Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan
pemerintah dalam sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah
itu dalam tataran undang-undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-
undang (RUU) tentang Air Limbah Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet,
atau apapun nama lainnya akan terwadahi secara formal dalam sistem regulasi di Indonesia.
Di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 16/2008 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman tidak
disebutkan adanya istilah jamban. Namun di dalam Keputusan Menteri Permukiman dan
Prasarana Wilayah nomor 534/2001 tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal disebutkan
adanya sarana sanitasi individual dan komunal berupa jamban beserta MCK-nya. Lebih jauh
lagi di dalam Buku Panduan Penyehatan Lingkungan Permukiman untuk RPIJM 2007
disebutkan adanya pengumpulan data primer tentang jamban keluarga. Di dalam Petunjuk
Teknis Tata Cara Pembuatan Bangunan Jamban Keluarga dan Sekolah 1998 dari Departemen
Pekerjaan Umum, disebutkan bahwa jamban mencakup bangunan atas yang antara lain
terdiri: plat jongkok, leher angsa, lantai, dinding, dll, tetapi tidak termasuk bangunan
bawahnya.
Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 852/2008 tentang Strategi Nasional
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat disebutkan bahwa jamban sehat adalah fasilitas
pembuangan tinja yang efektif untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit. Di dalam
Keputusan Menteri Kesehatan nomor 715/2003 tentang Persyarakan Hygiene Sanitasi
Jasaboga disebutkan bahwa usaha jasaboga harus menyediakan WC Umum dengan fasilitas
jamban dan peturasan sesuai dengan jumlah karyawannya.
Cukup menarik karena disebutkan di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
nomor 24/2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah disebutkan adanya
fasilitas jamban yang harus disediakan sekolah sebagai tempat untuk buang air besar dan/atau
air kecil. Jamban harus mempunyai dinding, atap, dst yang disediakan untuk peserta didik
pria, wanita, dan guru. Lebih menarik lagi adalah Standar Toilet Umum Indonesia dari
Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2004 yang justru tidak menyebutkan
sama sekali istilah jamban dan menggantinya dengan ruang buang air besar (WC) dan ruang
buang air kecil (urinal). Toilet dalam hal ini mencakup pembuangan dan pengolahan
limbahnya, baik secara setempat (on-site) ataupun terpusat (off-site). Tidak kalah menariknya
adalah istilah tempat buang air besar (bukan jamban) yang digunakan oleh Badan Pusat
Statistik di dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) guna mendapatkan informasi
tentang kepemilikan dan kualitas fasilitas BAB tersebut.
Adanya ketidaksamaan istilah tentang jamban ini tentu saja tidak akan mengganggu
proses masyarakat untuk membuang hajatnya. Namun ketidak seragaman istilah ini sangat
menggambarkan ketidakseriusan penanganan sanitasi di lapangan. Buruknya pelayanan
publik tentang sanitasi ini dapat dilihat dari hasil SUSENAS itu sendiri. Kepemilikan tempat
buang air besar secara nasional menurut SUSENAS 2007 baru 59,86%. Dari 59,86% itupun
yang mempunya kloset tipe leher angsa-pun baru 71,5%. Di dalam laporan tersebut tidak
disebutkan bagaimana sebenarnya kualitas dari tempat buang air besar yang ada di lapangan.
Dari 59,86% itupun baru 49,13% yang memiliki tangki septik. Lagi-lagi tidak disebutkan
bagaimana pula sebenarnya kualitas dari tangki septik yang ada di lapangan. Apalagi menurut
Laporan Indonesian Sanitation Sector Development Program (ISSDP, 2004) disebutkan
bahwa masyarakat Indonesia yang masih melakukan buang air besar sembarangan masih
lebih dari 40%. PBB pun menyebutkan kalau masih ada lebih dari 2,6 milyar orang di dunia
yang tidak punya akses sanitasi yang memadai (PBB, 2004). Berbagai informasi ini tentu saja
menggambarkan bagaimana sebenarnya buruknya pelayanan publik untuk sanitasi. Untuk itu
tidak saja harus dibuat keseragaman pengertian tentang jamban atau apapun tentang
kesepakatan namanya, tetapi juga harus adanya sosialisasi dan kesepakatan yang jelas tentang
ini agar kerugian yang hingga Rp 56 trilyun/tahun karena sanitasi yang buruk ini dapat segera
diselesaikan.
Di Indonesia, penduduk pedesaan yang menggunakan air bersih baru mencapai
67,3%. Dari angka tersebut hanya separuhnya (51,4%) yang memenuhi syarat bakteriologis.
Sedangkan penduduk yang menggunakan jamban sehat (WC) hanya 54%. Itulah sebabnya
penyakit diare sebagai salah satu penyakit yang ditularkan melalui air masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat dengan angka kesakitan 374 per 1000 penduduk. Selain itu
diare merupakan penyebab kematian nomor 2 pada Balita dan nomor 3 bagi bayi serta nomor
5 bagi semua umur.

