Anda di halaman 1dari 6

Discounted Cash Flow adalah metode perhitungan nilai wajar yang di hitung

berdasarkan konsep bahwa nilai suatu bisnis berasal dari jumlah cash flow
(arus uang) yang di dapat selama masa hidup bisnis tersebut dan di
diskontokan kembali terhadap ke nilai uang sekarang. DCF juga merupakan
salah satu model valuasi yang paling populer dikalangan investor.

Model valuasi DCF sangat cocok bila dipakai untuk menghitung nilai wajar
suatu perusahaan yang pemasukan laba/cash flow-nya stabil, sehingga
kestabilan pemasukan dan pertumbuhannya menjadi lebih bisa diprediksi
(baca: diperhitungkan).

Berdasarkan definisi Discounted Cash Flow yang telah kita bahas diatas,
model valuasi DCF bisa di hitung dengan logika di bawah ini:

1. Tentukan cash flow (CF) awal

Cash flow sekarang. Besaran cash flow bisa di temukan di laporan keuangan
(LK). Ada beberapa pilihan yang bisa digunakan, bisa menggunakan FCF (Free
Cash Flow = Operating Cash Flow – Capital expenditures), OCF (Operating
Cash Flow), ataupun Net Income. Yang lebih populer adalah menggunakan
FCF. Namun saya sendiri lebih suka menggunakan net income untuk
perusahaan dalam bisnis finansial, dan OCF untuk jenis perusahaan bisnis
lainnya.

2. Menghitung future value per tahun selama masa hidup bisnis

Biasanya saya menggunakan jangka waktu 10 tahun untuk perhitungan DCF.


Future Value per tahun selama beberapa tahun kedepan dapat di hitung dengan
cara:

Dimana,

Cash flow year 0: Cash flow awal

n: Tahun ke-n. n mulai dari 1 sampai n-max. n-max adalah jumlah tahun bisnis
bisa bertahan (jadi kalau asumsinya bisa bertahan 10 tahun maka, n=1~10)

Growth rate: Rata-rata pertumbuhan cash flow per tahun selama n tahun
Future value at year n: Nilai cash flow pada tahun ke-n

3. Menghitung present value dari setiap future value yang telah di hitung di
step#2

Dimana,

n: Tahun ke-n. n mulai dari 1 sampai n-max. n-max adalah jumlah tahun bisnis
bisa bertahan (jadi kalau asumsinya bisa bertahan 10 tahun maka, n=1~10)

Future value at year n: Future value (nilai uang di masa depan) untuk cash flow
di tahun pada tahun ke-n

Discount rate: Nilai pengembalian modal (return) yang anda harapkan bisa
didapat dalam jangka panjang. Biasanya merupakan risk free rate seperti
goverment bond rate (suku bunga surat utang negara). Saya menggunakan
return 10 yr goverment bond + 2%. Untuk 10 yr government bond bisa
dilihat disini.

Present value from year n: Present value (nilai uang sekarang) dari cash flow
tahun ke-n

4. Menghitung jumlah total dari semua present value yang di hitung di step#3

Dimana,

PV#1: Present value tahun ke 1

PV#2: Present value tahun ke 2

PV#n: Present value tahun ke n

CF Present value (PV): Total present value dari seluruh cash flow yang bisa di
hasilkan suatu bisnis selama masa hidupnya

5. Menghitung nilai wajar


Bila anda ingin menghitung nilai wajar per lembar saham, maka bisa di hitung
dengan:

Book value: nilai aset yang diterima investor apabila aset perusahaan
dilikuidasi. Biar gampang, biasanya hanya saya menggunakan total equity yang
ada dalam laporan keuangan.

CF Present value (PV): Total present value dari seluruh cash flow yang bisa di
hasilkan suatu bisnis selama masa hidupnya.

Nilai wajar: nilai keseluruhan suatu bisnis

Kemudian nilai wajar per lembar saham, maka bisa di hitung dengan:

Saya tidak memasukkan perhitungan nilai wajar per lembar saham ke dalam 5
step diatas dengan tujuan untuk membiasakan diri melihat perusahaan sebagai
satu kesatuan bukan sebagai lembaran saham. Latihan kebiasaan ini
sebenarnya terinspirasi dari salah satu lecture Li Lu di Columbia University
(video dan transkrip) , yang selalu melihat nilai bisnis secara keseluruhan
bukan per lembar saham.

Dengan kelima logika diatas perhitungan DCF sebetulnya tidak perlu dihafal.
Dengan demikian kita baru bisa lebih mengenal/mengerti bagaimana sifat dari
model valuasi ini.

Sebagai contoh perhitungan DCF, saya akan menggunakan laporan keuangan


tahunan (LKT) PT. Betonjaya Manunggal Tbk (BTON) tahun 2013
(LKT_Aset1, LKT_Aset2, LKT_Income, LKT_Cashflow) dan mencoba
menghitung nilai wajarnya.
Demikianlah pembahasan mengenai discounted cash flow (DCF). Semoga
model valuasi DCF ini berguna dalam analisa portofolio investasi anda. Sampai
jumpa dalam artikel berikutnya.
Capital Asset Pricing Model (CAPM) merupakan model untuk menentukan harga
suatu asset. Model ini mendasarkan diri pada kondisi ekuilibrium. Dalam keadaan
ekuilibrium tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemodal untuk suatu saham
akan dipengaruhi oleh risiko tersebut.

Systematic Risk
Systematic risk, atau biasa juga disebut dengan market risk atau undiversifiable risk adalah
faktor risiko yang mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Jadi, pergerakan harga saham
tertentu akan dipengaruhi oleh pergerakan bursa saham secara keseluruhan.

