yang melebihi 400 000 sel/ml sampel (metode Breed)
serta ditemukan bakteri patogen pada sampel. Sampel susu mastitis subklinis
dapat mengandung lebih dari satu jenis mikroba patogen. Sebanyak 14 (9.79%)
sampel positif mengandung Streptococcus agalactiae.
Streptococcus agalactiae diidentifikasi pertama kali melalui biakan pada
agar darah, selain itu dapat ditemukan juga koloni seperti Staphylococcus sp.
Streptococcus agalactiae merupakan Streptococcus golongan B yang
menghasilkan zona hemolitik sempurna pada agar darah. Diameter koloni bakteri
ini 1-2 mm, berwarna agak kehijauan dan menghasilkan zona hemolitik hanya
sedikit lebih besar di sekeliling koloni (Pelczar & Chan 2007).
Tabel 1 Identifikasi bakteri dari biakan agar darah (Poeloengan 2009)
Bakteri
Bentuk
Permukaaan
Warna
Hemolisis
Staphylococcus aureus
Bulat
Cembung
Putih
kekuningan
(+)
Streptococcus nonhemolytic
Bulat
Cembung
Putih
kehijauan
(-)
Streptococcus
agalactiae/hemolytic
Bulat
Cembung
Transparan
kehijauan
(+)
Menurut Poeloengan (2009), pada biakan agar darah, Streptococcus
agalactiae dan Staphylococcus aureus dapat menghemolisa darah. Kedua koloni
ini dibedakan dari warna koloni, Streptococcus agalactiae transparan kehijauan
sedangkan Staphylococcus aureus berwarna putih kekuningan (Tabel 1).
Penelitian ini menitikberatkan pada Streptococcus agalactiae karena bakteri ini
dapat menyebabkan penyakit pada manusia yaitu meningitis dan infeksi
menyeluruh pada bayi yang baru lahir.
Streptococcus agalactiae memiliki bentuk bulat berwarna ungu dan berantai
(Songer & Post 2005). Streptococcus agalactiae dapat dibedakan dari Gram

Page 30
positif lainnya berdasarkan bentuk koloni yang berantai ketika dilihat melalui
mikroskop (Tabel 2) dan dapat membentuk zona hemolisa pada agar darah.
Tabel 2 Hasil identifikasi bakteri dari pemeriksaan mikroskopis
Bakteri
Bentuk
Sifat
Staphylococcus sp.
Bulat
Bergerombol seperti anggur
Streptococcus agalactiae
Bulat
Berantai
Streptococcus agalactiae atau bakteri diduga Streptococcus β-hemolytic
yang akan diuji antibiogram adalah bakteri yang positif dalam uji CAMP. Positif
uji CAMP adalah hasil yang menunjukkan zona hemolisa sempurna membentuk
mata anak panah atau setengah bulan pada daerah yang berdekatan dengan koloni
Staphylococcus aureus (garis horisontal).
Gambar 1 menunjukkan hasil uji CAMP yang dilakukan pada koloni yang
berasal dari tiga individu dengan perbandingan 1:2 terhadap aslinya. Koloni yang
membentuk garis horisontal adalah Staphylococcus aureus dan tiga koloni vertikal
yang membentuk zona setengah bulan ke arah Staphylococcus aureus adalah
Streptococcus agalactiae yang membentuk hemolisa sempurna.
Gambar 1 Hasil uji CAMP menentukan Streptococcus agalactiae (skala 1:2).
Uji untuk mengetahui keefektifan antibiotik dilakukan dengan uji
antibiogram. Hasil yang diamati adalah penghitungan zona hambat berupa daerah
bening di sekitar cakram antibiotik. Antibiotik yang masih efektif terhadap
Streptococcus agalactiae ditunjukkan dengan panjang diameter zona hambat yang
sesuai dengan ketetapan zona hambat minimum.