B. Tujuan Penulisan
1 Tujuan umum Untuk mengetahui asuhan keperawatan keluarga tentang jamban sehat
2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui konsep dasar jamban sehat
b. Untuk mengetahui konsep keperawatan jamban sehat
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Pengertian Jamban
Kita berdomisili disuatu wilayah pemukiman, sebut saja wilayah itu setingkat dengan
desa atau kelurahan. Pernahkah kita befikir berapa jumlah rumah di wilayah kita yang
memiliki jamban, dan berapa jumlah rumah yang belum memiliki jamban. Bila rumah yang
memiliki jamban melebihi 80% dari jumlah rumah yang ada, berarti wilayah tersebut
termasuk wilayah yang cukup baik dalam hal pembuangan kotoran manusia.
Bagi rumah yang belum memiliki jamban, sudah dipastikan mereka mereka itu
mamanfatkan sungai, kebun, kolam, atau tempat lainnya untuk buang air besar (BAB). Bagi
yang telah memiliki jamban bisa dipastikan BAB di jamban. Tapi tidak selalu begitu ,
terkadang walaupun memiliki jamban ada sebagian kecil yang masih BAB di tempat lain,
karena alasan tertentu.

B. Kerugian tidak memiliki jamban


Dengan masih adanya masyarakat di sutau wilayah yang BAB sembarangan, maka
wilayah tersebut terancam beberapa penyakit menular yang berbasis
lingkungan diantaranya : Penyakit Cacingan, Cholera (muntaber), Diare, Typus, Disentri,
Paratypus, Polio, Hepatitis B dan masih banyak penyakit lainnya. Semakin besar prosentase
yang BAB sembarangan maka ancaman penyakit itu semakin tinggi itensitasnya. Keadaan
ini sama halnya dengan fenomena bom waktu, yang bisa terjadi ledakan penyakit pada suatu
waktu cepat atau lambat.
Sebaiknya semua orang BAB di jamban yang memenuhi syarat, dengan demikian
wilayahnya terbebas dari ancaman penyakit penyakit tersebut. Dengan BAB di jamban
banyak penyakit berbasis lingkungan yang dapat dicegah, tentunya jamban yang memenuhi
syarat kesehatan. Kalau membahas soal jamban maka tentunya harus lengkap dengan
sarana Air Bersih untuk menunjang keberlangsungan pemanfaatan jamban.

