Bab Iii
Bab Iii
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Nyeri
1. Definisi
6
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
a. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat
harus mengkaji respon nyeri pada anak. Orang dewasa kadang
melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan
fungsi. Selain itu, lansia cenderung memendam nyeri yang dialami,
karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus
dijalani dan khawatir bila mengalami penyakit berat atau meninggal
jika dilakukan pemeriksaan terhadap nyeri yang mereka rasakan.
b. Jenis kelamin
Laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam
merespon suatu nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya, yakni
anggapan bahwa laki-laki tidak pantas mengeluh nyeri, sedangkan
wanita wajar saja bila melakukannya.
c. Kultur
Setiap orang belajar dari budaya tentang bagaimana
seharusnya mereka berespon terhadap nyeri, misalnya suatu daerah
menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus
diterima karena mereka melakukan kesalahan, sehingga mereka
tidak mengeluh jika mengalami nyeri.
d. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang
terhadap nyeri dan bagaimana cara ia mengatasinya.
e. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri
dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
7
distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Teknik
relaksasi, guided imagery dan teknik distraksi merupakan beberapa
teknik untuk mengatasi nyeri.
f. Ansietas
Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan
meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua
keadaaan. Riset tidak memperlihatkan suatu hubungan yang
konsisten antara ansietas dan nyeri juga tidak memperlihatkan bahwa
pelatihan pengurangan stres praoperatif menurunkan nyeri saat
pascaoperatif. Namun, ansietas yang relevan atau berhubungan
dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri.
Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi
pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara
umum, cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan
mengarahkan pengobatan nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer &
Bare, 2002).
g. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lalu,
akan lebih mudah mengatasi nyeri apabila saat ini nyeri yang sama
timbul. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung
pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
h. Pola koping
Pola koping sangat menentukan seseorang dalam mengatasi
nyeri yang dirasakannya. Apabila koping yang dilakukannya adaptif
terhadap nyeri, maka seseorang tersebut akan mudah dalam
mengatasi nyeri, namun sebaliknya apabila koping yang
dilakukannya maladaptif, maka akan menyulitkan seseorang dalam
mengatasi nyeri.
8
i. Dukungan keluarga dan social
3. Fisiologi Nyeri
9
viseral. Karena letaknya yang berbeda-beda sehingga nyeri yang
ditimbulkan juga memiliki sensasi yang berbeda.
b. Nosiseptor kutaneus
Nosiseptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan. Nyeri yang
berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dilokalisasi dan
diidentifikasi. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua
komponen yaitu:
1) Serabut A-delta
Merupakan serabut bermielinasi dan cepat (kecepatan
tranmisi 6-30 m/det). Serabut A mengirim sensasi yang tajam,
terlokalisasi, dan mampu mendeteksi intensitas nyeri. Serabut A
ini juga memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat
hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.
2) Serabut C
Merupakan serabut yang tidak bermielinasi dan
berukuran sangat kecil serta lambat (kecepatan transmisi 0,5
m/det). Serabut ini terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri
biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
Ketika serabut A-delta dan serabut C mentransmisikan
impuls dari saraf perifer, maka akan terjadi pelepasan mediator
biokimia yang mengaktifkan atau membuat peka terhadap respon
nyeri. Selanjutnya impuls ini akan berakhir di sistem saraf pusat
yang kemudian akan mengenali adanya nyeri dan memperlihatkan
perbedaan variasi persepsi nyeri pada setiap individu.
c. Nosiseptor somatik
Struktur nosiseptor somatik meliputi reseptor nyeri yang
terdapat pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot dan jaringan
penyangga lainnya. Karena strukrur reseptornya kompleks, nyeri
yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dialokasikan.