Page 31
Tabel 3 Zona hambat bakteri terhadap beberapa antibiotik (mm) (Aarestrup &
Schwarz 2006
*
; White 2006
**
)
Antibiotik
Konsentrasi
R
S/C
S
Penisilin G
10
≤ 28
≥ 29
Ampisilin
10
≤ 28
≥ 29
Eritromisin
5
≤ 13
14-18
≥19
Tetrasiklin
10
≤ 12
13-27
≥ 28
Kanamisin*
5
≤ 14
15-20
≥ 21
Gentamisin*
10
≤ 14
15-20
≥ 21
Enrofloksasin**
5
≤ 17
18-21
≥ 22
Siprofloksasin**
15
≤ 17
18-21
≥ 22
Keterangan: R = Resisten S/C = Cukup sensitif S = Sensitif
Zona hambat bakteri Gram positif berbeda-beda tergantung jenis
antibiotiknya (Tabel 3). Zona hambat kurang dari standar R (resisten)
menandakan bahwa bakteri telah resisten terhadap antibiotik tersebut, zona
hambat di atas atau sama dengan standar S (sensitif) menunjukkan bakteri yang
masih sensitif terhadap bakteri tersebut, sedangkan zona hambat yang berada
diantara diameter standar R dan S menunjukkan bahwa bakteri tersebut cukup
sensitif terhadap antibiotik yang diuji.
Gambar 2 Hasil uji antibiogram (skala 1:2).
Hasil uji antibiogram pada pengambilan sampel pertama dilakukan pada
kandang 1 (Tabel 4). Dua individu sapi dari kandang 1 (kode sapi 64 dan 65)
diduga menderita mastitis subklinis yang disebabkan oleh Streptococcus
agalactiae. Streptococcus agalactiae didapatkan dari sapi berkode 64 yakni
sampel kuartir kanan belakang (64/2) dan kiri belakang (64/3) dan sapi berkode
65 yakni sampel kuartir kanan depan (65/1).

Page 32
Tabel 4 Aktivitas antibiotik terhadap Streptococcus agalactiae yang diisolasi dari
pengambilan sampel pertama
Kode
kandang
Kode
sampel
Zona hambat (mm)
Pen
Amp
Ery
Tet
1
64/2
30.7
19.4
12.7
35.2
64/3
29.9
17.0
11.3
24.6
65/1
26.3
18.5
11.9
14.6
Keterangan: Pen = Penisilin
Ery = Eritromisin
Amp = Ampisilin
Tet = Tetrasiklin
Bakteri dari sampel 64/2 masih dapat ditekan pertumbuhannya dengan
Penisilin dan Tetrasiklin karena zona hambat yang dibentuk masih berada dalam
kelompok sensitif (Penisilin ≥ 29 dan Tetrasiklin ≥ 28). Ampisilin dan
Eritromisin tidak efektif lagi karena zona hambat yang terbentuk kurang dari zona
hambat minimum sensitif. Hanya Penisilin yang efektif pada sampel 64/3
sedangkan antibiotik yang lain tidak efektif lagi. Koloni bakteri yang berasal dari
sampel dengan kode 65/1 menunjukkan masih cukup sensitif terhadap Tetrasiklin.
Hasil uji antibiogram pada pengambilan sampel kedua dilakukan pada
empat sapi yang diduga terinfeksi Streptococcus agalactiae (Tabel 5). Pada
pengujian ini dilakukan perubahan antibiotik yang diuji untuk mengetahui jenis
antibiotik lain yang masih efektif.
Tabel 5 Aktivitas antibiotik pada Streptococcus agalactiae yang diisolasi dari
pengambilan sampel kedua
Kode
kandang
Kode
sampel
Zona Hambat (mm)
Pen
Amp
Ery
Kana
EnR
2
81/4
20.1
16.2
15.4
10.2
18.5
2
82/1
17.9
15.6
11.5
13.5
10.9
2
82/4
14.8
-
17.1
10.4
13.5
3
91/1
-
15.9
17.1
12.6
14.9
3
91/2
19.1
12.6
17.9
-
14.9
3
92/1
12.3
19.5
12.5
10.4
10.8
Keterangan: Pen = Penisilin
Amp = Ampisilin
Kana = Kanamisin
EnR = Enrofloksasin
Ery = Eritromisin
Pada sampel 81/4, ternyata Penisilin yang diduga memiliki daya bakterisidal
yang baik terhadap bakteri Gram positif sudah tidak efektif lagi. Bakteri dari
sampel ini juga menunjukkan resisten terhadap Ampisilin dan Kanamisin