C. Kriteria Jamban Sehat


Jamban yang memenuhi syarat kesehatan atau sayarat Sanitasi adalah sebagai berikut:
1 Kotoran tidak dapat dijangkau oleh binatang penular penyakit, seperti : Kecoa, tikus,
lalat dll.
2 Tidak menimbulkan bau
3 Kotoran ditempatkan disuatu tempat, tidak menyebar ke mana mana
4 Tidak mencemari sumber air bersih
5 Tidak menggangu pemandangan/estetika
6 Aman digunakan
Untuk memenuhi syarat no.1 dan 3, maka kotoran ditempatkan di satu tempat, bisa
lobang jamban atau septik tank, ukuran volumenya disesuaikan dengan kebutuhan atau
jumlah pemakai. Untuk memenuhi syarat no 1 dan 2, maka digunakan kloset yang
dilengkapi leher angsa, dimana pada leher angsa akan tergenang air utnuk mencegah bau
yang timbul dari lobang jamban atau septic tank, dan mencegah masuknya binatang binatang
seperti lalat, kecoa, nyamuk, tikus dll. Untuk memenuhi syarat no. 4 , dalam membuat
jamban terutama lokasi lobang jamban atau septic tank atau lobang resapan dibuat sejauh
mingkin dari sumber air yang ada misalnya Sumur Gali dsbnya, atau setidak tidaknya tidak
kurang dari 10 meter jarak antara sumur dan lobang jamban. Sedangkan untuk memenuhi
syarat no 5 dan 6 , hendaknya jamban dibuat dari bahan bahan yang memadai baik
kekuatannya maupun konstruksinya dibuat sedemikan rupa agar kelihatan indah dan rapi.
Jangan lupa pemeliharaan jamban perlu dibiasakan setiap hari, misalnya
membersihkan dan menyikat lantai agar tidak licin, menguras bak air agar terhindar dari
penyakit Demam Berdarah Dengue,siram kloset dengan air secukupnya setelah digunakan,
tidak membuang sampah, puntung rokok, pembalut wanita, air sabun, lisol kedalam kloset.

D. Syarat Membuat Jamban Sehat


Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya. Dampak BAB
sembarangan sangat buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis
penyakit ditularkan.
Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus
diperhatikan pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak
buruk bagi lingkungan.
Kementerian Kesehatan telah menetapkan syarat dalam membuat jamban sehat. Ada
tujuh kriteria yang harus diperhatikan. Berikut syarat-syarat tersebut:

1 Tidak mencemari air


a Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar lubang
kotoran tidak mencapai permukaan air tanah maksimum. Jika keadaan terpaksa,
dinding dan dasar lubang kotoran harus dipadatkan dengan tanah liat atau diplester.
b Jarang lubang kotoran ke sumur sekurang-kurangnya 10 meter
c Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak sumur agar air kotor dari lubang
kotoran tidak merembes dan mencemari sumur.
d Tidak membuang air kotor dan buangan air besar ke dalam selokan, empang, danau,
sungai, dan laut

2 Tidak mencemari tanah permukaan


a Tidak buang besar di sembarang tempat, seperti kebun, pekarangan, dekat sungai,
dekat mata air, atau pinggir jalan.
b Jamban yang sudah penuh agar segera disedot untuk dikuras kotorannya, atau
dikuras, kemudian kotoran ditimbun di lubang galian.

