Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PEMBAHASAN

Sebelum kedatangan Belanda hukum yang berlaku di Aceh menurut masyarakat Aceh
adalah hukum yang bersumber atau paling kurang “hukum adat” yang telah disesuaikan
dengan Syari’at Islam. Tetapi setelah Belanda menaklukan Aceh kesempatan ini dibatasi,
bahkan untuk bidang tertentu (terutama bidang perdagangan dan pidana) dihalangi dan
dihapuskan secara tegas. Sejak saat itu rakyat Aceh dan pemimpinya terus berjuang untuk
dapat melaksanakan kembali Syari’at Islam secara kaffahseperti pra penjajahan Belanda.

Keinginan tersebut baru terlaksana sekarang pada awal abad ke 21 Masehi. Dengan
demikian sudah lebih satu abad berbagai bagian Syari’at Islam atau setidaknya berbagai
hukum adat yang telah menyatu dengan Syari’at Islam terdelate dari tengah msyarakat, dan
inilah salah satu hambatan pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh.

Para penceramah sangat sering menyebut dan mengenang masa lalu –masa kesultanan-
sebagai masa kegemilangan, ketentraman dan kedamaian, saat orang Aceh hidup di bawah
naungan Syari’at Islam, uraian dan untaian-untaianstatment ini lebih merupakan kenangan
romastis apologis dari sebuah kenyataan atau rekontruksi atas fakta yang secara historis dapat
dipertanggung jawabkan.

Ceramah dan statement-statement apologis ini sampai batas tertentu tidak mampu
memberikan pencerahan, tetapi hanya sekedar menyentuh atau menggugah sentimen dan
emosi masyarakat. Demikian juga ceramah-ceramah dan peryataan ini tidak mampu menjadi
input pengetahuan atau membuka wawasan masyarakat tentang bagaimana Syari’at Islam
yang dahulu dipraktekan dan dilaksanakan di Aceh; dan karena itu tidak mampu pula
menjelaskan bagaimana kira-kira keadaan Syari’at Islam yang nanti akan berlaku di tengah
masyarakat; dan bagaimana pula kira-kira keadaan masyarakat Aceh di masa akan datang
setelah melaksanakan Syari’at Islam secara baik dan kaffah.

Referensi yang sekarang kita miliki untuk menceritakan bagaimana keadaan masa lalu
pelaksanaan Syari’at Islam hanyalah bersumber dari beberapa buku fiqih yang menurut
catatan digunakan sebagai hukum positif di wilayah Kerajaan Aceh Darussalam, serta cerita
dari mulut ke mulut tentang beberapa kasus besar yang diputuskan di pengadilan, baik
pengadilan tingkat lanjut di ibu kota kesultanan Aceh Darussalam oleh Qadhi Malikul Adil
atau oleh sultan sendiri.

1
Cerita-cerita sejarah seperti yang telah penulis ceritakan di atas sangat sedikit yang
dapat dipertanggung jawabkan secara historis. Bahan tertulis tentang susunan peradilan dan
tata cara beracara di depan mahkamah di masa kesultanan dahulu relatif sangat sedikit,
sehingga timbul persepsi tidak layak untuk digunakan sebagai referensi dalam menjelaskan
persoalan tersebut Adapun Kendala Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Aceh ialah:

1. Keadaan ini untuk sebagian masyarakat menimbulkan persepsi yang salah tentang
Syari’at Islam, Gubernur Aceh mengatakan, tantangan dan hambatan tersebut
harus dihadapi. Namun, pemerintah tidak bisa sendiri menghadapinya. Karena itu,
dibutuhkan dukungan seluruh elemen masyarakat. Ia menyebutkan, hambatan
yang dihadapi dalam penerapan syariat Islam di antaranya pemahaman dan
persepsi yang salah dari masyarakat luar Aceh mengenai syariat Islam."Karena
itu, kami berharap peran aktif dai yang tergabung dalam Dewan Dakwah
Indonesia meluruskan pemahaman keliru tersebut agar masyarakat luar daerah
tidak salah dalam memandang Aceh," kata dia. Selain itu, kata Gubernur,
Pemerintah Aceh terus berupaya memberi penguatan terhadap pelaksanaan syariat
Islam. Dengan penguatan ini diharapkan semua tatanan kehidupan dan jalannya
pemerintahan di Aceh berdasarkan tuntunan syariat Islam. "Karena itu, diperlukan
keterlibatan dan partisipasi seluruh elemen masyarakat, termasuk para ulama dan
dai yang tergabung dalam Dewan Dakwah Indonesia," kata Gubernur. Ia
menyebutkan, Pemerintah Aceh saat ini sedang merampungkan "grand design"
penerapan syariat Islam. "'Grand design" tersebut diharapkan dapat mewujudkan
seluruh aspek tatanan pemerintahan dan kemasyarakatan bernafaskan syariat
Islam," kata Zaini. 1

karena boleh jadi sesuatu yang sebetulnya tidak islami dan tidak ada kaitannya
dengan Islam dikaitkan atau dilabelkan kepada Islam dengan alasan begitulah
praktek masa lalu. Adanya “pengadilan rakyat” pada akhir tahun 1999 sesaat
setelah undang-undang Nomor 44 tahun 1999 disahkan, merupakan salah satu
contoh tentang kekurangan pengetahuan dan kesalahan persepsi tentang
bagaimana Syari’at Islam dilaksanakan di masa dahulu. Waktu itu banyak