Page 33
sehingga kedua antibiotik ini tidak efektif untuk pengobatan mastitis subklinis
yang disebabkan bakteri yang diisolasi dari sampel 81/4. Berbeda dengan
antibiotik-antibiotik tersebut, Eritromisin dan Enrofloksasin masih cukup sensitif.
Sampel 82/1 diambil dari sapi berkode 82 yakni kuartir kanan depan.
Antibiotik yang diuji pada sampel 82/1 tidak membentuk zona hambat sempurna
dengan diameter yang sensitif untuk bakteri Gram positif. Kelima antibiotik yang
diujikan tidak efektif untuk bakteri Streptococcus agalactiae yang didapatkan dari
sampel 82/1. Sampel 82/4 diambil dari sapi yang sama dengan sampel 82/1 tapi
dari kuartir kiri depan. Sampel 82/4 memiliki zona hambat yang cukup sensitif
pada sekeliling cakram Eritromisin sedangkan pada antibiotik yang lain tidak
sensitif.
Sampel yang diambil dari sapi berkode 91 yakni pada kuartir kanan depan
(91/1) dan kanan belakang (91/2). Kedua sampel ini menunjukkan hasil uji
antibiogram yang hampir sama, yaitu tidak efektifnya Penisilin, Ampisilin,
Kanamisin dan Enrofloksasin. Eritromisin memiliki zona hambat yang cukup
sensitif terhadap bakteri dari kedua sampel ini.
Hasil uji antibiogram terhadap sampel 92/1 menunjukkan kelima cakram
antibiotik tidak efektif. Hasil ini sama dengan hasil uji terhadap sampel 82/1. Hal
ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan jenis bakteri yang menginfeksi sapi
82 dan 92 dengan sapi 81 dan 91. Pada penelitian ini tidak dilakukan uji lebih
lanjut terhadap spesies bakteri Streptococcus agalactiae. Spesies bakteri yang
berbeda dapat menyebabkan perbedaan tingkat resistensi.
Uji antibiogram pada pengambilan sampel ketiga dilakukan terhadap lima
sampel kuartir yang telah terinfeksi Streptococcus agalactiae (Tabel 6). Sampel
108/2 menunjukkan, keenam antibiotik yang diuji sudah tidak efektif lagi.
Eritromisin dan Gentamisin dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang
diisolasi dari sampel 110/4. Siprofloksasin masih dapat menghambat
pertumbuhan bakteri dari sampel 110/4 namun kurang baik dibandingkan
Eritromisin dan Gentamisin.

Page 34
Tabel 6 Aktivitas antibiotik pada Streptococcus agalactiae yang diisolasi dari
pengambilan sampel ketiga
Kode
kandang
Kode
sampel
Zona hambat (mm)
Pen
Amp
Ery
Gent CX1
Tet
4
108/2
7
6.5
7
6
6.5
-
4
110/4
17
17
19
25
18
-
5
116/2
19
20
14
15
16
11
5
117/1
19
27
16
13
15
18.5
5
118/2
14
14
22
11
-
-
Keterangan: Pen = Penisilin
Amp = Ampisilin
Ery = Eritromisin
Gent = Gentamisin
CX1= Siprofloksasin
Tet = Tetrasiklin
Hasil uji antibiogram terhadap sampel 116/2 menunjukkan bahwa
Eritromisin, Gentamisin dan Siprofloksasin masih cukup sensitif untuk menekan
pertumbuhan bakteri sedangkan Penisilin, Ampisilin dan Tetrasiklin tidak efektif.
Bakteri dari sampel 118/2 memiliki tingkat resistensi yang lebih tinggi terhadap
Penisilin, Ampisilin, Gentamisin, Siprofloksasin dan Tetrasiklin. Bakteri
Streptococcus agalactiae dari sampel 118/2 ini hanya dapat dihambat
pertumbuhannya oleh Eritromisin.
Efektivitas antibiotik terhadap bakteri Streptococcus agalactiae berbeda
pada setiap kandang, individu sapi terinfeksi, dan bahkan berbeda pada setiap
kuartir dalam satu individu. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh bakteri yang
telah mengalami perubahan protein-binding site, perubahan komponen dinding
dan membran sel serta enzim yang dapat melawan antibiotik tertentu.
Perubahan ini terjadi karena pengobatan yang sering dilakukan sebelumnya.
Penggunaan antibiotik bakterisida ataupun bakteriostatik terhadap pengobatan
infeksi Gram positif yang berlebihan dapat menyebabkan Streptococcus yang
belum menjadi sasaran utama antibiotik ikut terpapar dengan dosis yang rendah
dan mengalami perubahan serta menyebabkan resistensi (Wattimena et al. 1991;
Wahyuni et al. 2005). Resistensi dapat pula diakibatkan oleh adanya
kemungkinan perbedaan bakteri yang diisolasi dan perbedaan patogenisitas
bakteri penginfeksi.
Berdasarkan hasil uji antibiogram, diketahui sejumlah 7.14% (1/14 sampel)
bakteri isolat resisten terhadap enam antibiotik yang diujikan, 21.4% (3/14
sampel) isolat resisten terhadap lima jenis antibiotik, 35.7% (5/14 sampel) isolat