3 Bebas dari serangga


a Jika menggunakan bak air atau penampungan air, sebaiknya dikuras setiap minggu.
Hal ini penting untuk mencegah bersarangnya nyamuk demam berdarah
b Ruangan dalam jamban harus terang. Bangunan yang gelap dapat menjadi sarang
nyamuk.
c Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang bisa menjadi
sarang kecoa atau serangga lainnya
d Lantai jamban harus selalu bersih dan kering
e Lubang jamban, khususnya jamban cemplung, harus tertutup
4 Tidak menimbulkan bau dan nyaman digunakan
a Jika menggunakan jamban cemplung, lubang jamban harus ditutup setiap selesai
digunakan
b Jika menggunakan jamban leher angsa, permukaan leher angsa harus tertutup rapat
oleh air
c Lubang buangan kotoran sebaiknya dilengkapi dengan pipa ventilasi untuk
membuang bau dari dalam lubang kotoran
d Lantan jamban harus kedap air dan permukaan bowl licin. Pembersihan harus
dilakukan secara periodic
5 Aman digunakan oleh pemakainya
a Pada tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding lubang kotoran
dengan pasangan batau atau selongsong anyaman bambu atau bahan penguat lai yang
terdapat di daerah setempat
6 Mudah dibersihkan dan tak menimbulkan gangguan bagi pemakainya
a Lantai jamban rata dan miring kea rah saluran lubang kotoran
b Jangan membuang plastic, puntung rokok, atau benda lain ke saluran kotoran karena
dapat menyumbat saluran
c Jangan mengalirkan air cucian ke saluran atau lubang kotoran karena jamban akan
cepat penuh
d Hindarkan cara penyambungan aliran dengan sudut mati. Gunakan pipa berdiameter
minimal 4 inci. Letakkan pipa dengan kemiringan minimal 2:100
7 Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan
a Jamban harus berdinding dan berpintu
b Dianjurkan agar bangunan jamban beratap sehingga pemakainya terhindar dari
kehujanan dan kepanasan.
E. Kriteria Jamban Sehat
Jamban Sehat secara prinsip harus mampu memutuskan hubungan antara tinja dan
lingkungan. Sebuah jamban dikatagorikan SEHAT jika:
1 kontaminasi ke badan air
2 Mencegah kontak antara manusia dan tinja
3 Membuat tinja tersebut tidak dapat dihinggapi serangga, serta binatang
4 Mencegah bau yang tidak sedap
5 Konstruksi dudukannya dibuat dengan baik & aman bagi pengguna.
Secara konstruksi kriteria diatas dalam prakteknya mempunyai banyak bentuk pilihan,
tergantung jenis material penyusun maupun bentuk konstruksi jamban. Pada prinsipnya
bangunan jamban dibagi menjadi 3 bagian utama, bangunan bagian atas (rumah jamban),
bangunan bagian tengah (slab/dudukan jamban), serta bangunan bagian bawah (penampung
tinja).
1 Rumah jamban (bangunan bagian atas)
Bangunan bagian atas bangunan jamban terdiri dari atap, rangka dan dinding. Dalam
prakteknya disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.
Beberapa pertimbangan pada bagian ini antara lain :
a. Sirkulasi udara yang cukup
b. Bangunan mampu menghindarkan pengguna terlihat dari luar
c. Bangunan dapat meminimalkan gangguan cuaca (baik musim panas maupun
musim hujan)
d. Kemudahan akses di malam hari- Disarankan untuk menggunakan bahan local
e. Ketersediaan fasilitas penampungan air dan tempat sabun untuk cuci tangan
2 Slab / dudukan jamban (bangunan bagian tengah)
Slab berfungsi sebagai penutup sumur tinja (pit) dan dilengkapi dengan tempat
berpijak. Pada jamban cemplung slab dilengkapi dengan penutup, sedangkan pada
kondisi jamban berbentuk bowl (leher angsa) fungsi penutup ini digantikan oleh
keberadaan air yang secara otomatis tertinggal di didalamnya. Slab dibuat dari bahan
yang cukup kuat untuk menopang penggunanya. Bahan-bahan yang digunakan harus
tahan lama dan mudah dibersihkan seperti kayu, beton, bambu dengan tanah liat,
pasangan bata, dan sebagainya. Selain slab, pada bagian ini juga dilengkapi dengan
abu atau air. Penaburan sedikit abu ke dalam sumur tinja (pit) setelah digunakan akan
mengurangi bau dan kelembaban, dan membuatnya tidak menarik bagi lalat untuk
berkembang biak. Sedangkan air dan sabun digunakan untuk cuci tangan.
Pertimbangan untuk bangunan bagian tengah:
a. Terdapat penutup pada lubang sebagai pelindung terhadap gangguan serangga