10
d. Nosiseptor viseral
Struktur nosiseptor meliputi organ-organ viseral seperti
jantung, hati, usus, ginjal, dan sebagainnya. Nyeri yang timbul pada
reseptor ini biasanya terus-menerus (difus). Nyeri viseral dapat
menyebabkan nyeri alih (reffered pain), disebabkan karena adanya
sinaps jaringan viseral pada medula spinalis dengan serabut yang
berasal dari jaringan subkutan tubuh.
e. Proses terjadinya nyeri
Pada tindakan pembedahan, dilakukan proses insisi atau
penyayatan pada daerah yang akan dibedah. Insisi yang dilakukan
akan menyebabkan kerusakan lebih dalam yang terjadi dari jaringan
sampai ke otot. Hal ini akan menyebabkan reseptor nyeri yang
berasal dari deep somatic nociceptor mentransmisikan adanya
impuls yang akan dipersepsikan sebagai nyeri (Moreau, 2003).
11
Gambar Teori Gate Control (Walton RE, 2002)
12
juga memodulasi gerbang. Aktivitas di dalam serabut aferen besar
tidak hanya cenderung menutup gerbang secara langsung tetapi juga
mengaktifkan mekanisme kontrol pusat yang menutup gerbang.
4) Saat gerbang terbuka dan aktivitas di dalam aferen yang baru masuk
cukup untuk mengaktifkan sistem transmisi, dua jalur asendens
utama diaktifkan. Yang pertama adalah jalur sensoris-diskriminatif,
yang bersambung dengan korteks somatosensoris serebri melalui
thalamus ventroposterior. Jalur ini memungkinkan penentuan tempat
nyeri. Kedua, jalur asendens yang melibatkan informasi retikuler
melalui sistem thalamus dan limbus medial. Jalur ini berurusan
dengan rasa tidak enak, penolakan (aversif) dan aspek emosional
dari nyeri. Jalur desendens, selain berpengaruh pada gerbang tanduk
dorsal, dapat juga berinteraksi dengan kedua sistem asendens ini.
4. Klasifikasi Nyeri
a. Nyeri akut
Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cedera, atau
intervensi bedah dan awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi
dari berat sampai ringan. Fungsi nyeri ini adalah sebagai pemberi
peringatan akan terjadinya cedera atau penyakit yang akan datang.
13
Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis,
setelah keadaan pulih pada area yang rusak. Apabila nyeri akut ini
muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif dan melakukan
tindakan cepat untuk segera menghilangkan nyeri (Smeltzer & Bare,
2008). Berdasarkan durasi dan intensitasnya, nyeri pasca operasi
termasuk nyeri akut (Andres, 2005).
b. Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas
bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri ini
disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan
kanker tersebut atau karena gangguan progresif lain. Nyeri dapat
berlangsung terus menerus sampai kematian (White, 2001).
Pada nyeri kronis, tindakan perawat tidak seagresif seperti yang
dilakukan pada nyeri akut. Klien yang mengalami nyeri kronis akan
mengalami remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan
eksaserbasi yakni, meningkatnya keparahan (Smeltzer & Bare, 2008).
c. Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa besar nyeri
dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif
dan individual. Kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama
dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda (Smeltzer &
Bare, 2008). Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mungkin adalah menggunakan respon fisiologis tubuh terhadap nyeri
itu sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat
memberikan gambaran pasti tentang nyeri yang dialami (Tamsuri,
2007).
Menurut Smeltzer dan Bare (2008) ada 3 skala intensitas nyeri,
yakni sebagai berikut:
1) Skala intensitas nyeri deskriftif
14
2) Skala intensitas nyeri numerik
3) Skala analog visual
Ketiga bentuk skala pengukuran ini mempunyai fungsi yang
sama, yakni untuk mengetahui seberapa besar nyeri yang dirasakan
pasien. Penggunaan Skala Analog Visual (VAS) sering dimodifikasi
bersamaan dengan skala intensitas nyeri numerik. Pengukuran dengan
skala nyeri dapat langsung menilai respon perilaku pasien terhadap
nyeri, yakni dengan keterangan, 0: tidak ada nyeri, 1-3: nyeri ringan
(klien dapat berkomunikasi dengan baik), 4-6: nyeri sedang (klien
mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri,
mendeskripsikannya, dan mengikuti perintah dengan baik), 7-9: nyeri
berat (klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih
berespon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak
dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi, nafas
panjang dan distraksi). 10: Nyeri sangat berat (pasien sudah tidak
mampu lagi berkomunikasi). Dalam pelaksanaannya, pasien diminta
menunjukkan pada rentang mana ia merasakan nyeri (Smeltzer & Bare,
2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Li, Liu dan Herr (2007)
pada 173 orang dewasa di China, dari ketiga bentuk skala intensitas
nyeri tersebut, skala intensitas nyeri numerik merupakan yang paling
banyak digunakan untuk mengukur intensitas nyeri.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
15
Guideline. Rockville, MD; AHCPR, Public Health Service, U.S. Department of
Health and Human Services, Feb 1992, dalam Smeltzer & Bare, 2002).
d. Penatalaksanaan nyeri
1) Farmakologis
Beberapa agen farmakologis digunakan untuk menangani
nyeri dan disesuaikan dengan resep dokter. Pada pasien pasca
operasi, pemberian analgesik biasanya dianjurkan. Pada nyeri
akut dan pasien pasca operasi, dilakukan pemberian analgesik
non-narkotik. Diantara jenis analgesik non-narkotik yang sering
digunakan adalah acetaminophen, nonsteroid anti-inflamatory
drugs (NSAIDs) dan salicylates (Moreau, 2003).
Pemberian analgesik pada pasien pasca operasi dilakukan
untuk membantu mengurangi nyeri yang dirasakan setelah
melewati prosedur pembedahan. Pada umumnya, pasien diberi
obat-obatan analgesik melalui injeksi segera setelah efek anastesi
hilang. Analgesik yang sering digunakan seperti NSAIDs,
mempunyai efek selama lebih kurang 6-8 jam terhadap nyeri yang
dirasakan. Pasien akan kembali merasakan nyeri setelah efek dari
obat-obatan analgesik tersebut hilang, sehingga perlu diberikan
kembali 8 jam kemudian. Namun, pemberian analgesik secara
injeksi ini tidak boleh dilakukan lebih dari 5 hari pasca operasi
(Mortan, Fontaine, Hudak & Gallo, 2005).
2) Nonfarmakologis
Pengobatan nonfarmakologis digunakan untuk mengurangi
nyeri sehingga pengobatan farmakologis menjadi tidak diperlukan
atau ditunda. Pengobatan non farmakologis juga dapat berfungsi
sebagai komplemen jika pengobatan farmakologis seperti
penggunaan analgesik pada pasien pasca operasi tidak dapat
dihentikan untuk mendapatkan efek pengobatan yang lebih baik.
16
Selain itu pengobatan nonfarmakologis tidak memiliki efek
samping yang membahayakan kesehatan (Potter & Perry, 2006).
Penatalaksanaan nonfarmakologis terhadap nyeri dilakukan
berdasarkan stimulasi fisik maupun perilaku kognitif. Penanganan
fisik meliputi stimulasi elektrik saraf kulit transkutan
(Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation, TENS), akupresur,
dan pemberian massase. Intervensi perilaku kognitif meliputi
tindakan distraksi, teknik relaksasi, imajinasi terbimbing, umpan
balik biologis, hipnosis, dan sentuhan terapeutik (Kozier, Erb,
Berman & Snyder, 2004).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi
nafas dalam sangat efektif dalam menurunkan nyeri pasca operasi
(Sehono, 2010). Relaksasi adalah sebuah keadaan dimana
seseorang terbebas dari tekanan dan kecemasan atau kembalinya
keseimbangan (equilibrium) setelah terjadinya gangguan.Tujuan
dari teknik relaksasi adalah mencapai keadaan relaksasi
menyeluruh, mencakup keadaan relaksasi secara fisiologis, secara
kognitif, dan secara behavioral. Secara fisiologis, keadaan relaksasi
ditandai dengan penurunan kadar epinefrin dan non epinefrin
dalam darah, penurunan frekuensi denyut jantung (sampai
mencapai 24 kali per menit), penurunan tekanan darah, penurunan
frekuensi nafas (sampai 4-6 kali per menit), penurunan ketegangan
otot, metabolisme menurun, vasodilatasi dan peningkatan
temperatur pada extermitas (Rahmayati, 2010).
17
langsung terhadap otak seperti obat analgesik. Misalnya, mencium
lavender maka akan meningkatkan gelombang-gelombang alfa
didalam otak dan membantu untuk merasa rileks.
B. Terapi Aroma
1. Definisi
Terapi aroma adalah terapi yang menggunakan essensial oil atau
sari minyak murni untuk membantu memperbaiki atau menjaga
kesehatan, membangkitkan semangat, menyegarkan serta
membangkitkan jiwa raga. Essential oil yang digunakan disini
merupakan cairan hasil sulingan dari berbagai jenis bunga, akar, pohon,
biji, getah, daun dan rempah-rempah yang memiliki khasiat untuk
mengobati (Hutasoit, 2002).
Terapi aroma merupakan tindakan teraupetik dengan
menggunakan minyak essensial yang bermanfaat untuk meningkatkan
keadaan fisik dan psikologi sehingga menjadi lebih baik (Mackinnon,
2004). Terapi aroma mempunyai efek positif karena diketahui bahwa
aroma yang segar, harum merangsang sensori, reseptor dan pada
akhirnya mempengaruhi organ yang lainnya sehingga dapat
menimbulkan efek kuat terhadap emosi. Aroma ditangkap oleh reseptor
di hidung yang kemudian memberikan informasi lebih jauh ke area di
otak yang mengontrol emosi dan memori memberikan informasi juga
ke hipotalamus yang merupakan pengatur sistem internal tubuh,
termasuk sistem seksualitas, suhu tubuh, dan reaksi terhadap stress
(Shinobi, 2008).
2. Jenis terapi aroma dan manfaatnya
Terapi aroma mempunyai beberapa keuntungan sebagai
tindakan supportif. Menurut Maifrisco (2005), terdapat beberapa
keuntungan dari penggunaan terapi aroma berdasarkan jenisnya,
misalnya Rosemary dapat bermanfaat untuk meningkatkan
kewaspadaan, meningkatkan daya ingat. Lemon merupakan aroma yang
18
digunakan untuk menenangkan suasana.
Lavender merupakan bunga yang berwarna lembayung muda,
memiliki bau yang khas dan lembut sehingga dapat membuat
seseorang menjadi rileks ketika menghirup aroma lavender. Lavender
banyak dibudidayakan di berbagai penjuru dunia. Sari minyak bunga
lavender diambil dari bagian pucuk bunganya (Hutasoit, 2002).
Minyak lavender diperoleh dengan cara distilasi bunga. Komponen
kimia utama yang dikandungnya adalah linail asetat, linalool. Minyak
lavender digunakan secara luas dalam terapi aroma. Aroma lavender
dapat meningkatkan gelombang-gelombang alfa di dalam otak dan
gelombang inilah yang membantu untuk menciptakan keadaan yang
rileks (Maifrisco, 2005).
Hale (2008), mengungkapkan lavender mempunyai banyak
manfaat yaitu sebagai pencegah infeksi, menunjukkan efek sebagai
antisepsis, antibiotik dan anti jamur. Department of Health (2007)
mengungkapkan bahwa lavender yang digunakan melalui inhalasi
dapat bermanfaat untuk mengurangi kecemasan. Lavender dapat
memberikan ketenangan, keseimbangan, rasa nyaman, rasa
keterbukaan dan keyakinan. Disamping itu lavender juga dapat
mengurangi rasa tertekan, stress, rasa sakit, emosi yang tidak
seimbang, histeria, rasa frustasi dan kepanikan. Lavender dapat
bermanfaat untuk mengurangi rasa nyeri, dan dapat memberikan
relaksasi (Woodcock, 2008).
Begitu banyak manfaat dari aroma lavender, maka dari itu
dalam penelitian ini menggunakan aroma lavender. Selain memiliki
banyak manfaat, lavender paling sering digunakan sebagai aroma
terapi dan merupakan jenis minyak yang dapat digunakan tanpa harus
dicampur terlebihh dahulu.
19
Gambar 4. Aroma lavender
20
C. Sectio Caesarea
1. Definisi Sectio caesarea
21
c. Histerektomi caesar yaitu bedah caesar diikuti dengan pengangkatan
rahim. Hal ini dilakukan dalam kasus-kasus dimana pendarahan yang
sulit tertangani atau ketika plasenta tidak dapat dipisahkan dari
rahim.
D. Anestesi
1. Jenis Anestesi
Ada beberapa anestesi atau penghilang rasa sakit yang bisa
dipilih untuk operasi sesarea, baik spinal maupun general. Pada
anestesi spinal atau epidural yang lebih umum digunakan, sang ibu
tetap sadar kala operasi. Anestesi general bekerja secara jau lebih cepat,
dan mungkin diberikan jika diperlukan proses persalinan yang cepat
(Gallagher,2004).
2. Anestesi general
Anestesi general biasanya diberikan jika anestesi spinal atau
epidural tidak mungkin diberikan, baik karena alasan teknis maupun
22
karena dianggap tidak aman. Pada prosedur pemberian anestesi ini akan
menghirup oksigen melalui masker wajah selama tiga sampai empat
menit sebelum obat diberikan melalui penetesan intravena. Dalam
waktu 20 sampai 30 detik, maka pasien akan terlelap. Saat pasien tidak
sadar, akan disisipkan sebuah selang ke dalam tenggorokkan pasien
untuk membantu pasien bernafas dan mencegah muntah. Jika
digunakan anestesi total, pasien akan dimonitor secara konstan oleh
seorang ahli anestesi. Dan biasanya pasangan tidak boleh mendampingi
pasien kala persalinan dengan anestesi general.
3. Anestesi spinal
Dalam operasi caesarea elektif, pasien diberi penawaran untuk
menggunakan spinal anestesi. Kedua pilihan itu dapat membuat
pertengahan ke bawah tubuh pasien mati rasa, tetapi pasien akan tetap
terjaga dan menyadari apa yang sedang terjadi. Hal ini berarti pasien
bisa merasakan kelahiran bayi tanpa merasakan sakit, dan pasangan
juga bisa mendampingi untuk memberikan dorongan dan semangat.
4. Mobilisasi
Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan bebas dan merupakan faktor yang menonjol dalam
mempercepat pemuihan pasca bedah; mobilisasi dini merupakan suatu
aspek yang terpenting pada fungsi fisiologis karena hal itu esensial
untuk mempertahankan kemandirian. Dengan demikian mobilisasi dini
adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin
dengan cara membimbing penderita untuk mempertahankan fungsi
fisiologi (Carpenito, 2000).
Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk berjalan,
bangkit, berdiri dan kembali ketempat tidur, kursi, kloset, duduk dan
sebagainya. Mobilisasi dini adalah pergerakan yang dilakukan sedini
mungkin di tempat tidur dengan melatih bagian – bagian tubuh untuk
melakukan peregangan atau belajar berjalan (Soelaiman, 2000).
Mobilisasi dini dapat dilakukan pada kondisi pasien yang membaik.
23
Pada pasien post operasi seksio sesarea 6 jam pertama dianjurkan untuk
segera menggerakkan anggota tubuhnya. Gerak tubuh yang bisa
dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, kaki dan jari – jarinya
agar kerja organ pencernaan segera kembali normal ( Kasdu, 2003).
Konsep mobilisasi mula – mula berasal dari ambulasi dini yang
merupakan pengembalian secara berangsur – angsur ke tahap mobilisasi
sebelumnya untuk mecegah komplikasi (Ancheta, R.,S, 2005).
24