Contoh dari systematic risk diantaranya adalah perubahan tingkat suku bunga, perubahan
regulasi, perubahan kondisi perekonomian, dan lainnya. Misalnya kondisi politik Indonesia yang
kurang stabil meningkatkan systematic risk. Kemudian baru-baru ini, berita bahwa Sri Mulyani
bakal mundur dari posisi Menkeu juga dipandang sebagai faktor yang dapat meningkatkan risiko
ini.

Systematic risk tidak dapat dikontrol oleh investor, serta tidak dapat dimitigasi pula melalui
diversifikasi. Risiko ini dapat diukur melalui besaran beta, yakni ukuran statistik yang mengukur
dampak pergerakan pasar secara historis terhadap harga saham. Dengan meregresikan return
saham terhadap return pasar, maka besaran beta dapat diperoleh. Risiko ini tidak dapat
dihindari, namun pasar memberikan kompensasi yang lebih pula bagi investor yang bersedia
untuk mengambil risiko ini. Menurut Capital Asset Pricing Model (CAPM), semakin besar
systematic risk (beta), maka tingkat expected return juga semakin besar.

Semakin tinggi beta, maka saham semakin sensitif terhadap pergerakan pasar. Contoh saham
dengan beta tinggi adalah saham BUMI, yang mempunyai beta sebesar 1.65. Artinya, saham ini
sangat sensitif terhadap pergerakan pasar. Jika naik, maka kenaikannya bisa lebih tinggi, dan
jika turun maka pelemahannya pun bisa lebih tajam.

Namun ingat, systematic risk ini berbeda dengan systemic risk, yang sedang ramai
diperbincangkan belakangan ini. Systemic risk merupakan risiko atau event yang dapat
mengakibatkan sistem finansial jatuh secara keseluruhan.

Unsystematic Risk
Sementara itu, unsystematic risk, atau sering disebut juga specific risk, adalah risiko bahwa event
tertentu yang terjadi pada perusahaan atau industrinya yang kemudian mempengaruhi harga
saham perusahaan tersebut.
Jadi, ketika Anda membeli saham suatu perusahaan, tentunya Anda mengharapkan imbal hasil
yang bagus atas investasi Anda tersebut. Namun, kinerja perusahaan sendiri bisa bagus, bisa juga
jelek, disebabkan oleh faktor-faktor spesifik tertentu. Ini adalah yang dimaksud dengan
unsystematic (specific risk).

Unsystematic risk sangat terkait dengan kondisi industri maupun keputusan manajemen.
Contohnya adalah strategi pemasaran, keputusan manajemen untuk menambah utang, pesaing
menurunkan harga, keputusan pricing, lini produk dan lainnya.
Baru-baru ini misalnya, BTPN menambah nilai obligasi yang akan diterbitkannya, dari Rp 750
miliar menjadi Rp 1,3 triliun. Ini berarti menambah utang, yang berarti meningkatkan
unsystematic risk dari BTPN. Contohnya lagi adalah harga batubara yang diprediksikan turun
tahun ini, sehingga meningkatkan unsystematic risk bagi perusahaan-perusahaan batubara
seperti BUMI, PTBA dan Adaro.

Unsystematic risk, berbeda dengan systematic risk, dapat dikontrol dengan beberapa strategi.

Pertama, unsystematic risk dapat diminimalisir dengan cara melakukan diversifikasi portfolio.
Lalu berapa saham dalam portfolio yang harus Anda miliki untuk menghilangkan risiko ini?
Pertama-tama, Anda harus memahami dulu konsep diversifikasi ini. Seandainya Anda hanya
mempunyai saham BUMI dan PTBA saat ini, berarti Anda terekspos pada unsystematic risk,
karena kedua saham tersebut berada dalam satu industri. Jika harga batubara turun, maka
tentunya harga kedua saham tersebut bakal turun.

Artinya, untuk membentuk suatu portfolio saham yang baik Anda harus mengisinya dengan
saham-saham yang menghasilkan korelasi kecil. Semakin kecil korelasinya, maka semakin baik,
karena berarti return saham tidak bergerak secara bersama-sama. Jika korelasi semakin kecil,
maka standar deviasi dari portfolio juga semakin kecil.

Selain itu, dalam mengisi portfolio Anda tentunya jangan memilih dengan random, melainkan
telah meriset perusahaan-perusahaan tersebut terlebih dahulu. Seleksi kinerja dan prospeknya,
dan ambil keputusan investasi berdasarkan kriteria yang telah Anda buat.

Kemudian, unysystematic risk juga dapat Anda minimalisir dengan cara berinvestasi dalam
jangka panjang. Dalam jangka pendek, saham lebih terekspos terhadap fluktuasi, dibandingkan
dalam jangka panjang. Dengan investasi dalam jangka panjang, diharapkan saham nilainya akan
semakin tinggi, seiring dengan kinerja perusahaan yang membaik. Memang tidak ada jaminan
bahwa kinerja di masa depan pasti lebih baik, namun dengan berinvestasi secara jangka panjang,
Anda dapat meminimalisir risiko fluktuasi pasar dalam jangka pendek.

Demikian adalah sekilas pengenalan mengenai systematic dan unsystematic risk dalam saham.
Analisa risiko-risiko yang Anda hadapi dengan baik. Selamat berinvestasi!

Teori Efficient Market Hypothesis menyatakan bahwa harga saham yang


terbentuk merupakan refleksi dari seluruh informasi yang ada, baik fundamental
ditambah insider information. Statman (1998, p.18) menyatakan bahwa investor
tidak dapat mengalahkan return pasar secara sistematis dan harga saham adalah
rasional.

Anda mungkin juga menyukai