Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Nyeri
1. Definisi

Nyeri adalah suatu persepsi yang merupakan mekanisme


proteksi tubuh yang bertujuan untuk memberikan peringatan (alerting)
akan adanya penyakit, luka, atau kerusakan jaringan sehingga dapat
segera diidentifikasi penyebabnya dan dilakukan pengobatan. Sulit
sekali mengidentifikasi nyeri karena nyeri bersifat dan berkualitas
subjektif. Menurut The International Association For the Study of Pain
(IASP), nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional
yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan atau potensial akan menyebabkan kerusakan jaringan.
Timbulnya rasa nyeri tidak hanya sekedar sebagai proses sensorik saja
tetapi merupakan persepsi yang kompleks yang melibatkan fungsi
kognitif, mental, emosional, dan daya ingat (Sudoyo, 2009).

Rasa nyeri (nosisepsi) merupakan masalah unik, disatu pihak


bersifat melindungi badan kita dan dilain pihak menimbulkan rasa sakit
pada tubuh kita. Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya
(noksius, protofatik) atau yang tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik)
misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan ringan (Latief, Suryadi,
& Dachlan, 2010).

Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang


tidak menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan
aktual dan potensial (Smeltzer & Bare, 2008). Nyeri merupakan suatu
keadaan dimana individu mengalami dan melaporkan adanya rasa
ketidaknyamanan yang hebat atau sensasi yang tidak menyenangkan
(Lewis, Heitkemper, & Dirksen, 2004).

6
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

Menurut Potter dan Perry (2006) faktor-faktor yang


mempengaruhi nyeri adalah sebagai berikut:

a. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat
harus mengkaji respon nyeri pada anak. Orang dewasa kadang
melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan
fungsi. Selain itu, lansia cenderung memendam nyeri yang dialami,
karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus
dijalani dan khawatir bila mengalami penyakit berat atau meninggal
jika dilakukan pemeriksaan terhadap nyeri yang mereka rasakan.
b. Jenis kelamin
Laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam
merespon suatu nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya, yakni
anggapan bahwa laki-laki tidak pantas mengeluh nyeri, sedangkan
wanita wajar saja bila melakukannya.

c. Kultur
Setiap orang belajar dari budaya tentang bagaimana
seharusnya mereka berespon terhadap nyeri, misalnya suatu daerah
menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus
diterima karena mereka melakukan kesalahan, sehingga mereka
tidak mengeluh jika mengalami nyeri.
d. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang
terhadap nyeri dan bagaimana cara ia mengatasinya.
e. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri
dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya

7
distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Teknik
relaksasi, guided imagery dan teknik distraksi merupakan beberapa
teknik untuk mengatasi nyeri.
f. Ansietas
Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan
meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua
keadaaan. Riset tidak memperlihatkan suatu hubungan yang
konsisten antara ansietas dan nyeri juga tidak memperlihatkan bahwa
pelatihan pengurangan stres praoperatif menurunkan nyeri saat
pascaoperatif. Namun, ansietas yang relevan atau berhubungan
dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri.
Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi
pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara
umum, cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan
mengarahkan pengobatan nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer &
Bare, 2002).
g. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lalu,
akan lebih mudah mengatasi nyeri apabila saat ini nyeri yang sama
timbul. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung
pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
h. Pola koping
Pola koping sangat menentukan seseorang dalam mengatasi
nyeri yang dirasakannya. Apabila koping yang dilakukannya adaptif
terhadap nyeri, maka seseorang tersebut akan mudah dalam
mengatasi nyeri, namun sebaliknya apabila koping yang
dilakukannya maladaptif, maka akan menyulitkan seseorang dalam
mengatasi nyeri.

8
i. Dukungan keluarga dan social

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada


anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan
rasa nyaman. Rasa nyaman yang diperoleh dari orang-orang disekitar
dapat membantu mengurangi nyeri yang dirasakannya.

Beberapa faktor yang disebutkan di atas akan mempengaruhi


tingkat nyeri dan respon nyeri yang dirasakan oleh seseorang, begitu
juga dengan pasien pasca operasi. Menurut Mortan, Fontaine,
Hudak, dan Gallo (2005), selain faktor-faktor tersebut, ada beberapa
faktor yang juga berpengaruh terhadap tingkat nyeri pada pasien
pasca operasi, seperti: prosedur operasi (lokasi dan teknik operasi),
tingkat kecemasan (ketakutan terhadap operasi, kematian, dan
kehilangan kontrol diri maupun sosial), harapan pasien (informasi
yang di dapat pada fase pre-operatif), toleransi terhadap nyeri (obat-
obatan yang digunakan, respon individual) dan teknik anastesi yang
digunakan (adanya penggunaan obat-obatan analgesik selama fase
intra operatif dan penggunaan naloxone).

3. Fisiologi Nyeri

Proses terjadinya nyeri dimulai dari reseptor nyeri. Reseptor


nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsangan
nyeri. Organ tubuh ini berupa ujung saraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat dan secara potensial dapat
merusak. Reseptor nyeri disebut juga nociceptor (White, 2001).

a. Reseptor nyeri (Tamsuri, 2007)


Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah organ tubuh yang
berfungsi untuk menerima rangsangan nyeri. Berdasarkan letaknya,
nosiseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu
pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatik) dan pada daerah

9
viseral. Karena letaknya yang berbeda-beda sehingga nyeri yang
ditimbulkan juga memiliki sensasi yang berbeda.
b. Nosiseptor kutaneus
Nosiseptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan. Nyeri yang
berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dilokalisasi dan
diidentifikasi. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua
komponen yaitu:

1) Serabut A-delta
Merupakan serabut bermielinasi dan cepat (kecepatan
tranmisi 6-30 m/det). Serabut A mengirim sensasi yang tajam,
terlokalisasi, dan mampu mendeteksi intensitas nyeri. Serabut A
ini juga memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat
hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.

2) Serabut C
Merupakan serabut yang tidak bermielinasi dan
berukuran sangat kecil serta lambat (kecepatan transmisi 0,5
m/det). Serabut ini terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri
biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
Ketika serabut A-delta dan serabut C mentransmisikan
impuls dari saraf perifer, maka akan terjadi pelepasan mediator
biokimia yang mengaktifkan atau membuat peka terhadap respon
nyeri. Selanjutnya impuls ini akan berakhir di sistem saraf pusat
yang kemudian akan mengenali adanya nyeri dan memperlihatkan
perbedaan variasi persepsi nyeri pada setiap individu.
c. Nosiseptor somatik
Struktur nosiseptor somatik meliputi reseptor nyeri yang
terdapat pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot dan jaringan
penyangga lainnya. Karena strukrur reseptornya kompleks, nyeri
yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dialokasikan.

10
d. Nosiseptor viseral
Struktur nosiseptor meliputi organ-organ viseral seperti
jantung, hati, usus, ginjal, dan sebagainnya. Nyeri yang timbul pada
reseptor ini biasanya terus-menerus (difus). Nyeri viseral dapat
menyebabkan nyeri alih (reffered pain), disebabkan karena adanya
sinaps jaringan viseral pada medula spinalis dengan serabut yang
berasal dari jaringan subkutan tubuh.
e. Proses terjadinya nyeri
Pada tindakan pembedahan, dilakukan proses insisi atau
penyayatan pada daerah yang akan dibedah. Insisi yang dilakukan
akan menyebabkan kerusakan lebih dalam yang terjadi dari jaringan
sampai ke otot. Hal ini akan menyebabkan reseptor nyeri yang
berasal dari deep somatic nociceptor mentransmisikan adanya
impuls yang akan dipersepsikan sebagai nyeri (Moreau, 2003).

f. Teori gate control

Teori Gate Control yang dikemukakan Melzack dan Wall


merupakan teori yang komprehensif dalam menjelaskan transmisi
dan persepsi nyeri. Dalam teori ini dijelaskan bahwa Substansia
Gelatinosa (SG), yaitu suatu area dari sel-sel khusus pada bagian
ujung dorsal serabut saraf sumsum tulang belakang (spinal cord)
yang berperan sebagai mekanisme pintu gerbang (gating
mechanism). Mekanisme pintu gerbang ini dapat memodifikasi dan
merubah sensasi nyeri yang datang sebelum sampai di korteks
serebri dan menimbulkan persepsi nyeri.

11
Gambar Teori Gate Control (Walton RE, 2002)

g. Prinsip dasar Teori Gate Control (gambar 3) yaitu:


1) Masuknya aktivitas saraf aferen dimodulasi oleh mekanisme
pembukaan / penutupan gerbang (gating mechanism) di dalam
tanduk dorsal korda spinalis dan batang otak. Gerbang ini
merupakan inhibitor atau fasilitator bagi aktivitas sel Transmisi (T)
yang membawa aktivitas lebih jauh sepanjang jalur saraf.

2) Gerbang dipengaruhi oleh derajat relatif dari aktivitas serabut beta


A dengan diameter besar, serabut delta A diameter kecil serta serabut
C. Serabut beta A diameter besar diaktifkan oleh stimuli tidak
berbahaya dan pada aktifitas serabut aferen besar cenderung
menutup gerbang sedangkan aktifitas serabut kecil cenderung
membukanya.

3) Mekanisme kontrol serabut saraf desendens dari tingkatan yang lebih


tinggi di susunan saraf pusat dipengaruhi oleh proses kognitif,
motivasional dan afektif. Derajat mekanisme yang lebih tinggi ini

12
juga memodulasi gerbang. Aktivitas di dalam serabut aferen besar
tidak hanya cenderung menutup gerbang secara langsung tetapi juga
mengaktifkan mekanisme kontrol pusat yang menutup gerbang.

4) Saat gerbang terbuka dan aktivitas di dalam aferen yang baru masuk
cukup untuk mengaktifkan sistem transmisi, dua jalur asendens
utama diaktifkan. Yang pertama adalah jalur sensoris-diskriminatif,
yang bersambung dengan korteks somatosensoris serebri melalui
thalamus ventroposterior. Jalur ini memungkinkan penentuan tempat
nyeri. Kedua, jalur asendens yang melibatkan informasi retikuler
melalui sistem thalamus dan limbus medial. Jalur ini berurusan
dengan rasa tidak enak, penolakan (aversif) dan aspek emosional
dari nyeri. Jalur desendens, selain berpengaruh pada gerbang tanduk
dorsal, dapat juga berinteraksi dengan kedua sistem asendens ini.

Didapat banyak asosiasi antara rasa nyeri dan depresi.


Penderita depresi sering mengeluh adanya rasa nyeri dan sebagian
besar penderita nyeri kronik menjadi depresif. Terkadang didapatkan
kesulitan menemukan penyebab yang primer (seperti masalah nyeri
atau masalah depresinya) dan dalam menentukan faktor psikologis
yang mengeksaserbasi rasa nyeri. Hal ini mempunyai implikasi
terapeutik dan memberi dasar rasional terhadap penggunaan obat
yang meringankan atau menghilangkan kecemasan. Sering hal ini
sama efektifnya dengan analgetik dalam menanggulangi rasa nyeri.

4. Klasifikasi Nyeri

Berdasarkan lama dan durasinya, nyeri terdiri dari:

a. Nyeri akut
Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cedera, atau
intervensi bedah dan awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi
dari berat sampai ringan. Fungsi nyeri ini adalah sebagai pemberi
peringatan akan terjadinya cedera atau penyakit yang akan datang.

13
Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis,
setelah keadaan pulih pada area yang rusak. Apabila nyeri akut ini
muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif dan melakukan
tindakan cepat untuk segera menghilangkan nyeri (Smeltzer & Bare,
2008). Berdasarkan durasi dan intensitasnya, nyeri pasca operasi
termasuk nyeri akut (Andres, 2005).

b. Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas
bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri ini
disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan
kanker tersebut atau karena gangguan progresif lain. Nyeri dapat
berlangsung terus menerus sampai kematian (White, 2001).
Pada nyeri kronis, tindakan perawat tidak seagresif seperti yang
dilakukan pada nyeri akut. Klien yang mengalami nyeri kronis akan
mengalami remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan
eksaserbasi yakni, meningkatnya keparahan (Smeltzer & Bare, 2008).

c. Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa besar nyeri
dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif
dan individual. Kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama
dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda (Smeltzer &
Bare, 2008). Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mungkin adalah menggunakan respon fisiologis tubuh terhadap nyeri
itu sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat
memberikan gambaran pasti tentang nyeri yang dialami (Tamsuri,
2007).
Menurut Smeltzer dan Bare (2008) ada 3 skala intensitas nyeri,
yakni sebagai berikut:
1) Skala intensitas nyeri deskriftif

14
2) Skala intensitas nyeri numerik
3) Skala analog visual
Ketiga bentuk skala pengukuran ini mempunyai fungsi yang
sama, yakni untuk mengetahui seberapa besar nyeri yang dirasakan
pasien. Penggunaan Skala Analog Visual (VAS) sering dimodifikasi
bersamaan dengan skala intensitas nyeri numerik. Pengukuran dengan
skala nyeri dapat langsung menilai respon perilaku pasien terhadap
nyeri, yakni dengan keterangan, 0: tidak ada nyeri, 1-3: nyeri ringan
(klien dapat berkomunikasi dengan baik), 4-6: nyeri sedang (klien
mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri,
mendeskripsikannya, dan mengikuti perintah dengan baik), 7-9: nyeri
berat (klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih
berespon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak
dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi, nafas
panjang dan distraksi). 10: Nyeri sangat berat (pasien sudah tidak
mampu lagi berkomunikasi). Dalam pelaksanaannya, pasien diminta
menunjukkan pada rentang mana ia merasakan nyeri (Smeltzer & Bare,
2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Li, Liu dan Herr (2007)
pada 173 orang dewasa di China, dari ketiga bentuk skala intensitas
nyeri tersebut, skala intensitas nyeri numerik merupakan yang paling
banyak digunakan untuk mengukur intensitas nyeri.

Skala Intensitas Nyeri Numerik 0-10*

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri


Tidak

ringan berat sangat


Ada sedang
berat
nyeri
Sumber: AHCPR (Agency for Health Care Policy and Research. Acute Pain
Management: Operative or Medical Procedures and Trauma. Clinical Practice

15
Guideline. Rockville, MD; AHCPR, Public Health Service, U.S. Department of
Health and Human Services, Feb 1992, dalam Smeltzer & Bare, 2002).

d. Penatalaksanaan nyeri
1) Farmakologis
Beberapa agen farmakologis digunakan untuk menangani
nyeri dan disesuaikan dengan resep dokter. Pada pasien pasca
operasi, pemberian analgesik biasanya dianjurkan. Pada nyeri
akut dan pasien pasca operasi, dilakukan pemberian analgesik
non-narkotik. Diantara jenis analgesik non-narkotik yang sering
digunakan adalah acetaminophen, nonsteroid anti-inflamatory
drugs (NSAIDs) dan salicylates (Moreau, 2003).
Pemberian analgesik pada pasien pasca operasi dilakukan
untuk membantu mengurangi nyeri yang dirasakan setelah
melewati prosedur pembedahan. Pada umumnya, pasien diberi
obat-obatan analgesik melalui injeksi segera setelah efek anastesi
hilang. Analgesik yang sering digunakan seperti NSAIDs,
mempunyai efek selama lebih kurang 6-8 jam terhadap nyeri yang
dirasakan. Pasien akan kembali merasakan nyeri setelah efek dari
obat-obatan analgesik tersebut hilang, sehingga perlu diberikan
kembali 8 jam kemudian. Namun, pemberian analgesik secara
injeksi ini tidak boleh dilakukan lebih dari 5 hari pasca operasi
(Mortan, Fontaine, Hudak & Gallo, 2005).

2) Nonfarmakologis
Pengobatan nonfarmakologis digunakan untuk mengurangi
nyeri sehingga pengobatan farmakologis menjadi tidak diperlukan
atau ditunda. Pengobatan non farmakologis juga dapat berfungsi
sebagai komplemen jika pengobatan farmakologis seperti
penggunaan analgesik pada pasien pasca operasi tidak dapat
dihentikan untuk mendapatkan efek pengobatan yang lebih baik.

16
Selain itu pengobatan nonfarmakologis tidak memiliki efek
samping yang membahayakan kesehatan (Potter & Perry, 2006).
Penatalaksanaan nonfarmakologis terhadap nyeri dilakukan
berdasarkan stimulasi fisik maupun perilaku kognitif. Penanganan
fisik meliputi stimulasi elektrik saraf kulit transkutan
(Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation, TENS), akupresur,
dan pemberian massase. Intervensi perilaku kognitif meliputi
tindakan distraksi, teknik relaksasi, imajinasi terbimbing, umpan
balik biologis, hipnosis, dan sentuhan terapeutik (Kozier, Erb,
Berman & Snyder, 2004).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi
nafas dalam sangat efektif dalam menurunkan nyeri pasca operasi
(Sehono, 2010). Relaksasi adalah sebuah keadaan dimana
seseorang terbebas dari tekanan dan kecemasan atau kembalinya
keseimbangan (equilibrium) setelah terjadinya gangguan.Tujuan
dari teknik relaksasi adalah mencapai keadaan relaksasi
menyeluruh, mencakup keadaan relaksasi secara fisiologis, secara
kognitif, dan secara behavioral. Secara fisiologis, keadaan relaksasi
ditandai dengan penurunan kadar epinefrin dan non epinefrin
dalam darah, penurunan frekuensi denyut jantung (sampai
mencapai 24 kali per menit), penurunan tekanan darah, penurunan
frekuensi nafas (sampai 4-6 kali per menit), penurunan ketegangan
otot, metabolisme menurun, vasodilatasi dan peningkatan
temperatur pada extermitas (Rahmayati, 2010).

Teknik relaksasi nafas dalam akan lebih efektif bila


dikombinasikan dengan aroma terapi lavender. Aromaterapi adalah
terapi komplementer dalam praktek keperawatan dan
menggunakan minyak esensial dari bau harum tumbuhan untuk
mengurangi masalah kesehatan dan memperbaiki kualitas hidup.
Sharma (2009) mengatakan bahwa bau berpengaruh secara

17
langsung terhadap otak seperti obat analgesik. Misalnya, mencium
lavender maka akan meningkatkan gelombang-gelombang alfa
didalam otak dan membantu untuk merasa rileks.

B. Terapi Aroma
1. Definisi
Terapi aroma adalah terapi yang menggunakan essensial oil atau
sari minyak murni untuk membantu memperbaiki atau menjaga
kesehatan, membangkitkan semangat, menyegarkan serta
membangkitkan jiwa raga. Essential oil yang digunakan disini
merupakan cairan hasil sulingan dari berbagai jenis bunga, akar, pohon,
biji, getah, daun dan rempah-rempah yang memiliki khasiat untuk
mengobati (Hutasoit, 2002).
Terapi aroma merupakan tindakan teraupetik dengan
menggunakan minyak essensial yang bermanfaat untuk meningkatkan
keadaan fisik dan psikologi sehingga menjadi lebih baik (Mackinnon,
2004). Terapi aroma mempunyai efek positif karena diketahui bahwa
aroma yang segar, harum merangsang sensori, reseptor dan pada
akhirnya mempengaruhi organ yang lainnya sehingga dapat
menimbulkan efek kuat terhadap emosi. Aroma ditangkap oleh reseptor
di hidung yang kemudian memberikan informasi lebih jauh ke area di
otak yang mengontrol emosi dan memori memberikan informasi juga
ke hipotalamus yang merupakan pengatur sistem internal tubuh,
termasuk sistem seksualitas, suhu tubuh, dan reaksi terhadap stress
(Shinobi, 2008).
2. Jenis terapi aroma dan manfaatnya
Terapi aroma mempunyai beberapa keuntungan sebagai
tindakan supportif. Menurut Maifrisco (2005), terdapat beberapa
keuntungan dari penggunaan terapi aroma berdasarkan jenisnya,
misalnya Rosemary dapat bermanfaat untuk meningkatkan
kewaspadaan, meningkatkan daya ingat. Lemon merupakan aroma yang

18
digunakan untuk menenangkan suasana.
Lavender merupakan bunga yang berwarna lembayung muda,
memiliki bau yang khas dan lembut sehingga dapat membuat
seseorang menjadi rileks ketika menghirup aroma lavender. Lavender
banyak dibudidayakan di berbagai penjuru dunia. Sari minyak bunga
lavender diambil dari bagian pucuk bunganya (Hutasoit, 2002).
Minyak lavender diperoleh dengan cara distilasi bunga. Komponen
kimia utama yang dikandungnya adalah linail asetat, linalool. Minyak
lavender digunakan secara luas dalam terapi aroma. Aroma lavender
dapat meningkatkan gelombang-gelombang alfa di dalam otak dan
gelombang inilah yang membantu untuk menciptakan keadaan yang
rileks (Maifrisco, 2005).
Hale (2008), mengungkapkan lavender mempunyai banyak
manfaat yaitu sebagai pencegah infeksi, menunjukkan efek sebagai
antisepsis, antibiotik dan anti jamur. Department of Health (2007)
mengungkapkan bahwa lavender yang digunakan melalui inhalasi
dapat bermanfaat untuk mengurangi kecemasan. Lavender dapat
memberikan ketenangan, keseimbangan, rasa nyaman, rasa
keterbukaan dan keyakinan. Disamping itu lavender juga dapat
mengurangi rasa tertekan, stress, rasa sakit, emosi yang tidak
seimbang, histeria, rasa frustasi dan kepanikan. Lavender dapat
bermanfaat untuk mengurangi rasa nyeri, dan dapat memberikan
relaksasi (Woodcock, 2008).
Begitu banyak manfaat dari aroma lavender, maka dari itu
dalam penelitian ini menggunakan aroma lavender. Selain memiliki
banyak manfaat, lavender paling sering digunakan sebagai aroma
terapi dan merupakan jenis minyak yang dapat digunakan tanpa harus
dicampur terlebihh dahulu.

19
Gambar 4. Aroma lavender

3. Cara penggunaan terapi aroma


Terapi aroma dapat digunakan melalui berbagai cara, salah
satunya melalui inhalasi. Inhalasi merupakan salah satu cara yang
harus diperkenalkan dalam penggunaan metode terapi aroma yang
paling simpel dan cepat. Inhalasi juga merupakan metode yang
paling tua dalam penggunaan terapi aroma. Minyak aroma masuk
dari luar ke dalam tubuh dengan satu tahap dengan mudah,
melewati paru-paru dialirkan ke pembuluh darah melalui alveoli
(Buckle, 2003).
Hidung mempunyai dua fungsi yang jelas yaitu sebagai
penghangat dan penyaring udara yang masuk, dimana merupakan
salah satu bagian dari sistem olfactory. Inhalasi sama dengan
penciuman, dimana dapat dengan mudah merangsang olfactory
setiap kali bernapas dan tidak akan mengganggu pernapasan
normal apabila mencium bau yang berbeda dari minyak essensial
(Alexander, 2004). Bagaimanapun aroma dapat memberikan efek
yang cepat dan kadang hanya dengan memikirkan baunya dapat
memberikan bau yang nyata. Bau dapat memberikan efek terhadap
fisik dan psikologi (Buckle, 2003). Cara inhalasi biasanya
diperuntukkan untuk seorang pasien, yaitu dengan menggunakan
cara inhalasi langsung, tetapi cara inhalasi dapat juga digunakan
secara bersamaan misalkan didalam satu ruangan. Metode tersebut
disebut inhalasi tidak langsung.

20
C. Sectio Caesarea
1. Definisi Sectio caesarea

Sectio caesarea adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi


dengan berat diatas 500 gr, melalui sayatan pada dinding uterus yang
masih utuh (intact) (Abdul, 2008). Menurut Pilliteri (2007), sectio
caesarea adalah persalinan melalui insisi abdominal dan uterus dengan
prosedur pembedahan, tindakan dilakukan jika persalinan pervaginam
tidak bisa dilakukan.

2. Indikasi sectio sesarea


Indikasi sectio caesarea dari faktor ibu adalah ibu dengan
penyakit herpes genital atau papiloma, positif menderita HIV-AIDS,
disproporsi kepala panggul, servik kaku atau tidak membuka, hipertensi
dalam kehamilan, pre eklamsi, indikasi atau tindakan tanpa kemajuan
persalinan, obstruksi tumor benigna atau maligna dan sebelumnya
dilakukan operasi sesarea. Faktor plasenta juga mempengaruhi
diantaranya adalah plasenta previa, solusio plasenta dan prolaps tali
pusat. Faktor lainnya adalah janin meliputi kondisi fetus besar, fetal
distress (gawat janin), anomali mayor fetal, multi gestasi atau kembar
siam dan presentasi abnormal.
3. Jenis Seksio sesarea

Menurut Mochtar (2005), sectio caesarea dapat dibedakan


menjadi 4 jenis yaitu:
a. Jenis klasik yaitu dengan melakukan sayatan vertikal sehingga
memungkinkan ruangan yang lebih besar untuk jalan keluar bayi.
Jenis ini sudah sangat jarang dilakukan hari ini karena sangat
beresiko terhadap terjadinya komplikasi.
b. Sayatan mendatar di bagian atas dari kandung kemih sangat umum
dilakukan pada masa sekarang ini. Metode ini meminimalkan resiko
terjadinya pendarahan dan cepat penyembuhannya.

21
c. Histerektomi caesar yaitu bedah caesar diikuti dengan pengangkatan
rahim. Hal ini dilakukan dalam kasus-kasus dimana pendarahan yang
sulit tertangani atau ketika plasenta tidak dapat dipisahkan dari
rahim.

Menurut Read,(2007) mengatakan pelaksanaan persalinan


sectio caesarea ada 2 yaitu, sectio caesarea terencana (elektif) dan
sectio caesarea cyto (emergency). Sectio caesarea terencana adalah
tindakan sectio caesarea yang telah direncanakan dan dipersiapkan
dengan teliti sebelum periode melahirkan, seperti pada kasus
panggul sempit, presentasi lintang, herpes genitalia, dan plasenta
previa totalis. Sectio sesarea darurat adalah tindakan yang dilakukan
dengan persiapan, informed consent dan support yang sangat cepat
dilakukan untuk upaya penyelamatan ibu dan bayi (Pileteri, 2008).
Sectio sesarea emergency dilakukan pada plasenta previa dengan
perdarahan yang mengancam, solusio plasenta, fetal distress dan
persalinan tak maju. Resiko tindakan emergency section caesarea
meningkatkan resiko bedah secara umum, dimana ibu tidak siap
secara psikologis menghadapinya.

D. Anestesi
1. Jenis Anestesi
Ada beberapa anestesi atau penghilang rasa sakit yang bisa
dipilih untuk operasi sesarea, baik spinal maupun general. Pada
anestesi spinal atau epidural yang lebih umum digunakan, sang ibu
tetap sadar kala operasi. Anestesi general bekerja secara jau lebih cepat,
dan mungkin diberikan jika diperlukan proses persalinan yang cepat
(Gallagher,2004).
2. Anestesi general
Anestesi general biasanya diberikan jika anestesi spinal atau
epidural tidak mungkin diberikan, baik karena alasan teknis maupun

22
karena dianggap tidak aman. Pada prosedur pemberian anestesi ini akan
menghirup oksigen melalui masker wajah selama tiga sampai empat
menit sebelum obat diberikan melalui penetesan intravena. Dalam
waktu 20 sampai 30 detik, maka pasien akan terlelap. Saat pasien tidak
sadar, akan disisipkan sebuah selang ke dalam tenggorokkan pasien
untuk membantu pasien bernafas dan mencegah muntah. Jika
digunakan anestesi total, pasien akan dimonitor secara konstan oleh
seorang ahli anestesi. Dan biasanya pasangan tidak boleh mendampingi
pasien kala persalinan dengan anestesi general.
3. Anestesi spinal
Dalam operasi caesarea elektif, pasien diberi penawaran untuk
menggunakan spinal anestesi. Kedua pilihan itu dapat membuat
pertengahan ke bawah tubuh pasien mati rasa, tetapi pasien akan tetap
terjaga dan menyadari apa yang sedang terjadi. Hal ini berarti pasien
bisa merasakan kelahiran bayi tanpa merasakan sakit, dan pasangan
juga bisa mendampingi untuk memberikan dorongan dan semangat.
4. Mobilisasi
Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan bebas dan merupakan faktor yang menonjol dalam
mempercepat pemuihan pasca bedah; mobilisasi dini merupakan suatu
aspek yang terpenting pada fungsi fisiologis karena hal itu esensial
untuk mempertahankan kemandirian. Dengan demikian mobilisasi dini
adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin
dengan cara membimbing penderita untuk mempertahankan fungsi
fisiologi (Carpenito, 2000).
Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk berjalan,
bangkit, berdiri dan kembali ketempat tidur, kursi, kloset, duduk dan
sebagainya. Mobilisasi dini adalah pergerakan yang dilakukan sedini
mungkin di tempat tidur dengan melatih bagian – bagian tubuh untuk
melakukan peregangan atau belajar berjalan (Soelaiman, 2000).
Mobilisasi dini dapat dilakukan pada kondisi pasien yang membaik.

23
Pada pasien post operasi seksio sesarea 6 jam pertama dianjurkan untuk
segera menggerakkan anggota tubuhnya. Gerak tubuh yang bisa
dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, kaki dan jari – jarinya
agar kerja organ pencernaan segera kembali normal ( Kasdu, 2003).
Konsep mobilisasi mula – mula berasal dari ambulasi dini yang
merupakan pengembalian secara berangsur – angsur ke tahap mobilisasi
sebelumnya untuk mecegah komplikasi (Ancheta, R.,S, 2005).

24

Anda mungkin juga menyukai