Page 35
resisten terhadap empat jenis antibiotik, 28.6% (4/14 sampel) isolat resisten
terhadap tiga jenis antibiotik dan 7.1% (1/14 sampel) isolat resisten terhadap dua
antibiotik yang diujikan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat resistensi yang
terjadi sudah tinggi dibuktikan dengan besarnya persentase isolat yang resisten
terhadap antibiotik yang diujikan.
Menurut Aarestrup dan Schwarz (2006), Penisilin merupakan drug of choice
penyakit yang disebabkan oleh bakteri Gram positif termasuk Streptococcus
agalactiae. Penisilin yang digunakan adalah Penisilin G. Menurut Mutschler
(1991), Penisilin merupakan antibiotik yang memiliki daya kerja efektif terhadap
bakteri sensitif, perkembangan resistensi yang rendah dan toksisitas yang
minimum. Daerah kerjanya mencakup kokus Gram positif termasuk
Streptococcus. Dalam penelitian ini didapatkan Penisilin hanya sensitif sebesar
14.3% (2/14 sampel) dari jumlah isolat yang diuji dengan Penisilin.
Ampisilin merupakan obat pilihan setelah Penisilin dan merupakan
antibiotik yang masih efektif untuk Streptococcus agalactiae. Ampisilin bekerja
cukup efektif pada bakteri Gram positif, namun dalam pengujian yang dilakukan,
Ampisilin tidak sensitif terhadap Streptococcus agalactiae.
Eritromisin termasuk antibiotik efektif untuk Gram positif termasuk
Streptococcus, namun demikian, mudah terjadi resisten terhadap Eritromisin oleh
bakteri Gram positif. Eritromisin masih cukup efektif digunakan terhadap bakteri
Streptococcus agalactiae dalam penelitian ini yaitu dengan persentase sebesar
57.1% (8/14) dari jumlah isolat yang diuji dengan Eritromisin.
Tetrasiklin merupakan antibiotik dengan spektrum luas yang memiliki
efektivitas cukup baik untuk pengobatan infeksi oleh Streptococcus agalactiae,
namun demikian bakteri ini mudah resisten terhadap Tetrasiklin. Hal ini dapat
menyebabkan penurunan keefektifan penggunaan Tetrasiklin.
Gentamisin dan Kanamisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida
yang memiliki spektrum luas. Resistensi silang antar golongan aminoglikosida
dapat terjadi. Hal ini dapat terjadi karena Streptococcus agalactiae di lapangan
sudah diberi pengobatan mastitis sebelumnya dengan golongan aminoglikosida
lain seperti Streptomisin (Mutschler 1991; Istiantoro & Vincent 2007).
Kanamisin tidak menunjukkan zona hambat yang baik untuk isolat bakteri yang

Page 36
diuji sedangkan Gentamisin efektif sebesar 40% (2/5 sampel). Hal ini juga terjadi
pada Siprofloksasin dan Enrofloksasin yang hanya efektif terhadap 20% (1/5
sampel) dari isolat bakteri yang diuji dengan masing-masing antibiotik.

Page 37
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Kejadian mastitis subklinis oleh bakteri Streptococcus agalactiae dalam
penelitian ini adalah sebesar 9.79% dari 205 sampel susu.
2. Sejumlah 7.14% (1/14 sampel) bakteri isolat resisten terhadap enam antibiotik
yang diujikan, 21.4% (3/14 sampel) isolat resisten terhadap lima jenis
antibiotik, 35.7% (5/14 sampel) isolat resisten terhadap empat jenis antibiotik,
28.6% (4/14 sampel) isolat resisten terhadap tiga jenis antibiotik dan 7.1%
(1/14 sampel) isolat resisten terhadap dua antibiotik yang diujikan. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat resistensi yang terjadi sudah tinggi.
3. Dalam penelitian ini, Eritromisin dibuktikan sebagai antibiotik yang paling
efektif dibanding dengan antibiotik yang diuji lainnya dengan persentase
efektivitasnya 57.1%.
Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui jenis antibiotik yang
masih efektif untuk Streptococcus agalactiae, serta dosis dan lama pemberian
antibiotik untuk pengobatan mastitis subklinis.