1 https://news.okezone.com/read/2016/06/01/340/1402995/penerapan-hukum-islam-di-aceh-punya-banyak-
tantangan

2
komentar dan pendapat tanpa alasan dan bukti memadai yang mengatakan bahwa
“pengadilan rakyat” yang digelar di berbagai tempat tersebut adalah model
atau plagiat atas pelaksanaan Syari’at Islam di masa dahulu. Walaupun pendapat
yang membantah dan tidak setuju dengan cara tersebut juga cukup banyak bahkan
lebih dominan dari pendapat pertama, tetapi pendapat ini tidak mampu
menghalangi keinginan segelintir orang yang ingin memaksakan kehendak tanpa
mau bertanya kepada mereka yang dianggap pakar dan kompeten untuk
melaksanakan aspek atau bagian-bagian dari Syari’at Islam.

2. Belum ada daerah atau masyarakat yang telah berhasil melaksanakan Syari’at
Islam yang dapat dijadikan model atau contoh dalam upaya pelaksanaan Syari’at
Islam di Aceh. Syari’at Islam yang diterapkan di sesuatu tempat pasti merupakan
Syari’at Islam yang telah diinterpretasikan dan dikondifikasikan dengan
kebutuhan setempat. Karena itu walaupun Syari’at Islam pada hakikatnya adalah
satu, tetapi setelah diterapkan maka dia sampai batas tertentu akan saling berbeda
karena harus “disesuaikan” dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Negara-
negara yang sekarang telah melaksanakan Syari’at Islam (misalnya Arab Saudi,
Sudan, Iran, Pakistan dan Nigeria) pada umumnya mempunyai lingkungan dan
keadaan yang sampai batas tertentu berbeda dengan keadaan dan lingkungan yang
ada di Aceh. Masyarakat Aceh ingin melaksanakan Syari’at Islam yang sampai
batas tertentu “disesuaikan” dengan kebutuhan masyarakat Aceh, bukan Syari’at
Islam yang telah disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat Arab
Saudi, Sudan, Iran, Pakistan dan Nigeria. Jadi secara prinsip, esensi Syari’at Islam
yang dilaksanakan di Aceh akan Sama dengan apa yang diterapkan di belahan
dunia lain. Tetapi dalam hal detil rincian dan sistemnya, apa yang ada di Aceh
boleh jadi akan berbeda dengan apa yang dilaksanakan di belahan dunia dan
masyarakat lain.
3. Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh dibatasi harus dalam lingkup “sistem hukum
nasional” dan juga harus dalam lingkup “sistem peradilan nasional”2 Ketentuan
pembatasan ini memiliki point plus dan minus di dalam penerapan Syari’at Islam
di Aceh. Plus point nya sudah ada pagar dan acuan yang harus diikuti sehingga
para perancang dan stake holder tidak perlu lagi mencari-cari model atau

2 Al yasa Abubakar,dkk.2006. Hukum pidana islam di provinsi nangroe aceh darussalam,Banda Aceh; Dinas

Syariat Islam Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, hlm 18

3
sistematika. Materi yang ada dalam Syari’at Islam (baik yang terdapat di dalam
produk-produk mazhab fiqih maupun materi yang merupakan hasil ijtihad dan
pemikiran baru) tinggal dipilih dan dimasukan saja ke dalam “sistem hukum
nasional” dan “sistem peradilan nasional”.sebaliknya hal ini dapat menjadi
penghambat, karena pelaksanaan tersebut menjadikan Syari’at Islam harus
dikondifikasikan, tidak lagi absolute. Ada kemungkinan tidak bisa di rancang dan
dikembangkan menurut apa adannya, mengikuti alur dan keinginan yang didapat
dan dipahami dari kitab suci, hadits dan tulisan ulama klasik.
4. Kekeliruan pemahaman karena pengetahuan tentang Syri’at Islam yang relatif
tidak memadai di kalangan pemimpin, baik yang formal maupun yang informal,
yang bergerak dalam organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) dan juga partai
politik, termasuk para pemimpin dan stake holder di tingkat pemerintahan.
Pemahaman yang tidak sempurna ini telah menjadikan sebagian tokoh dam
pemimpin ini keliru memilih aspek Syari’at yang akan dijadikan prioritas utama.
Begitu juga menjadikan sebagian mereka “takut” atau paling kurang tidak serius
melaksanakan Syari’at Islam di tengah masyarakat dan kehidupan pribadinya.
Kekhawatiran dan ketakutan ini menjadi lebih akut karena keengganan
melaksanakan Syaria’at Islam bukan hanya karena tidak tahu, tetapi memang
karena adanya kekhawatiran yang lebih serius. Mereka khawatir kalau Syari’at
Islam berjalan dengan baik maka berbagai kemudahan dan kelapangan yang
selama ini dinikmati dan dianggap sebagai kewajaran, seperti perbuatan maksiat
bahkan manipulasi dan korupsi akan tertutup rapat, karena salah satu tujuan
pelaksanaan Syari’at Islam adalah terciptannyagood government. Hal ini terlihat
dari adanya nada atau statementsinis yang dilontarkan oleh sebagian tokoh dan
pemimpin, serta kenyataan tentang lambatnya pembentukan perangkat yang akan
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Syari’at Islam di tengah masyarakat.

Kekhawatiran yang lain, dengan pelaksanaan Syari’at Islam nanti praktek


memuaskan nafsu dan selera rendah yang sebelum ini legal, maka setelah
pelaksanaan Syari’at Islam nanti akan menjadi illegal. Untuk sebagian oknum
berarti menutup pintu rezeki dan fasilitas “yang menjanjikan” yang untuk
kalangan tertentu telah memberikan kemewahan dan prestise tersendiri.

4
5. Kekurangan tenaga ahli dan sumber daya manusia yang berkualitas, baik ditigkat
pemikir, akademisi ataupun yang bertindak sebagai praktisi Syari’at Islam. Ketika
ada tawaran untuk penulisan dan pembuatan qanun tertentu, maka beberapa pihak
yang dianggap capable dan memenuhi syarat untuk merancangnya, ketika diajak
untuk ambil bagian, mengajukan keberatan dengan alasan tidak mampu atau
pengetahuan mereka belum mumpuni3. Dalam hubungan ini para hakim, jaksa dan
polisi yang akan bertugas menegakkan Syari’at Islam tentu harus dibekali dan
dilatih terlebih dahulu, karena bagi sebagian besar mereka penegakkan Syari’at
Islam adalah barang baru yang sebelumnya relatif tidak diketahui apalagi
dilaksanakan.
6. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah perbedaan pemahaman di kalangan
sarjana dan ulama sendiri tentang makna dan cakupan Syari’at Islam yang akan
dijalankan, serta tangung jawab pelaksananya. Ada Syaria’at Islam yang
pelaksanaannya menjadi tugas pemerintah, ada yang menjadi tugas masyarakat
dan ada yang menjadi tugas masing-masing individu. Kalau hal ini tidak
dirumuskan dan dibedakan dengan jelas apalagi dicampur adukakan, pasti akan
menimbulkan kesulitan dan silang pendapat yang sukar diselesaikan. Akan
muncul kesulitan di dalam pelaksanaan karena hal yang sebetulnya bersifat
pribadiakan diurus oleh pemerintah, sehingga orang-orang akan merasa terus
diawasi dan kebebasan privasinya akan terkekang. Sebaliknya hal yang
seharusnya diurus oleh pemerintah akan diurus oleh individu-individu perorangan
sehingga tidak akan berjalan dengan baik, bahkan menjadi terbengkalai karena
tidak ada orang yang mempunyai wibawa dan kewenangan cukup untuk
mengerjakannya.

Dalam hubungan ini keterkaitan pelaksanaan Syari’at Islam dengan issu gender dan
issu perlindungan hak asasi manusia (HAM) perlu dirumuskan dengan baik dan jelas.
Menurut penulis adalah sebuah tugas berat untuk menjelaskan kepada semua pihak bahwa
pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh tidak akan menghilangkan suasana dan keadaan
demokratis, tidak akan menguranggi perlindungan HAM dan juga tidak akan menyebabkan
perempuan terdistriminasikan.

3 Al yasa Abu Bakar, 2008,Syariat Islam di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Banda Aceh: Dinas Syariat Islam

Nagroe Aceh Darussalam, halm 121

5
BAB III

Penutup

Sekirannya kesulitan-kesulitan di atas tidak ditangani secara respresif, kuat dugaan


akan menimbulkan keraguan, sikap pragmatis dan sinisme dikalangan tertentu, kesulitan yang
tidak akan habis-habisnya di tengah masyarakat dan bahkan mungkin penentangan yang
keras dari kalangan pengamat yang kritis, baik yang pro maupun yang kontra dengan Syari’at
Islam. Para ulama dan pemimpin baik yang formal maupun informal harus dapat
membuktikan dan meyakinkan semua pihak bahwa pelaksanaan Syari’at Islam adalah rahmat
untuk semua pihak. Dengan kata lain, pelaksanaan Syari’at Islam harus menjadikan
masyarakat lebih sejahtera berkeadilan dan berkualitas.Wallahu ‘alam bil haqiqah wa
shawab.

6
Daftar Pustaka

Abubakar Al yasa,dkk.2006. Hukum pidana islam di provinsi nangroe aceh


darussalam,Banda Aceh; Dinas Syariat Islam Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.

Abu Bakar Al yasa, 2008,Syariat Islam di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Banda Aceh:
Dinas Syariat Islam Nagroe Aceh Darussalam.

https://news.okezone.com/read/2016/06/01/340/1402995/penerapan-hukum-islam-di-aceh-
punya-banyak-tantangan di akses pada tanggal 25-10-2017

Anda mungkin juga menyukai