atau binatang lain.
b. Dudukan jamban dibuat harus mempertimbangkan faktor keamanan (menghindari
licin, runtuh, atau terperosok).
c. Bangunan dapat menghindarkan/melindungi dari kemungkinan timbulnya bau.
d. Mudah dibersihkan dan tersedia ventilasi udara yang cukup.
3 Penampung tinja (bangunan bagian bawah)
Penampung tinja adalah lubang di bawah tanah, dapat berbentuk persegi, lingkaran,
bundar atau yang lainnya. Kedalaman tergantung pada kondisi tanah dan permukaan
air tanah di musim hujan. Pada tanah yang kurang stabil, penampung tinja harus
dilapisi seluruhnya atau sebagian dengan bahan penguat seperti anyaman bambu, batu
bata, ring beton, dan lain – lain.
Pertimbangan untuk bangunan bagian bawah antara lain:
a. Daya resap tanah (jenis tanah)
b. Kepadatan penduduk (ketersediaan lahan
c. Ketinggian muka air tana
d. Jenis bangunan, jarak bangunan dan kemiringan letak bangunan terhadap sumber
air minum (lebih baik diatas 10 m)
e. Umur pakai (kemungkinan pengurasan, kedalaman lubang/kapasitas)
f. Diutamakan dapat menggunakan bahan local
g. Bangunan yang permanen dilengkapi dengan manhole
Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh pada penyebaran
penyakit berbasis lingkungan, sehingga untuk memutuskan rantai penularan ini harus
dilakukan rekayasa pada akses ini. Agar usaha tersebut berhasil, akses masyarakat pada
jamban (sehat) harus mencapai 100% pada seluruh komunitas. Keadaan ini kemudian lebih
dikenal dengan istilah Open Defecation Free (ODF).
Suatu masyarakat disebut ODF jika :
1 Semua masyarakat telah BAB (Buang Air Besar) hanya di jamban yang sehat dan
membuang tinja/ kotoran bayi hanya ke jamban yang sehat (termasuk di sekolah)
2 Tidak terlihat tinja manusia di lingkungan sekitar
3 Ada penerapan sanksi, peraturan atau upaya lain oleh masyarakat untuk mencegah
kejadian BAB di sembarang tempat
4 Ada mekanisme monitoring umum yang dibuat masyarakat untuk mencapai 100% KK
mempunyai jamban sehat
5 Ada upaya atau strategi yang jelas untuk dapat mencapai Total Sanitasi
Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari Buang Air Besar
Sembarangan, pada tahap pasca ODFdiharapkan akan mencapai tahap yang disebut
Sanitasi Total. Sanitasi Total akan dicapai jika semua masyarakat di suatu komunitas,
telah:
1 Mempunyai akses dan menggunakan jamban sehat
2 Mencuci tangan pakai sabun dan benar saat sebelum makan, setelah BAB, sebelum
memegang bayi, setelah menceboki anak dan sebelum menyiapkan makanan
3 Mengelola dan menyimpan air minum dan makanan yang aman
4 Mengelola limbah rumah tangga (cair dan padat).
Untuk menentukan suatu komunitas telah mencapai status ODF, dilakukan dengan
proses verifikasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan
pemerintah dalam sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah
itu dalam tataran undang-undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-
undang (RUU) tentang Air Limbah Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet,
atau apapun nama lainnya akan terwadahi secara formal dalam sistem regulasi di Indonesia.
Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya. Dampak BAB sembarangan
sangat buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis penyakit ditularkan.
Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus
diperhatikan pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak
buruk bagi lingkungan.

B. Saran
1 Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang pembaca, terutama mahasiswa
keperawatan
2 Semoga dapat menjadi bahan acuan pembelajaran bagi mahasiswa keperawatan.
3 Semoga makalah ini dapat menjadi pokok bahasan dalam berbagai diskusi dan forum
terbuka.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.cwasta.org/index.php?option=com_content&view=article&id=59:definisi-jamban-
sehat&catid=2:berita&Itemid=35
http://stbm-indonesia.org/index.php?r=sanitasipedia&cat=51&id=428
http://environmentalsanitation.wordpress.com/2010/07/20/jamban-sehat/
http://abahjack.com/jamban.html#more-463

Anda mungkin juga menyukai