Page 38
DAFTAR PUSTAKA
Aarestrup FM, Schwarz S. 2006. Antimicrobial resistance in Staphylococci and
Streptococci of animal origin. Di dalam: Aarestrup FM, editor.
Antimicrobial Resistance in Bacteria of Animal Origin. Washington DC:
ASM Pr. hlm 187-212.
Black JG. 2005. Microbiology Principles and Explorations. USA: Willey.
Carlton WW, Mc Gavin MD. 1995. Special Veterinary Pathology. Ed ke-2.
USA: Mosby-Year. hlm 539-540.
Giguere S, Prescott JF, Baggot JD. 2006. Antimicrobial Therapy in Veterinary
Medicine. Ed ke-4. Iowa: Iowa State Univ Pr.
Hogeveen H. 2005. Mastitis in Dairy Production Current Knowledge and Future
Solutions. Netherland: Wageningen Academic.
Hurley WL, Morin DE. 2000. Mastitis Lesson A. Lactation Biology. ANSCI
308. [terhubung berkala] http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [20 April
2010].
Istiantoro YH, Vincent HSG. 2007a. Penisilin, Cephalosporin, dan antibiotik
betalactam lainnya. Di dalam: Sulistia GG, editor. Farmakologi dan Terapi.
Ed ke-5. Jakarta: UI Pr. hlm 664-693.
Istiantoro YH, Vincent HSG. 2007b. Aminoglikosid. Di dalam: Sulistia GG,
editor. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-5. Jakarta: UI Pr. hlm 705-717.
Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. 1960. Review of Medical Microbiology.
California: Lange Medical Publication.
Jawetz EAA. 1986. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Terjemahan dari:
Medical Microbiology.
Kelly WR. 1986. Veterinary Clinical Diagnosis. London: Bailliere Tindall. hlm
297-298.
Lechtman MD, Wistreich GA. 1980. Microbiology. Ed ke-3. London: Collier
Macmillan.
Lenski RE. 1998. Bacterial evolution and the cost of antibiotic resistence. Int
Microbiol 1:265-270.
Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H, Soejoedono
RR. 2009. Higiene Pangan. Di dalam: Pisestyani H, editor. Bogor:
Bagian Kesmavet FKH IPB. hlm 39-47, 66.

Page 39
Mutschler Ernst. 1991. Dinamika Obat. Bandung: ITB. hlm 634-652, 656.
Pelczar MJJr, Chan ECS. 2007. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Volume ke-4.
Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. Depok:
UI Pr. Terjemahan dari: Elements of Microbiology.
Poeloengan M. 2009. Pengaruh minyak atsiri serai (Andropon citratus, DC)
terhadap bakteri yang diisolasi dari sapi mastitis subklinis. Berita Biol 9(6):
715-719.
Setyabudi R. 2007. Pengantar Antimikroba. Di dalam: Sulistia GG, Editor.
Farmakologi dan Terapi. Ed ke-5. Jakarta: UI Pr. hlm 585-598.
Songer JG, Post KW. 2005. Veterinary Microbiology Bacterial and Fungal
Agents of Animal Disease. Elsevier Saunders.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta: Gajah Mada Univ Pr.
Sudarwanto M. 1987. Mastitis mikotik pada sapi perah. Laporan Penelitian.
Bogor: Jurusan Penyakit Hewan dan Kesmavet, Institut Pertanian Bogor.
Sudarwanto M. 1997. Milkcheker, suatu alat untuk mendeteksi mastitis
subklinik. Med Vet (4):1
Sudarwanto M. 2009. Pemeriksaan mastitis subklinis. Di dalam: Lukman DW dan
Purnawarman T, editor. Penuntun Praktikum Higiene Pangan. Bogor:
Kesmavet IPB.
Sunartatie T et al. 1990. Mastitis dilihat dari segi mikrobiologi, epidemiologi dan
kesehatan masyarakat veteriner. Laporan penelitian. Bogor: Jurusan
Penyakit Hewan dan Kesmavet, Institut Pertanian Bogor.
Utama IH, Kendran AAS, Wibawan IWT, Pasaribu FH, Wahyuni AETH. 2000.
Aktivitas hemagglutinasi isolat Streptococcus agalactiae pada berbagai sel
darah merah hewan dan manusia. Med Vet 7(2):5-8.
Wahyuni AETH, Wibawan IWT, Wibowo MH. 2005. Karakterisasi
hemaglutinin Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus
penyebab mastitis subklinis pada sapi perah. J Sains Vet 3( 2):79-86.
Wahyuni AETH, Wibawan IWT, Pasaribu FH, Priosoeryanto BP. 2006. Distribusi
serotipe Streptococcus agalactiae penyebab mastitis subklinis pada sapi
perah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. J Sains Vet 7(1):1-8
Wattimena J et al. 2001. Farmakodinamik dan Terapi Antibiotik. Yogyakarta:
UGM Pr.

Page 40
White DG. 2006. Antimicrobial resistance in pathogenic Escherichia coli from
animals. Di dalam: Aarestrup FM, editor. Antimicrobial Resistance in
Bacteria of Animal Origin. Washington DC: ASM Pr. hlm 145-166.
Winata F. 2011. Hubungan antara penggunaan metode Breed dengan uji mastitis
IPB-1 untuk diagnosa mastitis subklinis [skripsi]. Bogor: Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai